METODE PENELITIAN MATAN HADIS Oleh: Murtadlo, Galang, Mustaid, Muhtarom.
http://kaweruh99.blogspot.com/2016/03/metode-penelitian-matan-hadis-oleh_4.html
I.
Pendahuluan
Bertambahnya jarak waktu pada zaman ini dengan
zaman dimana Rasulullah saw masih hidup mengharuskan kaum muslimin untuk jeli
terhadap penilaian atas kesahihan suatu hadis. Hal tersebut disebabkan oleh
banyaknya antek yang berusaha memalsukan hadis, baik itu pada sanad, perawi
atau matan untuk suatu kepentingan tertentu, seperti merusak ajaran Islam,
membela keyakinannya dan sebagainya. Padahal, Rasulullah saw melaknat orang
yang berani berbohong atas nama beliau, berdasar hadis :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار[1]
Untuk meneliti kesahihan hadis tersebut, para
ulama telah menetapkan kaidah-kaidah untuk meneliti kesahihan hadis, yang
setidaknya dapat menjadi patokan untuk menilai hadis tersebut ‒apakah hadis
tersebut dapat diterima atau justru sebaliknuya‒ karena mengetahui kebenaran
suatu hadis sangatlah penting. Sebab, hadis atau sunnah adalah sumber hukum
yang kedua dalam Islam, setelah al-Qur`an.
Namun, pada zaman sekarang ini, banyak sekali
orang yang tidak peduli akan kesahihan suatu hadis. Mereka hanya tahu hadis
tersebut dicantumkan pada sebuah buku atau artikel ilmiah lalu menjadikannya
sebagai hujjah. Padahal, sejak zaman sahabat sendiri pun, sudah terdapat orang
yang berusaha memalsukan hadis demi kepentingannya. Bisa dibayangkan betapa banyaknya
hadis palsu yang sudah dikarang oleh para pemalsu hadis sejak zaman tersebut. Kaidah
penelitian hadis yang sudah ditetapkan oleh para ulama pun tidak hanya untuk
menemukan kepalsuan hadis tersebut, tetapi untuk menilai apakah hadis tersebut,
sahih, hasan atau dlaif. Hal ini berpengaruh pada kuat tidaknya kehujjahan akan
hadis tersebut. Karena hadis yang dianggap dlaif bisa saja naik status menjadi
hasan li ghairihi jika setelah dilakukan penelitian, ternyata terdapat
hadis sahih yang mirip dengan hadis dlaif tersebut.
II.
Pengertian Penelitian Matan Hadis
Secara terminologi, penelitian artinya pemeriksaan yg teliti atau penyelidikan. Sedangkan
matan secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang
berarti punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol
keatas. Sedangkan matan hadis menurut Al-Tibi, sebagaimana di
ungkapkan oleh Musfir Al-Damini:
اَلْفَاظُ اْلحَدِیْثِ الَّتِيْ تَتَقَوَّمَ بها اْلَمعَانِيْ.
Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna
Definisi tersebut menjelaskan bahwa setiap matan hadis tersusun
dari elemen
teks dan konsep.
Berarti secara terminologi, matan hadis
adalah cerminan
konsep ideal yang dibiaskan dalam bentuk teks, kemudian difungsikan
sebagai sarana perumus keagamaan menurut hadis.[2]
Dalam istilah para ulama ahli hadis penelitian matan hadis juga
dikenal sebagai naqd al-matan. Dalam literatur Arab kata an-naqd
dipakai untuk arti “kritik”, atau “memisahkan yang baik dari yang buruk.
Dapat dikatakan bahwa penelitian matan hadis merupakan
salah satu bentuk upaya meneliti kandungan atau matan suatu hadis secara kritis
untuk mengetahui validitas (keabsahan) serta melakukan interpretasi (sharah)
dari hadis tersebut, yang mencakup kaidah-kaidah tertentu seperti yang akan
disebutkan di bawah.
III.
Objek Penelitian Matan
Objek penelitian matan hadis adalah matan dari
suatu hadis yang telah diketahui bahwa sanadnya sahih. Imam Nawawi menegaskan
dari apa yang telah dikemukakan oleh Abdullah bin Al-Mubarak, apabila sanad
suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis tersebut bisa diterima, tapi
apabila tidak, maka hadis tersebut harus ditinggalkan.[3]
Jadi, hadis tersebut tidak perlu diteliti karena dalam segi sanadnya saja sudah
tertolak dan tidak bisa diterima.
IV.
Kaidah Mayor dan Minor dalam Penelitian Matan
Segala syarat atau kriteria kesahihan sanad
hadis ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Berbagai syarat atau
kriteria yang bersifat umum diberi istilah sebagai kaidah mayor, sedang yang
bersifat khusus atau rincian dari kaidah mayor diberi istilah sebagai kaidah
minor.[4]
Ulama ahli hadis sepakat bahwa unsur-unsur
yang harus dipenuhi oleh suatu anmat hadis yang berkualitas
shalih ada dua macam, yaitu terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan
terhindar dari illat (cacat). Apabila mengacu pada pengertian
hadis sahih yang dikemukakan oleh ulama, sebagaimana telah
disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan bahwa kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis
adalah:
1. Terhindar dari syuzuz
2. terhindar dari ‘illat.
Berdasarkan kriteria yang ada, M. Syuhudi
Ismail merumuskan kaidah minor terhadap matan hadis yang terhindar dari syadz
dan ‘illat. Adapun kaidah minor dari matan yang terhindar dari syadz
adalah:[6]
1. Matan bersangkutan tidak menyendiri.
2. Matan hadis tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih kuat.
3. Matan hadis itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
4. Matan hadis itu bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
1. Matan hadis tidak mengandung idrāj (sisipan).
2. Matan hadis tidak mengandung ziyādah (tambahan).
3. Matan hadis tidak mengandung maqlūb (pergantian lafaz
atau kalimat).
4. Matan tidak terjadi iḍtirāb (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan).
5. Tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh
dari matan hadis itu.
V.
Langkah-Langkah Penelitian Validitas Matan Hadis
Dalam meneliti sebuah hadis tentu tidak luput dengan menggunakan
sebuah langkah-langkah untuk meneliti sebuah hadis. Bustamin dalam bukunya
Metodologi Kritik Hadis, memberikan lima langkah yang harus ditempuh dalam
rangka mengkritik sebuah matan hadis yaitu :
A.
Menghimpun
hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
Yang dimaksud dengan hadis yang terjalin dalam tema yang sama
adalah Pertama, hadis-hadis yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama,
baik riwayat bi al-lafẓi maupun melalui riwayat riwayat bi al-ma’na.
Kedua, hadis-hadis mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak
belakang. Ketiga, hadis-hadis yang memiliki tema yang sama, seperti tema
aqidah, ibadah, dan lainnya.
Hadis yang pantas dibandingkan adalah hadis yang sederajat kualitas
sanad dan matannya. Perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna ialah karena
dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut Muhaddithin,
perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi
asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.[8]
B.
Melihat
Tingkat Kesahihan matan melalui pendekatan hadis
Kaidah ini dilakukan sebagai upaya untuk menjawab jika suatu matan
bertentangan dengan matan lainnya, dengan asumsi bahwa tidak mungkin Nabi Saw
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan sabdanya yang lain (galau).
Hakikatnya, setiap kandungan matan tidak ada yang bertentangan dengan hadis dan
Alquran. Tetapi hanya terlihat seolah-olah bertentangan dengan hadis dan
al-Qur’an.
Adapun jika terdapat hadis yang seolah-olah bertentangan, maka cara
penyelesaian dengan melakukan pendekatan ilmu Mukhtalif al-Hadis. Imam
Syafi’i dalam kitabnya ikhtilāf al-hadis mengemukakan empat cara menyelesaikannya, yaitu:
1.
Mencari
dan menentukan kandungan makna matan mana saja yang bersifat universal dan
terperinci.
2. Mencari dan menentukan kandungan matan mana saja yang bersifat umum dan khusus.
3. Menentukan matan mana saja yang dinilai mengandung makna dihapus (nasakh)
dan yang menghapus (mansukh).
4. Mengupayakan sebisa mungkin kedua matan yang bertentangan dapat diamalkan.
Sementara Sihab al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn
Idris Al-Qarafi (w.684 H) menempuh metode tarjih, yaitu dengan cara
mencari petunjuk yang mempunyai alasan yang kuat. Langkah ini lebih mudah
daripada Mukhtalif al-Hadis.
Untuk menyatukan suatu hadis yang bertentangan
dengan hadis lainnya, diperlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis
yang bermakna universal dari yang khusus, hadis yang naskh dari yang mansukh.[9]
C.
Penelitian
matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an,
yaitu al-Qur’an merupakan sebagai sumber pertama atau utama dalam Islam untuk
melaksanakan berbagai ajaran, baik yang uṣul maupun yang furu’,
maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan
bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan al-Qur’an haruslah ditinggalkan
sekalipun sanadnya sahih.
Cara yang ditempuh untuk meloloskan matan hadis yang kelihatannya
bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil atau menerapkan ilmu
Mukhtalif al-Hadis. Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadis
yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam buku-buku hadis atau hadis sahih
dari segi sanad dan matannya dibatalkan karena bertentangan dengan al-Qur’an.[10]
Langkah ini diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan idraj, idhthirab, ziyadah, qalb, dan tashhif serta tahrif pada
hadis yang diteliti.
E.
Penelitian
matan hadis dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju
pada beberapa obyek:
1.
Struktur bahasa, artinya apakah susunan kata
dalam matan hadis yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa
Arab.
2.
Kata-kata yang terdapat dalam matan hadis,
apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa
Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan
dalam literatur Arab Modern?.
3.
Matan hadis tersebut apakah menggambarkan
bahasa kenabian.
4. Menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah
makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang
dipahami oleh pembaca atau peneliti.[12]
F.
Penelitian
matan dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhaddithin untuk penelitian
matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu
hadis (asbab al-wurud hadith). Langkah ini bertujuan untuk mempermudah
memahami kandungan hadis. Fungsi asbab al-wurud hadith ada tiga. Pertama,
menjelaskan makna hadis. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah pada
saat kemunculan hadis apakah sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau
sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat
saat hadis itu disampaikan.[13]
Salah satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama
bertentangan dengan fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang
berbunyi :
“......Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan ulama
ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah Abu Hanifah. Ia
menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya karena
hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah disebutkan
bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan
memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun atas
pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang terikat
perjanjian dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka ia
dijatuhi hukum qiṣaṣ
Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, baik
dari segi sanad maupun dari segi matan. Dari
segi sanad hadis diatas bersifat
mauquf tidak mencapai derajat marfu’ ( tidak disandarkan kepada Nabi, hanya
sampai sahabat ) dan dari segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut
tidak menggambarkan praktik hukum dari Rasulullah SAW.[14]
VI.
Interpretasi Matan ( Syarh al-Matn )
Setelah melakukan kritik matan ( naqd al-matn ), maka langkah
selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap matan. Adapun
langkah-langkah interpretasi matan, secara garis besar, adalah penelitian
seputar teks dan penelitian terhadap teks.
Penelitian seputar teks yang dimaksud adalah penelitian terhadap
hal-hal yang berada di luar teks, tetapi memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam memahami teks. Penelitian seputar teks mencakup :
1.
Sebab-sebab
munculnya teks
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw ialah
dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya
suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang
dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat
dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa suatu hadis, adakalanya
tampak bersifat umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih
lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illah
tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illah-nya, dan
tetap berlaku jika masih berlaku ‘illah-nya.
Sebagai contoh, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
لأن يمتليء جوف
أحدكم قيحا خير له من أن يمتليء شعرا
Lebih
baik perut kalian diisi dengan nanah daripada diisi dengan sya’ir.
Apabila hadits di atas dipahami secara tekstual, maka berarti
membaca sya’ir itu haram. Padahal dalam riwayat lain, beliau bersabda
:”Sesungguhnya sebagian dari sya’ir itu adalah hikmah”( H.R. Bukhari dari Ubay
bin Ka’ab )
Ternyata hadits ini ada asbab al-wurudnya. Pada suatu sa’at
Rasulullah SAW mengadakan perjalanan dan berada di kota al-‘Arj, Tiba-tiba di
hadapan Rasulullah SAW, ada seseorang yang bersya’ir, lalu Rasulullah
mengucapkan sebagaimana dikutip di atas.
Al-Nawawi menyatakan bahwa yang dicela oleh Rasulullah SAW adalah
orang yang kesenangannya terhadap sya’ir melebihi kesenangannya kepada
al-Qur’an, al-Sunnah, dan ilmu-ilmu syari’at, sehingga mulutnya dipenuhi dengan
sya’ir. Jadi, jika kecintaan kepada al-Qur’an, al-sunnah dan ilmu syari’at
lebih dominan, maka tidak apa-apa karena Rasulullah SAW sendiri pernah
mendengar sya’ir dan pernah memerintahkan Hasan untuk bersya’ir untuk mencela
orang-orang musyrik.
2.
Lokasi
tempat munculnya teks
Memperhatikan lokasi munculnya sebuah teks bertujuan untuk
mengungkap sistem budaya dan sistem sosial kemunculan sebuah teks. Dalam
studi-studi Islam, faktor ini dikenal dengan istilah makkiyah dan madaniyah untuk
menandai lokasi turunnya ayat al-Qur’an.
Sebagai contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
berikut:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَصْلُحُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ
تُسَافِرَ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ لَهَا
Tidaklah
layak seorang perempuan bepergian kecuali ada mahram bersamanya.
‘Illat di balik larangan ini, menurut al-Qardhawi,
adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh
tanpa disertai seorang suami atau mahram. Ini mengingat bahwa masa itu,
khususnya di daerah Arab, orang menggunakan kendaraan unta atau sejenisnya dalam
perjalanan mereka, seringkali mengarungi daerah-daerah yang jauh dari hunian
manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang
perempuan yang bepergian tanpa disertai dengan mahram, tentunya dikhawatirkan
keselamatan dirinya.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah
berubah, seperti di masa kita sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan
menggunakan pesawat terbang yang mengangkut ratusan orang, maka tidak ada lagi
alasan mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya , ditinjau dari segi syariat, jika
ia melakukannya. Dan tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap
hadis.
3.
Kronologi
munculnya teks
Ini, untuk mengetahui rentetan munculnya sebuah teks sehingga bisa
menyingkap kemungkinan adanya pembatalan teks yang lebih awal dengan teks yang
datang berikutnya. Dalam studi-studi Islam, proses penghapusan sebuah
teks dikenal dengan istilah nasikh-mansukh.
Sebagai contoh, hadits-hadits tentang nikah mut’ah. Dalam riwayat
Jabir, Rasulullah SAW mengizinkan nikah mut’ah, tetapi dalam riwayat ‘Ali bin
Abi Thalib, nikah mut’ah diharamkan. Para ulama ahli sunnah
sepakat bahwa bahwa hadits ‘Ali datangnya setelah hadits Jabir, sehingga apa
yang terdapat dalam hadits Jabir tidak berlaku lagi hukumnya.[15]
VII.
Manfaat Penelitian Matan Hadis
Manfaat dilakukannya kritik matan antara lain:
1. Terhindar dari kekeliruan dalam menerima riwayat hadis.
2. Mengetahui adanya kemungkinan kesalahan rawi hadis dalam meriwayatkan
hadis.
3. Menghindari pemalsuan atau manipulasi hadis oleh oknum tertentu yang
berkepentingan ingin berlindung atas nama syariat.
4. Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat
hadis.
VIII.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kritik matan hadis adalah kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis
dalam mengkaji dan menelusuri kebenaran suatu hadis, sehingga ditemukan status
hadis sahih dan tidak sahih dari segi matannya, ini juga dimaksudkan sebagai
pengecekan kembali kebenaran sumber hadis yang disandarkan kepada Nabi tersebut
memang berasal dari nabi atau tidak dan kegitan kritk matan memang sudah ada
sejak zaman Nabi masih hidup
2. Metodologi kritik matan hadis (kaidah mayor dan kaidah minor) adalah:
a. Kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis adalah
1). Terhindar dari shaẓ.
2). Terhindar dari ‘illat.
Shaẓ dan ‘illat selain terjadi pada sanad juga terjadi pada matan hadis.
b. Adapun kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah :
1). Matan hadis bersangkutan tidak menyendiri.
2). Matan hadis itu tidak bertentangan
dengan hadis yang lebih kuat.
3). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an.
4). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan
akal sehat, indera dan sejarah.
c. Adapun kaedah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah :
1). Matan hadis tidak mengandung idraj
(sisipan).
2). Matan hadis tidak mengandung ziyadah
(tambahan).
3). Matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian
lafaz atau kalimat).
4). Tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang
tidak dapat dikompromikan).
5). Tidak terjadi kerancuan lafaz dan
penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.
3. Langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadis adalah:
a. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
b. Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis sahih.
c. Penelitian matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an.
d. Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa.
e. Penelitian matan dengan pendekatan sejarah
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
Hasjim. Kritik Matan
Hadis. Yogyakarta: TERAS, 2004.
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami
Hadis Nab. Jakarta: Renaisan, 2005.
Bustamin, M.
Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Matan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Dikutip dari https://abumumtazah.wordpress.com/2012/01/02/penelitian-matan-hadits-2/. Diakses pada 26 April 2015.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta:
PT Bulan Bintang, 2005.
Yuslem, Nawer. Ulumul Hadis. Ciputat: PT.
Mutiara Sumber Widya, 2001.
[1] HR. Al-Bukhari.
[4] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan
Sanad Hadis, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), 123.
[5] Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: Renaisan), 109.
[6] Ibid, 117.
[7] Ibid, 117.
[8] Bustamin,
M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Matan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 64-65
[9] Bustamin,
M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Matan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 68-71.
[10] Ibid.
h. 71-75.
[11]Dikutip dari https://abumumtazah.wordpress.com/2012/01/02/penelitian-matan-hadits-2/. Diakses pada 26 April 2015.
[12] Bustamin,
M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Matan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 76.
[13] Ibid,
h. 85
[14] Ibid,
h. 86-87.
[15] Diringkas dari https://abumumtazah.wordpress.com/2012/01/02/penelitian-matan-hadits-2/. Diakses pada 27 April 2015.