1735262163458753
Loading...

METODE PENELITIAN MATAN HADIS Oleh: Murtadlo, Galang, Mustaid, Muhtarom.




I.            Pendahuluan
Bertambahnya jarak waktu pada zaman ini dengan zaman dimana Rasulullah saw masih hidup mengharuskan kaum muslimin untuk jeli terhadap penilaian atas kesahihan suatu hadis. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya antek yang berusaha memalsukan hadis, baik itu pada sanad, perawi atau matan untuk suatu kepentingan tertentu, seperti merusak ajaran Islam, membela keyakinannya dan sebagainya. Padahal, Rasulullah saw melaknat orang yang berani berbohong atas nama beliau, berdasar hadis :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار[1]
Untuk meneliti kesahihan hadis tersebut, para ulama telah menetapkan kaidah-kaidah untuk meneliti kesahihan hadis, yang setidaknya dapat menjadi patokan untuk menilai hadis tersebut ‒apakah hadis tersebut dapat diterima atau justru sebaliknuya‒ karena mengetahui kebenaran suatu hadis sangatlah penting. Sebab, hadis atau sunnah adalah sumber hukum yang kedua dalam Islam, setelah al-Qur`an.
Namun, pada zaman sekarang ini, banyak sekali orang yang tidak peduli akan kesahihan suatu hadis. Mereka hanya tahu hadis tersebut dicantumkan pada sebuah buku atau artikel ilmiah lalu menjadikannya sebagai hujjah. Padahal, sejak zaman sahabat sendiri pun, sudah terdapat orang yang berusaha memalsukan hadis demi kepentingannya. Bisa dibayangkan betapa banyaknya hadis palsu yang sudah dikarang oleh para pemalsu hadis sejak zaman tersebut. Kaidah penelitian hadis yang sudah ditetapkan oleh para ulama pun tidak hanya untuk menemukan kepalsuan hadis tersebut, tetapi untuk menilai apakah hadis tersebut, sahih, hasan atau dlaif. Hal ini berpengaruh pada kuat tidaknya kehujjahan akan hadis tersebut. Karena hadis yang dianggap dlaif bisa saja naik status menjadi hasan li ghairihi jika setelah dilakukan penelitian, ternyata terdapat hadis sahih yang mirip dengan hadis dlaif tersebut.
II.            Pengertian Penelitian Matan Hadis
Secara terminologi, penelitian artinya pemeriksaan yg teliti atau penyelidikan. Sedangkan matan secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol keatas. Sedangkan matan hadis menurut Al-Tibi, sebagaimana di ungkapkan oleh Musfir Al-Damini:
اَلْفَاظُ اْلحَدِیْثِ الَّتِيْ تَتَقَوَّمَ بها اْلَمعَانِيْ.
Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna
Definisi tersebut menjelaskan bahwa setiap matan hadis tersusun dari elemen teks dan konsep. Berarti secara terminologi, matan hadis adalah cerminan konsep ideal yang dibiaskan dalam bentuk teks, kemudian difungsikan sebagai sarana perumus keagamaan menurut hadis.[2]
Dalam istilah para ulama ahli hadis penelitian matan hadis juga dikenal sebagai naqd al-matan. Dalam literatur Arab kata an-naqd dipakai untuk arti “kritik”, atau  “memisahkan yang baik dari yang buruk.
Dapat dikatakan bahwa penelitian matan hadis merupakan salah satu bentuk upaya meneliti kandungan atau matan suatu hadis secara kritis untuk mengetahui validitas (keabsahan) serta melakukan interpretasi (sharah) dari hadis tersebut, yang mencakup kaidah-kaidah tertentu seperti yang akan disebutkan di bawah.
III.            Objek Penelitian Matan
Objek penelitian matan hadis adalah matan dari suatu hadis yang telah diketahui bahwa sanadnya sahih. Imam Nawawi menegaskan dari apa yang telah dikemukakan oleh Abdullah bin Al-Mubarak, apabila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis tersebut bisa diterima, tapi apabila tidak, maka hadis tersebut harus ditinggalkan.[3] Jadi, hadis tersebut tidak perlu diteliti karena dalam segi sanadnya saja sudah tertolak dan tidak bisa diterima.
IV.            Kaidah Mayor dan Minor dalam Penelitian Matan
Segala syarat atau kriteria kesahihan sanad hadis ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Berbagai syarat atau kriteria yang bersifat umum diberi istilah sebagai kaidah mayor, sedang yang bersifat khusus atau rincian dari kaidah mayor diberi istilah sebagai kaidah minor.[4]
Ulama ahli hadis sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu anmat hadis yang berkualitas shalih ada dua macam, yaitu terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat). Apabila mengacu pada pengertian hadis sahih  yang dikemukakan oleh ulama, sebagaimana  telah disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan bahwa kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis adalah:
1.      Terhindar dari syuzuz
2.      terhindar dari ‘illat.  
Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad  juga terjadi pada matan hadis.[5]
Berdasarkan kriteria yang ada, M. Syuhudi Ismail merumuskan kaidah minor terhadap matan hadis yang terhindar dari syadz dan ‘illat. Adapun kaidah minor dari matan yang terhindar dari syadz adalah:[6]
1.      Matan bersangkutan tidak menyendiri.
2.      Matan hadis tidak  bertentangan dengan  hadis yang lebih kuat.
3.      Matan hadis itu tidak bertentangan  dengan Al-Qur’an.
4.      Matan hadis itu bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
Adapun kaedah minor bagi matan yang tidak mengandung ‘illat adalah:[7]
1.      Matan hadis tidak mengandung idrāj (sisipan).
2.      Matan hadis tidak mengandung ziyādah (tambahan).
3.      Matan hadis tidak mengandung maqlūb (pergantian lafaz atau kalimat).
4.      Matan tidak terjadi iḍtirāb (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan).
5.      Tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.

V.            Langkah-Langkah Penelitian Validitas Matan Hadis
Dalam meneliti sebuah hadis tentu tidak luput dengan menggunakan sebuah langkah-langkah untuk meneliti sebuah hadis. Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadis, memberikan lima langkah yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadis yaitu :
A.    Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
Yang dimaksud dengan hadis yang terjalin dalam tema yang sama adalah Pertama, hadis-hadis yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama, baik riwayat bi al-lafẓi maupun melalui riwayat riwayat bi al-ma’na. Kedua, hadis-hadis mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang. Ketiga, hadis-hadis yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya.
Hadis yang pantas dibandingkan adalah hadis yang sederajat kualitas sanad dan matannya. Perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut Muhaddithin, perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.[8]
B.     Melihat Tingkat Kesahihan matan melalui pendekatan hadis
Kaidah ini dilakukan sebagai upaya untuk menjawab jika suatu matan bertentangan dengan matan lainnya, dengan asumsi bahwa tidak mungkin Nabi Saw melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan sabdanya yang lain (galau). Hakikatnya, setiap kandungan matan tidak ada yang bertentangan dengan hadis dan Alquran. Tetapi hanya terlihat seolah-olah bertentangan dengan hadis dan al-Qur’an.
Adapun jika terdapat hadis yang seolah-olah bertentangan, maka cara penyelesaian dengan melakukan pendekatan ilmu Mukhtalif al-Hadis. Imam Syafi’i dalam kitabnya ikhtilāf al-hadis mengemukakan empat cara menyelesaikannya, yaitu:
1.      Mencari dan menentukan kandungan makna matan mana saja yang bersifat universal dan terperinci.
2.      Mencari dan menentukan kandungan matan mana saja yang bersifat umum dan khusus.
3.      Menentukan matan mana saja yang dinilai mengandung makna dihapus (nasakh) dan yang menghapus (mansukh).
4.      Mengupayakan sebisa mungkin kedua matan yang bertentangan dapat diamalkan.
Sementara Sihab al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Idris Al-Qarafi (w.684 H) menempuh metode tarjih, yaitu dengan cara mencari petunjuk yang mempunyai alasan yang kuat. Langkah ini lebih mudah daripada Mukhtalif al-Hadis.
Untuk menyatukan suatu hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya, diperlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis yang bermakna universal dari yang khusus, hadis yang naskh dari yang mansukh.[9]
C.     Penelitian matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an, yaitu al-Qur’an merupakan sebagai sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang uṣul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Cara yang ditempuh untuk meloloskan matan hadis yang kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil atau menerapkan ilmu Mukhtalif al-Hadis. Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadis yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam buku-buku hadis atau hadis sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan karena bertentangan dengan al-Qur’an.[10]
D.    Membandingkan matan hadits dengan matan-matan hadits lain yang semakna.[11]
Langkah ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan idraj, idhthirab, ziyadah, qalb, dan tashhif serta tahrif pada hadis yang diteliti.
E.     Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa obyek:
1.      Struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab.
2.      Kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab Modern?.
3.      Matan hadis tersebut apakah menggambarkan bahasa kenabian.
4.      Menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.[12]
F.      Penelitian matan dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhaddithin untuk penelitian matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab al-wurud hadith). Langkah ini bertujuan untuk mempermudah memahami kandungan hadis. Fungsi asbab al-wurud hadith ada tiga. Pertama, menjelaskan makna hadis. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadis apakah sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadis itu disampaikan.[13]
Salah satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama bertentangan dengan fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang berbunyi :
“......Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan  ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah Abu Hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya karena hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan  memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukum qiṣaṣ
Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, baik dari segi sanad  maupun dari segi matan. Dari segi sanad  hadis diatas bersifat mauquf  tidak mencapai derajat  marfu’ ( tidak disandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat ) dan dari segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum dari Rasulullah SAW.[14]
 VI.            Interpretasi Matan ( Syarh al-Matn )
Setelah melakukan kritik matan ( naqd al-matn ), maka langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap matan. Adapun langkah-langkah interpretasi matan, secara garis besar, adalah penelitian seputar teks dan penelitian terhadap teks.
Penelitian seputar teks yang dimaksud adalah penelitian terhadap hal-hal yang berada di luar teks, tetapi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memahami teks.   Penelitian seputar teks mencakup :
1.      Sebab-sebab munculnya teks
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa suatu hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illah-nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illah-nya.
Sebagai contoh, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda :
لأن يمتليء جوف أحدكم قيحا خير له من أن يمتليء شعرا
Lebih baik perut kalian diisi dengan nanah daripada diisi dengan sya’ir.
Apabila hadits di atas dipahami secara tekstual, maka berarti membaca sya’ir  itu haram. Padahal dalam riwayat lain, beliau bersabda :”Sesungguhnya sebagian dari sya’ir itu adalah hikmah”( H.R. Bukhari dari Ubay bin Ka’ab )
Ternyata hadits ini ada asbab al-wurudnya. Pada suatu sa’at Rasulullah SAW mengadakan perjalanan dan berada di kota al-‘Arj, Tiba-tiba di hadapan Rasulullah SAW, ada seseorang yang bersya’ir, lalu Rasulullah mengucapkan sebagaimana dikutip di atas.
Al-Nawawi menyatakan bahwa yang dicela oleh Rasulullah SAW adalah orang yang kesenangannya terhadap sya’ir melebihi kesenangannya kepada al-Qur’an, al-Sunnah, dan ilmu-ilmu syari’at, sehingga mulutnya dipenuhi dengan sya’ir. Jadi, jika kecintaan kepada al-Qur’an, al-sunnah dan ilmu syari’at lebih dominan, maka tidak apa-apa karena Rasulullah SAW sendiri pernah mendengar sya’ir dan pernah memerintahkan Hasan untuk bersya’ir untuk mencela orang-orang musyrik.
2.      Lokasi tempat munculnya teks
Memperhatikan lokasi munculnya sebuah teks bertujuan untuk mengungkap sistem budaya dan sistem sosial kemunculan sebuah teks. Dalam studi-studi Islam, faktor ini dikenal dengan istilah makkiyah dan madaniyah untuk menandai lokasi turunnya ayat al-Qur’an.
Sebagai contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berikut:  
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَصْلُحُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُسَافِرَ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ لَهَا
Tidaklah layak seorang perempuan bepergian kecuali ada mahram bersamanya.
‘Illat di balik larangan ini, menurut al-Qardhawi,  adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram. Ini mengingat bahwa masa itu, khususnya di daerah Arab, orang menggunakan kendaraan unta atau sejenisnya dalam perjalanan mereka, seringkali mengarungi daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai dengan mahram, tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang mengangkut ratusan orang, maka tidak ada lagi alasan mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya , ditinjau dari segi syariat, jika ia melakukannya. Dan tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap hadis.
3.      Kronologi munculnya teks
Ini, untuk mengetahui rentetan munculnya sebuah teks sehingga bisa menyingkap kemungkinan adanya pembatalan teks yang lebih awal dengan teks yang datang berikutnya.   Dalam studi-studi Islam, proses penghapusan sebuah teks dikenal dengan istilah nasikh-mansukh.
Sebagai contoh, hadits-hadits tentang nikah mut’ah. Dalam riwayat Jabir, Rasulullah SAW mengizinkan nikah mut’ah, tetapi dalam riwayat ‘Ali bin Abi Thalib, nikah mut’ah diharamkan. Para ulama ahli sunnah sepakat bahwa bahwa hadits ‘Ali datangnya setelah hadits Jabir, sehingga apa yang terdapat dalam hadits Jabir tidak berlaku lagi hukumnya.[15]
VII.            Manfaat Penelitian Matan Hadis
Manfaat dilakukannya kritik matan antara lain:
1.      Terhindar dari kekeliruan dalam menerima riwayat hadis.
2.      Mengetahui adanya kemungkinan kesalahan rawi hadis dalam meriwayatkan hadis.
3.      Menghindari pemalsuan atau manipulasi hadis oleh oknum tertentu yang berkepentingan ingin berlindung atas nama syariat.
4.      Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat hadis.

VIII.            Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kritik matan hadis adalah kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis dalam mengkaji dan menelusuri kebenaran suatu hadis, sehingga ditemukan status hadis sahih dan tidak sahih dari segi matannya, ini juga dimaksudkan sebagai pengecekan kembali kebenaran sumber hadis yang disandarkan kepada Nabi tersebut memang berasal dari nabi atau tidak dan kegitan kritk matan memang sudah ada sejak zaman Nabi masih hidup
2.      Metodologi kritik matan hadis (kaidah mayor dan kaidah minor) adalah:
a.       Kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis adalah
1). Terhindar dari shaẓ.
2). Terhindar dari ‘illat.
Shaẓ dan ‘illat selain terjadi pada sanad  juga terjadi pada matan hadis.
b.      Adapun kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah :
1). Matan hadis bersangkutan tidak menyendiri.
2). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan  hadis yang lebih kuat.
3). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
4). Matan hadis itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
c.       Adapun kaedah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah :
1). Matan hadis tidak mengandung idraj (sisipan).
2). Matan hadis tidak mengandung ziyadah (tambahan).
3). Matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat).
4). Tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan).
5). Tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.
3.      Langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadis adalah:
a.       Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
b.      Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis sahih.
c.       Penelitian matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an.
d.      Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa.
e.       Penelitian matan dengan pendekatan sejarah
 
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: TERAS, 2004.
Ahmad,  Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nab.  Jakarta: Renaisan, 2005.
Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik  Matan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005.
Yuslem, Nawer. Ulumul Hadis. Ciputat: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.





[1] HR. Al-Bukhari.
[2] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2004), 13.
[3] Nawer Yuslem, Ulumul Hadis (Ciputat: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), 352.
[4] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), 123.
[5] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: Renaisan), 109.
[6] Ibid, 117.
[7] Ibid, 117.
[8] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik  Matan,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 64-65
[9] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik  Matan,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 68-71.
[10] Ibid. h. 71-75.
[12] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik  Matan,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 76.
[13] Ibid, h. 85
[14] Ibid, h. 86-87.
Kumpulan Makalah 4952520068658835644

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments