1735262163458753
Loading...

TULISAN DAN PENULISAN AL-QUR'AN

 TULISAN DAN PENULISAN AL-QUR'AN

Kitābah Menurut Arab
     Sebelum terjun ke dalam kajian tentang kitābah dan rasm Al-Quran, sebaiknya kita jelaskan terlebih dahulu, bagaimana penulisan itu sendiri di Mekah dan Madinah sebelum diutusnya Muhammad? Kita jelaskan, para sejarawan hampir sepakat bahwa tulisan masuk ke Mekah lewat Ḥarb bin Umayyah bin Abdu Shams. Meskipun mereka berbeda pendapat mengenai guru tulisan Umayyah. Dalam riwayat Ibnu al-Kalaby, Ḥarb mempelajarinya dari Bashar bin Abdul Malik, saudara `Ukaydir bin Abdul Malik pemilik dūmat al-Jandal. Karena Ḥarb mengenalnya dalam perjalanannya ke Irak, kemudian ia belajar tulisan darinya. Selanjutnya, Bashar ikut Ḥarb pulang ke Mekah dan menikah dengan al-Ṣahbā` binti Ḥarb, saudara Abu Sofyan. Oleh sebab itu, kelompok Quraish menjadi mudah untuk mempelajari tulisan dan bacaan. Sedangkan penduduk Irak mempelajari tulisan dari penduduk `Anbār yang mempelajari tulisan dari sekelompok Arab Ṭayyi`. Orang Ṭayyi` sendiri mempelajarinya dari penulis wahyu Nabi Hud ‘Alayh al-Salām.
      Menurut riwayat Abu Amr al-Dāny dari Ziyād bin `An’am dari Ibnu Abbas, Ḥarb belajar tulisan dari Abdullah bin Jad’ān dan Abdullah belajar dari penduduk `Anbār. Sedangkan penduduk `Anbār belajar tulisan dari orang asing yang datang dari Yaman. Orang asing tersebut mempelajarinya dari al-Khuljān bin Mūhim. Ia adalah  sekertaris wahyu Nabi Hud dari Allah `Azza wa Jalla. Oleh karena itu, di Mekah ada orang yang bisa menulis sebelum bi’thah. Sedangkan di Madinah al-munawwarah, menurut ahli sejarah Nabi Muhammad, dibawa oleh Nabi sendiri. Di Madinah, terdapat orang Yahudi yang mengajari baca-tulis kepada anak-anak kecil. Di sana ada belasan lelaki yang mengetahui tulisan. Di antaranya, Zayd bin Thābit yang mempelajari tulisan Yahudi atas perintah Nabi Muhammad setelah hijrah, al-Mundhir bin ‘Amr, Ubay bin Wahab, ‘Amr bin Said dan lainnya.
     Dari keterangan di atas, dapat kita ketahui, tulisan sudah ditemukan oleh orang Arab sebelum Islam. Hanya saja, orang yang cakap dalam bidang ini sangat sedikit. Mayoritas adalah ummi, tidak dapat membaca dan menulis. Oleh karena itu, bangsa Arab disebut sebagai bangsa ummi.
      Adanya tulisan di lingkungan Arab menjelang kedatangan Islam menunjukkan irhāṣ[1] diutusnya utusan terakhir, Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Untuk menghimpun tulisan Al-Quran dalam lembaran dan catatan dalam kertas untuk dihafalkan di dada. Oleh karena itu, disiapkan pendorong-pendorong untuk menghafalkan Al-Quran yang tidak dipersiapkan untuk selaian Al-Quran. Kepastian tersebut sebagaimana janji Dzat yang Maha Benar Jalla wa ‘Alā,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[2]
Dan juga setelah perjanjian Hudaybiyah.
     Tulisan termasuk salah satu sebab tersampainya risalah Nabi Muhammad kepada para raja dan penguasa. Nabi menyurati mereka berupa seruan untuk beribadah hanya kepada Allah, bergabung dibawah bendera Islam dan mengesampingkan syirik dan penyembahan berhala. Dengan usaha itu, risalah dapat melewati batas jazirah Arab, menyebar ke penjuru dunia yang kita kenal sekarang. Di antara tulisan yang diketahui adalah tulisan Rasulullah kepada Muqawqis, pembesar Qibṭi. Tulisan itu merupakan salah satu peninggalan nabi yang bernilai.[3]
Islam dan Tulisan
     Ketika Islam datang, dunia tulis dan mempelajarinya serta ilmu dan pengetahuan terangkat. Tidak ada yang lebih mengindikasikan ini daripada surat pertama kali yang diturunkan. Surat itu menyanjung qalam yang merupakan alat keilmuan dan pengetahuan yang diusahakan. Surat tersebut adalah firman Allah Ta’ālā,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ, خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ, اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ, الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ, عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Pernyataan ‘allama bi al-qalam mengisyaratkan ilmu yang dapat diusahakan. Sedangkan firman ‘allam al-`insāna mā lam ya’lam merupakan isyarat ilmu yang di dapat tanpa usaha. Ini, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā bersumpah dengan qalam dalam firmannya,
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
Dalam penggunaan sumpah tersebut oleh Allah, ada penyanjungan al-qalam dan peringatan kepada manusia akan beberapa faidah dan keistemewaannya.
Dalam sebuah hadis sahih, Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam berkata, “Makhluk yang pertama kali yang diciptakan adalah al-qalam. Kemudian Allah berfirman, “Tulislah!” Maka ia menulis kejadian-kejadian sampai hari kiamat.” Hadis diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidhy yang sekaligus menganggapnya sahih.
Agama yang disanjung dengan pena (al-Qalam), penyanjungan bahwa agama ini adalah agama keilmuan dan peradaban yang sempurna
Ini, Nabi ,,,,,, ṣalawāt Allah wa salāmuhu ‘alayh awal kesempatan untuk menyebarkan bacaan dan tulisan. Beliau menggerakkannya agar lebih banyak anak-anak muslim yang mempelajarinya. Beberapa perawi thiqah bahwa umat Islam menawan tujuh puluh orang musyrik dalam peperangan Badar Kubra. Nabi menerima uang tebusan yang mencapai empat ribu dirham dari para tawanan. Sedangkan orang yang bacaan dan tulisannya baik, nabi menjadikan tebusannya adalah mengajari bacaan dan tulisan kepada sepuluh pemuda Madinah.[4] Nabi melaksanakan ini pada saat umat Islam sangat membutuhkan dirham untuk mengurangi kemiskinan dan menakuti musuh-musuhnya. Akan tetapi, nabi melihat bahwa pendidikan umat tentang tulisan lebih baik daripada harta. Tulisan termasuk pendorong kemajuan umat dan memajukannya. Dengan politik bijaksana ini, Nabi menjadi pelopor bangunan guna menghilangkan ke ummian dari beberapa umat dan bangsa. Islam lebih dahulu dalam memerangi keummian dan kebodohan sejak empat belas abad lalu. Pada waktu itu, para pemegang kekuasaan lainnya menjaga agar bangsa mereka tetap tenggelam dalam kebodohan dan takhayyul. Politik cerdas ini memiliki pengaruh. Tulisan, keilmuan serta pengetahuan tersebar di kalangan umat Islam. Tulisan tersebar di setiap wilayah yang dibuka oleh umat Islam. Ini tidak berbeda dengan riwayat dari Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, “Kami adalah umat ummi, tidak bisa menulis dan menghitung.” Karena riwayat tersebut memberi berita mengenai kondisi mayoritas umat. Kemudian ilmu dan kebudayaan asli menjadi salah satu ciri khas umat Islam.
PENULISAN AL-QURAN AL-KARĪM
Seluruh Al-Quran ditulis di hadapan Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Hanya saja, masih tercerai berai di tulang, batu putih tipis, papan, kertas dan sebagainya. Ketika wahyu turun, nabi memanggil sebagian penulis wahyu. Kemudian, beliau memerintahkan mereka untuk menulisnya dan menunjukkan suratnya dan cara penulisannya. Sebelum Nabi meninggal, semua Al-Quran sudah ditulis.
Kemudian, pada masa Abu Bakar al-Ṣiddīq raḍiya Allah ‘anhu, Al-Quran ditulis dalam beberapa lembaran yang disatukan. Penulisannya bersumber dari tulisan yang ditulis di hadapan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Selanjutnya, pada masa Usman raḍiya Allah ‘anhu berdasarkan kondisi yang terjadi ditulis di beberapa mushaf. Penulisannya merujuk pada tulisan masa Abu Bakar raḍiya Allah ‘anhu. Hanya saja, ia meringkas tulisannya yang sesuai bahasa Quraish. Kami telah menjelaskan sebelumnya dalam bahasan penghimpunan Al-Quran, perkembangan penulisan Al-Quran dan pembukuannya. Barang kali kalian masih mengingatnya.
PENULIS WAHYU
Penulisan Al-Quran di hadapan nabi memiliki para sekertaris dari kalangan sahabat yang terkenal dengan kesempurnaan agama, kelebihan amanah, keunggulan akal dan  keteguhan yang sangat, sebagaimana mereka dikenal akan kecakapan huruf hijaiyah dan tulisannya. Di antara yang terkenal dengan tulisannya adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abdullah bin Sa’d bin Abu Sarḥ yaitu, penulis wahyu pertama di Mekah, Zubayr bin Awwām, Mu’āwiyah, Khalid dan `Abān kedua putra Said bin al-‘Āṣ bin Umayyah, Ubay bin Ka’b yaitu penulis wahyu pertama di Madinah, Zaid bin Thābit, yaitu orang yang banyak tulisannya di Madinah, Shuraḥbīl bin Ḥasanah, Abdullah bin Rawāḥah, ‘Amr bin al-‘Āṣ, Khalid bin al-Walīd, al-`Arqam bin Abu al-`Arqam al-Makhzūmy, Thābit bin Qays, Abdullah bin al-`Arqam al-Zuhry, Ḥanẓalah bin al-Rabī’ al-Āsady dan Mu’ayqīb bin Abu Fāṭimah pada masa-masa akhir.[5] Mereka menulis apa yang didiktekan dan ditunjukkan oleh Rasulullah cara penulisannya tanpa menambahi dan mengurangi satu huruf pun. Imam Ahmad dan tiga pemilik karya al-Sunan meriwayatkan sebuah hadis Abdullah bin Abbas dari Usman yang disahihkan oleh Ibnu Ḥibbān dan al-Ḥākim. Usman mengatakan, “Pada suatu saat, Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam mendapatkan surat yang berbilang. Ketika Al-Quran diturunkan, beliau memanggil sebagian penulis. Kemudian mengatakan, “Taruhlah ayat ini di surat yang disebutkan demikian.” Riwayat tersebut menunjukkan penulisan Al-Quran pada masa nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Selain itu, masih ada banyak dalil-dalil yang lain. Diantaranya
1.      Riwayat Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya dari Abu Said al-Khudry yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam berkata, “Janganlah kalian menulis dariku selain Al-Quran. Barang siapa yang menulis selain Al-Quran maka hapuslah.”
2.      Riwayat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhāry mengenai perkataan Abu Bakar al-Ṣiddīq kepad Zayd bin Thābit, “Engkau merupakan seorang laki-laki muda berakal. Kami tidak meragukanmu bahwa engkau menulis wahyu untuk Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam.
3.      Riwayat al-Tirmidhiy, ketika firman Allah Ta’ālā lā yastawī al-qā’idūna min al-mu`minīna ghayru `ulī al-ḍarari wa al-mujāidūna fī sabīlillahi, al-`āyah turun, Abdullah bin Ummi Maktūm dan Abdullah ibnu Jaḥsh[6] bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, kami adalah orang buta. Adakah keringanan untuk kami?” Kemudian turun ayat ghayru `ulī al-ḍarari.  Rasulullah berkata, “Bawakanlah aku batu putih tipis dan tempat tinta dan beliau menyuruh Zayd untuk menulisnya. Kemudian Zayd menulisnya. Zayd mengatakan, “Seolah-olah aku melihat tempat ayat tersebut ketika nabi menjelaskannya di batu putih tipis situ.”
RASM AL-MUṢḤAF
Apakah rasm al-mushaf?
Maksud rasm al-mushaf adalah kesepakatan yang disetujui Usman raḍiya Allah ‘anhu dan para sahabat yang bersamanya mengenai tulisan kata-kata Al-Quran dan tulisan huruf-hurufnya dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke beberapa penjuru dan mushaf al-`imām yang dipegang oleh Usman sendiri. Rasm Al-Quran telah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Para ulama dahulu dan belakangan memberi perhatian dengan membuat karangan tentangnya. Di antaranya adalah Shaykh Imam Abu ‘Amr al-Dāny dalam kitabnya ­al-Muqni’, Syaykh Abu Abbas al-Marākishy[7] ia menyusun buku ‘Unwān al-Dalīl fī Marsūm Khaṭṭ al-Tanzīl tentang pengarahan hal-hal yang berbeda dengan kaidah-kaidah tulisan. Isinya, ia menjelaskan huruf-huruf ini hanya berbeda dalam tulisannya dikarenakan perbedaan makna kata-katanya. Ini mengandung faidah-faidah balaghah, bahasa dan nahwu. Ulama lainnya adalah Shaykh Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan al-Mutawally. Ia membuat syair tentangnya secara ringkas. Kemudian ada al-Marḥūm al-‘allāmah shaykh Muhammad Ali Khalaf al-Ḥusayny, guru al-maqāri` (suatu tempat berkumpul para penghafal membaca Al-Quran untuk ngalap berkah di masjid) Mesir. Ia membuat syarah syair al-Mutawally dan memberi lampiran dengan kitabnya yang bernama Murshid al-Ḥayrān `ilā Ma’rifat mā Yajibu `Ittibā’uhu fī Rasm Al-Qur`ān. Dalam bahasan ini, shaykh Muhammad Habibullah al-Shinqīṭy juga menyusun kitab kecil yang bernama `Īqāẓ al-`A’lām `ilā `Ittibā’ Rasm al-Mushaf al-`Imām.
Kaidah-kaidah Tulisan Mushaf
Dasar pokok tulisan adalah tulisan sesuai dengan apa yang diucapkan tanpa tambahan, pengurangan, perubahan, penggantian disertai perhatian akan permulaan dan pemberhentiannya, serta pisah dan bersambungnya. Para ulama telah menyusun dasar-dasar dan kaidah-kaidah tulisan tersebut. Penulisan mushaf induk terkadang berbeda dengan dasar-dasar dan kaidah-kaidah itu. Oleh karena itu, dikatakan, “Dua tulisan yang tidak disamakan, tulisan mushaf dan tulisan ‘arūḍ. Adapun  tulisan yang pertama, karena pegangannya adalah riwayat hadis, bukan pelafalan yang diucapkan (malfūẓ manṭūq). Sedangkan tulisan kedua, karena pegangannya adalah pertimbangan dalam ucapan yang dilafalkan (manṭūq malfūẓ). Permasalahan tulisan ini terangkum dalam enam kaidah: pembungan, penambahan, hamzah, penggantian, waṣal-faṣl (sambung-pisah) dan tulisan yang mencakup dua qiraat mutawatir dan ditulis dengan salah satunya. Tentu kami akan menyebutkan contoh-contohnya dengan cukup jelas tanpa penelitian dan meringkas semua yang telah berlaku.
1.      Pembuangan.
Misalnya adalah pembuangan huruf alif pada ya` nidā` dalam يأيها الناس, hā` tanbīh هأنتم هؤلاء, kata ganti نا ketika bertemu dengan ḍamīr, seperti أنجينكم dan  آتينه, jama’ mudhakar dan mu`annath, misalnya سماعون للكذب, المؤمنت, المسلمات, dan القانتات  dan sebagainya dan jama’ yang mengikuti wazan mafā’il dan shibhnya, contoh مسجد  dan النصرى kecuali yang dikecualikan.
Pembuangan huruf yā`pada setiap isim manqūṣ yang bertanwin serta dibaca rafa’ atau jīr. Misalnya, غير باغٍ ولا عادٍ dan وَلِكُلِّ قَوْمٍ هادٍ. Penyandaran pada yā` ketika digunakan sebagai nidā`, misalnya ياعبادِ فا تقونِ kecuali قل يعباديَ الذبن أسرفوا dalam surat al-Zumar, يعباديَ الذين آمنوا dalam surat al-Ankabūt. Contoh lainnya adalah أطيعونِ, واتقونِ, فارهبونِ, فأرسلونِ, فاعبدونِ kecuali dalam surat Yāsīn dan وأخشونِ  kecuali dalam surat al-Baqarah dan كيدونِ kecuali فكيدوني جميعا.
Huruf wawu dibuang ketika terletak setelah wawu lain, misalnya لا يستون, فأوا الى الكهف. Begitu juga, huruf wawu dibuang pada empat fiil ini, ويدع الإنسان بالشرّ دعاءه بالخير dalam surat al-`Isrā`,  ويمحُ اللهُ الباطلَdalam surat al-Shūrā,  يوم يدعُ  الداعِ إلى شيئٍ نُكُرٍdalam surat al-Qamar dan  سندعُ الزبانيةdalam surat `Iqra` dan penjelasannya akan disebutkan selanjutnya.
2.      Penambahan.
Misalnya adalah penambahan alif di akhir isim yang dijama’kan atau terkena hukumnya, misalnya مُلاقُوا ربِّهم, بنُوا إسرائيلَ, أولوا الألبابِ, مائة, مائتين, الظُّنُونا, الرسُولا, السبيلا, لا أذبحنه dalam surat al-Naml, ولا أوضعوا خِلالكم dalam surat al-Taubah dan semisal يتـفـيّئُوا, أتوَكؤُا, تفْـتَؤُا, ولا تظْمؤُا dan penambahan di antara huruf jīm dan yā` جىء dalam surat al-Zumar dan al-Fajr. Keduanya dalam mushaf ditulis dengan وجاىء.
Penambahan huruf yā`, misalnya pada نبإي المرسلين, ملإيهم, وملإيه, ومن آناءي الليل, وإيتاءي ذي القربى dalam surat al-Naḥl, بأيّيكم المفتون dan والسماء بنَـيْناها بأيـّيد.
Sedangkan penambahan huruf wawu, misalnya pada  أولوا, أُولـئك, أولًاء, أُولات dan سأورِيكم. Al-Karamāny memberi alasan penambahan itu. Dalam kitabnya, al-‘Ajā`ib, ia mengatakan, “Bentuk fathah dalam tulisan sebelum tulisan Arab adalah alif. Sedangkan bentuk dammah adalah wawu dan bentuk kasrah adalah yā`. maka ditulis لأ اوضعوا  dan semisalnya dengan menempatkan alif di tempat fathah, وايتاءي ذي القربى dengan huruf yā` di tempat kasrah dan أولـئك  dan semisalnya  dengan huruf wawu menempati tempat dammah, karena dekatnya masa mereka dengan penulisan pertama.
Al-Zamakhshary dalam tafsirnya mengatakan, “Jika anda tanyakan, bagaimana bisa penulisan لأ اوضعوا dalam mushaf  ditambah dengan alif? Saya jawab, sebelum adanya tulisan Arab, fathah ditulis dengan huruf alif. Tulisan Arab sendiri baru dibuat mendekati turunnya Al-Quran. Sesuatu yang tersisa adalah `ilf –dengan hamzah kasrah dan lām disukun- yang merupakan pengarruh dalam percetakan. Maka, mereka menulis bentuk hamzah dengan alif dan fathahnya juga alif yang lain. Contohnya yaitu أولأَاذبَحَنه.[8] Contoh itu memberi isyarat bahwa al-Zamakhshary berpendapat sebagaimana al-Karamāny. Keduanya berpendapat bahwa tulisan mushaf adalah hasil ijtihad.
Pendapat saya, seandainya memang seperti yang mereka berdua katakan, kenapa hanya dipraktekkan pada ayat-ayat tersebut? Padahal dalam Al-Quran terdapat ribuan fathah, kasrah dan dammah.
3.      Kaidah hamzah.
Hamzah sukun aslinya ditulis dengan huruf sesuai harakat sebelumnya, baik terdapat di permulaan kata, ditengah maupun di akhir. Contohnya, اِئذَن لي, اؤتُمن, البَأساء, اقرَأ, جِئناك, dan هيَّئ, kecuali yang dikecualikan. Seperti, فأدَّارَءْتم dan ورِءيًا. Huruf di contoh keduanya dibuang dan hanya ditulis dengan hamzah.
Adapun hamzah yang berharakat, jika berada di awal kata atau bersambung dengan huruf tambahan, maka harus ditulis dengan alif, baik itu dibaca fathah, dammah maupun kasrah. Contoh أَيّوب, إذا, أولُوا, سَأصرِف dan فبِأيّ, kecuali dibeberapa tempat. Misalnya, قل أَئنّكم لَتَكفرون dalam surat Fuṣṣilat, أئنّا لمُخرَجون dalam surat al-Naml, أئنّا لتارِكوا آلهتِنا dan أئنّ لنا  dalam al-Shu’arā`. Kemudian ditulis dengan yā` dan قل أؤنبّئكم  dan هؤُلاء  ditulis dengan wawu.
Ketika hamzah berada di tengah, maka ditulis dengan huruf yang sejenis dengan harakat sebelumya. Misalnya, سَأل, سُئل,  نقرَؤُهkecuali yang dikecualikan. Sedangkan, jika berada di akhir, maka ditulis dengan huruf yang sesuai harakat sebelumnya. Misalnya, سبَأ, شاطِئ dan لُؤلُؤ. Perbedaan akan hukum asli ini ada di beberapa tempat dalam Al-Quran. Misalnya, تـفـتَؤُا, تـفـيَّؤُا, أتوكَّؤُا, ولا تظمَؤُا, ما يَعـبَؤُا, يدرَؤُا, dan يُنَشَّؤُا. Kesemuanya itu ditulis dengan menggunakan huruf wawu dengan ditambah alif sesudahnya. Jika huruf sebelumnya dibaca sukun, maka hurufnya dibuang. Misalnya, ملْءُ الأرضِ, دِفْءٌ, شَيْءٌ dan الخَبْءَ.
4.      Kaidah penggantian
Alif dalam tulisannya, ditulis dengan wawu, karena untuk memuliakan, menakuti dan memberi kepastian. Misalnya, الصلواة, الزكوات, الحيوات, الربوا selain yang diiḍāfahkan, seperti كمِشْكاة, ومَنَاةَ kecuali firman Allah Ta’ālā وما كان صَلَاتُهُم عِندَ البَيْتِ إِلَّا مُكَاءً و تَصْدِيَةً[9], إنّ صَلَاتِي وَنُسُكِي[10], إنْ هِيَ إلّا حَيَاتُنَا الدّنيَا[11] dan ومَا آتَيتُم مِنْ رِبًا لِيَربُوَا في أموَال النّاسِ فَلَا يَربُوا عِندَ اللهِ[12]. Kesemuanya ditulis dengan alif.[13]
Setiap alif yang merupakan gantian dari yā`ditulis dengan ya’. Contoh يتَوَفَّيكُم baik pada isim maupun fiil, bersambung dengan ḍamīr maupun tidak dan dibaca sukun maupun tidak. Misalnya, ياحَسرَتَي, يا أسَفَى على يُوسفَ kecuali yang dikecualikan. Misalnya, تَتْرَا, كِلْتَا, هَدَانِي, dan وَمَنْ عصَانِي. Nūn tawkīd khafīfah dan nūn nya `idhan juga ditulis dengan alif, terkadang ditulis dengan nūn. Seperti,  كأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ. Huruf hā` ta`nīth ditulis berbeda dengan kaidah asal, yaitu ditulis dengan tā` di beberapa tempat dalam Al-Quran. Misalnya, رحمَتَ dalam surat al-Baqarah, Āli ‘Imrān dan lainnya, نعمت dalam surat al-Baqarah, `Āli ‘Imrān al-Mā`idah dan lainnya, سُنّتَ dalam surat al-`Anfāl dan Fāṭir,  وامْرَأَتُ مع زوجها dan لَعْنَتَ dalam firman Allah فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللهِ على الكاذبين dalam surat `Āli ‘Imrān, والخامسةُ أنّ لَعْنَتَ اللهِ عليه surat al-Nūr, معصيت dalam surat Laqad sami’a,   شجَرَتَdalam إنّ شَجَرَتَ الزّقُّوم, طعامُ الأثِيم, قُرَّتُ عَينٍ لي ولَك,  بَقِيّتُdalam firman Allah بَقِيّتُ اللهِ dan  جنتdalam firman جنت نعيم   dan sebagainya.
5.      Kaidah Faṣl dan Waṣl
Ada beberapa lafal dalam tulisan Al-Quran yang terkadang bersambung dan terkadang dipisah. Sebagian lagi dalam tulisannya dengan bentuk tulisan satu. Misalnya, ketersambungan ألَّا dengan dibaca fathah dan tashdid lamnya. Bentuk terpisahnya ada sepuluh tempat. Di antaranya,  أنْ لَا يقُولُواdalam surat al-`A’rāf,  أنْ لَا تَعْبُدُوا dalam surat Hūd dan Yāsīn, وأَنْ لا تَعْلُوا عَلى اللهِ dalam surat al-Dukhān. Ketersambungan ممّا kecuali منْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُم dalam surat al-Nisā` dan al-Rūm dan مِنْ مَا رَزَقْنَاكُم dalam surat al-Munāfiqīn. Juga ketersambungan مِمّن seluruhnya dan عمّا kecuali عنْ مَا نُهُوا عنه. Penggabungan عَمّنْ kecuali firman Allah ويَصرِفُهُ عَنْ مَنْ يشَاءُ dalam surat al-Nūr dan عنْ مَنْ توَلَّى surat al-Najm.  Penggabungan كُلّمَا, kecuali كُلّ ما رُدّوا إلى الفِتْنَةِ أُرْكِسُوا فيها dan مِنْ كُلّ مَا سَألتُمُوه. Penggabungan أمّن, kecuali أم مَن يكونُ عليهم وكِيلًا di surat al-Nisā`,  أمْ مَنْ أسّسَdi surat al-Tawbah,  أمْ مَنْ خلقْنَا disurat al-Ṣāffāt dan أمْ مَنْ يَأتِي آمِنًا. Penggabungan إمّا, dengan hamzah dibaca kasrah dan lam tashdid, kecuali  إنْ مَا نُرِيَنّكَpada surat al-Ra’d. Penggabungan أمّا, dengan hamzah dibaca fathah, seluruhnya dan lain sebagainya yang terkadang ditulis tersambung dan terkadang terpisah. Misalnya, أنّما, ان لَم baik dibaca fathah maupun kasrah, أنْ, لَنْ ,أيْنَ مَا,  كَيْ لَاdan في ما.
6.      Suatu kata yang memiliki dua bacaan namun ditulis dengan salah satunya.
Maksud kami bukanlah qirā`at shād. Di antaranya, ملِكِ يومِ الدِين, و يخدعون, ووَعَدَنا, تُفادُوهم, تُظْهِرُون, ولَوْلا دَفْعُ اللهِ الناسَ, فرهن, عقَدَتْ أيْمَانُكُم, أو لمستم النّسَاء, وحرم على قرية, سُكارَى ومَا هُم بِسُكارى dan seterusnya.  Semuanya ditulis dalam mushaf Uthmāny tanpa alif. Ada yang dibaca dengan alif dan membuang alif, misalnya غَيبَتِ الجُبّ dalam surat Yūsuf,  ثَمَرَتٍ مِنْ أكْمَامِهاsurat Fuṣṣilat dan وهم في الغُرُفَاتِ آمِنُون. Semuanya ditulis dengan tā` terbuka dan dengan tanpa alif. Terkadang dibaca jamak dan tunggal. Misalnya, فكهون. Kata itu ditulis tanpa alif namun dibaca dengan alif dan dibaca tanpa alif juga. Misalnya juga الصّرَاط  bagaimanapun,  بَصْطَةًdalam surat al-`A’rāf,  المُصَيْطِرُون dan  بِمُصَيْطِرٍ. Kata-kata itu ditulis dengan huruf ṣād bukan yang lain. Namun dibaca dengan ṣād dan sīn[14].
Adapun qirā`at yang berbeda-beda namun mutawatir yang mendapatkan tambahan tidak tercakup oleh tulisan. Contoh أوصى dan  وَوَصّىdi surat al-Baqarah. تَجْرِي تَحْتَها الأنهَارُ dan مِنْ تحتِها dalam surat al-Tawbah, وما عمِلَت أيدِيهِم dan  ومَا عَمِلَتْهُ أيديهمdi surat Yāsīn dan firman Allah سَيَقُولُون لِلّه  dan فَسَيَقُولُون اللهُ di surat al-Mu`minūn[15].
Terkadang bacaan itu ditulis dalam beberapa mushaf,  bukan di sebagian yang lain sebagaimana telah kita sebutkan. Cukup bagi kita, contoh-contoh yang telah kita sebutkan tentang kaidah-kaidah ini. Bagi yang menginginkan untuk menyempurnakan, maka sebaiknya merujuk ke al-`Itqān[16] atau kitab-kitab qirā`at.

Rasm Mushaf, Tawqīfy atau Terminologi?
Jumhur ulama berpendapat bahwa rasm al-mushaf al-Uthmāny adalah tawqīfy. Maka, tidak boleh berbeda dengannya. Mereka memberikan bukti sebagai berikut.
1.      Al-Quran al-Karīm, semuanya, ditulis dihadapan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Beliau mendiktekannya kepada para penulis wahyu dan membimbing penulisannya dengan wahyu dari Jibril alayhi al-salām. Dikemukakan, Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam memberi perintah kepada Muawiyah, “Ambil[17] tempat tinta, rancunglah pena, tegakkanlah huruf bā`, pisahlah huruf sīn, jangan jadikan huruf mīm buta satu, baguskanlah kata Allah, panjangkan kata al-Raḥmān, baguskanlah kata al-Raḥīm dan letakkanla bolpoin kamu di telinga kirimu. Sesungguhnya hal itu mengingatkanku padamu.” Ini menunjukkan penetapan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam kepada para sekertaris wahyu terhadap keseluruhan tulisan dan ketetapannya merupakan salah satu sisi sunah yang diketahui.
2.      Kesepakatan para qurrā`(ahli bacaan) akan penetapan huruf yā` dalam واخشَونِيْ (al-Baqarah: 150) dan pembuangan yā` itu di dua tempat, surat al-Mā`idah[18] dan lainnya dari hal yang diperselisihkan antara pertimbangan-pertimbangan yang berbeda dengan pembuangan, penetapan, penambahan dan pengurangan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Jikalau, tulisan merupakan hasil ijtihad, tentu tidak diperselisihkan antara naẓā`ir dan mutashābihāt.
Barangkali seseorang mengatakan, “Barangkali ini merupakan kensekuensi banyaknya penulis wahyu. Tingkatan kecakapaan akan huruf hijaiyah tidak sama. Oleh karena itu, perbedaan muncul.
Jawabannya, seandainya permasalahan sesuai sangkaan seseorang untuk mendebat antara satu dengan lainnya tentang ini, terutama masalah ini berkaitan dengan dasar awal Islam. Maka, sempurnalah motif-motif untuk kebebasan berfikir pada masa ini. Akan tetapi, tidak di beritahukan kepada kita bahwa mereka berdebat dalam permasalahan ini atau mencela tulisannya antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan kemungkinan ini, sangat jauh sekali jika dimisalkan pada firman Allah, فَيَقُولُ هاؤُمُ اقْرَؤُا كِتبِيَهْ, إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلاقٍ حِسابِيَهْ[19] misalnya. Kata كتبيه ditulis dengan tanpa huruf alif sedangkan حسابيه ditulis degan huruf alif, padahal kedua kata tersebut sama?
3.      Ketika Rasulullah sudah di sisi al-Rafīq al-`A’lā dan Al-Quran telah dihimpun dalam lembaran dan mushaf, para sahabat sepakat, terutama al-Khulafā` al-Rashidūn. Tidak ada yang berselisih dalam hal itu, seorang pun. Kesepakatan mereka menjadi hujjah. Rasulullah mendorong untuk mengikuti dua khalifah sesudahnya. Beliau mengatakan, “Ikutilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar.” Diriwayatkan oleh imam Ahmad dan al-Tirmidhy dan Ibnu Mājah. Dalam hadis al-‘Irbāḍ bin Sāriyah, “Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafā` al-rashidūn setelahku. Gigitlah dengan gigi geraham.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Tirmidhy. Ia juga mengatakan hadis hasan sahih. Tulisan ini telah ditetapkan oleh khulafā` al-rāshidūn dan sahabat yang dibelakangnya. Jadi, hal itu menjadi ketetapan bagi umat Islam setelahnya untuk mengikuti mereka, berpegangan dengan tulisan mushaf dan tidak menyimpang darinya. Ibnu Mas’ud raḍiya Allah ‘anhu mengatakan, “Barang siapa di antara kalian menjadi panutan, maka ikutilah sahabat Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Mereka adalah umat yang paling bersih hatinya, paling dalam keilmuannya, paling sedikit kepura-puraannya, paling lurus hidayahnya dan paling baik keadaannya. Allah memilih mereka untuk menemani nabi-Nya Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan menegakkan agama-Nya. Maka, ketahuilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka. Oleh karena itu, jumhur imam berpendapat untuk menetapi tulisan ini.
Pendapat Para Imam Mengenai Kewajiban Tulisan Usmani
Ashhab mengatakan, “Malik ditanyai, apakah mushaf ditulis sesuai huruf hijaiyah yang diciptakan manusia? Ia menjawab, tidak. Melainkan sesuai cara penulisan pertama.” Diriwayatkan oleh al-Dāny dalam al-Muqni’. Ia mengatakan, ulama umat ini tidak ada yang berselisih dengannya. Di tempat lain, ia juga mengatakan, “Malik ditanyai tentang huruf dalam Al-Quran seperti wawu dan alif. Apakah engkau berpendapat bahwa Al-Quran dirubah ketika ditemukan tulisan seperti ini? Beliau menjawab, Tidak. Abu ‘Amr mengatakan, “Yakni, wawu dan alif tambahan dalam tulisan yang tidak diucapakan seperti kata أولوا dan أولات.
Imam Ahmad mengatakan, “Berbeda dengan tulisan mushaf Usmani dalam hal wawu, yā`, alif dan semisalnya adalah haram.”
Dalam hāshiyah (tulisan pinggir) al-Manhaj dalam fiqih Syafiiyah, kata الربوا ditulis dengan huruf wawu dan alif, sebagaimana dalam tulisan Usmani. Tidak ditulis dengan huruf yā` dan alif dalam Al-Quran, karena tulisannya adalah tulisan yang diikuti. Dalam kitab fikih Hanafiyah, al-Muḥīṭ al-Burhāny, ada ketetapan beliau, sebaiknya tidak menulis mushaf dengan selain tulisan Usmani. Imam al-Bayhaqy dalam Shu’b al-`Īmān, mengatakan, “Seseorang yang menulis Al-Quran, sebaiknya menjaga huruf hijaiyah yang digunakan sahabat untuk menulis beberapa mushaf, tidak berbeda dengan mereka dan tidak merubah apa yang telah mereka tulis. Mereka adalah ulama yang paling banyak ilmunya, paling bersih hati dan lisannya, paling berat tanggungjawabnya. Maka, tidak sebaiknya bagi kita berpasangka untuk  memperbaiki mereka. Pendapat para imam lainnya mengenai kewajiban tulisan usmani.
Kita menerima pendapat ini untuk mengetahui, apakah nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam belajar baca-tulis setelah mengajarkannya atau tetap dalam keummiannya? Penjelasan sisi kebenarannya untuk anda ada di sini.
Apakah Nabi Bisa Membaca dan Menulis?
Seluruh ulama sepakat bahwa Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, ketika diutus kepada seluruh manusia tidak bisa membaca dan menulis. Hal itu untuk hujjah bagi manusia dan hilangnya kesamaran akan ketetapan mukjizatnya yang agung, Al-Quran. Karena, seandainya Nabi dapat membaca dan menulis, maka kejanggalan mereka beredar dan kebimbangan mereka menjadi kuat bahwa apa yang dibawa adalah kesimpulan dari bacaan, penelaahan dan melihat buku-buku terdahulu. Allah tabāraka wa ta’ālā memberi isyarat akan hal ini dengan firmannya,
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ, بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ[20]
Setelah hujjah Al-Quran sudah tegak, kalimatnya unggul dan Arab tidak bisa membuat surat terpendek dan tidak kembali pada keraguan dan prasangka, maka kajian dan yang mendapatkan perhatian adalah sebagian ulama mengatakan, Nabi belajar baca-tulis. Sebagian lagi menolaknya. Mereka mengatakan, beliau tetap dalam keummiannya. Pendapat ini dipaparkan oleh imam al-`Alūsy. Dalam kelanjutan penafsiran ayat di atas ia menyampaikan ketetapannya,
Ada perbedaan mengenai Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam setelah kenabian, apakah bisa memabaca dan menulis atau tidak? Sebagian mengatakan, beliau ‘alayhi al-ṣalātu wa al-salām tidak bisa menulis. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawy dalam al-Tahdhīb. Ia mengatakan, pendapat itu adalah pendapat yang paling sahih. Sebagian lainnya mengklaim bahwa nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam mempelajari tulisan setelah tidak mengetahuinya. Ketidaktahunya disebabkan mukjizat akan tanda ini. Ketika Al-Quran diturunkan, Islam sudah terkenal dan keraguan[21] telah menjadi jelas, penulisan ini dikenal pada saat itu. Ibnu Abu Shaybah dan lainnya meriwayatkan, Nabi wafat, ketika sudah bisa menulis dan membaca. Ini juga dinukil al-Sha’by dan dibenarkannya. Ia juga mengomentari, “Saya mendengarkan beberapa kaum yang mengatakannya. Mengenai tanda ini, tidak ada yang meniadakannya.[22] Ibnu Mājah meriwayatkan dari Anas, Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam mengatakan, “Pada malam ketika saya diisrā`kan, saya melihat tulisan di pintu surga “Sedekah dibalas dengan sepuluh semisalnya dan pinjaman itu dibalas dengan delapan belas kali. Kemudian Ibnu Mājah mengatakan, ada beberapa hadis  dalam Ṣaḥīḥ al Bukhāry dan lainnya yang membuktikan penulisan nabi. Sebagaimana yang dikemukakan di perjanjian Hudaybiyah. Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam megambil kitab. Beliau tidak baik dalam tulisan. Kemudian menulis, ini adalah keputusan Muhammad bin Abdullah, hadis[23]. Di antara yang berpendapat seperti itu lagi adalah Abu Dharr Abdullah ibnu Ahmad al-Harawiy,[24] Abu al-Fatḥ al-Naysābury[25] dan Abu al-Walīd al-Bājy[26] dari al-Maghāribah (). Ia meriwayatkannya dari al-Simnāny.[27] Ia mengarang sebuah kitab mengenainya yang sudah didahului oleh Ibnu Maniyyah. Ketika Abu al-Walīd mengutarakan pendapatnya itu, ia dicela, dituduh dengan Zindiq dan dicela di beberapa podium. Kemudian majlisnya dibekukan. Kemudian ia menunjukkan hujjah klaimnya dan menyurati beberapa ulama mulia. Mereka menjawab dengan pendapat yang sesuai dengannya. Pengetahuan akan tulisan setelah keummian nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam tidak meniadakan mukjizat. Bahkan, itu merupakan mukjizat lain, karena mukizat tersebut ada tanpa pembelajaran. Sebagian `ajillah menolak kitab al-Bājy, karena ada hadis sahih, innā `ummatun ummiyatun lā naktubu wa lā naḥsabu. Ia menjawab, “Setiap kata kataba yang terdapat dalam hadis maknanya adalah perintah untuk menulis sebagaimana dikataan, kataba al-sulṭān bi kadhā li fulān (Sultan memberi perintah kepada fulan untuk menulis demikian). pendahuluan firman Allah, min qablihi  daripada, wa lā takhuṭṭuhu, secara jelas menunjukkan bahwa nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam tidak bisa menulis, sama sekali. rata-rata batasannya itu kembali ke kondisi setelahnya itu tidak berlaku. Sebagian ajillah menyangka, kembalinya nabi ke kondisi sebelumnya dan sesudahnya. Mereka menajawab, dari penjelasan itu, dapat dipahami bahwa nabi ‘Alayhi al-Ṣalātu wa al-Salām bisa membaca dan menulis setelah turunnya Al-Quran. Seandainya tidak ada ibarat ini, tentu perkataan tersebut tidak ada faidahnya, anda sendiri tahu, seandainya pengembalian tidak menyempurnakan faidah diterima kecuali jika disampaikan dengan hujjah yang dapat dipahami dan dugaan dari seseorang yang tidak mengatakan disertai hujjahnya. Kemudian, al-`Alūsy dalam menyalahkan penolakan ini, mengatakan, “Jelas, sabda nabi ‘Alayhi al-Ṣalātu wa al-Salām, kita adalah umat umi, yang tidak bisa menulis dan berhitung, bukan merupakan ketetapan keberlanjutan peniadaan penulisan pada Nabi ‘Alayhi al-Ṣalātu wa al-Salām. Barangkali, ungkapan itu menggunakan pertimbangan beliau diutus, Nabi, dan kebanyakan masyarakatnya. Beliau di antara Arab dan ummi, tidak bisa menulis dan berhitung. Maka tidak mengapa ketiadaan kelanggengan sifat ummi pada mayoritas masyarakat setelahnya. Adapun takwil kataba dengan perintah tulisan adalah berbeda dengan makna ekplisitnya. Dalam Sharḥ Ṣaḥīḥ Musliim karya al-Nawāwy ‘alayhi al-rahmah menyebutkan riwayat dari Qadi ‘Iyāḍ, perkataan Nabi dalam riwayat yang telah kita sebutkan, wa lā yuḥsinu yaktubu fa kataba, seperti pernyataan bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam menulis sendiri kemudian meninggalkannya untuk hal lainnya adalah majaz, tidak memberi akibat buruk. Kemudian ia mengatakan, “Bahasan setiap kelompok tentang masalah ini cukup panjang. Setiap kelompok memandang buruk kelompok yang lainnya dalam masalah ini. Fa Allah Ta’ālā `a’lam.[28]
Menurut saya pendapat yang unggul adalah nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam belajar menulis setelah nabi belum pernah mempelajarinya. Sebagai buktinya, sukup dengan hadis al-Bukhāry. teramat jauh sekali seseorang seperti Rasulullah –kecerdikannya, kepintarannya dan kecerdasannya- tidak belajar menulis setelah sekian lama mendikte Al-Quran kepada para juru tulis dan melihat mereka saat mereka menulis. Berdasarkan itu, sangat mungkin, Allah subḥānahu wa Ta’ālā mengajari bacaan dan tulisan nabi-Nya, sebagaimana Dia mengajari yang lainnya. Sesuatu yang tidak ada dengan jalan pemberian tanpa keharusan beajar dan usaha. Jika itu ada, maka tidak meniadakan antara nabi diutus dalam kondisi ummi dan tulisan Al-Quran adalah tawqīfy. Karena apabila beliau belajar tulisan, maka masalah ini menjadi jelas. Jika beliau tidak mempelajarinya, berarti pendiktean dan petunjuknya kepada para penulis mengenai cara penulisannya merupakan pendiktean Jibril dan wahyu darinya.

FAIDAH-FAIDAH AL-RASM AL-UTHMĀNY
Mengikuti rasm al-Uthmāny memiliki beberapa faidah.
1.      Ketersambungan sanad dengan Al-Quran.
Seseorang tidak boleh membaca atau membacakan Al-Quran kepada orang lain kecuali dengan periwayatannya yang sanad yang bersambung. Seseorang yang mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab, namun tidak belajar Al-Quran dari orang lain, maka ia tidak tahu bacaan Al-Quran sesuai cara yang benar. Sebagian lafal Al-Quran ditulis tidak sesuai pengucapannya, sebagaimana yang telah kita lewati. Ayat-ayat pada pembukaan surat ditulis dengan tulisan huruf bukan cara pengucapan. Andai saja tidak seperti itu, maka ucapkanlah –demi Tuhanmu- bagaimana seorang membaca bacaan Kāf hā yā ‘ayn ṣād, Ḥā mīm, ‘Ayn sīn qāf, Ṭā sīn mīm, Alif lām mīm ṣād[29] dan lain sebagainya. Jadi, seseorang yang mengetahui bahasa Arab dan huruf hijaiyah, namun tidak menerima tata cara membaca dan menyampaikan Al-Quran dari orang lain, maka ia membacanya tidak sesuai cara yang benar. Karena pengucapan yang benar itu terkait pada perjumpaan serta mendengarkan dari para ahli bacaan Al-Quran dan penghafal yang sibuk dengannya. Ketersambungan sanad adalah salah satu keistimewaan Al-Quran al-Karīm dibandingkan dengan kitab-kitab Samawi lainnya. Dengan ketersambungan sanad, Al-Quran tetap terjaga sebagaiman janji Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā  dalam firman-Nya, `innā naḥnu nazzalnā al-dhikra wa `innā lahū laḥāfiẓūn. Tidak diragukan, tulisan khusus Al-Quran memiliki pengaruh besar dalam ketersambungan sanad. Karena, apabila seluruh lafal Al-Quran ditulis sesuai ucapannya, tentu banyak orang yang berani membacanya tanpa riwayat dari yang lainnya. Jika begitu, pengetahuan tentang cara penyampaian, seperti mad, takhfiīf, `imālah, iẓhār, `idghām, `ikhfā` dan lainnya dari beberapa cara oenyampaiannya akan hilang.
2.      Petunjuk asal harakat
Seperti penulisan kasrah dengan yā` dan ḍammah dengan wawu. Contohnya, وإبتاءي ذي القربى dan سأوريكم. Atau petunjuk asal huruf, seperti penulisan al-ṣalāt, al-zakāt, al-ḥayāt dan al-ribā menggunakan huruf wawu sebagai ganti alif.
3.      Petunjuk sebagian bahasa yang fasih
Seperti penulisan hā` ta`nīth dengan tā` dalam bahasa Ṭayyi` dan penghapusan huruf akhir fi’il muḍāri’ mu’tal selain jazm, seperti kata يوم يأت dalam bahasa Hudhayl.
4.      Indikasi akan kehalusan dan kedalaman makna
Seperti penambahan huruf yā` pada firman Allah والسماء بنيناها بأييد, dengan dua `. Penambahan tersebut menunjukkan kekuasaan pencipta jalla wa ‘alā  yang membangun langit dengan kekuasaannya dan tidak ada kekuatan yang menyerupai kekuasaan-Nya. Sesuai kaidah yang masyhur, tambahan susunan menunjukkan tambahan makna.[30] Contoh lain adalah penambahan alif pada جايء بالنبيين dalam surat al-Zumar dan وجايء يومئذ بجهنم dalam surat al-Fajr untuk menakuti, mengagungkan dan ancaman.
Dari sisi ini, tulisan kata-kata kerja ini tidak disertai huruf wawu, ويدع الإنسان بالشر (al-Isrā`: 11), ويمح الله الباطل (al-Shūrā: 24),  يوم يدع الداعي(al-Qamar:6), dan سندع الزبانية (al-‘Alaq: 6). Kata-kata tersebut dalam mushaf Uthmāny ditulis tanpa huruf wawu. Penulisan tersebut memiliki rahasia yang dalam bagi orang yang banyak berfikir. Rahasia di balik pembuangan wawu sebagaimana ungkapan  al-Marrākushy , adalah peringatan akan kecepatan terjadinya suatu pekerjaan, kemudahan bagi pelaku dan keberatan menerima pengaruh yang membekas dalam realita. Pembuangan pada contoh pertama mengisyaratkan, manusia tergesa-gesa untuk ajakan kejelekan, sebagaimana ia tergesa-gesa akan kebaikan. Akan tetapi, pengukuhan keburukan pada manusia, dari dirinya sendiri, lebih mudah daripada kebaikan, terutama saat marah. Adapun rahasia pada contoh kedua adalah isyarat kecepatan hilang dan lenyapnya suatu kebatilan. Sedangkan rahasia pada contoh ketiga adalah isyarat kecepatan do’a dan kecepatan jawaban peminta. Sedangkan rahasia pembuanagan wawu pada contoh keempat adalah isyarat kecepatan suatu pekerjaan dan jawaban Zabāniyah.[31] Saya katakan, “Contoh keempat ini juga terdapat kesesuaian antara  ayat yang berdampingan dalam lafalnya. Karena, sebelumnya adalah falyad’u nādiyah. Juga, mengisyaratkan jawaban al-zabāniyah lebih cepat daripada jawaban nādiyah (pemanggil).
Syaykh al-Marrākushy memberi alasan, penambahan wawu pada firman Allah سأوريكم دار الفاسقين (al-`A’rāf: 145) dan سأوريكم اياتي, yaitu petunjuk kejelasan makna kata dalam eksistensinya, dalam tingkatan kemencolokan yang paling besar. Ia mengatakan, “Indikasi tersebut ditunjukkan oleh dua ayat yang menunjukkan ancaman. Saya katakan, “Pada contoh ini ada kesesuaian antara lafal dan makna.”
Saya katakan, “Berdasarkan ijtihad ini dalam memberi alasan penulisan, mungkin kita mengatakan[32] tentang firman Allah ta’ālā ولأ اوضعوا خلالكم, “Rahasianya adalah isyarat bahwa orang-orang munafik yang membuat-buat alasan, seandainya berangkat bersama kalian, pasti akan memperbanyak bersegera (`īḍā’) dalam fitnah dan kerusakan -`īḍā’ adalah tergesa-gesa). Mereka melewati batas dalam hal ini. Maka ada kesesuaian antara tulisan dan makna.
Adapun tambahan huruf yā` dalam firman Allah  بأييكم المفتون(al-Qalam:6) yakni gila, mengisyaratkan betapa gilanya orang-orang musyrik dan melampaui batas. Merekalah yang gila bukan kamu. Karena perumpamaan kamu, wahai Muhammad, dalam keunggulan akal, keluhuran akhlak dan tingginya keutaman kamu tidak betul untuk dituduh gila. Jadi, seseorang yang menuduh kamu gila, berarti kegilaan itu kembali kepadanya. Dengan demikian, ada kesesuaian antara tulisan dan makna. Jelasnya, pembahasannya adalah penolakan terhadap keduanya. Sedangkan secara hakiki, yang dikehendaki adalah penjelasan yang saya sebutkan. Cara seperti itu merupakan salah satu jenis hujjah dalam Al-Quran. Itu menunjukkan keseimbangan dengan berbagai sisi. Misal lainnya adalah firman Allah, وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ disertai rasa yakin bahwa Nabi dan pengikutnya mendapatkan hidayah. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.
Kita membicarakan tambahan huruf alif  yang berada di akhir firman Allah تالله تـفْـتئُوا تذْكُرُ يوسفَ. Penambahan tersebut menunjukkan pada banyak hal, Nabi Ya’qub tidak berhenti mengingat nabi Yusuf alayhi al-salām. Pada firman Allah,
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلى ما خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّؤُا ظِلالُهُ عَنِ الْيَمِينِ وَالشَّمائِلِ سُجـــَّداً لِلَّهِ وَهُمْ داخِرونَ[33]
Penambahan itu menunjukkan hal banyak yang mengembalikan keteduhan dan keumumannya mencakup setiap orang yang berdosa.
Firman Allah, وَأَنَّك لا تَظْمَئُوا فيها ولا تَضْحى[34] menunjukkan selamanya tidak ada rasa haus dan keberlangsungan kesegaran bagi penduduk surga.
Firman Allah Ta’ālā, قُلْ مَا يَعْبَؤُا بِكُم رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُم[35] yakni ibadah kalian atau permohonan sungguh-sungguh kalian dengan do’a yang sangat ketika tidak ada perhatian Allah kepada orang yang tidak menyembahnya dan tidak meminta dengan sungguh kepada Allah.
Begitu juga penambahan alif pada kata الريوا menunjukkan kesesuaian tulisan dan makana. Riba adalah tambahan dengan tanpa perbandingan, alif ini adalah tambahan dengan tanpa perbandingan dalam pelafalan.
Begitu juga kita katakan, tambahan huruf alif setelah kata kerja muḍāri’ mu’tal akhir (akhirnya berupa huruf ‘illat: alif, wawu dan yā`) dalam firman Allah,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
mengandung isyarat akan banyaknya dan keberlangsungan ampunan Allah. Seandainya tidak demikian, ketika Allah menyiksa orang yang berbuat maksiat dan berdosa tentu Allah tidak menyisakan hewan di muka bumi.
Jika ditanyakan, setelah ayat ini, selang beberapa ayat, ada firman Allah, أَو يُوبِقْهُنَّ بِمَا كَسَبُوا ويَعْفُ عَن كَثِيرٍ. Maka saya jawab, berdasarkan bacaan ويعف yang aṭaf pada bacaan jazm sebelumnya yang dibaca jazm[36] maka pembuangan huruf wawu adalah jelas. Namun, jika dibaca rafa’ sebagai permulaan, ditulis tanpa alif, karena ketika situasinya adalah perusakan yang disebabkan kencangnya terpaan badai pada kapal-kapal itu sedikit maka konsekuensi ampunan pada itu termasuk tidak banyak juga. Oleh karena itu, tidak diberi alif setelah wawu didasarkan mendatangkannya tanpa alif adalah pokok. Jadi, tidak dipertanyakan tentangnya.
Begitu juga penambahan alif pada firman Allah, وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذابَ yakni, menolak, karena isyarat akan kekuatan dan keberlangsungan penolakan batasan darinya selama lima bukti itu membuktikannya.
Begitu juga, alif ditambahkan setelah hamzah pada firman Allah Ta’ālā, إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ[37] dan لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ, karena mengisyaratkan, pada contoh pertama, ia kembali dengan dua dosa yang disebabkan satu perbuatan. Pada contoh kedua, mengisyaratkan banyaknya kunci Qārūn yang berat dan memberatkan. Seolah-olah seperti dua beban. Maka tulisannya mengisyaratkan makna ini.
Adapun pembuangan alif pada kata سعو dalam firman Allah Ta’ālā, وَالَّذِينَ سَعَوْا فِي آيَاتِنَا مُعَاجِزِينَ [38] mengisyaratkan, bahwa ia berbuat kebatilan. Tidak benar ia tetap dalam eksistensiya. Mereka tidak akan menghasilkan darinya berdasarkan kemampuannya.
Misalnya adalah وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيمٍ,[39] فَقَدْ جاؤُ ظُلْماً وَزُوراً,[40] وَجاؤُ أَباهُمْ عِشاءً يَبْكُونَ,[41] وَجاؤُ عَلى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ. Pembuangan itu untuk menjelaskan kedatangan mereka tidak sesuai cara yang benar, dipenuhi kepura-puraan, kepalsuan dan tidak sesuai kenyataan. Oleh karena itu, penulisan kata berdasarkan ghayr al-ma’hūd al-ma’rūf (tidak maklum yang dikenal).
Begitu juga, pembuangan alif dari firman Allah, وعتو عتوّا كبيرا, karena mengisyaratkan hal itu adalah batil, tidak ada pengaruh baginya yang disebut dalam eksistensinya.
Mereka mengatakan, alif dibuang dari sebagian besar lafal ajam dalam bentuk asli, seperti إبراهيم, إسماعيل, إسحاق, هارون, dan lainnya karena banyak penggunaannya. Kata-kata tersebut, dalam mushaf, ditulis tanpa alif, yang tidak dibuang hanya pada داود karena wawunya telah dibuang. Maka tidak disapu bersih dengan pembuangan alif yang lain.
Adapun penambahan Yā` dalam firman Allah Ta’ālā, وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى,[42] memberi isyarat, seyogyanya pemberian diperluas dan disambung tanpa terputus. Sehingga, ada kesesuaian antara lafal dan makna. Pada firman Allah Ta’ālā, وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِين, mengisyaratkan banyaknya berita nabi dalam Al-Quran dan menahan derita yang sangat, sabarnya penyabar sehingga pertolongan Allah datang.
Pada firman Allah وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى, memberi isyarat seyogyanya mayoritas waktu malam disibukkan dengan salat malam dan tasbih. Maka, bentuk tulisan kata menunjukkan makna ini. Sedangkan pada firman Allah, أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ, memberi isyarat perkataan seseorang yang dibelakangnya belakang. Yaitu, ruang yang lebar serta tak terbatas. Begitu seterusnya, berfikir tulisan Al-Quran dengan logika luas dan hati yang menerangi tidak meniadakan seseorang untuk menemukan banyak rahasia Al-Quran. Bagus, Al-Quran sebesar barakahnya dan sebanyak rahasia-rahasia makna, lafal dan tulisannya.
5.      Member faidah sebagian makna yang berbeda dengan cara yang sudah jelas. Seperti terputusnya kata أم dalam firman Allah Ta’ālā, أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلًا dan tersambungnya pada firman Allah Ta’ālā, أَمَّنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ. Diputusnya tulisan pada contoh pertama menunjukkan أم terputus bermakna tetapi (bal). sedangkan tersambungnya أم pada contoh kedua menunjukkan أم tersebut tidak putus, melainkan tersambung.
6.      Kemungkinan tulisan untuk beberapa bacaan yang mutawatir dan sahih. Misalnya, firman Allah Ta’ālā, وتمّت كلمت ربّك صدقا وعدلا, al-`ayah. Kata itu dibaca dengan tunggal dan jamak, yakni تمت كلمت ربك dan كلمات ربك.
Pendapat Imam al-Bāqilāny dan Ibnu Khaldūn bahwa Tulisan adalah hasil Ijtihad
Pendapat kedua, tulisan mushaf adalah istilah, bukan tawqīfy. Di antara yang berpendapat adalah Ibnu Khaldūn dalam Muqaddimah-nya[43] dan al-Qāḍy Abu Bakar al-Bāqilāny dalam al-`Intiṣār. Mereka mengatakan, tulisan mushaf adalah istilah sahabat. Karena mereka adalah pembicaran masa dengan tulisan. Inilah ungkapan al-Qāḍy Abu Bakar, tulisan tidak ditetapkan Allah kepada umat, sama sekali. Ketika Allah tidak menegur tulisan Al-Quran dan mushaf dengan tulisan tertentu tanpa selainya, maka Ia mewajibkannya pada umat dan meninggalkan selainnya. Karena kewajibannya hanya diketahui lewat pendengaran dan tawqīf. Dalam beberapa nas dan pamahaman Al-Quran, tidak ditemukan bahwa bentuk tulisan Al-Quran dan kaidahnya hanya berdasarkan cara tertentu dan batasan yang tidak boleh dilewati. Dalam nas sunah juga tidak ada yang mewajibkan hal itu dan mengindikasikannya. Ijma’ umat juga tidak ada yang mewajibkannya dan qiyas syar’i tidak mengindikasikannya. Bahkan, sunah mengindikasikan kebolehan tulisan Al-Quran dengan bentuk apapun yang mudah. Karena Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam memberi perintah penulisannya dan tidak menjelaskan bentuk tertentu kepada sahabat dan tidak melarang seorang pun tentang tulisannya. Oleh karena itu, tulisan-tulisan mushaf berbeda. Di antara sahabat, ada yang menulis suatu kata sesuai makhraj lafal, sebagian lagi member tambahan dan pengurangan. Karena pengetahuan mereka, tulisan itu adalah istilah dan manusia tidak samar akan hal itu. Oleh karena ini, dengan ketentuanya, boleh menulis dengan huruf Kūfī dan tulisan masa awal, menjadikan lām dengan bentuk kāf, membengkokkan alif dan menulis berdasarkan selain bentuk-bentuk ini. Boleh juga menulis mushaf dengan tulisan dan abjad klasik, tulisan dan abjad kontemporer dan antara keduanya.
Ketika tulisan mushaf dan mayoritas hurufnya berbeda-beda dan bermacam-maam bentuknya dan manusia membolehkan akan itu dan memperbolehkan setiap orang menulis sesuai kebiasaannya, yang lebih mudah, lebih terkenal dan lebih utama tanpa berdosa dan saling pengingkaran, maka dipahami bahwa tidak diterapkan batasan tertentu bagi manusia, sebagaimana dalam bacaan dan adhān.
Sebab, tulisan hanyalah tanda dan ilustrasi yang berlaku sebagai petunjuk, konsensi dan rumus. Setiap tulisan menunjukkan kata yang memahamkan bentuk bacaannya yang kesahihannya dan kebenaran penggunaan penulis wajib berdasarkan bentuk apapun.
Secara global, setiap orang yang mengklaim, tulisan khusus wajib bagi manusia, wajib baginya untuk membuktikan argumen klaimnya, bagaimana? Pendapat ini didiskusikan dengan berikut ini.
1.      Bukti yang disebutkan jumhur ulama untuk menguatkan pernyataan tawqīf. Telah anda lewati riwayat Kathb.
2.      Pengakuan “ketentuan tersebut tidak ada dalam nas sunah” ditolak dengan perintah nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam kepada Mu’awiyah, ambil tempat tinta dan rancunglah pena, al-ḥadīth. Dari yang telah kita sebutkan, nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam menetapkan para penulis sesuai apa yang ditulis oleh mereka. Penetapan (taqrīr) merupakan salah satu macam sunah.
3.      Pernyataan yang disebutkan, oleh karena itu, tulisan mushaf berbeda-beda, seterusnya, tidak diterima untuk membuktikan ijma’ tulisan Usmany. Adanya orang yang berbeda dan persetujuan sahabat, tabiin dan generasi sesudahnya atas apa yang telah ada dalam mushaf tanpa mengingkarinya diperhitungkan.
4.      Adapun pendapat yang disebutkan Ibnu Khaldūn, Arab masih tenggelam dalam kebaduwian, kita jawab, setelah Islam, mereka melangkah dalam peradaban ilmiah dan tulisan dengan langkah yang diperoleh. Karena penjelasan kita, Islam adalah agama keilmuan dan pengetahuan. Islam mendorong untuk menghilangkan keummian sejak pertama kali. Adapun persetujuan generasi sesudah sahabat dalam tulisan mushaf adalah tabaruukan dengan mereka. Tabarrukan tidak bisa menjadi pegangan di masa ini. Hanya saja, kebiasaan mereka yang sesuai dengan kebenaran mereka terima, sedangkan yang berbeda dengan kebenaran mereka buang. Adapun pernyataan, sahabat tidak berada dalam tingkatan tulisan yang sempurna di tolak. Karena, nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam memilih para penulis Al-Quran yang cakap dalam tulisan. Di antaranya adalah seseorang yang mengetahui tulisan sejak masa Jahiliyah, kemudian ketika Islam datang, kecakapan dan pengetahuannya bertambah. Telah kita lewati contoh di antara sesuatu yang mereka biasakan dalam tulisan menunjukkan bukti kuat bahwa ini adalah urusan yang dimaksud mereka. Mereka berada pada tingkat kecakapan akan huruf Hijaiyah dan tulisan.
Pendapat pemilik kitab al-Dhahab al-`Ibrīz
Barangkali, salah satu yang dianggap baik untuk disebutkan dalam hal ini untuk keelokan dan cukup guna penolakan terhadap orang yang berpendapat rasm adalah ijtihad adalah ungkapan Ibnu al-Mubārak dari gurunya, al-‘Ārif bi Allah Shaykh Abdul Aziz al-Dibāgh. Ketika, dalam kitabnya al-Dhahab al-`Ibrīz, menyatakan:
Tulisan Al-Quran merupakan salah satu rahasia Allah yang tampak dan kesempurnaan keluhuran. Ibnu al-Mubārak berkata, saya bertanya kepadanya, apakah tulisan wawu dalam  سأوريكم, أولئك, أولاء, dan أولات dan seperti yā` pada contoh هدايهم,  ملإ يهمdan بأيـيكم, semuanya berasal dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam atau dari sahabat? Beliau menjawab, semua itu berasal dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Beliau yang memberi perintah para sekretaris sahabat untuk menulisnya sesuai bentuk ini. Jadi, mereka tidak mengurangi dan tidak pula menambahi apa yang didengar dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam.
Saya bertanya kepadanya, ada sekelompok ulama yang meringankan urusan tulisan seraya mengatakan, itu hanyalah terminologi sahabat. Mereka berjalan sesuai dasar tulisan Quraish di masa Jahiliyah. Tulisan itu berasal dari sahabat. Karena, Quraish belajar tulisan dari penduduk Ḥirah. Mereka mengucapkan kata al-ribā dengan wawu. Sehingga, sahabat menulis sesuai pengucapannya yang diucapkan dengan alif. Sedangkan penulisannya dengan wawu sesuai pengucapan yang lainnya dan mengikuti mereka. Sehingga al-Qāḍī Abu Bakr al-Bāqilāny mengatakan, setiap orang yang mengklaim, tulisan khusus kewajiban untuk manusia, maka ia harus membuktikan argument klaimnya. Dalam Al-Quran, Sunah dan Ijma’ tidak ada indikasi yang menunjukkan akan itu.
Beliau menjawab, tidak ada sahabat dan selainnya dalam tulisan Al-Quran dan persis satupun kecuali hanyalah pengetahuan dari nabi. Beliau yang memberi perintah mereka untuk menulisnya sesuai bentuk yang telah dikenal, dengan tambahan alif dan menghilangkannya karena beberapa rahasia yang mana akal tidak mendapatkan petunjuk akan hal itu. Tulisan itu merupakan salah satu rahasia yang dikhususkan Allah untuk kitab-Nya yang agung, bukan seluruh kitab samawi. Sebagaimana susunan Al-Quran adalah mukjizat, tulisannya juga mukjizat. Bagaimana akal mendapatkan petunjuk rahasia tambahan alif pada مائة bukan فئة? Rahasia tambahan ya` dalam باييد dan بأييكم? Bagaimana bisa sampai pada penambahan alif dalam سعوا surat al-Ḥaj dan menghilangkannya pada سعو dalam surat Saba`? rahasia penambahannya dalam عتوا sekiranya ada, dan menghilangkanya pada عـتو dalam al-Furqān, rahasia penambahan alif آمنوا dan menghilangkannya dari باءو, فاءو dalam al-Baqarah, جاءو dalam surat Yūsuf dan al-Naml, تبوءو dalam surat al-Ḥashr dan rahasia penambahannya dalam أو يَعْفُوَا الّذِي dan penghilangannya dari انْ يَعفُو عنْهُم dalam surat al-Nisā`? atau bagaimana akal bisa sampai pada pembuangan sebagian beberapa huruf dari kata-kata yang serupa yang tidak ada disebagian lainnya. Seperti pembungan alif dari قرء نا dalam surat Yūsuf dan al-Zukhruf dan penetapannya di surat lainnya? Penetapan alif setelah wawu سموات dalam Fuṣṣilat dan membuangnya di surat lainnya? Penetapan alif dalam الميعاد secara keseluruhan dan membuangnya yang terdapat dalam surat al-`Anfāl? Penetapan alif سراجا dimanapun berada dan pembuangannya dalam surat al-Furqān? Bagaimana kita sampai mengenai terbukanya sebagian tā` dan tertutupnya di sebagian yang lain? Semua itu menunjukkan beberapa rahasia Tuhan dan tujuan kenabian. Rahasia itu tidak diperlihatkan kepada manusia karena semua itu adalah rahasia-rahasia batin yang tidak dapat dijangkau kecuali dengan futuh Tuhan. Rahasia-rahasia itu terdapat dalam lafal dan huruf muqaṭa’ah dalam beberapa permulaan surat. Semua itu memilki rahasia yang agung dan makna yang banyak. Mayoritas manusia tidak mendapatkan petunjuk rahasia-rahasia itu. Mereka tidak menemukan makna yang diisyaratkan lafal-lafal tersebut. Jadi, begitu juga urusan tulisan yang berada dalam Al-Quran per huruf.
Adapun pernyataan seseorang, sahabat mengistilahkan sesuai masalah tulisan yang disebutkan. Jadi, jelas perkataannya mengandung kebatilan. Karena, Al-Quran ditulis pada masa nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan dihadapanya. Ketika begitu, maka dasar istilah sahabat tidak lepas. Adakalanya dasar itu adalah bentuk itu sendiri atau lainnya. Jika dasar itu adalah bentuk itu sendiri maka istilah itu batal. Karena lebih dahulunya nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam meniadakan pernyataan itu dan berkonsekuensi pengikutan. Jika bukan bentuk itu sendiri, bagaimana nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam menulis berdasarkan satu bentuk seperti bentuk tulisan qiyasi, misalnya dan sahabat saling berbeda dan menulis sesuai bentuk yang lain? Keduanya tidak sah karena dua hal. Pertama, penisbatan sahabat pada perbedaan dan itu muhal. Kedua, seluruh umat termasuk sahabat dan lainnya sepakat, tidak boleh menambahi dan mengurangi satu huruf Al-Quran. Isi yang termuat di antara dua sampul adalah kalam Allah ‘Azza wa Jalla. Jika nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam menetapkan alif pada الرحمن dan العالمين, misalnya dan tidak member tambahan alif pada  مائةdan ولاأوضعوا, tidak menambahi yā` pada بأييد dan semisalnya  sedangkan sahabat melakukan sebalikanya dan berbeda dengan nabi, maka mereka ditetapkan –mereka terlindungi dari itu- merubah isi Al-Quran dengan penambahan dan pengurangan. Mereka jatuh pada ketetapan yang mereka dan lainnya sepakati berdasarkan perbuatan yang tidak boleh dilakukan seorang pun. Jalan kebimbangan terhadap semua isi di antara dua sampul terbuka. Karena, bilamana kita membolehkan adanya huruf yang dikurangi atau ditambahkan dalam Al-Quran berdasarkan apa yang ada dalam pengetahuan nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan yang ada di sekitarnya dan tambahan atau pengurangan itu bukan wahyu, bukan pula dari Allah dan kita tidak mengatahuinya dengan sendirinya, tentu kita meragukan semuanya. Jika kita membolehkan sahabat untuk menambahi satu huruf dalam tulisannya yang bukan wahyu, wajib bagi kita untuk memperbolehkan sahabat yang lain untuk mengurangi satu huruf dari wahyu. Karena tidak ada perbedaan di antara keduanya. Jika begitu, pegangan Islam luluh, semuanya. Kemudian, setelah pernyataan itu Ibnu al-Mubārak mengatakan, saya bertanya kepadanya, jika tulisan itu adalah tawqīfy dengan wahyu kepada nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, seperti lafal –lafal Al-Quran, kenapa tidak diriwayatkan secara mutawatir sehingga keraguan akannya hilang dan hati menjadi tenang seperti lafal-lafal Al-Quran? Karena tidak ada satu pun huruf kecuali diriwayatkan secara mutawatir, tidak ada perbedaan dan kekacauan. Adapun bentuk tulisannya, hanya diriwayatkan secara `Āḥād sebagaimana diketahui dari buku-buku yang bertemakan itu. Riwayat yang dinukil secara `Āḥād  terjadi kekacauan antar riwayat dalam kebanyakan itu. Saya bertanya, bagaimana umat Islam mengabaikan bagian wahyu? Shaykh Abdul Aziz al-Dibāgh menjawab, umat tidak mengabaikan bagian wahyu dan Al-Quran, segala puji bagi Allah terjaga lafal dan tulisannya. Para ahli kebajikan, persaksian dan saksi mata menjaga lafal dan bentuk tulisanya. Mereka tidak mengabaikannya sedikit pun. Mereka mengetahuinya dengan bukti dan saksi mata yang di atas mutawatir. Selain mereka, ada yang hafal lafal-lafalnya yang sampai kepada mereka secara mutawatir. Perbedaan mereka di sebagian huruf dalam bentuk tulisan tidak menodai dan memvonis umat menyia-nyiakannya, sebagaimana tidak berbahaya ketidaktahuan orang awam akan Al-Quran dan ketiadaan hafalan mereka akan lafal-lafalnya.
Pendapat ketiga
Penulisan mushaf sekarang sesuai istilah-istilah yang sudah dikenal dan tersebar dibolehkan untuk masyarakat umum. Supaya dapat menjauhkan dari kekaburan dan pembauran dalam Al-Quran. Akan tetapi, pada saat itu wajib menjaganya sesuai tulisan Usmani, seperti peninggalan-peninggalan Islam yang indah yang diwariskan dari ulama salaf salih. Sehingga tidak diterlantarkan karena memperhatikan orang-orang yang tidak tahu. Bahkan, wajib menyisakan di tangan-tangan ulama bijak yang tidak pernah hilang dari bumi. Ini pendapat imam Ibnu Abd al-Salām dan pengikutnya, pemilik al-Burhān.
Imam Nawawi, pemilik al-Tibyān, mengatakan, penulisannya –mushaf- sesuai abjad yang diciptakan manusia. Penduduk timur melaksanakan berdasarkan tulisan itu karena abjad itu menjauhkan dari kekaburan. Penduduk barat masih menjaganya atas dasar perkataan imam Malik –ia ditanyai, apakah mushaf ditulis sesuai abjad yang diciptakan manusia? Ia menjawab, tidak, kecuali sesuai penulisan pertama. Al-Zarkashy, dalam al-Burhān, mengatakan, saya katakan, ini terjadi pada permulaan pertama. Keilmuan ini hidup subur. Sedangkan sekarang, dikhawatirkan adanya ketidakjelasan. Oleh karena itu, shaykh ‘Izz al-Dīan ibnu Abd al-Salām mengatakan, penulisan mushaf sekarang tidak boleh berdasarkan penulisan pertama dengan istilah para imam. Supaya tidak menimbulkan perubahan dari ketidaktahuan. Akan tetapi, tidak seyogyanya menjalankan ini secara mutlak. Supaya tidak menyampaikan pada kajian ilmu. Keputusan yang telah ditetapkan oleh pendahulu tidak ditinggalkan karena perhatian terhadap ketidaktahuan orang bodoh. Bumi tidak akan kesepian orang yang menegakkan argument karena Allah[44].
Ini adalah pendapat netral antara dua aliaran salaf. Membangun berdasarkan perhatian kehati-hatian teradap Al-Quran dan mensucikan bidangnya dari perubahan dan penggantian dengan menetapkan sesuai tulisan Usmani yang merupakan asal dan berdasarkan menjaga kemudahan dan meringankan bagi masyarakat umum dan pemuda, dengan tulisan yang sesuai standar mudah dan memudahkan. Barangkali pendapat ini lebih utama untuk diterima.

PENDAPAT BARU YANG LAIK UNTUK DIKAJI DAN DIPERTIMBANGKAN
Di samping saya puas dengan keharusan tawqīf mushaf Uthmāny, ada juga keharusan untuk melanggengkannya pada penulisan dan pencetakan mushaf-mushaf. Akan tetapi, saya memiliki topik diskusi bagi pembaca.
Adakah kebaikan dalam melanggengakan penerapan tulisan ini dalam beberapa mushaf, juz, dan buku yang disusun untuk pelajar di beberapa sekolah, pondok dan universitas yang tidak berbasis agama, lembaran, majalah dan sebagainya, menimbang kesulitan yang terkandung bagi para pembaca, terutama bagi pelajar, serta melihat tidak ada kemudahan bagi mereka dalam membaca Al-Quran?
Atau, apakah baik mewajibkan tulisan Usmani dalam beberapa mushaf utuh yang memuat seluruh Al-Quran yang menjadi argument dan rujukan ketika ada perkhilafan, kebijakan dan penulisan Al-Quran di selain mushaf, seperti beberapa buku ilmiah, juz Al-Quran, majalah, lembaran dan sebagainya, berdasarkan tulisan yang dikenal pada masa sekarang dan sebelumnya dan tulisan yang dijumpai pelajar dan murid di sekolah-sekolah dan pondok-pondok mereka?
Menurut saya, pendapat yang unggul dan mengandung kebaikan serta kemaslahatan adalah pendapat kedua. Dengan demikian, pembacaan dan penghafalan Al-Quran menjadi mudah bagi pembacanya yang tidak belajar membaca di hadapan guru atau pengajar, bacaan maupun hafalan. Kita dapat menarik pelajar sekolah terhadap Al-Quran yang menjadi sumber keimanan, hidayah, kebenaran dan kebaikan. Pada waktu itu juga, kita dapat menjaga tulisan Usmani dalam jutaan mushaf yang berada di bumi Islam dan Arab.
Mungkin, untuk menambah sikap hati-hati penulisan Al-Quran dalam beberapa buku pengetahuan, agama, juz, majalah dan sebagainya, kita dapat memberi peringatan di catatan pinggir yang berupa penjelasan kata yang digunakan dalam penulisan yang berdasarkan kaidah imla`. Kata ini, dalam mushaf, ditulis berdasarkan tulisan demikian. Sehingga seorang siswa dan pelajar mendapatkan penjelasan akan hal itu serta tidak gelisah dan bimbang. Dengan demikian, kita mengumpulkan dua kebaikan dan mengimplementasikan dua kemaslahatan.
Pendapat ini lebih menguatkan mushaf Usmani serta menjaga kebutuhan dan kemaslahatan umat Islam. Pendapat ini lebih khusus daripada pendapat imam al-‘Izz bin Abdussalam. Karena, ia memperbolehkan tulisan selain Usmani di mushaf dan selainnya. Sedangkan saya hanya memperbolehkannya di selain mushaf dan saya menjaga kesucian dan keagungan mushaf. Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami kepada (surga) ini. Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk, seandainya Allah tidak memberi kami petunjuk.
TIDAK DIPERBOLEHKAN PENULISAN AL-QURAN DENGAN SELAIN HURUF ARAB
Fenomena yang Disebutkan di Sekitar Penulisan dan Tulisan Al-Quran
Di antara kegigihan para cendikiawan,[45] misionaris dan orientalis adalah mereka mencari sanggahan Al-Quran al-Karīm, penulisan dan tulisannya yang telah disepakati dalam mushaf Uthmani. Telah anda lewati, beberapa fenomena dan kebohongan mengenai penghimpunan Al-Quran yang dikemukakan oleh mereka. Begitu juga, yang mereka lakukan terhadap penulisan dan tulisan Al-Quran. Riwayat yang digunakan untuk sandaran mereka adakalanya riwayat batal yang dinisbatkan kepada ulama salaf salih, berupa kebohongan dan kepalsuan. Ulama telah memperingatkannya sejak dahulu. Adakalanya mereka bersandar pada sanggahan[46] yang dikemukakan oleh para pengarang di bidang tafsir dan ulumul Al-Quran yang sekaligus ditanggapi mereka dengan jawaban yang menentramkan dan positif. Para cendekiawan tersebut bersembunyi dibalik nama “orientalis”. Mereka mengetahui beberapa riwayat dan keberatan tersebut. Sehingga mereka dekat dengan riwayat itu dengan senang dan mengancam sesuka mereka serta menduga mereka sudah sampai pada tujuan mereka, yaitu keraguan umat Islam mengenai sesuatu yang paling suci, Al-Quran al-Karīm.
Allah mendatangkan beberapa ulama Islam untuk fenomena ini dari kepalsuan dan menjelaskan kebatilannya. Setelah kami sebutkan fenomena ini dan penolakannya, anda akan mengetahui itu hanyalah fatamorgana, bukan nyata. Mereka mencerca dan mengembangkannya bukan pada tempatnya.
Tuduhan pertama, mereka menyebutkan riwayat dari Usman raḍiya Allah ‘anhu. Ketika mushaf diperlihatkan kepadanya, Usman mengatakan, “Kalian telah bekerja dengan baik. Sungguh dalam Al-Quran ada kekeliruan (laḥn) yang akan diluruskan orang Arab dengan bahasanya.” Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia mengatakan, “Ketika mushaf selesai ditulis, kemudian dipertunjukkan kepada Usman. Ia menemukan kekeliruan huruf. Kemudian ia berkata, “Janganlah kalian merubahnya, karena Arab akan mengubahnya atau menserapnya dengan bahasanya. Seandainya penulisnya cerdik dan pendiktenya dari Hudhayl, tentu tidak ditemukan huruf ini dalam Al-Quran.”
Mereka bertanya, “Melihat realita di atas, bagaimana mushaf Uthmāny adalah suatu konsensus sahabat dan kepercayaan umat Islam? Bahkan, bagaimana tulisan mushaf adalah tawqīfy? Padahal, Usman mengatakan ada kekeliruan di dalamnya.
Jawab:
1.      Kedua riwayat tersebut adalah lemah isnadnya. Dalam isinya terdapat kekacauan (muḍṭarib) dan keterputusan (munqaṭi’) yang menghilangkan ke-thīqah-an  keduanya. Sebagaimana perkataan imam al-Sakhāwy dalam riwayat kedua yang dinukil imam al-`Alūsy dalam tafsirnya[47], Ikrimah tidak mendengarnya dari Usman. Sedangkan athar kedua yang diriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar dari Usman, dia juga tidak mendengarnya dari Usman. Riwayat pertama ditolak oleh sekelompok ulama, seperti imam Abu Bakr al-Bāqilāny, al-Ḥāfiẓ Abu ‘Amr al-Dāny, Abu al-Qāsim al-Shāṭiby, al-Ja’bary dan lainnya. Bagi orang yang berfikir jelas bahwa dalam kedua riwayat itu terdapat kekacauan dan kontradiksi. Perkataan, aḥsantum wa `ajmaltum (kalian telah bekerja dengan baik) adalah pujian. Sedangkan perkataan `inna fīhi laḥnan (terdapat kesalahan di dalamnya) mengisyaratkan kelalaian. Bagaimana logika membenarkan, pujian kepada mereka yang berdasarkan kelalaian.
Selain itu, tujuan penulisan mushaf pada masa Usman raḍiya Allah ‘anhu berdasarkan bahasa Quraish adalah bahasa itu menjadi rujukan umum yang mana umat Islam melihatnya ketika ada perbedaan mengenai huruf dan bacaannya. Jika begitu, bagaimana menyerahkan pembenarannya kepada mereka. Ini, jika benar maka kita akan menemui siklus yang tidak mungkin. Karena, kebenaran bacaan mereka sesuai bacaan yang sesuai mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman. Kebenaran mushaf-mushaf itu dan terhindar dari kesalahan bergantung kesahihan bacaan mereka. Ini yang membersihkan darinya, yakni orang yang berakal, terutama Usman raḍiya Allah ‘anhu.
2.      Kedua athar ini berbeda dengan dasar Usman raḍiya Allah ‘anhu dalam hafalan Al-Qurannya, ketetapan bacaannya dan kajiannya. Sehingga dalam masalah ini, ia menjadi salah satu sumber pengambilan Al-Quran. Ia sangat berharap menjaga penulisan mushaf dengan pagar kuat penjagaan Al-Quran dengan ada jalan untuk kekeliruan bacaannya, penggantian huruf atau penggantian. Ia menjadikan dirinya sebagai penjamin terpercaya bagi para sekretaris mushaf di masanya dan sumber rujukan ketika ada perselisihan dalam tata cara tulisan. Ia mengatakan pada sekelompok Quraish, “Jika kalian berbeda dengan Zaid, maka tulislah dengan bahasa Quraish.” Mereka berbeda dalam penulisan التابوت, ditulis dengan huruf tā` atau hā`? mereka mengangkat masalah itu kepada Usman. Kemudian ia memerintahkannya untuk menulis dengan tā`. Ketika sikap Usman dan mereka mengenai huruf tidak merubah makna, tidak dianggap taḥrīf dan penggantian karena penyandarannya pada huruf yang digunakan untuk menurunkan Al-Quran, bagaimana logikanya, ia melihat kesalahan pembacaan dalam mushaf, kemudian menetapkan mereka pada laḥn itu? Ada riwayat lain yang mengindikasikan perhatian Usman pada Al-Quran ketika penulisan.
Abu ‘Ubayd meriwayatkan dari Abdurrahman bin Hāni`, hamba Usman. Ia mengatakan, “Saya berada di samping Usman ketika mereka memeprlihatkan mushaf. Kemudian Usman mengutus saya dengan tulang bahu kambing kepada Ubay bin Ka’ab yang didalamnya tertulis لم يتسن, لا تبديل للخلق dan  فأمهل الكافرين. Kemudian ia meminta tempat tinta dan menghapus salah satu lam dan menulis لِخَلْقِ الله, menghapus  فأمهلdan menulis فمَهِّلْ dan menulis لَمْ يَتَسَنَّهْ ia menambahi hā`. Apakah masuk akal dari situasi ini untuk dipandang sebagai laḥn dalam mushaf, kemudian menetapkannya kepada mereka dan meninggalkan Arab untuk memperbaikinya? Di antara yang lebih berhak untuk memperbaiki laḥn dan kesalahan darinya adalah seseorang yang hafal Al-Quran dan menghafalkannya?
Seandainya kita diperbolehkan berteori, Usman gegabah dalam memperbaiki masalah ini, apakah sekelompok umat Islam muhajirin dan `anṣar membiarkannya tanpa membenarkannya? Padahal, mereka tidak takut celaan dalam kebenaran dan mereka tidak mengambil keputusan berdasarkan kebatilan. Seandainya ungkapan ini benar dari Usman, tentu mereka sangat mengingkarinya. Seandainya mereka mengingkarinya sudah barang tentu pengingkaran itu menyebar dan diriwayatkan sampai kepada kita, bagaimana teori tersebut? Para sahabat menentang Usman dan lainnya dalam permasalahan selain ini. Bagaimana pendapat anda tentang permasalahan yang berhubungan dengan Al-Quran al-Karīm? Kebenarannya adalah teori ini hanya dibenarkan orang yang salah akalnya.
3.      Berdasarkan teori kesahihan kedua Athār ini, mungkin kita dapat menakwil keduanya dengan ketentuan yang sesuai dengan riwayat sahih yang diketahui dari Usman mengenai penghimpunan Al-Quran dan penghapusan mushaf-mushaf. Adalah mengarahkan kata laḥn pada makna bahasa. Yaitu, dalam tulisan Al-Quran dan penulisannya di beberapa mushaf ada sisi qiraat  yang tidak luwes bagi lisan Arab, seluruhnya, pada masa sekarang. Akan tetapi, tidak lama kemudian lisan itu, semuanya, menjadi lunak dengan bahasa itu karena latihan. Kebanyakan bacaan Al-Quran dengan cara ini.
Tuduhan kedua, mereka mengatakan, Said bin Jubayr membaca وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ.[48] Ia mengatakan, itu adalah salah satu laḥn kitab.
Jawab,
Jika riwayat ini sahih, maka Ibnu Jubayr tidak bermaksud dengan laḥn adalah salah. Ia hanya menginginkan makna “bahasa”. Yaitu salah satu makna laḥn sebagaimana dalam al-Qāmūs dan lainnya dari beberapa kitab bahasa. Seandainya yang ia maksud dengan laḥn adalah salah bacaanya, bagaimana ia membaca dengan huruf yang ia pandang salah? Kata ini dibaca dengan dua qiraah sab’ah. Jumhur membacanya dengan nasab, sedangkan lainnya rafa’, والمقيمون الصلاة. Bacaan rafa’ adalah penjelasannya jelas, karena di’aṭafkan pada kata sebelumnya. Sedangkan bacaan nasab, maka arahannya adalah menegakkan berdasarkan pujian untuk menjelaskan keutamaan salat dan tingkatannya dalam syariat agama. Metode ini memiliki beberapa banyak bukti dalam bahasa Arab. Sibawayh telah menghimpunnya dalam sebuah kitab dengan bab sendiri. Ia mengatakan, “Bab ini berdiri tegak berdasarkan keagungan”. Di antara yang disyairkannya adalah
لَا يَبْعَدون قَوْمي الَّذِينَ هُمُ ... سُمُّ العفاة وآفةُ الجُزْرِ
النّازِلِينَ بِكُلِّ مُعْتَرَكٍ ... والطّيِّبُون مَعَاقِدَ الأَزرِ
Kaumku tidak menjauhkan, yang mana mereka adalah
racun kesehatan dan hama tumbuhan
yang menempati setiap peperangan
                                    memperbaiki tempat-tempat pangkal
Saya tunjukkan ungkapan salah satu imam Arab. Al-Zamakhshary, dalam tafsirnya juz1 halaman 397, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan,
Ia tidak berpaling pada tuduhan mereka, laḥn terdapat dalam tulisan mushaf. Terkadang seseorang yang tidak melihat kitab[49] berpaling padanya, ia tidak mengetahui aliran-aliran Arab. apa yang mereka miliki mengenai nasab sesuai keistimewaan dari variatif. Tidak jelas baginya[50] bahwa para pendahulu yang seperti mereka dalam Taurat dan Injil sangat jauh keinginannnya dalam kecemburuan pada Islam dan membela calaan daripada meninggalkan keretakan dalam kitab Allah untuk tuannya setelahnya dan mendustakan apa yang diperbaiki generasi selanjutnya.
Tuduhan ketiga
Mereka mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah,
لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلى أَهْلِها
Bahwa penulis salah, yang benar adalah تستأذنوا. Ini mengindikasikan bahwa sebagian taḥrīf dan tabdīl yang disebabkan penulisan terdapat dalam Al-Quran.
Jawab,
1.      Perkataan ini, dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, tidak benar. Perkataan itu diperdayakan kepada Ibnu Abbas oleh kafir zindiq. Abu Ḥayyān menyatakan, seseorang yang meriwayatkannya dari Ibnu Abbas bahwa beliau mengatakan itu adalah pemfitnah dalam Islam dan kafir dalam beragama. Ibnu Abbas terbebas dari perkataan itu. Al-Zamakhshary, dalam tafsirnya, mengatakan, dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubayr, sebenarnya adalah ḥattā tasta`dhinū adalah kesalahan penulis, riwayat ini tidak dijadikan pegangan. Al-Qurṭuby, dalam tafsirya[51] setelah menyebutkan ini dari Ibnu Abbas atau Said bin Jubayr mengatakan, ini tidak sahih dari Ibnu Abbas dan lainnya. Dalam mushaf-mushaf Islam telah ditetapkan ḥattā tasta`nisū. Kesepakatan mengenainya sudah benar sejak periode Usman. Mushaf-mushaf tersebut tidak boleh diperselisihkan. Perkataan salah dan kebimbangan terhadap penulis tentang kata yang disepakati sahabat adalah ucapan yang tidak benar dari Ibnu Abbas. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لا يَأْتِيهِ الْباطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Khabar ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Ibnu Jarīr. Dalam isnadnya terdapat mudallis atau ḍa’īf[52]. Al-Ḥākim juga meriwayatkannya serta mensahihkannya. Namun, pensahihannya tidak diperhitungkan menurut para imam hadis. Imam al-Dhahaby mengomentarinya seperti seratus hadis mawḍū’ yang ia sebutkan dalam bukunya al-Mustadrak, faḍlan ‘an al-ḍa’īf wa al-wāhy (lebih dari lemah dan wah).
2.      Penolakan riwayat ini dari Ibnu Abbas raḍiya Allah Ta’ālā ‘anhu diperkuat bahwa tafsir tasta`nisū dikemukakan darinya dengan pernyataan meminta ijin kepada orang yang memiliki ijin, pemiliknya. Adanya tafsir tersebut dari Ibnu Abbas menolak apa yang dilekatkan kepadanya. Tafsir ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Ibnu Abu Ḥātim, Ibnu al-`Anbāry dalam al-Maṣāḥif, Ibnu Jarīr dan Ibnu Mardawayh[53]. Barangkali perawi dari Ibnu Abbas bimbang, sekiranya pemahaman penafsiran isti`nās dengan isti`dhān adalah benar. Sehingga, ia meriwayatkan khabar itu sesuai dugaannya, padahal ia bimbang.
Riwayat ini juga ditolak kesepakatan Qurrā` sab’ah sesuai kata tasta`nisū. Di antara yang dianggap terlalu jauh adalah Ibnu Abbas membaca dengan bacaan yang berbeda dengan ijma’. Apalagi ia merupakan salah satu di antara orang yang mengambil bacaan dari Zayd bin Thābit. Zayd adalah sandaran orang-orang yang menghimpun Al-Quran ke dalam mushaf dengan perintah Usman raḍiya Allah ‘anhu. Riwayat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ubay, keduanya membaca tasta’dhinū, itu diarahkan bahwa bacaan tersebut merupakan tafsir dan penjelasan. Selain itu, bacaan mutawatir yang ada (tasta`nisū) mungkin dalam bab `I’jaz termasuk dari bacaan yang dibuat dalih (tasta`nisū). Isti`dhān diarahkan pada meminta ijin dengan ucapan. Sedangkan isti`nās mencakup ucapan dan selainnya, termasuk perbuatan yang memperlihatkan kedatangan, seperti tasbīh, taḥmīd, dehem dan semisal lainnya. Penjelasan ini diisyaratkan qiraah mutawatir bahwa maksud meminta ijin adalah keramahan, menghilangkan kemurungan dan meniadakan menyakiti orang yang dimintai ijin. Kata tasta`dhinū tidak bisa menunjukkan seperti itu. Terkadang meminta ijin disertai dengan kekasaran, kemurungan, menyakiti dan sebagainya dari rahasia dan makna mulia yang jelas bagi orang yang mengcurahkan pikiran dalam Al-Quran.
3.      Jika riwayat itu benar, mungkin memuat kesalahan dalam pilihan penulis. Hal itu berdasarkan kecukupan dugaan pada Ibnu Abbas, bukan cukup fakta dan masalah itu sendiri. Ibnu `Ashtah, dalam buku al-Maṣāḥif, mengatakan, maksud Ibnu Abbas adalah salah dalam pilihan dan meninggalkan apa yang lebih utama di antara dua qiraat dengan dugaan yang cukup. Bacaan Ibnu Abbas termasuk yang ditinggalkan sebab kesepakatan manusia pada satu bahasa, bahasa Quraish. Mereka menetapi kesepakatan yang ditetapkan dengan mutawatir, bukan riwayat `Āḥād dan yang ditetapkan penasakhannya.
4.      Riwayat ini berdasarkan teori kesahihan adalah riwayat `Āḥād. `Āḥād tidak bisa menentang kepastian yang ditetapkan dengan mutawatir. Tidak pula digunakan untuk menetapkan Al-Quran. Apalagi riwayat itu berbeda dengan tulisan mushaf. Bagaimana pendapat anda? Padahal riwayat itu ḍa’īf dan bertentangan dengan riwayat-riwayat lain dari Ibnu Abbas, sebagaimana yang telah kami jelaskan?
Tuduhan keempat
Mereka mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia membaca
أَفَلَمْ يَتَبَيَّن الّذِينَ آمنوا أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللهَ لَهَدَى النَاسَ جَمِيعًا
Kemudian ia mendapatkan pertanyaan, yang terdapat dalam mushaf adalah أفَلَم يَايْئَسِ الّذِينَ آمَنوا?[54] Ia menjawab, saya kira penulis mengantuk. Ungkapan ini  menurunkan kepercayaan penulisan Al-Quran dan tulisannya. Pernyataan itu mengarah pada taḥrīf Al-Quran dan tulisannya.
Jawab
1.      Ungkapan ini tidak dibenarkan dari Ibnu Abbas, rekayasa yang diatas namakan kepadanya. Imam agung Abu Ḥayyān, dalam tafsirnya, mengatakan, melainkan perkataan itu adalah perkataan orang kafir zindiq. Al-Ālūsy dalam tafsirnya, sesudah menukil perkataan Ibnu Ḥayyān, mengatakan, berdasarkan hal ini,  riwayat –sebagaimana dalam al-Durr al-Manthūr- dari Ibnu Abbas raḍiya Allah ‘anhumā tidak sahih. Sedangkan al-Zamakhshary dalam tafsirnya (juz 1, h. 655) setelah menyebutkan hikayat tuduhan ini, mengatakan,
Pernyataan ini dan semisalnya termasuk hal yang tidak dibenarkan dalam kitab Allah yang tidak ada kebatilan di hadapan-Nya dan di belakang-Nya. Bagaimana perumpamaan ini tidak jelas sehingga masih tetap dalam dua sampul imam[55]. Padahal, mushaf itu dibolak-balik dihadapan para ulama yang berhati-hati dalam agama Allah, mengawasinya serta tidak lupa akan keagungan dan kedalamannya. Terutama undang-undang yang menjadi rujukannya dan kaidah yang mendasarinya. Ini, Allah adalah …. apa yang didalamnya kebimbangan.
2.      Termasuk yang menolak riwayat ini adalah adanya qiraat sahih dan mutawatir dari Ibnu Abbas. Seandainya penisbatan kepadanya adalah benar kenapa ia membacanya dengan itu. Abu Bakar al-`Anbāry[56] mengatakan, ‘Ikrimah meriwayatkan dari Abu Najīḥ, Ibnu Abbas membaca أفلم يتبين الذين آمنوا. Riwayat ini dijadikan argumen orang yang berdalih bahwa bacaan Ibnu Abbas benar. Argumen itu batal dari Ibnu Abbas. Karena Mujāhid dan Said bin Jubayr menceritakan huruf dari Ibnu Abbas sesuai dengan yang ada di mushaf dengan bacaan Abu ‘Amr. Riwayat Abu ‘Amr dari Mujāhid dan Said ibnu Jubayr dari Ibnu Abbas. Selain itu, Ibnu Abbas juga mendapatkan Al-Quran dari Zayd bin Thābit mengenai seseorang yang mendapatkan dari mereka. Zayd adalah sekertaris wahyu. Ia yang menghimpun Al-Quran pada masa Abu Bakar. Ia adalah salah satu dari empat orang yang menghimpun Al-Quran pada masa Usman. Jadi, tidak masuk akal jika Ibnu Abbas membaca bacaan yang berbeda dengan bacaan Zayd binThābit dan tulisannya dalam mushaf Usmani.
Dalam beberapa masalah Nāfi’ bin al-`Azraq kepada Ibnu Abbas. Ia bertanya kepada Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ālā,  أفلم يايئس الّذين آمنوا. Ibnu Abbas menjawab, apakah ia mengetahui bahasa bani Malik? Nafi’ menjawab, apakah Arab mengetahuinya? Ibnu Abbas menjawab, Ya, apakah engkau mendengar Malik bin ‘Awf berkata
لَقَدْ يَئِسَ الْأَقْوَامُ أَنِّي أَنَا ابْنُهُ ... وَإنْ كُنْتُ عَن أرضِ العشيرة نائيا[57]
Beberapa kaum putus asa, saya anaknya
Jika saya jauh dari bumi kabilah
Seandainya riwayat itu memang ada –sebagaimana diperdayakan kepada Ibnu Abbas- kenapa ia menafsirkan. Tentu, jelas bagi penanya bahwa itu salah dan kenapa ia membuktikan dengan ungkapan Arab.
3.      Berdasarkan teori kesahihan, riwayat ini adalah Āḥād. Jadi, tidak bertentangan dengan kepastian yang ditetapkan secara mutawatir. Al-Quran tidak ditetapkan dengan riwayat āḥād. Apalagi riwayat tersebut berbeda dengan tulisan mushaf.
Tuduhan kelima
Mereka mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berpendapat mengenai firman Allah Ta’ālā,  وَقَضى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ yang benar adalah ووصى ربك. Huruf wawu berdampingan dengan ṣād. Athār ini dikemukakan dengan beberapa riwayat yang berbeda. Di sebagian riwayat, ia berpendapat, seandainya itu adalah qaḍā (ketetapan) Tuhan, tentu seseorang tidak mampu menolak ketetapan Allah. Akan tetapi, itu hanyalah wasiat Allah kepada para hamba-Nya. Mereka mengatakan, ini mengindikasikan adanya taḥrīf Al-Quran.
Adapun jawabannya,
1.      Beberapa riwayat ini lemah dan diperdayakan kepada Ibnu Abbas. Periwayatannya dilakukan tanpa pembuktian dan penyelidikan. Ibnu al-`Anbāry mengatakan, riwayat-riwayat ini lemah. Lemah tidak bisa digunakan untuk berhujjah dan tidak digunakan di selain ini. Bagaimana pendapat anda mengenai sesuatu yang berkaitan dengan Al-Quran al-Karīm.
2.      Telah tersebar bahwa Ibnu Abbas raḍiya Allah ‘anhu membaca wa qaḍā. Itu adalah bukti hal yang dinisbatkan kepadanya tidak benar. Imam Abu al-Ḥayyān, dalam al-Baḥr al-Muḥīṭ, mengatakan, adapun yang mutawatir adalah  wa qaḍā. Itu yang tersebar dari Ibnu Abbas, Hasan dan Qatādah dengan makna perintah. Sedangkan Ibnu Mas’ud dan sahabatnya berpendapat, qaḍā bermakna waṣṣā. Adapun riwayat dari Ibnu Mas’ud, dalam mushafnya adalah wa waṣṣā dan ia membaca dengan itu, diarahkan pada penafsiran. Mushafnya bukanlah mushaf Al-Quran, cukup. Dia hanya mencampur mushaf dengan tafsir dan takwil di sebagian ayat dan menyebutkan sebagian do’a dan pepatah.
3.      Kebohongan yang mereka sandarkan kepada Ibnu Abbas, bahwa seandainya lafal Al-Quran adalah wa qaḍā, tentu ketika seseorang musyrik itu tidak wajar bagi orang yang berfikir dan berangan-angan. Karena pertentangan ini hanya mengarah, seandainya kita arahkan pada keputusan pada takdir azali. Adapun jika yang dimaksud adalah makna bahasa yaitu terpotong dan pasti maka tidak mengarah dan tidak ditolak. Karena itu jumhur menafsirkan qaḍā dengan perintah. Tafsir ini sendiri dari Ibnu Abbas, sebagaimana disampaikan Ibnu Jarīr dan Ibnu al-Mundhir dari jalur Ali bin Ṭalḥah dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berpendapat, perintah. Ini menolak kebohongan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas.
4.      Riwayat-riwayat ini bertentangan dengan mutawatir yang pasti. Setiap riwayat yang bertentangan dengan kepastian adalah tereliminasi dari pertimbangan.
Tuduhan keenam
Mereka mengatakan, Ibnu Abbas membaca,
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى وَهَارُونَ الْفُرْقَانَ وَضِيَاءً وَذِكْرًا لِلْمُتَّقِينَ[58]
dengan tanpa wawu sebelum kata ضِيَاءً.  Ibnu Abbas mengatakan, ambil wawu ini dan letakkan di ayat الَّذِينَ قالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ. Juga, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ambil wawu ini dan letakkan pada الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ. Kita jawab kejangalan ini sebagai berikut.
1.      Riwayat dari Ibnu Abbas adalah lemah. Jadi, tidak digunakan. Kemudian riwayat itu berbeda dengan kepastian yang ditetapkan dengan mutawatir. Otomatis, riwayat itu ditolak.
2.      Penyebutan wawu dalam ayat adalah tercapainya kebalaghahan yang tidak terukur, bukan membuangnya. Baik itu penafsiran al-furqān dengan Taurat atau dengan pertolongan. Penafsiran kedua diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya. Penafsiran ini dibuktikan dengan friman Allah Ta’ālā, وَما أَنْزَلْنا عَلى عَبْدِنا يَوْمَ الْفُرْقانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعانِ. Maksudnya adalah hari Badar. Penjelasannya, jika yang pertama, maka maksud al-furqān, al-ḍiyā` dan al-dhikr adalah Taurat, yaitu pembeda. Karena membedakan antara yang hak dan batil. Penerangan, karena menyinari jalan bagi orang-orang yang lewat. Taurat adalah pengingat terhadap isi kandungannya seperti peringatan dan nasehat-nasehat. Perumpamaan metode ini boleh menggunakan tanpa wawu berdasarkan posisinya sebagai ḥāl, boleh mendatangkan wawu. Masing-masing adalah sastra tinggi. Akan tetapi, pemakaian wawu lebih tinggi tingkatannya karena merubah sifat -ḥal adalah sifar dalam makna- tempat perubahan dzat-dzat. Karena itu adalah rahasia balaghah. Itu adalah isyarat pada kesastraannya derajat yang tinggi sebagai penyinar sehingga tampak seolah-olah seperti jenis tersendiri dengan kepalanya dari pendahulunya. Ini adalah rahasia yang tidak sempurna dengan pembuangan wawu. Perumpamaan ini di kalam Arab,
إلى المسلك القرم وابن الهمام ... وليث الكتيبة في المزدحم
Sedangkan penafsiran yang kedua, tafsir al-furqān dengan pertolongan, maka wawu tetap dengan pasti. Untuk membedakan ma’ṭūf dan ma’ṭūf ‘alayh. Maksud al-ḍiyā` adalah Taurat atau syariat.
Tuduhan ketujuh
Mereka mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Ta’ālā, mathalu nūrihī ka mishkātin fīhā miṣbāḥ. Ia mengatakan, itu adalah kesalahan penulis. Adalah lebih besar daripada cahayanya seperti cahaya tempat lampu. Adapun yang benar adalah mathalu nūr al-mu`mini ka mishkātin. perumpamaan cahaya seorang mukmin seperti tempat lampu.
Untuk menjawabnya kita sebutkan
1.      Riwayat ini bertentangan dengan kepastian yang ditetapkan secara mutawatir. Jadi, riwayat ini ditolak dan batal. Al-Quran tidak ditetapkan dengan riwayat tersebut sama sekali.
2.      Riwayat ini lemah. Menurut dugaan, itu direka-rekan. Tidak ada yang menunjukkan atas pernyataan ini daripada ia membaca dengan bacaan ini dengan bacaan mutawatir yang telah dikenal. Tidak diriwayatkan darinya, ia membaca, mathalu nūr al-mu`min. adapun riwayat ma’thūr dari Ibnu Abbas dalam tafsirannya ia tidak sesuai dengan yang diriwayatkan darinya. Ibnu Jarīr, Ibnu al-Mundhir, Ibnu Abu Ḥātim dan al-Bayhaqy meriwayatkan mengenai nama-nama dan sifat dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, perumpamaan cahaya-Nya itu seperti hidayah-Nya dalam hati seorang mukmin.
Tafsir ini hanya mungkin jika kata ganti dalam nūrihī kembali pada lafal Jalālah. Tafsir ini adalah riwayat yang paling unggul dari Ibnu Abbas mengenai kembalinya kata ganti. Jika kita menerima riwayat al-Ḥākim dari Ibnu Abbas, kembalinya kata ganti adalah al-mu`min maka riwayat ini tidak menetapkan penolakan terhadap bacaan mutawatir. Akan tetapi, itu hanyalah tafsir terhadap rujukan kata ganti. Siapapun sumber riwayatnya, tidak membuktikan akan muslihat dan tipuan ini. Riwayat ini, riwayat al-Ḥākim dari Ibnu Abbas, lemah bahwa rujukan kata ganti pada yang disebutkan dalam ungkapan ketika tidak ada yang ditunjukkan atau ada tetapi penunjukannya samar serta berbeda sekali dengan yang secara ekplisit. Apalagi, ketika tujuan dari ungkapan itu[59] hilang. Kesempurnaan keindahan kalam dalam perumpamaan di suatu ayat hanya seandainya kata ganti kembali kepada yang disebutkan, yaitu kata jalalah sesuai maksud yang dinginkan dengan al-nūr  adalah al-Ḥaqq yang mendasari langit dan bumi dan urusan manusia menjadi baik atau al-hudā yang ditanam Allah di hati orang mukmin. Adapun dari sisi lain, ada pelepasan Al-Quran dan penghilangan keindahan perumpamaan.
Seandainya muslihat ini dinukil dari Ubayy bin Ka’b tentu masalah ini lebih mudah. Karena Ubay bin Ka’b, sumber periwayatannya, membaca  mathalu nūri al-mu`min. Dalam satu riwayat lain, mathalu nūri al-mu`minīn dan mathalu nūri man `Āmana.[60] Bacaan-bacaan tersebut shādh yang tidak diperhitungkan dan tidak dibaca, karena berbeda dengan tulisan mushaf dan ketiadaan kemutawatiran. Akan tetapi, Allah menghendaki penyempurnaan jalan penyusunan riwayat yang didustakan atas nama Ibnu Abbas. Begitu juga, penjelasan kebatilan yang disampaikan yang ada dalam isinya.
Tuduhan kedelapan
Mereka mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia mengatakan, jangan katakana فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ ما آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا [61] karena Allah tidak mempunyai perumpaan. Akan tetapi, katakan بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ. Padahal ia membaca فَإِنْ آمَنُوا بِمِا آمَنْتُمْ بِهِ. Mereka mengatakan, ini meniadakan bacaan mashur yang digunakan menulis mushaf dan mengindikasikan bahwa dalam mushaf ada perubahan.
Jawab
1.      Ini adalah riwayat `Āḥād yang berbeda dengan kepastian yang ditetapkan dengan mutawatir, kesepakatan umat muslim sejak sahabat sampai kita ini. Berbeda dengan kepastian adalah ditolak. Riwayat itu juga tidak digunakan untuk menetapkan Quran.
2.      Berdasarkan teori ketetapan riwayat ini, maka diarahkan pada penafsiran dan penjelasan makna bacaan mutawatir. Ibnu ‘Aṭiyyah, seorang imam sekaligus penafsir mengatakan, ini dari Ibnu Abbas dari segi penafsiran. Maksudnya, begitu seterusnya, ditakwil.
3.      Bacaan mutawatir yang menjadi dasar umumnya qāri` memiliki sisi kesahihan dan indikasi-indikasi yang diarahkan padanya. Di antaranya,
a.       Kata mathalu adalah tambahanyang memiliki faidah ta`kīd (pengukuhan). Jadi, maknanya adalah فَإِنْ آمَنُوا بِمِا آمَنْتُمْ بِهِ. Itu sebagaimana dikatakan dalam firman Allah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ.
b.      Makna `amanū adalah ṣadaqū, sedangkan `nya adalah tambahan yang berfaidah tawkīd, sebagaimana ditambahkan dalam firman Allah Ta’ālā وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ. Adapun artinya, apabila mereka membenarkan dengan pembenaran seperti pembenaran mereka, maka mereka mendapatkan hidayah. Penambahan sebagian huruf dan kata untuk pengukuhan terkenal dalam bahasa Arab.
Tuduhan kesembilan
Mereka mengatakan,  Hishām bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya dari Aishah raḍiya Allah ‘anhā. Aishah mendapatkan pertanyaan tentang firman Allah Ta’ālā, إِنْ هذانِ لَساحِرانِ, إِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصارى ,  dan  وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكاةَ. Aishah menjawab, wahai putra saudaraku, ini kesalahan penulis.
jawab
1.      Riwayat ini tidak sahih dari Aishah. Berdasarkan teori kesahihannya, itu adalah riwayat `Āḥād yang tidak digunakan untuk menetapkan Al-Quran. Riwayat itu bertentangan dengan kepastian yang ditetapkan secara tawātur. Jadi, riwayat itu batal, ditolak dan tidak ada pertimbangan terhadap pensahihan seseorang yang mensahihkan riwayat ini dan semisalnya. Di antara kaidah ahli hadis adalah  termasuk yang digunakan untuk mengetahui posisi khabar adalah seseuatu yang diambil dari kondisi yang diriwayatkan. Seperti bertentangan dengan nas Al-Quran, sunah, ijma’ qaṭ’y atau kejelasan akal sekiranya tidak menerima takwil apapun atau tidak memungkinkan menggugurkan sesuatu darinya yang dengannya katakutan hilang. Riwayat-tiwayat ini berbeda dengan mutawatir qaṭ’i yang diperhatikan umat dengan menerimanya. Jadi, riwayat itu batal, pasti.
2.      Adapun ayat `in hādhāni lasāḥirāni, yang dinas oleh para imam rasm dan qirā`at, hādhāni (هذن) dalam mushaf Usmani tidak ditulis dengan alif dan ya`. Karena untuk memungkinkan beberapa bacaan mutawatir, seluruhnya. Ini termasuk rahasia tulisan Usmani. Penisbatan kesalahan kepada penulis tidak logis. Adapun yang logis hanyalah, sayyidah Aishah raḍiya Allah ‘anhā menyalahkan seseorang yang membaca إنّ dengan nun tashdid dan hadhāni  (هذان) dengan alif. Sedangkan orang yang membaca إنّ dengan nun di tashdid dan ya’ pada هذين atau nun إنْ tidak ditashdid dan هذان dengan alif maka tidak ada sisi kesalahannya. Ini adalah salah satu yang disampaikan sebagai pertimbangan perbedaan riwayat-riwayat ini atas nama Aishah dan lainnya. Riwayat-riwayat itu termasuk perbuatan orang yang menyimpang. Mereka mencoba menimbulkan rasa skeptis umat muslim terhadap kitabnya, yang tidak ada kebatilan di hadapan maupun sesudahnya. Ayat Quran ini dibaca dengan tujuh bacaan mutawatir. Inilah penjelasannya.
a.       Abu ‘Amr membaca,  إنّ هذين لساحران dengan nun ditashdid, إنّ dan ya` هذين. Bacaan ini masih ada. Tidak berbeda dengan mushaf. Secara i’rab pun berlaku berdasarkan jalan luas yang dikenal serta jelas. Tidak ada kesamaran sama sekali.
b.      Ibnu Kathīr dan ‘Āṣim dalam riwayat Ḥafṣ darinya membaca إنْ هذان dengan nun yang tidak ditashdid, إنْ dan alif هذان. Hanya saja, Ibnu Kathīr mentashdid nun هذان. Bacaan ini juga tidak berbeda dengan rasm Usmani dan Arab. Keluar pada إنْ tanpa tashdid serta tanpa titik. هذان adalah mubtada` dan لسَاحِرَان adalah khabarnya. Sedangkan lāmnya adalah pembeda antara إن nafi dan إن tanpa tashdid dari yang bertasdhdid. Isimnya إن boleh berupa ḍamīr Sha`n. sedangkan jumlah sesudahnya terdiri dari mubtada` dan khabar. Menurut sebagian, إن adalah nafi sedangkan lāmnya bermakna إلا. Perkiraannya adalahمَا هَذانِ إلّا سَاحِرَان. Ini dibuktikan dengan bacaan Ubay, إن ذان إلا ساحران yang merupakan bacaan tafsir dan penjelasan.
c.       Sedangkan yang lainnya membaca إنّ هَذانِ لسَاحِرَان dengan nun إن tashdid dan alif pada هذان. Bacaan ini sesuai dengan tulisan Usmani. Akan tetapi, mushkil dari segi i’rab. Bacaan ini adalah dalih orang yang menduganya sebagai kesalahan dan dinisbatkan sebagai kepalsuan kepada sayyidah Aishah raḍiya Allah ‘anhā. Bacaan ini memliki sisi-sisi kebenaran dalam bahasa Arab. Ulama telah memperluas penjelasannya. Sisi terbaiknya[62] adalah berlaku sesuai sebagian bahasa Arab dalam menetapkan muthannā dengan alif dalam setiap kondisi. Itu adalah bahasa Kinānah, bani al-Ḥārith bin Ka’ab, Khath’am, Zubayd, Murād dan lainnya. Buktinya ada banyak, seperti perumpamaan ungkapan penyair Arab,
واهَاً لِسَلْمى ثُمَّ وَاَهَا وَاهَا ... يَا لَيْتَ عَيْنَاهَا لَنَا وَفَاهَا
ومَوْضِع الخُلْخال من رجلاها ... بِثَمَنٍ نُرْضِي بِهِ أبَاهَا
إنَّ أبَاهَا وأبَا أبَاهَا ... قَدْ بلغَا في المجْدِ غَايتَاهَا
Al-‘Allāmah Ibnu Hishām al-Naḥwy menganggap bacaan ini diqiyaskan. Karena asal mabni tidak berbeda dengan bentuknya. Meskipun ada kesesuaian dengan alif لساحران.
3.      Ayat وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ tidak benar dari Aishah. Imam Abu Ḥayyān dalam al-Baḥr al-Muḥīṭ menyatakan, disebutkan dari Aishah raḍiya Allah ‘anhā dan `Abān bin Usman, penulisannya dengan ya` adalah kesalahan penulis. Itu tidak benar dari Aishah. Karena keduanya orang Arab yang fasih. Pemutusan beberapa na’at terkenal dalam lisan Arab, itu adalah bab yang luas. Imam Sibawayh dan lainnya menyebutkan beberapa bukti. Berdasarkan pemutusan, Sibawayh meriwayatkannya. Barangkali berdasarkan apa yang telah kami sebutkan dari al-Zamakhshary dalam Kashāf-nya tentang penolakan terhadap orang yang mencacat bacaan mutawatir ini.
4.      Adapun firman Allah,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصارى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صالِحاً فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Memiliki beberapa sisi dan arahan yang benar dalam bahasa Arab. Sisi terbaik ini adalah al-ṣā`ibūn didahulukan. Adapun khabar  `inna adalah man `āmana seterusnya. Sedangkan khabarnya wa al-ṣā`ibūn dibuang karena sudah ditunjukkan khabarnya `inna. Perkirannya adalah wa al-ṣā`ibūna wa al-naṣārā kadhalik. Barangkali, rahasia pendahuluannya dan penyebutan mereka di antara golongan beragama adalah indikasi al-ṣā`ibīn meskipun kesesatan dan penyimpangan mereka dari beberapa agama seluruhnya terlihat jelas adalah diterimanya taubat mereka, dengan catattan iman dan perbuatan salih mereka benar. Adapun selain mereka, pemeluk agama lebih pantas dan utama. Perumpamaan penggunaan Arab ini adalah ungkapan penyair,
فَمَنْ يَكُ أَمْسَى بالمَدينَةِ رَحْلُهُ ... فإِنّي- وقَيَّارًا بهَا[63] - لَغَرِيبُ
Atau, firman Allah  wa al-ṣā`ibūna dan kata yang aṭaf padanya adalah permulaan lain. Sedangkan khabarnya adalah man `āmana, seterusnya. Khabar ini tidak membutuhkan khabar `inna. Perumpamaan penggunaan ini adalah ungkapan penyair Arab,
نَحْنُ بِمَا عِنْدَنَا وَأَنْتَ بِمَا ... عِنْدَكَ رَاضٍ والرّأيُ مُـخْــتَلِفُ
Kita rida dengan pendapat kita, anda 
rida dengan pendapat anda, pendapat itu berbeda
Khabar pertama dibuang karena telah diindikasikan khabar kedua. Yakni, naḥnu bi mā ‘indanā rāḍūna.
Tuduhan kesepuluh
Mereka mengatakan, bagaimana kalian berpegang pada mushaf yang memuat kesalahan yang jelas, kekeliruan i’rāb dan ketercampuran, sesuatu yang hampir tidak samar bagi orang yang memilki pengetahuan bahasa Arab. Mereka membuat contoh sebagai berikut.
1.      Firman Allah Ta’ālā,
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذا عاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْساءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ
yang jelas adalah الصابرون.
2.      Firman Allah Ta’ālā,
وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا[64]
 ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ[65]
yang benar adalah وأسـرّ, عمى dan صمّ.
3.      Firman Allah,
لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
yang benar Dia berfirman و أكون.
Jawab
Dalih-dalih ini batal, sumbernya adalah kebodohan akan beberapa bahasa Arab, beberapa aliran komunikasi dan metode penjelasan Arab. Allah subḥānahu menghendaki –itu memilki hikmah yang tinggi– mendatangkan Al-Quran al-Karīm –selain bahasa Quraish yang memimpinnya– mencakup sebagian bahasa-bahasa Arab dan penggunaannya, baik yang fasih atau lebih fasih. Hal itu memiliki rahasia. Yaitu, Al-Quran merupakan kitab Arab terbesar, pemersatu Arab yang besar, rujukan Arab yang paling terpercaya dalam mengetahui beberapa gaya bahasa Arab dalam penjelasan dan aliran-aliran mereka dalam membuat ibarat. Jadi, yang lebih patut dan sesuai adalah mendatangkan Al-Quran yang mencakup sesuai penerimaan yang mudah, tidak dianggap buruk dan berat. Agar Arab menemukan yang disukai rasa dan bakat mereka. Inilah penjelasan sisi kebenaran yang telah disebutkan.
a.       Firman Allahوَالصَّابِرِينَ  dinasabkan berdasarkan pujian. Yakni, `amdaḥu al-ṣābirīna (saya memuji orang-orang sabar). Hanya saja, berbeda gaya bahasannya dan tidak didatangkan sesuai keteraturan sebelumnya. Karena memberi penjelasan keutamaan sabar dan penjelasan posisinya di antara kebaikan. Seolah-olah, Allah subḥānahu menjelaskan kepada kita bahwa sabar, meskipun disebutkan secara terakhir, adalah suatu tempat di antara keutamaan dan dibalas kebaikan. Telah disebutkan para pakar bahasa dan nahwu, Arab memiliki keanekaragaman dalam membuat kekhususan. Tidak samar, pengaruh besar dari sisi jiwa yang merubah beberapa gaya bahasa dan keanekaragamn dalam khitab. Karena menarik perhatian, menggugah perasaan dan mendorong akal untuk bertanya dan mengkaji. Boleh jadi makna-makna rohani adalah keutamaan yang diposisikan. Bagi Allah kebagusan penempatan, banyak yang memiliki rahasia-rahasia dan kelembutan.
b.      Firman Allah, وَأَسَرُّوا, ثُمَّ عَمُوا dan وَصَمُّوا dikemukakan berdasarkan sebagian bahasa Arab. Yaitu, bahasa `akalūnī al-barāghith. Bahasa tersebut dalam Arab memilki banyak bukti. Bahasa ini menyatakan, isim yang menempel fi’il (kata kerja) bukan ḍamīr (kata ganti), melainkan hanya tanda tathniyah dan jama’. Sedangkan isim sesudahnya adalah fā’il (subjek). Atau, isim yang mengikuti kata kerja adalah fā’il, sedangkan isim ẓahir setelahnya adalah badal dari isim yang mengikuti kata kerja atau fā’ilnya fi’il yang dibuang yang dijelaskan dengan kata yang telah disebutkan. Perkiraanya adalah وأسروا النجوى أسرها الذين ظلموا.
c.       Firman Alah Ta’ālā, فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ memiliki dua dari tujuh bacaan. Pertama, وَأَكُونَ dibaca nasab. Bacaan ini digunakan oleh Abu ‘Amr dan arahannya jelas. Kedua, وَأَكُنْ dibaca jazm. Kata ini aṭaf pada makna. Ungkapannya bermakna syarat, seolah-olah Allah berfirman إنْ أَخَّرْتَنِي إلى أجَلٍ قَرِيبٍ أصَدّقْ وأكُنْ. Jenis ini dinamakan aṭaf pada dugaan oleh ahli nahwu. Ini merupakan bab yang dikenal dalam bahasa Arab.
Kejanggalalan Kesebelas
Riwayat imam Ahmad, dengan sanadnya dari Ismail al-Makky. Ia mengatakan, kami diberitahu Abu Khalaf, maula bani Jumaḥ. Ia bersama Ubayd bin Umayr berkunjung kepada Aishah raḍiya Allah ‘anhā . Aishah mengucapkan, selamat datang Abu ‘Āṣim. Apa yang menghalangi engkau untuk mengunjungi kami atau mampir? Ia menjawab, saya khawatir saya membuat anda bosan. Aishah menimpali, apa yang akan kau lakuan? Ia menjawab, saya datang untuk bertanya kepada anda tentang ayat kitab Allah ‘Azza wa Jalla, bagaimana Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam membacanya? Aishah menjawab, ayat per ayat. Ia bertanya, وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ ما آتَوْا  atau الّذِيْنَ يَأتُونَ مَا أتَوا?. Aishah balik bertanya, mana yang lebih kamu sukai? Saya jawab, demi Dzat yang jiwaku berada digenggamannya, salah satunya lebih saya sukai daripada dunia seluruhnya atau dunia serta isinya. Aishah bertanya, yang mana? Saya jawab, الذين يأتون ما أتوا. Aishah mengatakan, saya bersaksi bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam pun seperti itu. Beliau membacanya dan begitu juga ayat itu diturunkan. Akan tetapi, huruf abjad berubah. Itu adalah prasangka bahwa bacaan yang lain yang tidak tetap dan bentuk tulisan bukan kesepakatan.
Jawab
1.      Dalam sanad Riwayat ini, ada Ismail al-Makky. Ia adalah lemah[66]. Jadi, riwayat ini tidak bertentangan dengan kepastian yang ditetapkan dengan tawātur dan tidak digunakan untuk menetapkan Al-Quran, meskipun riwayat itu sahih.
2.      Berdasarkan teori kesahihannya, riwayat ini tidak memberi pemahaman pengingkaran bacaan yang ada yang telah disepakati oleh tujuh imam, yaitu يُؤْتُونَ ما آتَوْا[67]. Ungkapan Aishah, Rasulullah membacanya dan begitu juga diturunkan, tidak meniadakan  bahwa bacaan mutawatir diturunkan. Nabi membacanya, terutama bacaan itu adalah mutawatir yang disepakati tujuh ahli baca. Adapun bacaan lain yang mana sayyidah Aishah sesuai dengan penanya berdasarkan angggapan baiknya adalah tidak mutawatir dan tidak digunakan untuk menetapkan Al-Quran. Telah saya sebutkan dalam sebagian penulisan hadis, akan tetapi tidak diriwayatkan oleh pakar bacaan dari jalur mereka[68]. Barangkali, itu termasuk bacaan yang dinaskh pada masa nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam atau termasuk  yang ditinggal pada saat kodifikasi Al-Quran. Karena, ketiadaan ketetapan dan kemutawatirannya. Adapun ungkapan Aishah, hijaiyah berubah, maksud huruf adalah bahasa, yakni bacaan yang tetap secara bahasa dan diarahkan dari beberapa sisi penyampaian untuk Al-Quran. Tidak benar, maksud Aishah dengan huruf adalah “salah dan perubahan” karena bahasa tidak dapat disaksikan.
Tuduhan keduabelas
Mereka mengatakan, diriwayatkan dari Khārijah bin Zayd bin Thābit. Ia mengatakan, kita mengatakan kepada Zayd, wahai Abu Sa’id! apakah engkau mencurigai bahwa yang benar ثمانية أزواج من الضأن اثنين اثنين, ومن المعز اثنين اثنين , ومن الإبل اثنين اثنين , ومن البقر اثنين اثنين. Maka ia menjawab, tidak, Allah Ta’ālā berfirman, فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثى. Keduanya adalah sepasang. Setiap satu darinya adalah zawj, lelaki adalah zawj dan perempuan zawj.
Mereka mengatakan, ini mengindikasikan pembelokan redaksi dalam mushaf dan pilihan mereka atas apa yang mereka inginkan dalam penulisan Al-Quran.
Jawab
Riwayat ini- berdasarkan penerimaan kesahihannya- tidak menunjukkan tuduhan mereka. Riwayat ini hanyalah penjelasan dan pengarahan apa yang ditulis, dibaca dan yang tetap padanya dengan mendengar dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, bukan pembelokan dari penyampaian dirinya sendiri. Orang yang ishkal memahami bahwa sepasang (zawj) tidak diucapkan kecuali kepada dua orang sepasang. Maka sayyidina Zaid raḍiya Allah ‘anhu wa `arḍāhu menjelaskan, zawj sebagaimana diucapkan untuk dua orang sepasang, juga diucapkan untuk setiap satu dari keduanya, zawj. Ia menjadikan dalil akan itu dengan Al-Quran yang merupakan argumen tinggi. Penanya menerima dan diam. Sahabat yang menulis Al-Quran, menghafalkan dan menyampaikannya kepada generasi sesudahnya, mereka sangat dalam ketepatan, kokoh dan amanat tinggi. Dalam al-dharwah dari mereka, Zayd bin Thābit adalah penulis wahyu dihadapan  Rasul Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan menanggung beban terbesar dalam penghimpunan Al-Quran dalam masa al-Ṣiddīq dan Usman raḍiya Allah ‘anhu.
Penolakan Secara Umum
Di sini ada penolakan secara umum yang digunakan untuk menolak semua tuduhan yang telah lewat. Yaitu, pegangan Al-Quran dan hafalannya adalah talaqqī (pertemuan) dan mendengar dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam atau dari seseorang yang mendengar dari nabi atau seseorang yang mendengar orang yang mendengar dari nabi, begitu seterusnya sehingga Al-Quran sampai kepada kita dengan subur, sebagaimana diturunkan. Al-Quran tidak diambil dari lembaran atau kumpulan lembaran yang tertulis. Sesungguhnya tujuan dari tulisan hanyalah menolong hafalan dan menjadi rujukan ketika ada perbedaan bacaan atau bentuk tulisan. Beberapa orang yang dinisbatkan dalam riwayat-riwayat ini, terutama Ibnu Abbas dan murid-muridnya, membaca dengan bacaan yang ditetapkan secara mutawatir, berbeda dengan fitnah yang diriwayatkan dari mereka yang termasuk mengindikasikan kebatalan cacat-cacat ini.
Sesudahnya, barangkali anda serta saya melihat tuduhan ini dan semisalnya lebih lemah dari rumah laba-laba. Maka tidak sampai padanya kecuali dengan pengecualian. Barangkali anda bertambah yakin, Al-Quran sebagaimana dalam mushaf-mushaf hari ini adalah Al-Quran yang diturunkan kepada nabi kita, Muhammad. Semua yang berbeda dengan kemutawatiran serta kepastian adalah tertolak dan batal. Al-Quran tidak ditetapkan dengan riwayat `Āḥād. Seandainya riwayat itu sampai pada tingkatan kesahihan tertinggi, maka anda sesuai penyebutan itu semua. Semoga Allah mengukuhkan kita dan anda dengan pernyataan yang tetap dalam kehidupan dunia dan akhirat.

SHAKL AL-QURAN
Shakl adalah sesuatu yang menunjukkan sisi-sisi huruf, seperti harakat dan sukun. Baik itu terdapat di permulaan kata, tengah maupun akhir. Pemilik al-Qāmūs tentang materi shakl mengatakan, tulisan itu memberi titik dan harakat seperti memberi shakl. Seolah-olah menghilangkan kesamarannya, yakni kesamaran tulisan. Tidak diragukan, sesuatu yang membedakan huruf, berharakat atau sukun, dapat menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan huruf. Sehingga, makna etimologi dan terminologinya menjadi jelas sesuai yang terlihat.
Para sejarawan sepakat bahwa Arab pada masa awal tidak mengetahui shakl secara terminologi. Akan tetapi, mereka mengucapkan lafal-lafal secara berkaidah serupa sesuai dengan tabiat dan fitrah Arab mereka tanpa kekeliruan bacaan dan salah. Karena pada asalnya dalam jiwa mereka tertanam kefasihan, kesastraan dan kelurusan lidah mereka dalam mengucapkan susunan lafal sebagaimana peletakannya yang benar tanpa membutuhkan pengetahuan kaidah-kaidahnya. Oleh karena itu, pada masa awal mushaf ditulis tidak ada shakl dan titik karena berpegang pada tabiat ini dan yang menjadi pegangan mengenai Al-Quran adalah talaqqī (pertemuan) dan riwayat. Dengan begitu, tidak ada kebutuhan pada shakl. Ketika wilayah Islam menjadi luas dan tercampurnya Arab dengan Ajam, fitrah bahasa Arab menjadi rusak dan dalam perkataan terjadi kesalahan. Beberapa kejadian memperingatkan umat Islam untuk menjaga Al-Quran yang menjadi dasar agama dan sumber jalan lurus dari terbukanya jalan masuknya kekeliruan. Di antara umat Islam, ada orang yang memiliki pengetahuan dasar-dasar nahwu serta kaidah-kaidahnya, dan mahir dalam hafalan dan bacaan Al-Quran. Misalnya, Abu al-`Aswād al-Du`aly, Yahya bin Ya’mar al-‘Adwāny, qadi Khurasan dan Nar bin ‘Āṣim al-Laythy. Diceritakan, Abu Aswād al-Du`aly mendengar seseorang membaca `anna Allaha barī`un mina al-mushrikīna wa rasūlihi dengan membaca jir kata rasūlihi. Hal itu membuat dirinya khawatir dan berkata, Maha Mulia Allah, lepas dari Rasul-Nya. Lalu, ia pergi kepada Ziyād, penguasa Basrah. Abu al-`Aswād berkata kepada Ziyād, aku memenuhi permintaanmu. Sebelumnya, Ziyād telah memintanya untuk membantu manusia dengan membuat tanda-tanda yang menunjukkan harakat dan sukun. Kemudian Abu al-`Aswād menjadikan titik di atas huruf sebagai fatah, titik di bawah sebagai kasrah, titik di antara huruf sebagai damah dan titik dua sebagai tanwin. Manusia menggunakan metode ini dalam satu masa. Kemudian mereka mulai memberi tambahan dan membuat hal baru. Mereka membuat tanda huruf yang ditashdīd seperti busur dan tanda alif waal dengan bentuk bejana di atas, bawah atau tengahnya sesuai harakat sebelumnya, fatah, kasrah atau damah. Sampai pada masa Abdul Malik bin Marwān. Mereka memerlukan titik untuk menjelaskan huruf bā`, tā`, thā` dan seterusnya. Sehingga mereka menggabungkan titik dengan harakat. Mereka menjadikan masing-masing keduanya panjang untuk membedakan satu sama lainnya. Kemudian mereka membuat harakat sebagai tanda yang lain, yaitu tanda-tanda yang dikenal pada hari ini, seperti fatah, kasrah, amah, tasydid dan lainnya. Mereka mejadikan fatah dengan bentuk alif secara horizontal di atas huruf, kasrah di bawah huruf dan amah dengan bentuk huruf wawu. Adapun tanwin, mereka membuat harakat lain dari jenis harakat sebelumnya: damah, fatah atau kasrah.
Dengan begitu, Al-Quran diberi harakat.
`I’JĀM AL-QURAN
`I’jām adalah sesuatu yang menunjukkan hakikat huruf dan perbedaan huruf yang sama dalam tulisan antara sebagian dari bagian yang lain. Tāj al-‘Arūs dalam al-Qāmūs wa Sharuhu menyatakan tentang materi ‘ajam, fulan menjelaskan sebuah perkataan. Yakni, menghilangkan ketidakjelasan. Setiap orang yang tidak jelas mengenai sesuatu, maka ia menjelaskannya. Menjelaskan tulisan berbeda dengan mengi’rabinya –sebagaimana penjelasan dalam al-Ṣaḥāḥ– memberi titik. Dalam al-Nihāyah, menghilangkan ketidakjelasannya, seperti ‘ajamahu ‘ajman dan ‘ajjamahu ta’jīman. Ibnu Jinnī mengatakan, saya menjelaskan tulisan, maka saya menghilangkan sesuatu yang menjadikannya tidak jelas. Ibnu Sīdah mengatakan, `i’jām menurutku adalah peniadaan. Ulama mengatakan, saya menafsirkan tulisan, kemudian ada ketidakjelasan maka saya meniadaannya. Sebagaimana datangnya saya melakukannya. Ia memiliki keserupaan-keserupaan. Telah disebutkan bahwa shakl adalah pemberian harakat. Keduanya, shakl dan `i’jam, secara etimologi bersinonim. Hanya saja, secara istilah keduanya dibedakan. Sebagaimana yang telah anda ketahui, shakl dikhususkan untuk harakat dan i’jām untuk titik.
Mushaf pada masa awal tidak bertitik. Karena yang menjadi pegangan bukanlah bacaan, melainkan perjumpaan dan pendengaran. Bentuk tulisan suatu kata masih bisa menyatukan setiap bacaan yang sahih dan ada dari sisi bacaan. Karena riwayat dari Ibnu Mas’ud raiya Allah ‘anhu, kosongkan Al-Quran! Jangan kalian campuri dengan sesuatu yang lain, disampaikan oleh Abu Ubayd dan lainnya.
Orang yang Pertamakali Memberi Titik Mushaf
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai titik. Sebagian dari mereka berpendapat, pemberian titik dikenal sebelum Islam untuk membedakan huruf yang serupa. Hanya saja, pemberian titik tidak dipakai saat penulisan mushaf. Karena alasan yang telah kami sebutkan. Sebagian yang lain berpendapat, pemberian titik baru dikenal dari metode Abu al-`Aswād al-Du`aly. Kemudian metode tersebut menjadi terkenal dan digunakan dalam Al-Quran pada masa Abdul Malik bin Marwan. Pendapat yang tampak benar adalah pendapat pertama. Karena, jauh kemungkinannya huruf-huruf tidak memiliki tanda yang membedakan keserupaan antara satu dengan lainnya. Bilamana termasuk, maka sangat dibutuhkan ketika wilayah Islam menjadi luas dan Arab dengan Ajam tercampur. Kekaburan dan kesamaran dalam membaca Al-Quran mulai muncul. Sehingga, kebanyakan dari mereka kesulitan untuk membedakan antara huruf-huruf Al-Quran dan bacaannya, seperti firman Allah, نُـنْشِرُها  dan نُنْـشِزُها, فَتَـبَيَّنُوا dan فَتَثَـبَّتُوا. Maka, Abdul Malik prihatin dengan hal itu dan memberi perintah kepada al-Ḥajjāj untuk memperhatikan masalah besar tersebut. Kemudian al-Ḥajjāj memilih dua orang muslim pilihan, Naṣr bin ‘Āṣim al-Laythy dan Yahya bin Ya’mar al-‘Adwāniy, kedua murd Abu Aswād al-Du`aly. Keduanya merupakan orang wirai dan salih, mencapai puncak dalam bahasa Arab dan bacaan di suatu tempat. Keduanya membuat satu sampai tiga titik untuk huruf yang serupa. Pekerjaan ini menjadi kesepakatan besar bagi umat yang terkait dengan penjagaan Al-Quran.
Menurut sebagian, orang yang pertamakali memberi titik dalam mushaf adalah Abu Aswād al-Du`aly. Sedangkan Ibnu Sīrīn mempunyai mushaf yang diberi titik Yahya binYa’mar. Kemungkinan konsiliasi antara pendapat ini dan sebelumnya adalah Abu al-`Aswād merupakan orang yang pertama kali memberi titik dalam mushaf dengan secara pribadi. Kemudian diikuti Ibnu Sīrīn. Adapun Abdul Malik adalah orang yang pertama kali memberi perintah pemberian titik  dalam mushaf secara umum dengan tulisan yang telah tersebar dan tersiar di kalangan manusia, secara keseluruhan.
Hal Baru dalam Penulisan Mushaf
Sesuatu yang baru dalam penulisan mushaf, seperti pembagian hizb, juz, takhmīs dan ta’shīr[69], penulisan pembukaan dan penutupan surat dan sebagainya. Semuanya ditambahkan dengan tujuan memberi kemudahan bagi pembaca. Akan tetapi, semuanya tidak ada yang sepenting shakl dan pemberian titik. Qatadah mengatakan, mereka memulainya kemudian memberi titik, takhmīs dan ta’shīr. Sedangkan yang lainnya mengatakan, hal baru yang mereka buat pertama kali adalah titik pada akhir ayat, kemudian pembukaan dan penutupan surat.
Ulama membagi Al-Quran dengan beraneka ragam. Di antaranya adalah pembagian tiga puluh bagian. Mereka menyebut tiap bagiannya dengan nama juz. Sekiranya tidak terpikirkan dalam pikiran ketika mengucapkannya yang lain. Ketika seseorang mengatakan, saya membaca satu juz Al-Quran. Maka, yang segera terlintas dalam pikiran adalah ia membaca satu dari tiga puluh juz. Kemudian, ulama membagi setiap juz menjadi dua bagian. Mereka menyebut setiap bagian itu dengan ḥizb. Jadi, jumlah ḥizb ada enam puluh. Misalnya, dari permulaan al-Fātiḥah sampai firman Allah, sayaqūlu al-sufahā`u adalah satu juz, dari sayaqūlu al-sufahā`u sampai tilka al-rusulu adalah satu juz dan seterusnya. Mulai dari permulaan al-Fātiḥah sampai wa mā Allah bi ghāfilin ‘ammā ta’malūn adalah satu ḥizb, `afataṭma’ūna `an yu`minū lakum sampai wa lā tas`alūna ‘ammā kānū ya’malūna adalah satu ḥizb dan seterusnya. Para ulama juga menjadikan setiap juz delapan rub’ (seperempat) dan setiap ḥizb empat rub’. Adat dalam salinan Al-Quran adalah ulama menyebutkan nama juz, ḥizb dan rub’ dalam pinggir mushaf. Hanya saja, mereka menulisnya dengan tulisan yang berbeda dengan tulisan Al-Quran. Tintanya juga berbeda dengan tinta Al-Quran. Karena berhati-hati agar tidak dikira tulisan tersebut termasuk bagian Al-Quran.
Hukum Pemberian Titik, Shakl dan Semisalnya dalam Al-Quran
Pada masa awal, ulama berpendapat akan kemakruhan pemberian titik mushaf, shakl dan semisalnya. Karena, sikap yang sangat dalam menjaga Al-Quran dari penambahan dan penulisan Al-Quran sebagaimana cara yang telah ada pada masa Nab alla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Abu ‘Ubayd menyampaikan dari al-Nukha’iy bahwa ia memakruhkan pemberian titik pada mushaf. Ibnu Abu Dawud juga menyampaikan dari al-Nukha’iy bahwa ia memakruhkan pembagian menjadi sepuluh, pembukaan, memperkecil mushaf dan penulisan surat demikian dan demikian. Ketika ia mendapatkan mushaf yang di dalamnya bertuliskan surat ini, begitu juga ayatnya, ia mengatakan, hapus ini! Sungguh Ibnu Mas’ud memakruhkannya. Diriwayatkan dari imam Malik bahwa ia memakruhkan sepersepuluh dengan warna merah atau lainnya dalam mushaf. Diriwayatkan darinya juga, imam Malik mengatakan, penggunaan titik dalam Al-Quran untuk belajar para pemuda tidak masalah. Namun, jika untuk para ibu tidak boleh.
Akan tetapi, keadaannya telah berbeda dengan masa awal, umat Islam membutuhkan titik dan harakat untuk menjaga Al-Quran dari kekeliruan i’rāb, perubahan, salah ucap dan memudahkan bagi para penghafal dan pembaca. Setelah mereka memakruhkannya, pemberian tanda itu kemudian menjadi wajib atau sunah. Karena, sebagaimana dalam ilmu Usul, hukum itu berputar beserta ada dan tidak adanya illat. Imam Nawawi, dalam al-Tibyān, menyatakan, ulama mengatakan, disunahkan memberi titik dan harakat pada mushaf. Karena dapat menjaga dari salah i’rāb dan bacaan. Adapun kemakruhan al-Sya’by dan al-Nukha’y adalah pemberian titik. Pemakruhan keduanya pada masanya, karena khawatir membuat perubahan. Kekhawatiran itu hilang pada masa sekarang. Jadi, tidak ada larangan dan tidak dilarang karena termasuk sebagai pembaharuan. Pembaharuan itu termasuk pembaharuan yang baik, sehingga tidak dilarang seperti pembaharuan lainnya. Misalnya, pembagian dua ilmu, pembangunan  sekolah, pondok dan lain sebagainya. Wa Allah `a’lam.
Hal ini dan semisalnya seperti peringatan waqaf dan saktah adalah memudahkan, selama tujuanya adalah memberi kemudahan bagi pembaca dan selama masalah ini jauh dari kekacauan, penambahan dan mengada-ada serta aman dari melebih-lebihkan.
Kemulian Mushaf
Hampir tidak ada sejarah yang benar mengetahui kitab yang dilingkupi dengan lingkaran cahaya kesucian dan kemulian seperti yang diketahui terhadap Al-Quran. Tidak mengherankan al-aqq Jallā wa ‘Alā memberi sifat Al-Quran dengan kitab yang tersimpan dan menetapkan tidak bisa disentuh kecuali orang-orang yang suci. Allah bersumpah sekiranya berfirman,
فلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ, وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ  فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ[70]
Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, Diturunkan dari Rabbil 'alamiin.
Rasulullah alla Allah ‘Alayhi wa Sallam telah melarang berpergian membawa Al-Quran ke wilayah musuh, jika dikhawatirkan jatuhnya Al-Quran di tangan musuh. Sebagaimana riwayat dalam al-aḥīḥayn. Ulama berfatwa tentang kekafiran orang yang merobek-robek, menghina atau melempar Al-Quran ke kotoran dan keharaman menjualnya kepada orang kafir meskipun kafir dhimmi. Mereka mewajibkan suci ketika menyentuh dan membawanya. Bahkan, mereka mengatakan menyentuh yang bersentuhan dengan mushaf, setiap kantong[71], sampul dan kotak, berdasarkan pendapat yang sahih. Ulama juga mensunahkan perbaikan penulisan, memperjelas, membenarkan huruf, mengagungkan dan tidak meremehkan tulisan mushaf, sebagaimana mereka mengagungkan dan mengakkan mushaf. Imam Nawawi mengatakan, disunahkan mengangkat Al-Quran ketika bermaksud padanya. Karena berdiri dianjurkan untuk ulama dan orang baik. Jadi, mushaf lebih utama. Wajib bagi seseorang yang mempunyai mushaf atau kertas mushaf yang tidak baik untuk dibaca untuk menjaganya dari injakan kaki dan mainan anak-anak. Wajib juga, untuk membakarnya atau menguburnya yang jauh dari injakan kaki dan kotoran. Semaoga Allah subḥānahū wa ta’ālā memberi karunia kepada kita untuk berbudi baik dengan Allah dan kitabnya.



[1] Pendahuluan sebelum bi’thah.
[2]
[3] Lihat, bentuk tulisan dalam kitab al-Wasīṭ bab al-`Adāb al-‘Araby wa Tarīkhihi, h. 122. Cet. 1.
[4] Al-Sīrah al-Nabawiyah dalam Ḍaw` Al-Qur`ān wa al-Sunnah li al-Mu`allif, 2:128.
[5] Fatḥ al-Bāry, 9:18, al-`Istī’āb, 1:51 dalam catatan pinggir al-`Iṣābah, Tahdhīb al-`Asmā` wa al-Lughāt, 1:29.
[6] Jelasnya, ia bukan Abdullah bin Jaḥsh al`Asady, putra bibi nabi yang shahid di Uhud. Karena ia tidak buta. Adapun ayat yang diturunkan disebabkannya adalah fakāna `a’mā. Riwayat ini disebutkan al-Kalaby dalam tafsrinya dan diriwayatkan al-Tha’laby darinya. Ia memperingatkan itu bukan al-`Asady. Al-`Iṣābah, 2:287. Riwayat yang disbutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fatḥ bukan yang disebutkan ini. Ia mengatakan, adapun yang benar adalah Abu Ahmad Abd bin Jaḥsh tanpa penyandaran Abd. Ia adalah saudara Abdullah. Al-Ṭabary men-takhrīj-nya sesuai yang benar. Dalam riwayat al-Bukhāry tidak menyebutkan Abdullah bin Jaḥsh. Dalam perintah ini juga tidak ada perintah Zayd akan penulisannya. Juga tidak ada ungkapan Zayd, “Seolah-olah aku melihat tempat ayat tersebut ketika nabi menjelaskannya di batu putih tipis situ. Ringkasnya, ia adakalanya adalah Abd bin Jaḥsh, sebagaimana penjelasan yang dibenarakan al-Ḥāfiẓ Ibnu Hajar. Adapun Abdullah bin Jaḥsh adalah orang lain, sebagaimana penjelasan al-Tha’laby. (fatḥ al-Bāry, 8:112). Segala puji bagi Allah yang member hidayah kepadaku akan permasalahan ini, h. 662. Cet. Al-Salafiyah.
[7] Yaitu, Abu al-‘Abbās Ahmad bin Muhammad bin Usman al-`Asady al-Marākishy yang dikenal dengan Ibnu al-Binā`. Wafat tahun 721.
[8] Tafsīr al-Kashāf, 2:35. Cet. Būlāq.
[9]Al-Quran, 8:35.
[10] Al-Quran, 6:162
[11] Al-Quran, 6:29.
[12] Al-Quran, 30:39.
[13] Pendapat saya, mungkin penulisan itu disebabkan bahwa ṣalātuhum bukan syar’i dan tidak diperhitungkan. Jadi, tidak pantas untuk diagungkan.  Pada firman Allah, `innā ṣalātī merupakan bentuk perendahan dan penyerahan kepada Allah, bukan derajat yang pantas dengan pengagungan. Adapun firman Allah, `in hiya `illā ḥayātunā al-dunyā, adalah masa antara kehidupan mereka adalah sempit, tidak patut untuk diagungkan. Sedangkan firman Allah, wa mā `ātaytum min riban, adalah riba bukan maknanya secara syar’i. Di sana tidak ada penarik untuk menakuti dan kepastian.
[14] Mereka memberi alasan, aslinya pada lafal-lafal ini penulisannya adalah dengan sīn, sebagaimana bahasa umumnya. Akan tetapi, lafal-lafal itu ditulis dalam beberapa mushaf Usmani dengan ṣād. Supaya dua bacaan, bacaan yang dibuktikan dengan tulisan dan bacaan yang dibuktikan oleh induk, berimbang. Seandainya, kata-kata tersebut ditulis dengan sīn, maka keberimbangan itu hilang. Sedangkan pengibaratan dengan ṣād menyalahi asal dan tulisan. oleh karena itu, bacaan baṣṭah dalam al-`A’rāf berbeda, terkadang dibaca dengan ṣād dan terkadang dengan sīn. Hal itu tidak terjadi dengan basṭah dalam surat al-Baqarah, karena ditulis dengan sīn. Lihat, bagaimana sahabat bisa sampai pada batasan ini dalam tulisan mushaf, detail dan penelitian ilmu?
[15] Keduanya telah ditulis dalam beberapa mushaf penduduk Basrah dengan redaksi Allah, tanpa lām, sebagai jawaban pertanyaan. Keduanya juga ditulis dengan lam dalam beberapa mushaf penduduk Ḥaramayn, Kufah dan Shām masih semakna. Karena siapa Dzat yang memiliki dan milik Dzat siapa adalah semakna. Oleh karena itu jawaban ayat pertama menggunakan lām, diangfap cukup. Allah berfirman,
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيها إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ, سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ.
Berbeda dengan dua ayat selanjutnya.
[16] Al-`Itqān, 2:167-170.
[17] Dalam al-Qāmūs al-Muḥīṭ, lāqa al-dawāta yalīquhā  līqatan, layqan, bentuk `alāqahā yaitu menjadikannya līqat atau memperbaiki tintanya. Jadi, lāqat al-dawāta adalah melekatkan tinta dengan bulu tinta, yakni, memperbaiki tintanya dengan meletakkan bulu dalam tinta. Yaitu, bulu atau semisalnya.
[18] Al-Quran, 5:3,44.
[19] Al-Quran, 69:19-20.
[20] Al-Quran, 29:48-49.
[21] Mungkin yang dimaksud adalah jelasnya kerusakan keraguan. Beliau tidak kembali karena alasan. Dalam Fatḥ al-Bāry, 7:405, aman dari keraguan adalah lebih jelas.
[22] Di antara yang meriwayatkannya adalah al-Bayhaqy dalam al-Sunan al-Kubrā. Ia member komentar, hadis ini munqaṭi’ (terputus sanadnya). Para perawinya da sekelompok perawi lemah dan tidak diketahui, wa Allahu Taālā `a’lam.
[23] Ṣaḥīḥ al-Bukhāry -kitab al-Maghāzy- bāb ‘Umrat al-Qaḍā`. Diriwayatkan juga oleh al-Nasā`y dalam Sunan-nya dan Ahmad dalam Musnad-nya. Sedangkan Muslim, meriwayatkannya tanpa wa laysa yaḥsunu yaktubu, akan tetapi dalam riwayatnya ada penetapan penulisan sebagaimana di sini. Hadis ini menetapkan nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam belajar tulisan, meskipun tidak bagus.
[24] Adalah al-Ḥāfiẓ Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Anbar al-`Anṣāry al-Maliky, syakh al-Ḥaram. Lahir tahun 355 dan wafat pada 434 H.
[25] Adalah imam Nāṣir bin Sulaiman bin Nāṣir bin Muhammad l-`Anṣāry al-Shāfi’y. lahir tahun 489 dan wafat tahun 552 H.
[26] Adalah al-Qāḍī Sulaiman bin Khalaf bin Said bin `Ayyub al-Tujīby al-Qurṭuby, pemilik beberapa karya yang bermanfaat. Lahir pada tahun 453 dan wafat tahun 474 H.
[27] Adalah al-Qāḍy Muhammad bin Muahammad bin Ahmad al-Simnāny Abu Ja’far, seorang ulama fikih Irak. Namanya dinisbatkan ke Simnān, suatu daerah di Irak. Ia bertanggungjawab pada kehakiman di Mawṣil. Wafat pada tahun 444 H di Mawṣil.
[28] Tafsīr al-`Ālūsy, 21:4 dan 5. Cet. Munir dan Fatḥ al-Bāry, 7:405 dan 406.
[29] Penentuan Ḥā mīm, ‘Ayn sīn qāf surat al-Shūrā dalam tulisan bukan saudara-saudaranya yang lain yang disebutkan bersamanya hanya untuk menjauhkan untuk yang pertama dengan enam saudaranya. Yaitu, al-Ḥawāmīm Ghāfir, Fuṣṣilat, al-Zukhruf, al-Dukhān, al-Jāthiyah dan al-`Aḥqāf.
[30] Al-Marākisyi mengikuti madhab khalaf yang menakwil yad dengan kekuasaan. Sedangkan salaf tidak mentakwilnya. Mereka mengimaninya secara lafal, sebagaimana adanya serta menyerahkan pengetahuan hakikatnya kepada Allah Tabāraka wa Ta’ālā.
[31] Al-`Itqān, 2:108.
[32] Saya mendapatkan banyak hal dari masalah ini dengan paparan shaykh al-Marrākushy. Akan tetapi saya menambahinya secara jelas. Sebagiannya adalah hasil ijtihad saya, sebagaimana ijtihad ulama dahulu.
[36] Yaitu firman Allah, إنْ يَشَأْ يُسْكِنِ الرِّيحَ فَيَظْلَلْنَ رَوَاكِدَ علَى ظَهْرِهِ
[37] Al-Quran,  5:29.
[43] Al-Muqaddimah, h. 351. Ibnu Khaldūn mengatakan, tulisan termasuk salah satu hasil yang perdaban modern dan klasik. Ketika peradaban kuat, maka tulisan menjadi lebih kuat dan baik. Ketika kebaduwian menjadi kokoh maka keummian menjadi menang dan menyeluruh. Sahabat tidak berada dalam tingkatan tulisan yang sempurna. Oleh karena itu, beberapa tulisan mushaf berbeda dengan beberapa kaidah tulisan yang terkenal dalam sebagian ayat Al-Quran. Generasi sesudahnya mengikuti tulisan mereka karena mengikuti mereka dan tabarrukan dengan mereka, seterusnya sampai akhir pernyataan Ibnu Khaldūn.
[44] Al-Tibyān, h. 178, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, j. 1.
[45] Pembawa bendera kebohongan ini  adalah cendekiawan yang mengaku sebagai Pfander. Ia membuat buku yang bernama Mīzān al-Ḥaqq, lebih utama dinamai Mīzān al-Bāṭil. Cendekiawan lainnya tidak diketahui. Ia menggunakan nama Hashim al-‘Araby dalam Tadhyīl Maqāl fī al-`Islām. Sedangkan cendekiawan ketiga mengaku sebagai . Lihat kitab `Adillat al-Yaqīn, h. 8,9 karya al-Maghfūr ustadh shaykh Abdurrahman al-Jazīry.
[46] Lihat, Muqaddimatān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān, h. 104 dan setelahnya.
[47] Juz 6:5 cet. Munīr.
[48] Bagian surat al-Nisā` ayat 162. Bunyi nasnya,
 لكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِما أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَما أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْراً عَظِيماً
[49] Maksudnya kitab Sibawayh, yaitu Ilmun bi al-Ghalabah ‘Alā al-Naḥwiyyīn.
[50] Samar akan itu dan tidak mengetahuinya.
[52] Tafs
[53] Tafsir al-`Ālūsy
[54] Surat al-Ra’d ayat 31. Penulisannya seperti ini dalam tulisan Uthmani dengan tambahan alif setelah Yā` pertama.
[55] Maksud mushaf imam adalah mushaf usman dan selainnya yang ditulis karena perintah Usman dan disebarkan ke beberapa kota. Sebagian ulama memandang, maksud mushaf imam adalah mushaf yang ditetapkan untuk Usman sendiri.
[56] Tafsīr al-Qurṭuby, j. 9, h. 320.
[57] Al-`Itqān, j. 1, h. 121.
[59] Lihat tafsir al-`Ālūsy, 18:165,166.
[60] Perbedaan ini ada indikasi kuat bahwa riwayat dari Ubayy, ia membaca dengan bacaan ini, maksudnya hanyalah tafsir. Seandainya tidak, jauh bahwa semua itu adalah bacaan yang tetap dengan talaqqy dan simā’. Bacaan-bacaan yang berupa tafsir banyak ditemukan dari sebagian sahabat dan tabiin. Sehingga seseorang yang tidak mengetahui bahwa itu adalah bacaan tilawah menduga hal itu. Adapun yang benar adalah penjelasan yang telah kita paparkan kepada anda.
[62] Bagi yang menginginkan penjelasan utuh pernyataan ulama tentang pengarahan bacaan ini, yaitu beberapa pendapat dan bukti dalam bahasa Arab, lihat tafsir al-Qurṭuby, 11:216 dan sesudahnya, tafsir al-`Ālūsy, 16:222 dan seterusnya dan muqaddimatān fī ‘Ulūm al-Qur`ān h. 109 dan seterusnya.
[63] Qayyār adalah nama keledainya.
[66] Tafsir Ibnu Kathīr dan al-Baghawy, 6:26.
[67] Bacaan mutawatir dari al-`ityān adalah al-`i’ṭā`. Yakni, yu’ṭauna mā `u’ṭū. Adapun yang kedua, al-`ityān juga bermakna fi’l. Yakni, yaf’alūna mā yaf’alūn.
[68] Tafsir al-`Alūsy, 17:44.
[69] Takhmīs adalah tulisan lafal lima pada permulaan setiap lima ayat. Sedangkan ta’shīr adalah penulisan lafal sepuluh dari  permulaan setiap sepuluh ayat. Di antara mereka ada yang mencukupkan dengan penulisan huruf خ dan ع.
[70] Al-Quran, 56:75-80.
[71] Kantong dari kulit yang berisi Al-Quran
Pondok Pesantren 2378894648711525993

Posting Komentar

  1. makasih tulisan detail banget

    BalasHapus
  2. Ceritanya gotong royong neh....

    BalasHapus
  3. Tulisan Dan Penulisan Al-Qur'An >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Tulisan Dan Penulisan Al-Qur'An >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Tulisan Dan Penulisan Al-Qur'An >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK

    BalasHapus

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments