TULISAN DAN PENULISAN AL-QUR'AN
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/11/tulisan-dan-penulisan-al-quran_44.html
TULISAN DAN PENULISAN AL-QUR'AN
Kitābah
Menurut Arab
Sebelum
terjun ke dalam kajian tentang kitābah dan rasm Al-Quran,
sebaiknya kita jelaskan terlebih dahulu, bagaimana penulisan itu sendiri di Mekah
dan Madinah sebelum diutusnya Muhammad? Kita jelaskan, para sejarawan hampir
sepakat bahwa tulisan masuk ke Mekah lewat Ḥarb bin Umayyah bin Abdu Shams.
Meskipun mereka berbeda pendapat mengenai guru tulisan Umayyah. Dalam riwayat
Ibnu al-Kalaby, Ḥarb mempelajarinya dari Bashar bin Abdul Malik, saudara `Ukaydir
bin Abdul Malik pemilik dūmat al-Jandal. Karena Ḥarb mengenalnya dalam
perjalanannya ke Irak, kemudian ia belajar tulisan darinya. Selanjutnya, Bashar
ikut Ḥarb pulang ke Mekah dan menikah dengan al-Ṣahbā` binti Ḥarb, saudara Abu
Sofyan. Oleh sebab itu, kelompok Quraish menjadi mudah untuk mempelajari
tulisan dan bacaan. Sedangkan penduduk Irak mempelajari tulisan dari penduduk `Anbār
yang mempelajari tulisan dari sekelompok Arab Ṭayyi`. Orang Ṭayyi` sendiri mempelajarinya
dari penulis wahyu Nabi Hud ‘Alayh al-Salām.
Menurut
riwayat Abu Amr al-Dāny dari Ziyād bin `An’am dari Ibnu Abbas, Ḥarb belajar
tulisan dari Abdullah bin Jad’ān dan Abdullah belajar dari penduduk `Anbār. Sedangkan penduduk `Anbār belajar tulisan dari orang asing yang datang dari Yaman.
Orang asing tersebut mempelajarinya dari al-Khuljān bin Mūhim. Ia adalah sekertaris wahyu
Nabi Hud dari Allah `Azza wa Jalla. Oleh karena itu, di Mekah ada orang yang bisa menulis
sebelum bi’thah. Sedangkan di Madinah al-munawwarah,
menurut ahli sejarah Nabi Muhammad, dibawa oleh Nabi sendiri. Di Madinah, terdapat orang Yahudi yang mengajari baca-tulis kepada
anak-anak kecil. Di sana ada belasan lelaki yang
mengetahui tulisan. Di antaranya, Zayd bin Thābit yang mempelajari tulisan Yahudi
atas perintah Nabi Muhammad setelah hijrah, al-Mundhir bin ‘Amr, Ubay bin
Wahab, ‘Amr bin Said dan lainnya.
Dari keterangan di atas, dapat kita ketahui, tulisan sudah ditemukan
oleh orang Arab sebelum Islam. Hanya saja, orang yang cakap dalam bidang ini sangat sedikit.
Mayoritas adalah ummi, tidak dapat membaca dan menulis. Oleh karena itu, bangsa Arab disebut sebagai bangsa ummi.
Adanya tulisan di lingkungan Arab menjelang kedatangan
Islam menunjukkan irhāṣ[1] diutusnya utusan terakhir, Nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam. Untuk menghimpun
tulisan Al-Quran dalam lembaran dan catatan dalam kertas untuk dihafalkan di dada. Oleh karena itu, disiapkan pendorong-pendorong untuk menghafalkan
Al-Quran yang tidak dipersiapkan untuk selaian Al-Quran. Kepastian tersebut
sebagaimana janji Dzat yang Maha Benar Jalla wa ‘Alā,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[2]
Dan juga setelah perjanjian Hudaybiyah.
Tulisan termasuk salah satu sebab tersampainya risalah
Nabi Muhammad kepada para raja dan penguasa. Nabi menyurati mereka berupa seruan untuk beribadah hanya kepada
Allah, bergabung dibawah bendera Islam dan mengesampingkan
syirik dan penyembahan berhala. Dengan usaha itu, risalah dapat melewati batas
jazirah Arab, menyebar ke penjuru dunia yang kita kenal sekarang.
Di antara tulisan yang diketahui adalah tulisan Rasulullah kepada Muqawqis,
pembesar Qibṭi. Tulisan itu merupakan salah satu peninggalan nabi yang
bernilai.[3]
Islam dan Tulisan
Ketika
Islam datang, dunia tulis dan mempelajarinya serta ilmu dan pengetahuan terangkat. Tidak ada yang lebih mengindikasikan ini daripada surat
pertama kali yang diturunkan. Surat itu menyanjung qalam yang merupakan
alat keilmuan dan pengetahuan yang diusahakan.
Surat tersebut adalah firman Allah Ta’ālā,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ, خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ, اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ, الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ, عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Pernyataan ‘allama bi al-qalam mengisyaratkan ilmu yang dapat diusahakan. Sedangkan firman ‘allam
al-`insāna mā lam ya’lam merupakan isyarat ilmu yang di dapat tanpa usaha.
Ini, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā bersumpah
dengan qalam dalam firmannya,
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
Dalam penggunaan sumpah tersebut oleh
Allah,
ada penyanjungan al-qalam dan peringatan kepada manusia akan
beberapa faidah dan keistemewaannya.
Dalam sebuah hadis sahih, Nabi Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam berkata, “Makhluk yang pertama kali yang diciptakan adalah al-qalam. Kemudian Allah berfirman, “Tulislah!” Maka ia menulis kejadian-kejadian
sampai hari kiamat.” Hadis diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidhy yang
sekaligus menganggapnya sahih.
Agama yang disanjung dengan pena
(al-Qalam), penyanjungan bahwa agama ini adalah agama keilmuan dan peradaban yang sempurna
Ini,
Nabi ,,,,,,
ṣalawāt Allah wa salāmuhu ‘alayh awal kesempatan untuk menyebarkan bacaan dan tulisan.
Beliau menggerakkannya agar lebih banyak anak-anak muslim yang mempelajarinya. Beberapa perawi thiqah bahwa umat Islam menawan tujuh puluh orang musyrik dalam
peperangan Badar Kubra. Nabi menerima uang tebusan yang mencapai empat ribu
dirham dari para tawanan. Sedangkan orang yang bacaan dan tulisannya baik, nabi
menjadikan tebusannya adalah mengajari bacaan dan tulisan kepada sepuluh pemuda
Madinah.[4]
Nabi melaksanakan ini pada
saat umat Islam sangat membutuhkan dirham untuk mengurangi kemiskinan dan menakuti musuh-musuhnya.
Akan tetapi, nabi melihat bahwa pendidikan umat tentang tulisan lebih baik daripada harta. Tulisan termasuk pendorong kemajuan umat dan memajukannya.
Dengan politik bijaksana ini, Nabi menjadi pelopor bangunan guna menghilangkan ke ummian dari beberapa umat dan
bangsa. Islam lebih dahulu dalam memerangi keummian dan kebodohan sejak
empat belas abad lalu. Pada waktu itu, para pemegang kekuasaan lainnya menjaga
agar bangsa mereka tetap tenggelam dalam kebodohan dan takhayyul. Politik
cerdas ini memiliki pengaruh. Tulisan, keilmuan serta pengetahuan tersebar di
kalangan umat Islam. Tulisan tersebar di setiap wilayah yang dibuka oleh umat
Islam. Ini tidak berbeda dengan riwayat dari Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa
Sallam, “Kami adalah umat ummi, tidak bisa menulis dan menghitung.”
Karena riwayat tersebut memberi berita mengenai kondisi mayoritas umat. Kemudian ilmu dan kebudayaan asli menjadi salah satu
ciri khas umat Islam.
PENULISAN
AL-QURAN AL-KARĪM
Seluruh
Al-Quran ditulis di hadapan Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Hanya
saja, masih tercerai berai di tulang, batu putih tipis, papan, kertas dan
sebagainya. Ketika wahyu turun, nabi memanggil sebagian penulis wahyu. Kemudian,
beliau memerintahkan mereka untuk menulisnya dan menunjukkan suratnya dan cara
penulisannya. Sebelum Nabi meninggal, semua Al-Quran sudah ditulis.
Kemudian,
pada masa Abu Bakar al-Ṣiddīq raḍiya Allah ‘anhu,
Al-Quran ditulis dalam beberapa lembaran yang disatukan. Penulisannya bersumber
dari tulisan yang ditulis di hadapan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa
Sallam. Selanjutnya, pada masa Usman raḍiya Allah ‘anhu berdasarkan kondisi yang terjadi ditulis di beberapa mushaf.
Penulisannya merujuk pada tulisan masa Abu Bakar raḍiya Allah ‘anhu. Hanya saja, ia meringkas tulisannya yang sesuai bahasa Quraish.
Kami telah menjelaskan sebelumnya dalam bahasan penghimpunan Al-Quran, perkembangan penulisan Al-Quran dan pembukuannya.
Barang kali kalian masih mengingatnya.
PENULIS
WAHYU
Penulisan
Al-Quran di hadapan nabi memiliki para sekertaris dari kalangan sahabat yang terkenal
dengan kesempurnaan agama, kelebihan amanah, keunggulan akal dan keteguhan yang sangat, sebagaimana mereka
dikenal akan kecakapan huruf hijaiyah dan tulisannya. Di antara yang terkenal
dengan tulisannya adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abdullah bin Sa’d bin Abu
Sarḥ yaitu, penulis wahyu pertama di Mekah, Zubayr bin Awwām, Mu’āwiyah, Khalid
dan `Abān kedua putra Said bin al-‘Āṣ bin Umayyah, Ubay bin Ka’b yaitu penulis
wahyu pertama di Madinah, Zaid bin Thābit, yaitu orang yang banyak tulisannya
di Madinah, Shuraḥbīl bin Ḥasanah, Abdullah bin Rawāḥah, ‘Amr bin al-‘Āṣ,
Khalid bin al-Walīd, al-`Arqam bin Abu al-`Arqam al-Makhzūmy, Thābit bin Qays,
Abdullah bin al-`Arqam al-Zuhry, Ḥanẓalah bin al-Rabī’ al-Āsady dan Mu’ayqīb
bin Abu Fāṭimah pada masa-masa akhir.[5]
Mereka menulis apa yang didiktekan dan ditunjukkan oleh Rasulullah cara
penulisannya tanpa menambahi dan mengurangi satu huruf pun. Imam Ahmad dan tiga
pemilik karya al-Sunan meriwayatkan sebuah hadis Abdullah bin Abbas dari
Usman yang disahihkan oleh Ibnu Ḥibbān dan al-Ḥākim. Usman mengatakan, “Pada
suatu saat, Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam mendapatkan surat
yang berbilang. Ketika Al-Quran diturunkan, beliau memanggil sebagian penulis.
Kemudian mengatakan, “Taruhlah ayat ini di surat yang disebutkan demikian.”
Riwayat tersebut menunjukkan penulisan Al-Quran pada masa nabi Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam. Selain itu, masih ada banyak dalil-dalil yang lain.
Diantaranya
1.
Riwayat
Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya dari Abu Said al-Khudry yang mengatakan bahwa
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam berkata, “Janganlah kalian
menulis dariku selain Al-Quran. Barang siapa yang menulis selain Al-Quran maka
hapuslah.”
2.
Riwayat
dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhāry mengenai perkataan Abu Bakar al-Ṣiddīq kepad Zayd
bin Thābit, “Engkau merupakan seorang laki-laki muda berakal. Kami tidak meragukanmu
bahwa engkau menulis wahyu untuk Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam.
3.
Riwayat
al-Tirmidhiy, ketika firman Allah Ta’ālā lā yastawī al-qā’idūna min
al-mu`minīna ghayru `ulī al-ḍarari wa al-mujāidūna fī sabīlillahi, al-`āyah
turun, Abdullah bin Ummi Maktūm dan Abdullah ibnu Jaḥsh[6]
bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, kami adalah orang buta. Adakah
keringanan untuk kami?” Kemudian turun ayat ghayru `ulī al-ḍarari. Rasulullah berkata, “Bawakanlah aku batu
putih tipis dan tempat tinta dan beliau menyuruh Zayd untuk menulisnya. Kemudian
Zayd menulisnya. Zayd mengatakan, “Seolah-olah aku melihat tempat ayat tersebut
ketika nabi menjelaskannya di batu putih tipis situ.”
RASM AL-MUṢḤAF
Apakah rasm al-mushaf?
Maksud rasm al-mushaf adalah kesepakatan yang disetujui
Usman raḍiya Allah ‘anhu dan para
sahabat yang bersamanya mengenai tulisan kata-kata Al-Quran dan tulisan huruf-hurufnya
dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke beberapa penjuru dan mushaf
al-`imām yang dipegang oleh Usman sendiri. Rasm Al-Quran telah
menjadi disiplin ilmu tersendiri. Para ulama dahulu dan belakangan memberi
perhatian dengan membuat karangan tentangnya. Di antaranya adalah Shaykh Imam
Abu ‘Amr al-Dāny dalam kitabnya al-Muqni’, Syaykh Abu Abbas al-Marākishy[7] ia
menyusun buku ‘Unwān al-Dalīl fī Marsūm Khaṭṭ al-Tanzīl tentang pengarahan
hal-hal yang berbeda dengan kaidah-kaidah tulisan. Isinya, ia menjelaskan
huruf-huruf ini hanya berbeda dalam tulisannya dikarenakan perbedaan makna
kata-katanya. Ini mengandung faidah-faidah balaghah, bahasa dan nahwu. Ulama lainnya
adalah Shaykh Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan al-Mutawally. Ia membuat
syair tentangnya secara ringkas. Kemudian ada al-Marḥūm al-‘allāmah shaykh Muhammad
Ali Khalaf al-Ḥusayny, guru al-maqāri` (suatu tempat berkumpul para
penghafal membaca Al-Quran untuk ngalap berkah di masjid) Mesir. Ia membuat
syarah syair al-Mutawally dan memberi lampiran dengan kitabnya yang bernama Murshid
al-Ḥayrān `ilā Ma’rifat mā Yajibu `Ittibā’uhu fī Rasm Al-Qur`ān. Dalam
bahasan ini, shaykh Muhammad Habibullah al-Shinqīṭy
juga menyusun kitab kecil yang bernama `Īqāẓ al-`A’lām `ilā `Ittibā’ Rasm
al-Mushaf al-`Imām.
Kaidah-kaidah Tulisan Mushaf
Dasar pokok tulisan adalah tulisan sesuai dengan apa yang diucapkan
tanpa tambahan, pengurangan, perubahan, penggantian disertai perhatian akan permulaan
dan pemberhentiannya, serta pisah dan bersambungnya. Para ulama telah menyusun
dasar-dasar dan kaidah-kaidah tulisan tersebut. Penulisan mushaf induk terkadang
berbeda dengan dasar-dasar dan kaidah-kaidah itu. Oleh karena itu, dikatakan,
“Dua tulisan yang tidak disamakan, tulisan mushaf dan tulisan ‘arūḍ.
Adapun tulisan yang pertama, karena
pegangannya adalah riwayat hadis, bukan pelafalan yang diucapkan (malfūẓ manṭūq).
Sedangkan tulisan kedua, karena pegangannya adalah pertimbangan dalam ucapan
yang dilafalkan (manṭūq malfūẓ). Permasalahan tulisan ini terangkum
dalam enam kaidah: pembungan, penambahan, hamzah, penggantian, waṣal-faṣl
(sambung-pisah) dan tulisan yang mencakup dua qiraat mutawatir dan
ditulis dengan salah satunya. Tentu kami akan menyebutkan contoh-contohnya
dengan cukup jelas tanpa penelitian dan meringkas semua yang telah berlaku.
1.
Pembuangan.
Misalnya
adalah pembuangan huruf alif pada ya` nidā` dalam يأيها الناس, hā` tanbīh هأنتم هؤلاء, kata ganti نا
ketika bertemu dengan ḍamīr, seperti أنجينكم
dan آتينه, jama’ mudhakar dan
mu`annath, misalnya سماعون للكذب,
المؤمنت, المسلمات,
dan القانتات dan sebagainya dan jama’ yang mengikuti wazan mafā’il
dan shibhnya, contoh مسجد dan النصرى
kecuali yang dikecualikan.
Pembuangan
huruf yā`pada setiap isim manqūṣ yang bertanwin serta dibaca rafa’
atau jīr. Misalnya, غير باغٍ ولا عادٍ
dan وَلِكُلِّ قَوْمٍ هادٍ. Penyandaran pada yā`
ketika digunakan sebagai nidā`, misalnya ياعبادِ
فا تقونِ kecuali قل يعباديَ الذبن أسرفوا
dalam surat al-Zumar, يعباديَ الذين آمنوا
dalam surat al-Ankabūt. Contoh lainnya adalah أطيعونِ,
واتقونِ, فارهبونِ,
فأرسلونِ, فاعبدونِ
kecuali dalam surat Yāsīn dan وأخشونِ kecuali dalam surat al-Baqarah dan كيدونِ kecuali فكيدوني
جميعا.
Huruf
wawu dibuang ketika terletak setelah wawu lain, misalnya لا يستون, فأوا الى الكهف.
Begitu juga, huruf wawu dibuang pada empat fiil ini, ويدع الإنسان بالشرّ دعاءه بالخير dalam surat
al-`Isrā`, ويمحُ اللهُ الباطلَdalam surat al-Shūrā, يوم يدعُ
الداعِ إلى شيئٍ نُكُرٍdalam surat al-Qamar dan سندعُ
الزبانيةdalam surat `Iqra` dan penjelasannya akan disebutkan
selanjutnya.
2.
Penambahan.
Misalnya
adalah penambahan alif di akhir isim yang dijama’kan atau terkena
hukumnya, misalnya مُلاقُوا ربِّهم,
بنُوا إسرائيلَ, أولوا الألبابِ, مائة,
مائتين, الظُّنُونا,
الرسُولا, السبيلا,
لا أذبحنه dalam surat al-Naml, ولا أوضعوا خِلالكم dalam surat al-Taubah dan semisal يتـفـيّئُوا, أتوَكؤُا,
تفْـتَؤُا, ولا تظْمؤُا
dan penambahan di antara huruf jīm dan yā`
جىء dalam surat al-Zumar dan al-Fajr. Keduanya dalam mushaf ditulis
dengan وجاىء.
Penambahan
huruf yā`, misalnya pada نبإي المرسلين,
ملإيهم, وملإيه,
ومن آناءي الليل, وإيتاءي ذي القربى dalam surat al-Naḥl, بأيّيكم المفتون dan والسماء بنَـيْناها
بأيـّيد.
Sedangkan
penambahan huruf wawu, misalnya pada أولوا,
أُولـئك, أولًاء,
أُولات dan سأورِيكم.
Al-Karamāny memberi alasan penambahan itu. Dalam kitabnya, al-‘Ajā`ib,
ia mengatakan, “Bentuk fathah dalam tulisan sebelum tulisan Arab adalah alif.
Sedangkan bentuk dammah adalah wawu dan bentuk kasrah adalah yā`. maka
ditulis لأ اوضعوا dan semisalnya dengan menempatkan alif di
tempat fathah, وايتاءي ذي القربى dengan huruf yā`
di tempat kasrah dan أولـئك dan semisalnya
dengan huruf wawu menempati tempat dammah, karena dekatnya masa
mereka dengan penulisan pertama.
Al-Zamakhshary
dalam tafsirnya mengatakan, “Jika anda tanyakan, bagaimana bisa penulisan لأ اوضعوا dalam mushaf ditambah dengan alif? Saya jawab, sebelum
adanya tulisan Arab, fathah ditulis dengan huruf alif. Tulisan Arab
sendiri baru dibuat mendekati turunnya Al-Quran. Sesuatu yang tersisa adalah `ilf
–dengan hamzah kasrah dan lām disukun- yang merupakan pengarruh
dalam percetakan. Maka, mereka menulis bentuk hamzah dengan alif dan fathahnya juga
alif yang lain. Contohnya yaitu أولأَاذبَحَنه.[8]
Contoh itu memberi isyarat bahwa al-Zamakhshary berpendapat sebagaimana
al-Karamāny. Keduanya berpendapat bahwa tulisan mushaf adalah hasil ijtihad.
Pendapat
saya, seandainya memang seperti yang mereka berdua katakan, kenapa hanya
dipraktekkan pada ayat-ayat tersebut? Padahal dalam Al-Quran terdapat ribuan
fathah, kasrah dan dammah.
3.
Kaidah
hamzah.
Hamzah
sukun aslinya ditulis dengan huruf sesuai harakat sebelumnya, baik
terdapat di permulaan kata, ditengah maupun di akhir. Contohnya, اِئذَن لي, اؤتُمن,
البَأساء, اقرَأ,
جِئناك, dan هيَّئ,
kecuali yang dikecualikan. Seperti, فأدَّارَءْتم
dan ورِءيًا. Huruf di contoh keduanya dibuang dan
hanya ditulis dengan hamzah.
Adapun
hamzah yang berharakat, jika berada di awal kata atau bersambung dengan
huruf tambahan, maka harus ditulis dengan alif, baik itu dibaca fathah, dammah
maupun kasrah. Contoh أَيّوب, إذا, أولُوا, سَأصرِف dan فبِأيّ, kecuali dibeberapa
tempat. Misalnya, قل أَئنّكم لَتَكفرون
dalam surat Fuṣṣilat, أئنّا لمُخرَجون
dalam surat al-Naml, أئنّا لتارِكوا آلهتِنا
dan أئنّ لنا
dalam al-Shu’arā`. Kemudian ditulis dengan yā` dan قل أؤنبّئكم dan هؤُلاء ditulis dengan wawu.
Ketika
hamzah berada di tengah, maka ditulis dengan huruf yang sejenis dengan harakat
sebelumya. Misalnya, سَأل, سُئل, نقرَؤُهkecuali yang dikecualikan. Sedangkan,
jika berada di akhir, maka ditulis dengan huruf yang sesuai harakat sebelumnya.
Misalnya, سبَأ, شاطِئ dan لُؤلُؤ. Perbedaan akan hukum
asli ini ada di beberapa tempat dalam Al-Quran. Misalnya, تـفـتَؤُا, تـفـيَّؤُا,
أتوكَّؤُا, ولا تظمَؤُا,
ما يَعـبَؤُا, يدرَؤُا,
dan يُنَشَّؤُا. Kesemuanya itu
ditulis dengan menggunakan huruf wawu dengan ditambah alif sesudahnya. Jika
huruf sebelumnya dibaca sukun, maka hurufnya dibuang. Misalnya, ملْءُ الأرضِ, دِفْءٌ,
شَيْءٌ dan الخَبْءَ.
4.
Kaidah
penggantian
Alif
dalam tulisannya, ditulis dengan wawu, karena untuk memuliakan, menakuti dan
memberi kepastian. Misalnya, الصلواة,
الزكوات, الحيوات,
الربوا selain yang diiḍāfahkan, seperti كمِشْكاة, ومَنَاةَ
kecuali firman Allah Ta’ālā وما كان صَلَاتُهُم عِندَ
البَيْتِ إِلَّا مُكَاءً و تَصْدِيَةً[9],
إنّ صَلَاتِي وَنُسُكِي[10],
إنْ هِيَ إلّا حَيَاتُنَا الدّنيَا[11]
dan ومَا آتَيتُم مِنْ رِبًا لِيَربُوَا في أموَال النّاسِ
فَلَا يَربُوا عِندَ اللهِ[12].
Kesemuanya ditulis dengan alif.[13]
Setiap alif yang merupakan gantian dari yā`ditulis dengan
ya’. Contoh يتَوَفَّيكُم baik
pada isim maupun fiil, bersambung dengan ḍamīr maupun tidak dan dibaca
sukun maupun tidak. Misalnya, ياحَسرَتَي,
يا أسَفَى على يُوسفَ kecuali
yang dikecualikan. Misalnya, تَتْرَا,
كِلْتَا, هَدَانِي,
dan وَمَنْ عصَانِي. Nūn tawkīd
khafīfah dan nūn nya `idhan juga ditulis dengan alif, terkadang
ditulis dengan nūn. Seperti, كأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ. Huruf hā` ta`nīth
ditulis berbeda dengan kaidah asal, yaitu ditulis dengan tā` di beberapa
tempat dalam Al-Quran. Misalnya, رحمَتَ
dalam surat al-Baqarah, Āli ‘Imrān dan lainnya, نعمت dalam surat al-Baqarah, `Āli ‘Imrān al-Mā`idah dan
lainnya, سُنّتَ dalam
surat al-`Anfāl dan Fāṭir, وامْرَأَتُ مع زوجها dan لَعْنَتَ dalam firman Allah فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ
اللهِ على الكاذبين dalam surat `Āli ‘Imrān, والخامسةُ أنّ لَعْنَتَ اللهِ عليه surat al-Nūr, معصيت dalam surat Laqad
sami’a, شجَرَتَdalam إنّ
شَجَرَتَ الزّقُّوم, طعامُ الأثِيم, قُرَّتُ عَينٍ لي
ولَك, بَقِيّتُdalam firman Allah بَقِيّتُ اللهِ dan جنتdalam firman
جنت نعيم dan
sebagainya.
5.
Kaidah
Faṣl dan Waṣl
Ada beberapa lafal dalam tulisan Al-Quran yang terkadang bersambung
dan terkadang dipisah. Sebagian lagi dalam tulisannya dengan bentuk tulisan
satu. Misalnya, ketersambungan ألَّا
dengan dibaca fathah dan tashdid lamnya. Bentuk terpisahnya ada sepuluh tempat.
Di antaranya, أنْ لَا يقُولُواdalam surat al-`A’rāf, أنْ لَا
تَعْبُدُوا dalam surat Hūd dan Yāsīn,
وأَنْ لا تَعْلُوا عَلى اللهِ dalam surat al-Dukhān. Ketersambungan ممّا kecuali منْ مَا مَلَكَتْ
أيْمَانُكُم dalam surat al-Nisā` dan al-Rūm dan مِنْ
مَا رَزَقْنَاكُم dalam surat al-Munāfiqīn. Juga ketersambungan مِمّن seluruhnya dan عمّا
kecuali عنْ مَا نُهُوا عنه. Penggabungan عَمّنْ kecuali firman Allah ويَصرِفُهُ عَنْ مَنْ يشَاءُ dalam surat al-Nūr dan عنْ مَنْ توَلَّى surat al-Najm. Penggabungan كُلّمَا,
kecuali كُلّ ما رُدّوا إلى الفِتْنَةِ أُرْكِسُوا فيها
dan مِنْ كُلّ مَا سَألتُمُوه. Penggabungan أمّن, kecuali أم مَن
يكونُ عليهم وكِيلًا di surat al-Nisā`, أمْ مَنْ أسّسَdi surat al-Tawbah, أمْ مَنْ خلقْنَا disurat al-Ṣāffāt dan أمْ مَنْ
يَأتِي آمِنًا. Penggabungan إمّا,
dengan hamzah dibaca kasrah dan lam tashdid, kecuali إنْ مَا نُرِيَنّكَpada surat al-Ra’d.
Penggabungan أمّا, dengan hamzah dibaca
fathah, seluruhnya dan lain sebagainya yang terkadang ditulis tersambung dan
terkadang terpisah. Misalnya, أنّما,
ان لَم baik dibaca fathah maupun kasrah, أنْ, لَنْ ,أيْنَ مَا, كَيْ لَاdan في
ما.
6.
Suatu
kata yang memiliki dua bacaan namun ditulis dengan salah satunya.
Maksud kami bukanlah qirā`at shād. Di antaranya, ملِكِ يومِ الدِين, و يخدعون,
ووَعَدَنا, تُفادُوهم,
تُظْهِرُون, ولَوْلا دَفْعُ
اللهِ الناسَ, فرهن, عقَدَتْ أيْمَانُكُم, أو لمستم النّسَاء,
وحرم على قرية, سُكارَى ومَا هُم بِسُكارى dan seterusnya. Semuanya ditulis dalam mushaf Uthmāny
tanpa alif. Ada yang dibaca dengan alif dan membuang alif, misalnya غَيبَتِ الجُبّ dalam surat Yūsuf, ثَمَرَتٍ مِنْ أكْمَامِهاsurat Fuṣṣilat
dan وهم في الغُرُفَاتِ آمِنُون. Semuanya ditulis
dengan tā` terbuka dan dengan tanpa alif. Terkadang dibaca jamak dan tunggal.
Misalnya, فكهون. Kata itu ditulis
tanpa alif namun dibaca dengan alif dan dibaca tanpa alif juga. Misalnya juga الصّرَاط
bagaimanapun, بَصْطَةًdalam surat al-`A’rāf, المُصَيْطِرُون
dan بِمُصَيْطِرٍ.
Kata-kata itu ditulis dengan huruf ṣād bukan yang lain. Namun dibaca
dengan ṣād dan sīn[14].
Adapun qirā`at yang berbeda-beda namun mutawatir yang mendapatkan
tambahan tidak tercakup oleh tulisan. Contoh أوصى
dan وَوَصّىdi
surat al-Baqarah. تَجْرِي تَحْتَها الأنهَارُ
dan مِنْ تحتِها dalam surat
al-Tawbah, وما عمِلَت أيدِيهِم dan ومَا عَمِلَتْهُ أيديهمdi surat Yāsīn
dan firman Allah سَيَقُولُون لِلّه dan فَسَيَقُولُون
اللهُ di surat al-Mu`minūn[15].
Terkadang bacaan itu ditulis dalam beberapa mushaf, bukan di sebagian yang lain sebagaimana telah
kita sebutkan. Cukup bagi kita, contoh-contoh yang telah kita sebutkan tentang
kaidah-kaidah ini. Bagi yang menginginkan untuk menyempurnakan, maka sebaiknya merujuk
ke al-`Itqān[16]
atau kitab-kitab qirā`at.
Rasm Mushaf, Tawqīfy atau
Terminologi?
Jumhur ulama berpendapat bahwa rasm al-mushaf
al-Uthmāny adalah tawqīfy. Maka, tidak boleh berbeda dengannya.
Mereka memberikan bukti sebagai berikut.
1.
Al-Quran
al-Karīm, semuanya, ditulis
dihadapan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Beliau mendiktekannya kepada para penulis
wahyu dan membimbing penulisannya dengan wahyu dari
Jibril alayhi al-salām. Dikemukakan, Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi
wa Sallam memberi perintah kepada Muawiyah, “Ambil[17]
tempat tinta, rancunglah pena, tegakkanlah huruf bā`, pisahlah huruf sīn,
jangan jadikan huruf mīm buta satu, baguskanlah kata Allah, panjangkan
kata al-Raḥmān, baguskanlah kata al-Raḥīm dan letakkanla bolpoin
kamu di telinga kirimu. Sesungguhnya hal itu mengingatkanku padamu.” Ini menunjukkan
penetapan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam kepada para
sekertaris wahyu terhadap keseluruhan tulisan dan ketetapannya merupakan salah
satu sisi sunah yang diketahui.
2.
Kesepakatan
para qurrā`(ahli bacaan) akan penetapan huruf yā` dalam واخشَونِيْ
(al-Baqarah: 150) dan pembuangan yā` itu di dua tempat, surat al-Mā`idah[18]
dan lainnya dari hal yang diperselisihkan antara pertimbangan-pertimbangan yang
berbeda dengan pembuangan, penetapan, penambahan dan pengurangan, sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya. Jikalau, tulisan merupakan hasil ijtihad, tentu tidak
diperselisihkan antara naẓā`ir dan mutashābihāt.
Barangkali
seseorang mengatakan, “Barangkali ini merupakan kensekuensi banyaknya penulis
wahyu. Tingkatan kecakapaan akan huruf hijaiyah tidak sama. Oleh karena itu,
perbedaan muncul.
Jawabannya,
seandainya permasalahan sesuai sangkaan
seseorang untuk mendebat
antara satu dengan
lainnya tentang ini,
terutama masalah ini berkaitan
dengan dasar awal Islam. Maka, sempurnalah motif-motif
untuk kebebasan berfikir pada masa ini. Akan tetapi, tidak di beritahukan
kepada kita bahwa mereka berdebat dalam permasalahan ini atau mencela
tulisannya antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan kemungkinan ini, sangat
jauh sekali jika dimisalkan pada firman Allah, فَيَقُولُ هاؤُمُ اقْرَؤُا كِتبِيَهْ, إِنِّي
ظَنَنْتُ أَنِّي مُلاقٍ حِسابِيَهْ[19] misalnya. Kata كتبيه
ditulis dengan tanpa huruf alif sedangkan حسابيه
ditulis degan huruf alif, padahal kedua kata tersebut sama?
3.
Ketika
Rasulullah sudah di sisi al-Rafīq al-`A’lā dan
Al-Quran telah
dihimpun
dalam lembaran dan mushaf, para
sahabat sepakat, terutama al-Khulafā` al-Rashidūn. Tidak ada yang berselisih dalam
hal itu, seorang pun. Kesepakatan mereka menjadi hujjah. Rasulullah mendorong
untuk mengikuti dua khalifah sesudahnya. Beliau mengatakan, “Ikutilah dua orang
setelahku, Abu Bakar dan Umar.” Diriwayatkan oleh imam Ahmad dan al-Tirmidhy
dan Ibnu Mājah. Dalam hadis al-‘Irbāḍ bin Sāriyah, “Wajib bagi kalian mengikuti
sunnahku dan sunnah khulafā` al-rashidūn setelahku. Gigitlah dengan gigi
geraham.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Tirmidhy. Ia juga mengatakan hadis
hasan sahih. Tulisan ini telah ditetapkan oleh khulafā` al-rāshidūn dan sahabat
yang dibelakangnya. Jadi, hal itu menjadi ketetapan bagi umat Islam setelahnya
untuk mengikuti mereka, berpegangan dengan tulisan mushaf dan tidak menyimpang
darinya. Ibnu Mas’ud raḍiya Allah ‘anhu mengatakan, “Barang siapa di
antara kalian menjadi panutan, maka ikutilah sahabat Rasulullah Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam. Mereka adalah umat yang paling bersih hatinya, paling
dalam keilmuannya, paling sedikit kepura-puraannya, paling lurus hidayahnya dan
paling baik keadaannya. Allah memilih mereka untuk menemani nabi-Nya Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam dan menegakkan agama-Nya. Maka, ketahuilah
keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka. Oleh karena itu, jumhur imam
berpendapat untuk menetapi tulisan ini.
Pendapat Para Imam Mengenai Kewajiban Tulisan
Usmani
Ashhab mengatakan, “Malik ditanyai, apakah
mushaf ditulis sesuai huruf hijaiyah yang diciptakan manusia? Ia menjawab,
tidak. Melainkan sesuai cara penulisan pertama.” Diriwayatkan oleh al-Dāny
dalam al-Muqni’. Ia mengatakan, ulama umat ini tidak ada yang berselisih
dengannya. Di tempat lain, ia juga mengatakan, “Malik ditanyai tentang huruf
dalam Al-Quran seperti wawu dan alif. Apakah engkau berpendapat bahwa
Al-Quran dirubah ketika ditemukan tulisan seperti ini? Beliau menjawab, Tidak.
Abu ‘Amr mengatakan, “Yakni, wawu dan alif tambahan dalam tulisan yang tidak
diucapakan seperti kata أولوا dan أولات.
Imam Ahmad mengatakan, “Berbeda dengan
tulisan mushaf Usmani dalam hal wawu, yā`, alif dan semisalnya adalah haram.”
Dalam hāshiyah (tulisan pinggir) al-Manhaj
dalam fiqih Syafiiyah, kata الربوا
ditulis dengan huruf wawu dan alif, sebagaimana dalam tulisan Usmani. Tidak
ditulis dengan huruf yā` dan alif dalam Al-Quran, karena tulisannya adalah
tulisan yang diikuti. Dalam kitab fikih Hanafiyah, al-Muḥīṭ al-Burhāny,
ada ketetapan beliau, sebaiknya tidak menulis mushaf dengan selain tulisan
Usmani. Imam al-Bayhaqy dalam Shu’b al-`Īmān, mengatakan, “Seseorang
yang menulis Al-Quran, sebaiknya menjaga huruf hijaiyah yang digunakan sahabat
untuk menulis beberapa mushaf, tidak berbeda dengan mereka dan tidak merubah
apa yang telah mereka tulis. Mereka adalah ulama yang paling banyak ilmunya,
paling bersih hati dan lisannya, paling berat tanggungjawabnya. Maka, tidak
sebaiknya bagi kita berpasangka untuk
memperbaiki mereka. Pendapat para imam lainnya mengenai kewajiban
tulisan usmani.
Kita menerima pendapat ini untuk mengetahui,
apakah nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam belajar baca-tulis setelah
mengajarkannya atau tetap dalam keummiannya? Penjelasan sisi kebenarannya untuk
anda ada di sini.
Apakah Nabi Bisa Membaca dan Menulis?
Seluruh ulama sepakat bahwa Nabi Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam, ketika diutus kepada seluruh manusia tidak bisa
membaca dan menulis. Hal itu untuk hujjah bagi manusia dan hilangnya kesamaran
akan ketetapan mukjizatnya yang agung, Al-Quran. Karena, seandainya Nabi dapat
membaca dan menulis, maka kejanggalan mereka beredar dan kebimbangan mereka
menjadi kuat bahwa apa yang dibawa adalah kesimpulan dari bacaan, penelaahan
dan melihat buku-buku terdahulu. Allah tabāraka wa ta’ālā memberi isyarat
akan hal ini dengan firmannya,
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ
مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ, بَلْ
هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ
بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ[20]
Setelah hujjah Al-Quran sudah tegak,
kalimatnya unggul dan Arab tidak bisa membuat surat terpendek dan tidak kembali
pada keraguan dan prasangka, maka kajian dan yang mendapatkan perhatian adalah
sebagian ulama mengatakan, Nabi belajar baca-tulis. Sebagian lagi menolaknya.
Mereka mengatakan, beliau tetap dalam keummiannya. Pendapat ini dipaparkan oleh
imam al-`Alūsy. Dalam kelanjutan penafsiran ayat di atas ia menyampaikan
ketetapannya,
Ada perbedaan mengenai Rasulullah Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam setelah kenabian, apakah bisa memabaca dan menulis
atau tidak? Sebagian mengatakan, beliau ‘alayhi al-ṣalātu wa al-salām
tidak bisa menulis. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawy dalam al-Tahdhīb.
Ia mengatakan, pendapat itu adalah pendapat yang paling sahih. Sebagian lainnya
mengklaim bahwa nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam mempelajari tulisan
setelah tidak mengetahuinya. Ketidaktahunya disebabkan mukjizat akan tanda ini.
Ketika Al-Quran diturunkan, Islam sudah terkenal dan keraguan[21]
telah menjadi jelas, penulisan ini dikenal pada saat itu. Ibnu Abu Shaybah dan
lainnya meriwayatkan, Nabi wafat, ketika sudah bisa menulis dan membaca. Ini
juga dinukil al-Sha’by dan dibenarkannya. Ia juga mengomentari, “Saya
mendengarkan beberapa kaum yang mengatakannya. Mengenai tanda ini, tidak ada
yang meniadakannya.[22]
Ibnu Mājah meriwayatkan dari Anas, Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam
mengatakan, “Pada malam ketika saya diisrā`kan, saya melihat tulisan di
pintu surga “Sedekah dibalas dengan sepuluh semisalnya dan pinjaman itu dibalas
dengan delapan belas kali. Kemudian Ibnu Mājah mengatakan, ada beberapa
hadis dalam Ṣaḥīḥ al Bukhāry dan
lainnya yang membuktikan penulisan nabi. Sebagaimana yang dikemukakan di
perjanjian Hudaybiyah. Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam megambil kitab. Beliau tidak
baik dalam tulisan. Kemudian menulis, ini adalah keputusan Muhammad bin
Abdullah, hadis[23].
Di antara yang berpendapat seperti itu lagi adalah Abu Dharr Abdullah ibnu
Ahmad al-Harawiy,[24]
Abu al-Fatḥ al-Naysābury[25]
dan Abu al-Walīd al-Bājy[26]
dari al-Maghāribah (). Ia meriwayatkannya dari al-Simnāny.[27]
Ia mengarang sebuah kitab mengenainya yang sudah didahului oleh Ibnu Maniyyah.
Ketika Abu al-Walīd mengutarakan pendapatnya itu, ia dicela, dituduh dengan
Zindiq dan dicela di beberapa podium. Kemudian majlisnya dibekukan. Kemudian ia
menunjukkan hujjah klaimnya dan menyurati beberapa ulama mulia. Mereka menjawab
dengan pendapat yang sesuai dengannya. Pengetahuan akan tulisan setelah keummian
nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam tidak meniadakan mukjizat. Bahkan,
itu merupakan mukjizat lain, karena mukizat tersebut ada tanpa pembelajaran.
Sebagian `ajillah menolak kitab al-Bājy, karena ada hadis sahih, innā
`ummatun ummiyatun lā naktubu wa lā naḥsabu. Ia menjawab, “Setiap kata kataba
yang terdapat dalam hadis maknanya adalah perintah untuk menulis sebagaimana
dikataan, kataba al-sulṭān bi kadhā li fulān (Sultan memberi perintah
kepada fulan untuk menulis demikian). pendahuluan firman Allah, min qablihi daripada, wa lā takhuṭṭuhu,
secara jelas menunjukkan bahwa nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam tidak
bisa menulis, sama sekali. rata-rata batasannya itu kembali ke kondisi
setelahnya itu tidak berlaku. Sebagian ajillah menyangka, kembalinya
nabi ke kondisi sebelumnya dan sesudahnya. Mereka menajawab, dari penjelasan
itu, dapat dipahami bahwa nabi ‘Alayhi al-Ṣalātu wa al-Salām bisa
membaca dan menulis setelah turunnya Al-Quran. Seandainya tidak ada ibarat ini,
tentu perkataan tersebut tidak ada faidahnya, anda sendiri tahu, seandainya
pengembalian tidak menyempurnakan faidah diterima kecuali jika disampaikan
dengan hujjah yang dapat dipahami dan dugaan dari seseorang yang tidak
mengatakan disertai hujjahnya. Kemudian, al-`Alūsy dalam menyalahkan penolakan
ini, mengatakan, “Jelas, sabda nabi ‘Alayhi al-Ṣalātu wa al-Salām, kita
adalah umat umi, yang tidak bisa menulis dan berhitung, bukan merupakan
ketetapan keberlanjutan peniadaan penulisan pada Nabi ‘Alayhi al-Ṣalātu wa
al-Salām. Barangkali, ungkapan itu menggunakan pertimbangan beliau diutus,
Nabi, dan kebanyakan masyarakatnya. Beliau di antara Arab dan ummi, tidak bisa
menulis dan berhitung. Maka tidak mengapa ketiadaan kelanggengan sifat ummi
pada mayoritas masyarakat setelahnya. Adapun takwil kataba dengan
perintah tulisan adalah berbeda dengan makna ekplisitnya. Dalam Sharḥ Ṣaḥīḥ
Musliim karya al-Nawāwy ‘alayhi al-rahmah menyebutkan riwayat dari Qadi
‘Iyāḍ, perkataan Nabi dalam riwayat yang telah kita sebutkan, wa lā yuḥsinu
yaktubu fa kataba, seperti pernyataan bahwa Rasulullah Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam menulis sendiri kemudian meninggalkannya untuk hal
lainnya adalah majaz, tidak memberi akibat buruk. Kemudian ia mengatakan,
“Bahasan setiap kelompok tentang masalah ini cukup panjang. Setiap kelompok
memandang buruk kelompok yang lainnya dalam masalah ini. Fa Allah Ta’ālā
`a’lam.[28]
Menurut saya pendapat yang unggul
adalah nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam belajar menulis setelah nabi
belum pernah mempelajarinya. Sebagai buktinya, sukup dengan hadis al-Bukhāry.
teramat jauh sekali seseorang seperti Rasulullah –kecerdikannya, kepintarannya
dan kecerdasannya- tidak belajar menulis setelah sekian lama mendikte Al-Quran
kepada para juru tulis dan melihat mereka saat mereka menulis. Berdasarkan itu,
sangat mungkin, Allah subḥānahu wa Ta’ālā mengajari bacaan dan tulisan
nabi-Nya, sebagaimana Dia mengajari yang lainnya. Sesuatu yang tidak ada dengan jalan pemberian tanpa
keharusan beajar dan usaha. Jika itu ada, maka tidak meniadakan antara nabi diutus dalam
kondisi ummi dan tulisan Al-Quran adalah tawqīfy. Karena apabila beliau
belajar tulisan, maka masalah ini menjadi jelas. Jika beliau tidak
mempelajarinya, berarti pendiktean dan petunjuknya kepada para penulis mengenai
cara penulisannya merupakan pendiktean Jibril dan wahyu darinya.
FAIDAH-FAIDAH
AL-RASM AL-UTHMĀNY
Mengikuti
rasm al-Uthmāny memiliki beberapa faidah.
1.
Ketersambungan
sanad dengan Al-Quran.
Seseorang
tidak boleh membaca atau membacakan Al-Quran kepada orang lain kecuali dengan
periwayatannya yang sanad yang bersambung. Seseorang yang mengetahui
kaidah-kaidah bahasa Arab, namun tidak belajar Al-Quran dari orang lain, maka
ia tidak tahu bacaan Al-Quran sesuai cara yang benar. Sebagian lafal Al-Quran
ditulis tidak sesuai pengucapannya, sebagaimana yang telah kita lewati.
Ayat-ayat pada pembukaan surat ditulis dengan tulisan huruf bukan cara
pengucapan. Andai saja tidak seperti itu, maka ucapkanlah –demi Tuhanmu-
bagaimana seorang membaca bacaan Kāf hā yā ‘ayn ṣād, Ḥā mīm, ‘Ayn sīn
qāf, Ṭā sīn mīm, Alif lām mīm ṣād[29]
dan lain sebagainya. Jadi, seseorang yang mengetahui bahasa Arab dan huruf
hijaiyah, namun tidak menerima tata cara membaca dan menyampaikan Al-Quran dari
orang lain, maka ia membacanya tidak sesuai cara yang benar. Karena pengucapan
yang benar itu terkait pada perjumpaan serta mendengarkan dari para ahli bacaan
Al-Quran dan penghafal yang sibuk dengannya. Ketersambungan sanad adalah salah
satu keistimewaan Al-Quran al-Karīm dibandingkan dengan kitab-kitab Samawi
lainnya. Dengan ketersambungan sanad, Al-Quran tetap terjaga sebagaiman janji
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā dalam
firman-Nya, `innā naḥnu nazzalnā al-dhikra wa `innā lahū laḥāfiẓūn.
Tidak diragukan, tulisan khusus Al-Quran memiliki pengaruh besar dalam
ketersambungan sanad. Karena, apabila seluruh lafal Al-Quran ditulis sesuai
ucapannya, tentu banyak orang yang berani membacanya tanpa riwayat dari yang
lainnya. Jika begitu, pengetahuan tentang cara penyampaian, seperti mad,
takhfiīf, `imālah, iẓhār, `idghām, `ikhfā` dan lainnya dari beberapa cara
oenyampaiannya akan hilang.
2.
Petunjuk
asal harakat
Seperti
penulisan kasrah dengan yā` dan ḍammah dengan wawu.
Contohnya, وإبتاءي ذي القربى dan سأوريكم.
Atau petunjuk asal huruf, seperti penulisan al-ṣalāt, al-zakāt, al-ḥayāt
dan al-ribā menggunakan huruf wawu sebagai ganti alif.
3.
Petunjuk sebagian bahasa yang fasih
Seperti penulisan hā` ta`nīth dengan tā`
dalam bahasa Ṭayyi` dan penghapusan huruf akhir fi’il muḍāri’ mu’tal
selain jazm, seperti kata يوم يأت dalam bahasa Hudhayl.
4.
Indikasi
akan kehalusan dan kedalaman makna
Seperti penambahan huruf yā` pada firman Allah والسماء بنيناها بأييد, dengan dua yā`.
Penambahan tersebut menunjukkan kekuasaan pencipta jalla wa ‘alā yang membangun langit dengan kekuasaannya dan
tidak ada kekuatan yang menyerupai kekuasaan-Nya. Sesuai kaidah yang masyhur,
tambahan susunan menunjukkan tambahan makna.[30]
Contoh lain adalah penambahan alif pada جايء بالنبيين dalam surat al-Zumar dan وجايء يومئذ بجهنم dalam surat al-Fajr untuk
menakuti, mengagungkan dan ancaman.
Dari sisi ini, tulisan kata-kata kerja ini tidak disertai huruf wawu, ويدع الإنسان بالشر
(al-Isrā`: 11), ويمح
الله الباطل
(al-Shūrā: 24), يوم يدع الداعي(al-Qamar:6), dan سندع الزبانية (al-‘Alaq: 6). Kata-kata tersebut dalam mushaf Uthmāny ditulis tanpa huruf wawu.
Penulisan tersebut memiliki rahasia yang dalam bagi orang yang banyak
berfikir. Rahasia di balik pembuangan wawu sebagaimana ungkapan al-Marrākushy , adalah peringatan akan
kecepatan terjadinya suatu pekerjaan, kemudahan bagi
pelaku dan keberatan menerima pengaruh yang membekas dalam realita. Pembuangan pada contoh pertama
mengisyaratkan, manusia tergesa-gesa untuk ajakan kejelekan, sebagaimana ia
tergesa-gesa akan kebaikan. Akan tetapi, pengukuhan keburukan pada manusia, dari dirinya
sendiri, lebih mudah daripada kebaikan, terutama saat marah. Adapun rahasia pada contoh kedua adalah isyarat kecepatan hilang dan lenyapnya suatu kebatilan. Sedangkan rahasia pada contoh ketiga
adalah isyarat kecepatan do’a dan kecepatan
jawaban peminta. Sedangkan rahasia pembuanagan wawu
pada contoh keempat adalah isyarat kecepatan suatu pekerjaan dan jawaban Zabāniyah.[31]
Saya katakan, “Contoh keempat ini juga terdapat kesesuaian antara ayat
yang berdampingan dalam lafalnya. Karena, sebelumnya adalah falyad’u nādiyah.
Juga, mengisyaratkan jawaban al-zabāniyah lebih cepat daripada jawaban nādiyah
(pemanggil).
Syaykh al-Marrākushy memberi alasan, penambahan wawu
pada firman Allah سأوريكم دار الفاسقين (al-`A’rāf: 145) dan سأوريكم اياتي, yaitu petunjuk kejelasan makna
kata dalam eksistensinya, dalam tingkatan kemencolokan yang paling besar. Ia mengatakan, “Indikasi
tersebut ditunjukkan oleh dua ayat yang menunjukkan ancaman. Saya katakan, “Pada contoh ini ada kesesuaian antara lafal dan makna.”
Saya katakan, “Berdasarkan ijtihad ini dalam memberi
alasan penulisan, mungkin kita mengatakan[32]
tentang firman Allah ta’ālā ولأ اوضعوا خلالكم, “Rahasianya adalah isyarat
bahwa orang-orang munafik yang membuat-buat alasan, seandainya berangkat
bersama kalian, pasti akan memperbanyak bersegera (`īḍā’) dalam fitnah
dan kerusakan -`īḍā’ adalah tergesa-gesa). Mereka melewati batas dalam hal ini. Maka ada kesesuaian antara
tulisan dan makna.
Adapun
tambahan huruf yā` dalam firman Allah بأييكم المفتون(al-Qalam:6) yakni
gila, mengisyaratkan betapa gilanya orang-orang musyrik dan melampaui batas.
Merekalah yang gila bukan kamu. Karena perumpamaan kamu, wahai Muhammad, dalam
keunggulan akal, keluhuran akhlak dan tingginya keutaman kamu tidak betul untuk
dituduh gila. Jadi, seseorang yang menuduh kamu gila, berarti kegilaan itu
kembali kepadanya. Dengan demikian, ada kesesuaian antara tulisan dan makna.
Jelasnya, pembahasannya adalah penolakan terhadap keduanya. Sedangkan secara
hakiki, yang dikehendaki adalah penjelasan yang saya sebutkan. Cara seperti itu
merupakan salah satu jenis hujjah dalam Al-Quran. Itu menunjukkan keseimbangan
dengan berbagai sisi. Misal lainnya adalah firman Allah, وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
disertai rasa yakin bahwa Nabi dan pengikutnya mendapatkan hidayah. Mereka
adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.
Kita
membicarakan tambahan huruf alif yang berada di akhir firman Allah تالله تـفْـتئُوا تذْكُرُ يوسفَ. Penambahan tersebut
menunjukkan pada banyak hal, Nabi Ya’qub tidak berhenti mengingat nabi Yusuf alayhi al-salām. Pada firman Allah,
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلى ما خَلَقَ
اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّؤُا ظِلالُهُ عَنِ الْيَمِينِ وَالشَّمائِلِ
سُجـــَّداً لِلَّهِ وَهُمْ داخِرونَ[33]
Penambahan
itu menunjukkan hal banyak yang mengembalikan keteduhan dan keumumannya
mencakup setiap orang yang berdosa.
Firman
Allah, وَأَنَّك لا تَظْمَئُوا فيها ولا تَضْحى[34]
menunjukkan selamanya tidak ada rasa haus dan keberlangsungan kesegaran bagi
penduduk surga.
Firman
Allah Ta’ālā, قُلْ مَا يَعْبَؤُا بِكُم رَبِّي
لَوْلَا دُعَاؤُكُم[35]
yakni ibadah kalian atau permohonan sungguh-sungguh kalian dengan do’a yang
sangat ketika tidak ada perhatian Allah kepada orang yang tidak menyembahnya
dan tidak meminta dengan sungguh kepada Allah.
Begitu
juga penambahan alif pada kata الريوا
menunjukkan kesesuaian tulisan dan makana. Riba adalah tambahan dengan tanpa
perbandingan, alif ini adalah tambahan dengan tanpa perbandingan dalam
pelafalan.
Begitu
juga kita katakan, tambahan huruf alif setelah kata kerja muḍāri’ mu’tal
akhir (akhirnya berupa huruf ‘illat: alif, wawu dan yā`)
dalam firman Allah,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
mengandung
isyarat akan banyaknya dan keberlangsungan ampunan Allah. Seandainya tidak
demikian, ketika Allah menyiksa orang yang berbuat maksiat dan berdosa tentu
Allah tidak menyisakan hewan di muka bumi.
Jika
ditanyakan, setelah ayat ini, selang beberapa ayat, ada firman Allah, أَو يُوبِقْهُنَّ بِمَا كَسَبُوا ويَعْفُ عَن كَثِيرٍ.
Maka saya jawab, berdasarkan bacaan ويعف
yang aṭaf pada bacaan jazm sebelumnya yang dibaca jazm[36]
maka pembuangan huruf wawu adalah jelas. Namun, jika dibaca rafa’
sebagai permulaan, ditulis tanpa alif, karena ketika situasinya adalah
perusakan yang disebabkan kencangnya terpaan badai pada kapal-kapal itu sedikit
maka konsekuensi ampunan pada itu termasuk tidak banyak juga. Oleh karena itu,
tidak diberi alif setelah wawu didasarkan mendatangkannya tanpa alif adalah
pokok. Jadi, tidak dipertanyakan tentangnya.
Begitu
juga penambahan alif pada firman Allah, وَيَدْرَؤُا
عَنْهَا الْعَذابَ yakni, menolak, karena isyarat akan
kekuatan dan keberlangsungan penolakan batasan darinya selama lima bukti itu
membuktikannya.
Begitu
juga, alif ditambahkan setelah hamzah pada firman Allah Ta’ālā, إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ[37]
dan لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ,
karena mengisyaratkan, pada contoh pertama, ia kembali dengan dua dosa yang
disebabkan satu perbuatan. Pada contoh kedua, mengisyaratkan banyaknya kunci
Qārūn yang berat dan memberatkan. Seolah-olah seperti dua beban. Maka
tulisannya mengisyaratkan makna ini.
Adapun
pembuangan alif pada kata سعو dalam firman Allah
Ta’ālā, وَالَّذِينَ سَعَوْا فِي آيَاتِنَا مُعَاجِزِينَ [38]
mengisyaratkan, bahwa ia berbuat kebatilan. Tidak benar ia tetap dalam
eksistensiya. Mereka tidak akan menghasilkan darinya berdasarkan kemampuannya.
Misalnya
adalah وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيمٍ,[39] فَقَدْ جاؤُ ظُلْماً وَزُوراً,[40] وَجاؤُ أَباهُمْ عِشاءً يَبْكُونَ,[41] وَجاؤُ عَلى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ. Pembuangan itu untuk
menjelaskan kedatangan mereka tidak sesuai cara yang benar, dipenuhi
kepura-puraan, kepalsuan dan tidak sesuai kenyataan. Oleh karena itu, penulisan
kata berdasarkan ghayr al-ma’hūd al-ma’rūf (tidak maklum yang dikenal).
Begitu
juga, pembuangan alif dari firman Allah, وعتو عتوّا
كبيرا, karena mengisyaratkan hal itu adalah batil, tidak ada pengaruh
baginya yang disebut dalam eksistensinya.
Mereka
mengatakan, alif dibuang dari sebagian besar lafal ajam dalam bentuk asli,
seperti إبراهيم, إسماعيل, إسحاق, هارون, dan lainnya karena banyak penggunaannya. Kata-kata tersebut,
dalam mushaf, ditulis tanpa alif, yang tidak dibuang hanya pada داود karena wawunya telah dibuang. Maka tidak disapu bersih dengan pembuangan alif yang
lain.
Adapun
penambahan Yā` dalam firman Allah Ta’ālā, وَإِيتَاءِ
ذِي الْقُرْبَى,[42]
memberi isyarat, seyogyanya pemberian diperluas dan disambung tanpa terputus.
Sehingga, ada kesesuaian antara lafal dan makna. Pada firman Allah Ta’ālā, وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِين, mengisyaratkan
banyaknya berita nabi dalam Al-Quran dan menahan derita yang sangat, sabarnya
penyabar sehingga pertolongan Allah datang.
Pada
firman Allah وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ
وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى, memberi isyarat
seyogyanya mayoritas waktu malam disibukkan dengan salat malam dan tasbih.
Maka, bentuk tulisan kata menunjukkan makna ini. Sedangkan pada firman Allah, أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ, memberi isyarat
perkataan seseorang yang dibelakangnya belakang. Yaitu, ruang yang lebar serta
tak terbatas. Begitu seterusnya, berfikir tulisan Al-Quran dengan logika luas
dan hati yang menerangi tidak meniadakan seseorang untuk menemukan banyak
rahasia Al-Quran. Bagus, Al-Quran sebesar barakahnya dan sebanyak
rahasia-rahasia makna, lafal dan tulisannya.
5.
Member
faidah sebagian makna yang berbeda dengan cara yang sudah jelas. Seperti
terputusnya kata أم dalam firman Allah
Ta’ālā, أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلًا
dan tersambungnya pada firman Allah Ta’ālā, أَمَّنْ
يَمْشِي سَوِيًّا عَلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ. Diputusnya tulisan
pada contoh pertama menunjukkan أم
terputus bermakna tetapi (bal). sedangkan tersambungnya أم pada contoh kedua menunjukkan أم tersebut tidak putus, melainkan
tersambung.
6.
Kemungkinan
tulisan untuk beberapa bacaan yang mutawatir dan sahih. Misalnya, firman Allah
Ta’ālā, وتمّت كلمت ربّك صدقا وعدلا,
al-`ayah. Kata itu dibaca dengan tunggal dan jamak, yakni تمت كلمت ربك dan كلمات ربك.
Pendapat
Imam al-Bāqilāny dan Ibnu Khaldūn bahwa Tulisan adalah hasil Ijtihad
Pendapat
kedua, tulisan mushaf adalah istilah, bukan tawqīfy. Di antara yang
berpendapat adalah Ibnu Khaldūn dalam Muqaddimah-nya[43]
dan al-Qāḍy Abu Bakar al-Bāqilāny dalam al-`Intiṣār. Mereka mengatakan,
tulisan mushaf adalah istilah sahabat. Karena mereka adalah pembicaran masa
dengan tulisan. Inilah ungkapan al-Qāḍy Abu Bakar, tulisan tidak ditetapkan
Allah kepada umat, sama sekali. Ketika Allah tidak
menegur tulisan Al-Quran dan mushaf dengan tulisan tertentu tanpa selainya,
maka Ia mewajibkannya pada umat dan meninggalkan selainnya. Karena kewajibannya
hanya diketahui lewat pendengaran dan tawqīf. Dalam beberapa nas dan
pamahaman Al-Quran, tidak ditemukan bahwa bentuk tulisan Al-Quran dan kaidahnya
hanya berdasarkan cara tertentu dan batasan yang tidak boleh dilewati. Dalam
nas sunah juga tidak ada yang mewajibkan hal itu dan mengindikasikannya. Ijma’
umat juga tidak ada yang mewajibkannya dan qiyas syar’i tidak
mengindikasikannya. Bahkan, sunah mengindikasikan kebolehan tulisan Al-Quran
dengan bentuk apapun yang mudah. Karena Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa
Sallam memberi perintah penulisannya dan tidak menjelaskan bentuk tertentu
kepada sahabat dan tidak melarang seorang pun tentang tulisannya. Oleh karena
itu, tulisan-tulisan mushaf berbeda. Di antara sahabat, ada yang menulis suatu
kata sesuai makhraj lafal, sebagian lagi member tambahan dan pengurangan.
Karena pengetahuan mereka, tulisan itu adalah istilah dan manusia tidak samar
akan hal itu. Oleh karena ini, dengan ketentuanya, boleh menulis dengan huruf
Kūfī dan tulisan masa awal, menjadikan lām dengan bentuk kāf, membengkokkan
alif dan menulis berdasarkan selain bentuk-bentuk ini. Boleh juga menulis
mushaf dengan tulisan dan abjad klasik, tulisan dan abjad kontemporer dan
antara keduanya.
Ketika
tulisan mushaf dan mayoritas hurufnya berbeda-beda dan bermacam-maam bentuknya
dan manusia membolehkan akan itu dan memperbolehkan setiap orang menulis sesuai
kebiasaannya, yang lebih mudah, lebih terkenal dan lebih utama tanpa berdosa
dan saling pengingkaran, maka dipahami bahwa tidak diterapkan batasan tertentu
bagi manusia, sebagaimana dalam bacaan dan adhān.
Sebab,
tulisan hanyalah tanda dan ilustrasi yang berlaku sebagai petunjuk, konsensi
dan rumus. Setiap tulisan menunjukkan kata yang memahamkan bentuk bacaannya
yang kesahihannya dan kebenaran penggunaan penulis wajib berdasarkan bentuk
apapun.
Secara
global, setiap orang yang mengklaim, tulisan khusus wajib bagi manusia, wajib
baginya untuk membuktikan argumen klaimnya, bagaimana? Pendapat ini
didiskusikan dengan berikut ini.
1.
Bukti
yang disebutkan jumhur ulama untuk menguatkan pernyataan tawqīf. Telah
anda lewati riwayat Kathb.
2.
Pengakuan
“ketentuan tersebut tidak ada dalam nas sunah”
ditolak dengan perintah nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam kepada
Mu’awiyah, ambil tempat tinta dan rancunglah pena, al-ḥadīth. Dari yang telah
kita sebutkan, nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam menetapkan para
penulis sesuai apa yang ditulis oleh mereka. Penetapan (taqrīr)
merupakan salah satu macam sunah.
3.
Pernyataan
yang disebutkan, oleh karena itu, tulisan mushaf berbeda-beda,
seterusnya, tidak diterima untuk membuktikan ijma’ tulisan Usmany. Adanya orang
yang berbeda dan persetujuan sahabat, tabiin dan generasi sesudahnya atas apa
yang telah ada dalam mushaf tanpa mengingkarinya diperhitungkan.
4.
Adapun
pendapat yang disebutkan Ibnu Khaldūn, Arab masih tenggelam dalam kebaduwian,
kita jawab, setelah Islam, mereka melangkah dalam peradaban ilmiah dan tulisan
dengan langkah yang diperoleh. Karena penjelasan kita, Islam adalah agama
keilmuan dan pengetahuan. Islam mendorong untuk menghilangkan keummian
sejak pertama kali. Adapun persetujuan generasi sesudah sahabat dalam tulisan
mushaf adalah tabaruukan dengan mereka. Tabarrukan tidak bisa
menjadi pegangan di masa ini. Hanya saja, kebiasaan mereka yang sesuai dengan
kebenaran mereka terima, sedangkan yang berbeda dengan kebenaran mereka buang.
Adapun pernyataan, sahabat tidak berada dalam tingkatan tulisan yang sempurna
di tolak. Karena, nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam memilih para
penulis Al-Quran yang cakap dalam tulisan. Di antaranya adalah seseorang yang
mengetahui tulisan sejak masa Jahiliyah, kemudian ketika Islam datang,
kecakapan dan pengetahuannya bertambah. Telah kita lewati contoh di antara
sesuatu yang mereka biasakan dalam tulisan menunjukkan bukti kuat bahwa ini
adalah urusan yang dimaksud mereka. Mereka berada pada tingkat kecakapan akan
huruf Hijaiyah dan tulisan.
Pendapat
pemilik kitab al-Dhahab al-`Ibrīz
Barangkali,
salah satu yang dianggap baik untuk disebutkan dalam hal ini untuk keelokan dan
cukup guna penolakan terhadap orang yang berpendapat rasm adalah ijtihad
adalah ungkapan Ibnu al-Mubārak dari gurunya, al-‘Ārif bi Allah Shaykh Abdul
Aziz al-Dibāgh. Ketika, dalam kitabnya al-Dhahab al-`Ibrīz, menyatakan:
Tulisan
Al-Quran merupakan salah satu rahasia Allah yang tampak dan kesempurnaan
keluhuran. Ibnu al-Mubārak berkata, saya bertanya kepadanya, apakah tulisan
wawu dalam سأوريكم, أولئك, أولاء, dan أولات dan seperti yā` pada contoh هدايهم, ملإ يهمdan بأيـيكم,
semuanya berasal dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam atau dari
sahabat? Beliau menjawab, semua itu berasal dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa
Sallam. Beliau yang memberi perintah para sekretaris sahabat untuk
menulisnya sesuai bentuk ini. Jadi, mereka tidak mengurangi dan tidak pula
menambahi apa yang didengar dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam.
Saya
bertanya kepadanya, ada sekelompok ulama yang meringankan urusan tulisan seraya
mengatakan, itu hanyalah terminologi sahabat. Mereka berjalan sesuai dasar
tulisan Quraish di masa Jahiliyah. Tulisan itu berasal dari sahabat. Karena,
Quraish belajar tulisan dari penduduk Ḥirah.
Mereka mengucapkan kata al-ribā dengan wawu. Sehingga, sahabat menulis sesuai
pengucapannya yang diucapkan dengan alif. Sedangkan penulisannya dengan wawu
sesuai pengucapan yang lainnya dan mengikuti mereka. Sehingga al-Qāḍī Abu Bakr
al-Bāqilāny mengatakan, setiap orang yang mengklaim, tulisan khusus kewajiban
untuk manusia, maka ia harus membuktikan argument klaimnya. Dalam Al-Quran,
Sunah dan Ijma’ tidak ada indikasi yang menunjukkan akan itu.
Beliau
menjawab, tidak ada sahabat dan selainnya dalam tulisan Al-Quran dan persis
satupun kecuali hanyalah pengetahuan dari nabi. Beliau yang memberi perintah
mereka untuk menulisnya sesuai bentuk yang telah dikenal, dengan tambahan alif
dan menghilangkannya karena beberapa rahasia yang mana akal tidak mendapatkan
petunjuk akan hal itu. Tulisan itu merupakan salah satu rahasia yang
dikhususkan Allah untuk kitab-Nya yang agung, bukan seluruh kitab samawi.
Sebagaimana susunan Al-Quran adalah mukjizat, tulisannya juga mukjizat.
Bagaimana akal mendapatkan petunjuk rahasia tambahan alif pada مائة bukan فئة?
Rahasia tambahan ya` dalam باييد dan بأييكم? Bagaimana bisa sampai pada penambahan alif dalam سعوا surat al-Ḥaj dan menghilangkannya pada سعو dalam surat Saba`? rahasia penambahannya
dalam عتوا sekiranya ada, dan menghilangkanya pada عـتو dalam al-Furqān, rahasia penambahan alif آمنوا dan menghilangkannya dari باءو, فاءو
dalam al-Baqarah, جاءو dalam surat Yūsuf dan
al-Naml, تبوءو dalam surat al-Ḥashr
dan rahasia penambahannya dalam أو يَعْفُوَا الّذِي
dan penghilangannya dari انْ يَعفُو عنْهُم
dalam surat al-Nisā`? atau bagaimana akal bisa sampai pada pembuangan sebagian
beberapa huruf dari kata-kata yang serupa yang tidak ada disebagian lainnya.
Seperti pembungan alif dari قرء نا
dalam surat Yūsuf dan al-Zukhruf dan penetapannya di surat lainnya? Penetapan
alif setelah wawu سموات dalam Fuṣṣilat dan
membuangnya di surat lainnya? Penetapan alif dalam الميعاد
secara keseluruhan dan membuangnya yang terdapat dalam surat al-`Anfāl?
Penetapan alif سراجا dimanapun berada dan
pembuangannya dalam surat al-Furqān? Bagaimana kita sampai mengenai terbukanya
sebagian tā` dan tertutupnya di sebagian yang lain? Semua itu menunjukkan
beberapa rahasia Tuhan dan tujuan kenabian. Rahasia itu tidak diperlihatkan
kepada manusia karena semua itu adalah rahasia-rahasia batin yang tidak dapat
dijangkau kecuali dengan futuh Tuhan. Rahasia-rahasia itu terdapat dalam lafal
dan huruf muqaṭa’ah dalam beberapa permulaan surat. Semua itu memilki
rahasia yang agung dan makna yang banyak. Mayoritas manusia tidak mendapatkan
petunjuk rahasia-rahasia itu. Mereka tidak menemukan makna yang diisyaratkan
lafal-lafal tersebut. Jadi, begitu juga urusan tulisan yang berada dalam
Al-Quran per huruf.
Adapun
pernyataan seseorang, sahabat mengistilahkan sesuai masalah tulisan yang
disebutkan. Jadi, jelas perkataannya mengandung kebatilan. Karena, Al-Quran
ditulis pada masa nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan dihadapanya.
Ketika begitu, maka dasar istilah sahabat tidak lepas. Adakalanya dasar itu
adalah bentuk itu sendiri atau lainnya. Jika dasar itu adalah bentuk itu
sendiri maka istilah itu batal. Karena lebih dahulunya nabi Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam meniadakan pernyataan itu dan berkonsekuensi pengikutan.
Jika bukan bentuk itu sendiri, bagaimana nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam
menulis berdasarkan satu bentuk seperti bentuk tulisan qiyasi, misalnya dan
sahabat saling berbeda dan menulis sesuai bentuk yang lain? Keduanya tidak sah
karena dua hal. Pertama, penisbatan sahabat pada perbedaan dan itu
muhal. Kedua, seluruh umat termasuk sahabat dan lainnya sepakat, tidak boleh
menambahi dan mengurangi satu huruf Al-Quran. Isi yang termuat di antara dua
sampul adalah kalam Allah ‘Azza wa Jalla. Jika nabi Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam menetapkan alif pada الرحمن
dan العالمين, misalnya dan tidak member tambahan alif
pada مائةdan
ولاأوضعوا, tidak menambahi yā` pada بأييد dan semisalnya sedangkan sahabat melakukan sebalikanya dan
berbeda dengan nabi, maka mereka ditetapkan –mereka terlindungi dari itu-
merubah isi Al-Quran dengan penambahan dan pengurangan. Mereka jatuh pada
ketetapan yang mereka dan lainnya sepakati berdasarkan perbuatan yang tidak
boleh dilakukan seorang pun. Jalan kebimbangan terhadap semua isi di antara dua
sampul terbuka. Karena, bilamana kita membolehkan adanya huruf yang dikurangi
atau ditambahkan dalam Al-Quran berdasarkan apa yang ada dalam pengetahuan nabi
Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan yang ada di sekitarnya dan tambahan
atau pengurangan itu bukan wahyu, bukan pula dari Allah dan kita tidak
mengatahuinya dengan sendirinya, tentu kita meragukan semuanya. Jika kita
membolehkan sahabat untuk menambahi satu huruf dalam tulisannya yang bukan
wahyu, wajib bagi kita untuk memperbolehkan sahabat yang lain untuk mengurangi
satu huruf dari wahyu. Karena tidak ada perbedaan di antara keduanya. Jika
begitu, pegangan Islam luluh, semuanya. Kemudian, setelah pernyataan itu Ibnu
al-Mubārak mengatakan, saya bertanya kepadanya, jika tulisan itu adalah tawqīfy
dengan wahyu kepada nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, seperti lafal
–lafal Al-Quran, kenapa tidak diriwayatkan secara mutawatir sehingga keraguan
akannya hilang dan hati menjadi tenang seperti lafal-lafal Al-Quran? Karena
tidak ada satu pun huruf kecuali diriwayatkan secara mutawatir, tidak ada
perbedaan dan kekacauan. Adapun bentuk tulisannya, hanya diriwayatkan secara `Āḥād
sebagaimana diketahui dari buku-buku yang bertemakan itu. Riwayat yang dinukil
secara `Āḥād terjadi kekacauan antar
riwayat dalam kebanyakan itu. Saya bertanya, bagaimana umat Islam mengabaikan
bagian wahyu? Shaykh Abdul Aziz al-Dibāgh menjawab, umat tidak mengabaikan
bagian wahyu dan Al-Quran, segala puji bagi Allah terjaga lafal dan tulisannya.
Para ahli kebajikan, persaksian dan saksi mata menjaga lafal dan bentuk
tulisanya. Mereka tidak mengabaikannya sedikit pun. Mereka mengetahuinya dengan
bukti dan saksi mata yang di atas mutawatir. Selain mereka, ada yang hafal
lafal-lafalnya yang sampai kepada mereka secara mutawatir. Perbedaan mereka di
sebagian huruf dalam bentuk tulisan tidak menodai dan memvonis umat
menyia-nyiakannya, sebagaimana tidak berbahaya ketidaktahuan orang awam akan
Al-Quran dan ketiadaan hafalan mereka akan lafal-lafalnya.
Pendapat
ketiga
Penulisan
mushaf sekarang sesuai istilah-istilah yang sudah dikenal dan tersebar
dibolehkan untuk masyarakat umum. Supaya dapat menjauhkan dari kekaburan dan pembauran
dalam Al-Quran. Akan tetapi, pada saat itu wajib menjaganya sesuai tulisan
Usmani, seperti peninggalan-peninggalan Islam yang indah yang diwariskan dari
ulama salaf salih. Sehingga tidak diterlantarkan karena memperhatikan
orang-orang yang tidak tahu. Bahkan, wajib menyisakan di tangan-tangan ulama
bijak yang tidak pernah hilang dari bumi. Ini pendapat imam Ibnu Abd al-Salām
dan pengikutnya, pemilik al-Burhān.
Imam
Nawawi, pemilik al-Tibyān, mengatakan, penulisannya –mushaf- sesuai
abjad yang diciptakan manusia. Penduduk timur melaksanakan berdasarkan tulisan
itu karena abjad itu menjauhkan dari kekaburan. Penduduk barat masih menjaganya
atas dasar perkataan imam Malik –ia ditanyai, apakah mushaf ditulis sesuai
abjad yang diciptakan manusia? Ia menjawab, tidak, kecuali sesuai penulisan
pertama. Al-Zarkashy, dalam al-Burhān, mengatakan, saya katakan, ini terjadi
pada permulaan pertama. Keilmuan ini hidup subur. Sedangkan sekarang,
dikhawatirkan adanya ketidakjelasan. Oleh karena itu, shaykh ‘Izz al-Dīan ibnu
Abd al-Salām mengatakan, penulisan mushaf sekarang tidak boleh berdasarkan
penulisan pertama dengan istilah para imam. Supaya tidak menimbulkan perubahan
dari ketidaktahuan. Akan tetapi, tidak seyogyanya menjalankan ini secara
mutlak. Supaya tidak menyampaikan pada kajian ilmu. Keputusan yang telah
ditetapkan oleh pendahulu tidak ditinggalkan karena perhatian terhadap
ketidaktahuan orang bodoh. Bumi tidak akan kesepian orang yang menegakkan
argument karena Allah[44].
Ini
adalah pendapat netral antara dua aliaran salaf. Membangun berdasarkan
perhatian kehati-hatian teradap Al-Quran dan mensucikan bidangnya dari
perubahan dan penggantian dengan menetapkan sesuai tulisan Usmani yang
merupakan asal dan berdasarkan menjaga kemudahan dan meringankan bagi masyarakat
umum dan pemuda, dengan tulisan yang sesuai standar mudah dan memudahkan.
Barangkali pendapat ini lebih utama untuk diterima.
PENDAPAT
BARU YANG LAIK UNTUK DIKAJI DAN DIPERTIMBANGKAN
Di samping saya puas dengan keharusan tawqīf
mushaf Uthmāny, ada juga keharusan untuk melanggengkannya pada penulisan dan
pencetakan mushaf-mushaf. Akan tetapi, saya memiliki topik diskusi bagi
pembaca.
Adakah kebaikan dalam melanggengakan penerapan tulisan
ini dalam beberapa mushaf, juz, dan buku yang disusun untuk pelajar di beberapa
sekolah, pondok dan universitas yang tidak berbasis agama, lembaran, majalah
dan sebagainya, menimbang kesulitan yang terkandung bagi para pembaca, terutama
bagi pelajar, serta melihat tidak ada kemudahan bagi mereka dalam membaca
Al-Quran?
Atau, apakah baik mewajibkan tulisan Usmani dalam
beberapa mushaf utuh yang memuat seluruh Al-Quran yang menjadi argument dan
rujukan ketika ada perkhilafan, kebijakan dan penulisan Al-Quran di selain
mushaf, seperti beberapa buku ilmiah, juz Al-Quran, majalah, lembaran dan
sebagainya, berdasarkan tulisan yang dikenal pada masa sekarang dan sebelumnya
dan tulisan yang dijumpai pelajar dan murid di sekolah-sekolah dan
pondok-pondok mereka?
Menurut
saya, pendapat yang unggul dan mengandung kebaikan serta kemaslahatan adalah
pendapat kedua. Dengan demikian, pembacaan dan penghafalan Al-Quran menjadi
mudah bagi pembacanya yang tidak belajar membaca di hadapan guru atau pengajar,
bacaan maupun hafalan. Kita dapat menarik pelajar sekolah terhadap Al-Quran
yang menjadi sumber keimanan, hidayah, kebenaran dan kebaikan. Pada waktu itu
juga, kita dapat menjaga tulisan Usmani dalam jutaan mushaf yang berada di bumi
Islam dan Arab.
Mungkin,
untuk menambah sikap hati-hati penulisan Al-Quran dalam beberapa buku
pengetahuan, agama, juz, majalah dan sebagainya, kita dapat memberi peringatan
di catatan pinggir yang berupa penjelasan kata yang digunakan dalam penulisan
yang berdasarkan kaidah imla`. Kata ini, dalam mushaf, ditulis
berdasarkan tulisan demikian. Sehingga seorang siswa dan pelajar mendapatkan
penjelasan akan hal itu serta tidak gelisah dan bimbang. Dengan demikian, kita
mengumpulkan dua kebaikan dan mengimplementasikan dua kemaslahatan.
Pendapat
ini lebih menguatkan mushaf Usmani serta menjaga kebutuhan dan kemaslahatan
umat Islam. Pendapat ini lebih khusus daripada pendapat imam al-‘Izz bin
Abdussalam. Karena, ia memperbolehkan tulisan selain Usmani di mushaf dan
selainnya. Sedangkan saya hanya memperbolehkannya di selain mushaf dan saya menjaga
kesucian dan keagungan mushaf. Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan
kami kepada (surga) ini. Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk,
seandainya Allah tidak memberi kami petunjuk.
TIDAK
DIPERBOLEHKAN PENULISAN AL-QURAN DENGAN SELAIN HURUF ARAB
Fenomena
yang Disebutkan di Sekitar Penulisan dan Tulisan Al-Quran
Di
antara kegigihan para cendikiawan,[45]
misionaris dan orientalis adalah mereka mencari sanggahan Al-Quran al-Karīm,
penulisan dan tulisannya yang telah disepakati dalam mushaf Uthmani.
Telah anda lewati, beberapa fenomena dan kebohongan mengenai penghimpunan
Al-Quran yang dikemukakan oleh mereka. Begitu juga, yang mereka lakukan
terhadap penulisan dan tulisan Al-Quran. Riwayat yang digunakan untuk sandaran
mereka adakalanya riwayat batal yang dinisbatkan kepada ulama salaf salih,
berupa kebohongan dan kepalsuan. Ulama telah memperingatkannya sejak dahulu.
Adakalanya mereka bersandar pada sanggahan[46]
yang dikemukakan oleh para pengarang di bidang tafsir dan ulumul Al-Quran yang
sekaligus ditanggapi mereka dengan jawaban yang menentramkan dan positif. Para
cendekiawan tersebut bersembunyi dibalik nama “orientalis”. Mereka mengetahui
beberapa riwayat dan keberatan tersebut. Sehingga mereka dekat dengan riwayat
itu dengan senang dan mengancam sesuka mereka serta menduga mereka sudah sampai
pada tujuan mereka, yaitu keraguan umat Islam mengenai sesuatu yang paling
suci, Al-Quran al-Karīm.
Allah
mendatangkan beberapa ulama Islam untuk fenomena ini dari kepalsuan dan
menjelaskan kebatilannya. Setelah kami sebutkan fenomena ini dan penolakannya,
anda akan mengetahui itu hanyalah fatamorgana, bukan nyata. Mereka mencerca dan
mengembangkannya bukan pada tempatnya.
Tuduhan
pertama, mereka menyebutkan riwayat dari
Usman raḍiya Allah ‘anhu. Ketika mushaf
diperlihatkan kepadanya, Usman mengatakan, “Kalian telah bekerja dengan baik.
Sungguh dalam Al-Quran ada kekeliruan (laḥn) yang akan diluruskan orang
Arab dengan bahasanya.” Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia mengatakan, “Ketika
mushaf selesai ditulis, kemudian dipertunjukkan kepada Usman. Ia
menemukan kekeliruan huruf. Kemudian ia berkata, “Janganlah kalian merubahnya,
karena Arab akan mengubahnya atau menserapnya dengan bahasanya. Seandainya
penulisnya cerdik dan pendiktenya dari Hudhayl, tentu tidak ditemukan huruf ini
dalam Al-Quran.”
Mereka
bertanya, “Melihat realita di atas, bagaimana mushaf Uthmāny adalah
suatu konsensus sahabat dan kepercayaan umat Islam? Bahkan, bagaimana tulisan
mushaf adalah tawqīfy? Padahal, Usman mengatakan ada kekeliruan
di dalamnya.
Jawab:
1.
Kedua
riwayat tersebut adalah lemah isnadnya. Dalam isinya terdapat kekacauan (muḍṭarib)
dan keterputusan (munqaṭi’) yang menghilangkan ke-thīqah-an keduanya. Sebagaimana perkataan imam
al-Sakhāwy dalam riwayat kedua yang dinukil imam al-`Alūsy dalam tafsirnya[47],
Ikrimah tidak mendengarnya dari Usman. Sedangkan athar kedua yang
diriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar dari Usman, dia juga tidak mendengarnya dari
Usman. Riwayat pertama ditolak oleh sekelompok ulama, seperti imam Abu Bakr
al-Bāqilāny, al-Ḥāfiẓ Abu ‘Amr al-Dāny, Abu al-Qāsim al-Shāṭiby, al-Ja’bary dan
lainnya. Bagi orang yang berfikir jelas bahwa dalam kedua riwayat itu terdapat
kekacauan dan kontradiksi. Perkataan, aḥsantum wa `ajmaltum (kalian
telah bekerja dengan baik) adalah pujian. Sedangkan perkataan `inna fīhi laḥnan
(terdapat kesalahan di dalamnya) mengisyaratkan kelalaian. Bagaimana logika
membenarkan, pujian kepada mereka yang berdasarkan kelalaian.
Selain itu, tujuan penulisan mushaf pada masa Usman raḍiya Allah ‘anhu berdasarkan bahasa Quraish adalah bahasa itu menjadi rujukan umum
yang mana umat Islam melihatnya ketika ada perbedaan mengenai huruf dan
bacaannya. Jika begitu, bagaimana menyerahkan pembenarannya kepada mereka. Ini,
jika benar maka kita akan menemui siklus yang tidak mungkin. Karena, kebenaran
bacaan mereka sesuai bacaan yang sesuai mushaf-mushaf yang ditulis oleh
Usman. Kebenaran mushaf-mushaf itu dan terhindar dari kesalahan
bergantung kesahihan bacaan mereka. Ini yang membersihkan darinya, yakni orang
yang berakal, terutama Usman raḍiya Allah ‘anhu.
2.
Kedua
athar ini berbeda dengan dasar Usman raḍiya Allah ‘anhu
dalam hafalan Al-Qurannya, ketetapan bacaannya dan
kajiannya. Sehingga dalam masalah ini, ia menjadi salah satu sumber pengambilan
Al-Quran. Ia sangat berharap menjaga penulisan mushaf dengan pagar kuat
penjagaan Al-Quran dengan ada jalan untuk kekeliruan bacaannya, penggantian
huruf atau penggantian. Ia menjadikan dirinya sebagai penjamin
terpercaya bagi para sekretaris mushaf di masanya dan sumber rujukan ketika ada
perselisihan dalam tata cara tulisan. Ia mengatakan pada sekelompok Quraish,
“Jika kalian berbeda dengan Zaid, maka tulislah dengan bahasa Quraish.” Mereka
berbeda dalam penulisan التابوت, ditulis dengan huruf
tā` atau hā`? mereka mengangkat masalah itu kepada Usman. Kemudian ia
memerintahkannya untuk menulis dengan tā`. Ketika sikap Usman dan mereka
mengenai huruf tidak merubah makna, tidak dianggap taḥrīf dan
penggantian karena penyandarannya pada huruf yang digunakan untuk menurunkan Al-Quran,
bagaimana logikanya, ia melihat kesalahan pembacaan dalam mushaf, kemudian
menetapkan mereka pada laḥn itu? Ada riwayat lain yang mengindikasikan
perhatian Usman pada Al-Quran ketika penulisan.
Abu ‘Ubayd meriwayatkan dari Abdurrahman bin Hāni`, hamba Usman. Ia
mengatakan, “Saya berada di samping Usman ketika mereka memeprlihatkan mushaf.
Kemudian Usman mengutus saya dengan tulang bahu kambing kepada Ubay bin Ka’ab
yang didalamnya tertulis لم يتسن, لا تبديل للخلق dan فأمهل الكافرين. Kemudian ia meminta
tempat tinta dan menghapus salah satu lam dan menulis لِخَلْقِ
الله, menghapus فأمهلdan menulis فمَهِّلْ dan menulis لَمْ يَتَسَنَّهْ
ia menambahi hā`. Apakah masuk akal dari situasi ini untuk dipandang sebagai laḥn
dalam mushaf, kemudian menetapkannya kepada mereka dan meninggalkan Arab untuk
memperbaikinya? Di antara yang lebih berhak untuk memperbaiki laḥn dan
kesalahan darinya adalah seseorang yang hafal Al-Quran
dan menghafalkannya?
Seandainya kita diperbolehkan berteori, Usman gegabah dalam
memperbaiki masalah ini, apakah sekelompok umat Islam muhajirin dan `anṣar
membiarkannya tanpa membenarkannya? Padahal, mereka tidak takut celaan dalam
kebenaran dan mereka tidak mengambil keputusan berdasarkan kebatilan. Seandainya
ungkapan ini benar dari Usman, tentu mereka sangat mengingkarinya. Seandainya
mereka mengingkarinya sudah barang tentu pengingkaran itu menyebar dan
diriwayatkan sampai kepada kita, bagaimana teori tersebut? Para sahabat
menentang Usman dan lainnya dalam permasalahan selain ini. Bagaimana pendapat
anda tentang permasalahan yang berhubungan dengan Al-Quran al-Karīm?
Kebenarannya adalah teori ini hanya dibenarkan orang yang salah akalnya.
3.
Berdasarkan
teori kesahihan kedua Athār ini, mungkin kita dapat menakwil keduanya dengan
ketentuan yang sesuai dengan riwayat sahih yang diketahui dari Usman mengenai
penghimpunan Al-Quran dan penghapusan mushaf-mushaf. Adalah mengarahkan
kata laḥn pada makna bahasa. Yaitu, dalam tulisan Al-Quran dan
penulisannya di beberapa mushaf ada sisi qiraat
yang tidak luwes bagi lisan Arab, seluruhnya, pada masa sekarang. Akan
tetapi, tidak lama kemudian lisan itu, semuanya, menjadi lunak dengan bahasa
itu karena latihan. Kebanyakan bacaan Al-Quran dengan cara ini.
Tuduhan
kedua, mereka mengatakan, Said bin Jubayr membaca وَالْمُقِيمِينَ
الصَّلاةَ.[48]
Ia mengatakan, itu adalah salah satu laḥn kitab.
Jawab,
Jika
riwayat ini sahih, maka Ibnu Jubayr tidak bermaksud dengan laḥn adalah
salah. Ia hanya menginginkan makna “bahasa”. Yaitu salah satu makna laḥn
sebagaimana dalam al-Qāmūs dan lainnya dari beberapa kitab bahasa. Seandainya
yang ia maksud dengan laḥn adalah salah bacaanya, bagaimana ia membaca dengan
huruf yang ia pandang salah? Kata ini dibaca dengan dua qiraah sab’ah. Jumhur
membacanya dengan nasab, sedangkan lainnya rafa’, والمقيمون
الصلاة. Bacaan rafa’ adalah penjelasannya jelas, karena di’aṭafkan
pada kata sebelumnya. Sedangkan bacaan nasab, maka arahannya adalah menegakkan berdasarkan pujian untuk menjelaskan
keutamaan salat dan tingkatannya dalam syariat agama. Metode ini memiliki
beberapa banyak bukti dalam bahasa Arab. Sibawayh telah menghimpunnya dalam
sebuah kitab dengan bab sendiri. Ia mengatakan, “Bab ini berdiri tegak
berdasarkan keagungan”. Di antara yang disyairkannya adalah
لَا يَبْعَدون
قَوْمي الَّذِينَ هُمُ ... سُمُّ العفاة وآفةُ الجُزْرِ
النّازِلِينَ
بِكُلِّ مُعْتَرَكٍ ... والطّيِّبُون مَعَاقِدَ الأَزرِ
Kaumku tidak menjauhkan, yang mana mereka adalah
racun kesehatan dan hama tumbuhan
yang menempati setiap peperangan
memperbaiki
tempat-tempat pangkal
Saya
tunjukkan ungkapan salah satu imam Arab. Al-Zamakhshary, dalam tafsirnya juz1
halaman 397, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan,
Ia tidak berpaling pada tuduhan mereka, laḥn
terdapat dalam tulisan mushaf. Terkadang seseorang yang tidak melihat kitab[49]
berpaling padanya, ia tidak mengetahui aliran-aliran Arab. apa yang mereka
miliki mengenai nasab sesuai keistimewaan dari variatif. Tidak jelas baginya[50]
bahwa para pendahulu yang seperti mereka dalam Taurat dan Injil sangat jauh
keinginannnya dalam kecemburuan pada Islam dan membela calaan daripada
meninggalkan keretakan dalam kitab Allah untuk tuannya setelahnya dan
mendustakan apa yang diperbaiki generasi selanjutnya.
Tuduhan ketiga
Mereka
mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah,
لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ
بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلى أَهْلِها
Bahwa
penulis salah, yang benar adalah تستأذنوا.
Ini mengindikasikan bahwa sebagian taḥrīf dan tabdīl yang
disebabkan penulisan terdapat dalam Al-Quran.
Jawab,
1.
Perkataan
ini, dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, tidak benar. Perkataan itu diperdayakan
kepada Ibnu Abbas oleh kafir zindiq. Abu Ḥayyān menyatakan, seseorang yang
meriwayatkannya dari Ibnu Abbas bahwa beliau mengatakan itu adalah pemfitnah
dalam Islam dan kafir dalam beragama. Ibnu Abbas terbebas dari perkataan itu.
Al-Zamakhshary, dalam tafsirnya, mengatakan, dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubayr, sebenarnya adalah ḥattā tasta`dhinū adalah
kesalahan penulis, riwayat ini tidak dijadikan pegangan. Al-Qurṭuby,
dalam tafsirya[51]
setelah menyebutkan ini dari Ibnu Abbas atau Said bin Jubayr mengatakan, ini
tidak sahih dari Ibnu Abbas dan lainnya. Dalam mushaf-mushaf Islam telah
ditetapkan ḥattā tasta`nisū. Kesepakatan mengenainya sudah benar sejak
periode Usman. Mushaf-mushaf tersebut tidak boleh diperselisihkan. Perkataan
salah dan kebimbangan terhadap penulis tentang kata yang disepakati sahabat
adalah ucapan yang tidak benar dari Ibnu Abbas. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لا
يَأْتِيهِ الْباطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ
حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.
Khabar ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Ibnu Jarīr. Dalam
isnadnya terdapat mudallis atau ḍa’īf[52].
Al-Ḥākim juga meriwayatkannya serta mensahihkannya. Namun, pensahihannya tidak
diperhitungkan menurut para imam hadis. Imam al-Dhahaby mengomentarinya seperti
seratus hadis mawḍū’ yang ia sebutkan dalam bukunya al-Mustadrak,
faḍlan ‘an al-ḍa’īf wa al-wāhy (lebih dari lemah dan wah).
2.
Penolakan
riwayat ini dari Ibnu Abbas raḍiya Allah Ta’ālā
‘anhumā diperkuat bahwa tafsir tasta`nisū dikemukakan darinya
dengan pernyataan meminta ijin kepada orang yang memiliki ijin, pemiliknya.
Adanya tafsir tersebut dari Ibnu Abbas menolak apa yang dilekatkan kepadanya.
Tafsir ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Ibnu Abu Ḥātim, Ibnu al-`Anbāry
dalam al-Maṣāḥif, Ibnu Jarīr dan Ibnu Mardawayh[53].
Barangkali perawi dari Ibnu Abbas bimbang, sekiranya pemahaman penafsiran isti`nās
dengan isti`dhān adalah benar. Sehingga, ia meriwayatkan khabar itu
sesuai dugaannya, padahal ia bimbang.
Riwayat ini juga ditolak kesepakatan Qurrā` sab’ah sesuai kata tasta`nisū.
Di antara yang dianggap terlalu jauh adalah Ibnu Abbas membaca dengan bacaan
yang berbeda dengan ijma’. Apalagi ia merupakan salah satu di antara orang yang
mengambil bacaan dari Zayd bin Thābit. Zayd adalah sandaran orang-orang yang
menghimpun Al-Quran ke dalam mushaf dengan perintah Usman raḍiya Allah ‘anhu. Riwayat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ubay, keduanya
membaca tasta’dhinū, itu diarahkan bahwa bacaan tersebut merupakan
tafsir dan penjelasan. Selain itu, bacaan mutawatir yang ada (tasta`nisū)
mungkin dalam bab `I’jaz termasuk dari bacaan yang dibuat dalih (tasta`nisū).
Isti`dhān diarahkan pada meminta ijin dengan ucapan. Sedangkan isti`nās
mencakup ucapan dan selainnya, termasuk perbuatan yang memperlihatkan
kedatangan, seperti tasbīh, taḥmīd, dehem dan semisal lainnya.
Penjelasan ini diisyaratkan qiraah mutawatir bahwa maksud meminta ijin adalah
keramahan, menghilangkan kemurungan dan meniadakan menyakiti orang yang
dimintai ijin. Kata tasta`dhinū tidak bisa menunjukkan seperti itu.
Terkadang meminta ijin disertai dengan kekasaran, kemurungan, menyakiti dan
sebagainya dari rahasia dan makna mulia yang jelas bagi orang yang mengcurahkan
pikiran dalam Al-Quran.
3.
Jika
riwayat itu benar, mungkin memuat kesalahan dalam pilihan penulis. Hal itu
berdasarkan kecukupan dugaan pada Ibnu Abbas, bukan cukup fakta dan masalah itu
sendiri. Ibnu `Ashtah, dalam buku al-Maṣāḥif, mengatakan, maksud Ibnu
Abbas adalah salah dalam pilihan dan meninggalkan apa yang lebih utama di
antara dua qiraat dengan dugaan yang cukup. Bacaan Ibnu Abbas termasuk yang
ditinggalkan sebab kesepakatan manusia pada satu bahasa, bahasa Quraish. Mereka
menetapi kesepakatan yang ditetapkan dengan mutawatir, bukan riwayat `Āḥād dan
yang ditetapkan penasakhannya.
4.
Riwayat
ini berdasarkan teori kesahihan adalah riwayat `Āḥād. `Āḥād tidak bisa
menentang kepastian yang ditetapkan dengan mutawatir. Tidak pula digunakan
untuk menetapkan Al-Quran. Apalagi riwayat itu berbeda dengan tulisan mushaf.
Bagaimana pendapat anda? Padahal riwayat itu ḍa’īf dan bertentangan dengan
riwayat-riwayat lain dari Ibnu Abbas, sebagaimana yang telah kami jelaskan?
Tuduhan
keempat
Mereka
mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia membaca
أَفَلَمْ يَتَبَيَّن الّذِينَ آمنوا
أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللهَ لَهَدَى النَاسَ جَمِيعًا
Kemudian
ia mendapatkan pertanyaan, yang terdapat dalam mushaf adalah أفَلَم يَايْئَسِ الّذِينَ آمَنوا?[54]
Ia menjawab, saya kira penulis mengantuk. Ungkapan ini menurunkan kepercayaan penulisan Al-Quran dan
tulisannya. Pernyataan itu mengarah pada taḥrīf Al-Quran dan tulisannya.
Jawab
1.
Ungkapan
ini tidak dibenarkan dari Ibnu Abbas, rekayasa yang diatas namakan kepadanya.
Imam agung Abu Ḥayyān, dalam tafsirnya, mengatakan, melainkan perkataan itu
adalah perkataan orang kafir zindiq. Al-Ālūsy dalam tafsirnya, sesudah
menukil perkataan Ibnu Ḥayyān, mengatakan, berdasarkan hal ini, riwayat –sebagaimana dalam al-Durr
al-Manthūr- dari Ibnu Abbas raḍiya Allah ‘anhumā
tidak sahih. Sedangkan
al-Zamakhshary dalam tafsirnya (juz 1, h. 655) setelah menyebutkan hikayat
tuduhan ini, mengatakan,
Pernyataan ini dan semisalnya termasuk hal yang tidak dibenarkan
dalam kitab Allah yang tidak ada kebatilan di hadapan-Nya dan di belakang-Nya.
Bagaimana perumpamaan ini tidak jelas sehingga masih tetap dalam dua sampul
imam[55].
Padahal, mushaf itu dibolak-balik dihadapan para ulama yang berhati-hati dalam
agama Allah, mengawasinya serta tidak lupa akan keagungan dan kedalamannya.
Terutama undang-undang yang menjadi rujukannya dan kaidah yang mendasarinya.
Ini, Allah adalah …. apa yang didalamnya kebimbangan.
2.
Termasuk
yang menolak riwayat ini adalah adanya qiraat sahih dan mutawatir dari Ibnu
Abbas. Seandainya penisbatan kepadanya adalah benar kenapa ia membacanya dengan
itu. Abu Bakar al-`Anbāry[56] mengatakan,
‘Ikrimah meriwayatkan dari Abu Najīḥ, Ibnu Abbas membaca أفلم يتبين الذين آمنوا. Riwayat ini dijadikan argumen orang yang
berdalih bahwa bacaan Ibnu Abbas benar. Argumen itu batal dari Ibnu Abbas.
Karena Mujāhid dan Said bin Jubayr menceritakan huruf dari Ibnu Abbas sesuai
dengan yang ada di mushaf dengan bacaan Abu ‘Amr. Riwayat Abu ‘Amr dari Mujāhid
dan Said ibnu Jubayr dari Ibnu Abbas. Selain itu, Ibnu Abbas juga mendapatkan
Al-Quran dari Zayd bin Thābit mengenai seseorang yang mendapatkan dari mereka.
Zayd adalah sekertaris wahyu. Ia yang menghimpun Al-Quran pada masa Abu Bakar.
Ia adalah salah satu dari empat orang yang menghimpun Al-Quran pada masa Usman.
Jadi, tidak masuk akal jika Ibnu Abbas membaca bacaan yang berbeda dengan
bacaan Zayd binThābit dan tulisannya dalam mushaf Usmani.
Dalam beberapa masalah Nāfi’ bin al-`Azraq kepada Ibnu Abbas. Ia
bertanya kepada Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ālā, أفلم يايئس الّذين آمنوا. Ibnu
Abbas menjawab, apakah ia mengetahui bahasa bani Malik? Nafi’ menjawab, apakah
Arab mengetahuinya? Ibnu Abbas menjawab, Ya, apakah engkau mendengar Malik bin
‘Awf berkata
لَقَدْ
يَئِسَ الْأَقْوَامُ أَنِّي أَنَا ابْنُهُ ... وَإنْ كُنْتُ عَن أرضِ العشيرة
نائيا[57]
Beberapa kaum putus asa, saya anaknya
Jika
saya jauh dari bumi kabilah
Seandainya riwayat itu memang ada –sebagaimana diperdayakan kepada
Ibnu Abbas- kenapa ia menafsirkan. Tentu, jelas bagi penanya bahwa itu salah
dan kenapa ia membuktikan dengan ungkapan Arab.
3.
Berdasarkan
teori kesahihan, riwayat ini adalah Āḥād. Jadi, tidak bertentangan
dengan kepastian yang ditetapkan secara mutawatir. Al-Quran tidak ditetapkan
dengan riwayat āḥād. Apalagi riwayat tersebut berbeda dengan tulisan
mushaf.
Tuduhan
kelima
Mereka
mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berpendapat mengenai firman
Allah Ta’ālā, وَقَضى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا
إِيَّاهُ yang benar adalah ووصى ربك.
Huruf wawu berdampingan dengan ṣād. Athār ini dikemukakan dengan
beberapa riwayat yang berbeda. Di sebagian riwayat, ia berpendapat, seandainya
itu adalah qaḍā (ketetapan) Tuhan, tentu seseorang tidak mampu menolak
ketetapan Allah. Akan tetapi, itu hanyalah wasiat Allah kepada para hamba-Nya.
Mereka mengatakan, ini mengindikasikan adanya taḥrīf Al-Quran.
Adapun
jawabannya,
1.
Beberapa
riwayat ini lemah dan diperdayakan kepada Ibnu Abbas. Periwayatannya dilakukan
tanpa pembuktian dan penyelidikan. Ibnu al-`Anbāry mengatakan, riwayat-riwayat
ini lemah. Lemah tidak bisa digunakan untuk berhujjah dan tidak digunakan di
selain ini. Bagaimana pendapat anda mengenai sesuatu yang berkaitan dengan
Al-Quran al-Karīm.
2.
Telah
tersebar bahwa Ibnu Abbas raḍiya Allah ‘anhumā membaca wa qaḍā. Itu adalah bukti hal yang dinisbatkan
kepadanya tidak benar. Imam Abu al-Ḥayyān, dalam al-Baḥr al-Muḥīṭ,
mengatakan, adapun yang mutawatir adalah wa qaḍā. Itu yang tersebar dari Ibnu
Abbas, Hasan dan Qatādah dengan makna perintah. Sedangkan Ibnu Mas’ud dan
sahabatnya berpendapat, qaḍā bermakna waṣṣā. Adapun riwayat dari
Ibnu Mas’ud, dalam mushafnya adalah wa waṣṣā dan ia membaca
dengan itu, diarahkan pada penafsiran. Mushafnya bukanlah mushaf Al-Quran,
cukup. Dia hanya mencampur mushaf dengan tafsir dan takwil di sebagian ayat dan
menyebutkan sebagian do’a dan pepatah.
3.
Kebohongan
yang mereka sandarkan kepada Ibnu Abbas, bahwa seandainya lafal Al-Quran adalah
wa qaḍā, tentu ketika seseorang musyrik itu tidak wajar bagi orang yang
berfikir dan berangan-angan. Karena pertentangan ini hanya mengarah, seandainya
kita arahkan pada keputusan pada takdir azali. Adapun jika yang dimaksud adalah
makna bahasa yaitu terpotong dan pasti maka tidak mengarah dan tidak ditolak.
Karena itu jumhur menafsirkan qaḍā dengan perintah. Tafsir ini sendiri
dari Ibnu Abbas, sebagaimana disampaikan Ibnu Jarīr dan Ibnu al-Mundhir dari jalur
Ali bin Ṭalḥah dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berpendapat, perintah. Ini menolak
kebohongan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas.
4.
Riwayat-riwayat
ini bertentangan dengan mutawatir yang pasti. Setiap riwayat yang bertentangan
dengan kepastian adalah tereliminasi dari pertimbangan.
Tuduhan
keenam
Mereka
mengatakan, Ibnu Abbas membaca,
dengan
tanpa wawu sebelum kata ضِيَاءً. Ibnu Abbas mengatakan, ambil wawu ini dan
letakkan di ayat الَّذِينَ قالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ
النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ. Juga, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia
mengatakan, ambil wawu ini dan letakkan pada الَّذِينَ
يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ. Kita jawab kejangalan ini sebagai
berikut.
1.
Riwayat
dari Ibnu Abbas adalah lemah. Jadi, tidak digunakan. Kemudian riwayat itu
berbeda dengan kepastian yang ditetapkan dengan mutawatir. Otomatis, riwayat
itu ditolak.
2.
Penyebutan
wawu dalam ayat adalah tercapainya kebalaghahan yang tidak terukur, bukan
membuangnya. Baik itu penafsiran al-furqān dengan Taurat atau dengan
pertolongan. Penafsiran kedua diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya.
Penafsiran ini dibuktikan dengan friman Allah Ta’ālā, وَما
أَنْزَلْنا عَلى عَبْدِنا يَوْمَ الْفُرْقانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعانِ.
Maksudnya adalah hari Badar. Penjelasannya, jika yang pertama, maka maksud al-furqān,
al-ḍiyā` dan al-dhikr adalah Taurat, yaitu pembeda. Karena
membedakan antara yang hak dan batil. Penerangan, karena menyinari jalan bagi
orang-orang yang lewat. Taurat adalah pengingat terhadap isi kandungannya
seperti peringatan dan nasehat-nasehat. Perumpamaan metode ini boleh
menggunakan tanpa wawu berdasarkan posisinya sebagai ḥāl, boleh
mendatangkan wawu. Masing-masing adalah sastra tinggi. Akan tetapi, pemakaian
wawu lebih tinggi tingkatannya karena merubah sifat -ḥal adalah sifar
dalam makna- tempat perubahan dzat-dzat. Karena itu adalah rahasia balaghah.
Itu adalah isyarat pada kesastraannya derajat yang tinggi sebagai penyinar
sehingga tampak seolah-olah seperti jenis tersendiri dengan kepalanya dari
pendahulunya. Ini adalah rahasia yang tidak sempurna dengan pembuangan wawu.
Perumpamaan ini di kalam Arab,
إلى
المسلك القرم وابن الهمام ... وليث الكتيبة في المزدحم
Sedangkan
penafsiran yang kedua, tafsir al-furqān dengan pertolongan, maka wawu
tetap dengan pasti. Untuk membedakan ma’ṭūf dan ma’ṭūf ‘alayh.
Maksud al-ḍiyā` adalah Taurat atau syariat.
Tuduhan
ketujuh
Mereka
mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Ta’ālā,
mathalu nūrihī ka mishkātin fīhā miṣbāḥ. Ia mengatakan, itu adalah
kesalahan penulis. Adalah lebih besar daripada cahayanya seperti cahaya tempat
lampu. Adapun yang benar adalah mathalu nūr al-mu`mini ka mishkātin. perumpamaan
cahaya seorang mukmin seperti tempat lampu.
Untuk
menjawabnya kita sebutkan
1.
Riwayat
ini bertentangan dengan kepastian yang ditetapkan secara mutawatir. Jadi,
riwayat ini ditolak dan batal. Al-Quran tidak ditetapkan dengan riwayat
tersebut sama sekali.
2.
Riwayat
ini lemah. Menurut dugaan, itu direka-rekan. Tidak ada yang menunjukkan atas
pernyataan ini daripada ia membaca dengan bacaan ini dengan bacaan mutawatir
yang telah dikenal. Tidak diriwayatkan darinya, ia membaca, mathalu nūr
al-mu`min. adapun riwayat ma’thūr dari Ibnu Abbas dalam tafsirannya
ia tidak sesuai dengan yang diriwayatkan darinya. Ibnu Jarīr, Ibnu al-Mundhir,
Ibnu Abu Ḥātim dan al-Bayhaqy meriwayatkan mengenai nama-nama dan sifat dari
Ibnu Abbas, ia mengatakan, perumpamaan cahaya-Nya itu seperti hidayah-Nya dalam
hati seorang mukmin.
Tafsir ini hanya mungkin jika kata ganti dalam nūrihī
kembali pada lafal Jalālah. Tafsir ini adalah riwayat yang paling unggul dari
Ibnu Abbas mengenai kembalinya kata ganti. Jika kita menerima riwayat al-Ḥākim
dari Ibnu Abbas, kembalinya kata ganti adalah al-mu`min maka riwayat ini
tidak menetapkan penolakan terhadap bacaan mutawatir. Akan tetapi, itu hanyalah
tafsir terhadap rujukan kata ganti. Siapapun sumber riwayatnya, tidak
membuktikan akan muslihat dan tipuan ini. Riwayat ini, riwayat al-Ḥākim dari
Ibnu Abbas, lemah bahwa rujukan kata ganti pada yang disebutkan dalam ungkapan
ketika tidak ada yang ditunjukkan atau ada tetapi penunjukannya samar serta
berbeda sekali dengan yang secara ekplisit. Apalagi, ketika tujuan dari
ungkapan itu[59]
hilang. Kesempurnaan keindahan kalam dalam perumpamaan di suatu ayat hanya
seandainya kata ganti kembali kepada yang disebutkan, yaitu kata jalalah sesuai
maksud yang dinginkan dengan al-nūr adalah al-Ḥaqq yang mendasari langit
dan bumi dan urusan manusia menjadi baik atau al-hudā yang ditanam Allah
di hati orang mukmin. Adapun dari sisi lain, ada pelepasan Al-Quran dan
penghilangan keindahan perumpamaan.
Seandainya muslihat ini dinukil dari Ubayy bin Ka’b tentu masalah ini
lebih mudah. Karena Ubay bin Ka’b, sumber periwayatannya, membaca mathalu nūri al-mu`min. Dalam satu
riwayat lain, mathalu nūri al-mu`minīn dan mathalu nūri man `Āmana.[60]
Bacaan-bacaan tersebut shādh yang tidak diperhitungkan dan tidak dibaca,
karena berbeda dengan tulisan mushaf dan ketiadaan kemutawatiran. Akan tetapi,
Allah menghendaki penyempurnaan jalan penyusunan riwayat yang didustakan atas
nama Ibnu Abbas. Begitu juga, penjelasan kebatilan yang disampaikan yang ada
dalam isinya.
Tuduhan
kedelapan
Mereka
mengatakan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia mengatakan, jangan katakana فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ ما آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا [61]
karena Allah tidak mempunyai perumpaan. Akan tetapi, katakan بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ. Padahal ia membaca فَإِنْ آمَنُوا بِمِا آمَنْتُمْ بِهِ. Mereka mengatakan,
ini meniadakan bacaan mashur yang digunakan menulis mushaf dan mengindikasikan
bahwa dalam mushaf ada perubahan.
Jawab
1.
Ini
adalah riwayat `Āḥād yang berbeda dengan kepastian yang ditetapkan dengan mutawatir,
kesepakatan umat muslim sejak sahabat sampai kita ini. Berbeda dengan kepastian
adalah ditolak. Riwayat itu juga tidak digunakan untuk menetapkan Quran.
2.
Berdasarkan
teori ketetapan riwayat ini, maka diarahkan pada penafsiran dan penjelasan
makna bacaan mutawatir. Ibnu ‘Aṭiyyah, seorang imam sekaligus penafsir
mengatakan, ini dari Ibnu Abbas dari segi penafsiran. Maksudnya, begitu
seterusnya, ditakwil.
3.
Bacaan
mutawatir yang menjadi dasar umumnya qāri` memiliki sisi kesahihan dan
indikasi-indikasi yang diarahkan padanya. Di antaranya,
a.
Kata
mathalu adalah tambahanyang memiliki faidah ta`kīd (pengukuhan).
Jadi, maknanya adalah فَإِنْ آمَنُوا بِمِا آمَنْتُمْ
بِهِ. Itu sebagaimana dikatakan dalam firman Allah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ.
b.
Makna
`amanū adalah ṣadaqū, sedangkan bā`nya adalah tambahan
yang berfaidah tawkīd, sebagaimana ditambahkan dalam firman Allah Ta’ālā
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ.
Adapun artinya, apabila mereka membenarkan dengan pembenaran seperti
pembenaran mereka, maka mereka mendapatkan hidayah. Penambahan sebagian
huruf dan kata untuk pengukuhan terkenal dalam bahasa Arab.
Tuduhan
kesembilan
Mereka
mengatakan, Hishām bin ‘Urwah
meriwayatkan dari ayahnya dari Aishah raḍiya Allah ‘anhā. Aishah mendapatkan pertanyaan tentang firman Allah Ta’ālā, إِنْ هذانِ لَساحِرانِ, إِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصارى
, dan
وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ وَالْمُؤْتُونَ
الزَّكاةَ. Aishah menjawab, wahai putra saudaraku, ini kesalahan penulis.
jawab
1.
Riwayat
ini tidak sahih dari Aishah. Berdasarkan teori kesahihannya, itu adalah riwayat
`Āḥād yang tidak digunakan untuk menetapkan Al-Quran. Riwayat itu bertentangan
dengan kepastian yang ditetapkan secara tawātur. Jadi, riwayat itu
batal, ditolak dan tidak ada pertimbangan terhadap pensahihan seseorang yang
mensahihkan riwayat ini dan semisalnya. Di antara kaidah ahli hadis adalah termasuk yang digunakan untuk mengetahui
posisi khabar adalah seseuatu yang diambil dari kondisi yang diriwayatkan.
Seperti bertentangan dengan nas Al-Quran, sunah, ijma’ qaṭ’y atau
kejelasan akal sekiranya tidak menerima takwil apapun atau tidak memungkinkan
menggugurkan sesuatu darinya yang dengannya katakutan hilang. Riwayat-tiwayat
ini berbeda dengan mutawatir qaṭ’i yang diperhatikan umat dengan menerimanya.
Jadi, riwayat itu batal, pasti.
2.
Adapun
ayat `in hādhāni lasāḥirāni, yang dinas oleh para imam rasm dan qirā`at,
hādhāni (هذن) dalam mushaf Usmani
tidak ditulis dengan alif dan ya`. Karena untuk memungkinkan beberapa bacaan
mutawatir, seluruhnya. Ini termasuk rahasia tulisan Usmani. Penisbatan
kesalahan kepada penulis tidak logis. Adapun yang logis hanyalah, sayyidah
Aishah raḍiya Allah ‘anhā menyalahkan seseorang yang membaca إنّ
dengan nun tashdid dan hadhāni (هذان) dengan alif. Sedangkan orang yang membaca
إنّ dengan nun di tashdid dan ya’ pada هذين atau nun إنْ
tidak ditashdid dan هذان dengan alif maka
tidak ada sisi kesalahannya. Ini adalah salah satu yang disampaikan sebagai
pertimbangan perbedaan riwayat-riwayat ini atas nama Aishah dan lainnya.
Riwayat-riwayat itu termasuk perbuatan orang yang menyimpang. Mereka mencoba
menimbulkan rasa skeptis umat muslim terhadap kitabnya, yang tidak ada kebatilan di hadapan maupun sesudahnya. Ayat
Quran ini dibaca dengan tujuh bacaan mutawatir. Inilah penjelasannya.
a.
Abu
‘Amr membaca, إنّ
هذين لساحران dengan nun ditashdid, إنّ
dan ya` هذين. Bacaan ini masih ada. Tidak berbeda
dengan mushaf. Secara i’rab pun berlaku berdasarkan jalan luas yang
dikenal serta jelas. Tidak ada kesamaran sama sekali.
b.
Ibnu
Kathīr dan ‘Āṣim dalam riwayat Ḥafṣ darinya membaca إنْ
هذان dengan nun yang tidak ditashdid, إنْ
dan alif هذان. Hanya saja, Ibnu
Kathīr mentashdid nun هذان. Bacaan ini juga
tidak berbeda dengan rasm Usmani dan Arab. Keluar pada إنْ tanpa tashdid serta tanpa titik. هذان
adalah mubtada` dan لسَاحِرَان
adalah khabarnya. Sedangkan lāmnya adalah pembeda antara إن nafi dan إن
tanpa tashdid dari yang bertasdhdid. Isimnya إن
boleh berupa ḍamīr Sha`n. sedangkan jumlah sesudahnya terdiri dari
mubtada` dan khabar. Menurut sebagian, إن
adalah nafi sedangkan lāmnya bermakna إلا.
Perkiraannya adalahمَا هَذانِ إلّا سَاحِرَان.
Ini dibuktikan dengan bacaan Ubay, إن ذان إلا ساحران
yang merupakan bacaan tafsir dan penjelasan.
c.
Sedangkan
yang lainnya membaca إنّ هَذانِ لسَاحِرَان
dengan nun إن tashdid dan alif pada
هذان. Bacaan ini sesuai dengan tulisan Usmani.
Akan tetapi, mushkil dari segi i’rab. Bacaan ini adalah dalih orang yang
menduganya sebagai kesalahan dan dinisbatkan sebagai kepalsuan kepada sayyidah
Aishah raḍiya Allah ‘anhā. Bacaan ini memliki sisi-sisi kebenaran dalam bahasa Arab. Ulama
telah memperluas penjelasannya. Sisi terbaiknya[62]
adalah berlaku sesuai sebagian bahasa Arab dalam menetapkan muthannā dengan
alif dalam setiap kondisi. Itu adalah bahasa Kinānah, bani al-Ḥārith bin Ka’ab,
Khath’am, Zubayd, Murād dan lainnya. Buktinya ada banyak, seperti perumpamaan
ungkapan penyair Arab,
واهَاً
لِسَلْمى ثُمَّ وَاَهَا وَاهَا ... يَا لَيْتَ عَيْنَاهَا لَنَا وَفَاهَا
ومَوْضِع
الخُلْخال من رجلاها ... بِثَمَنٍ نُرْضِي بِهِ أبَاهَا
إنَّ
أبَاهَا وأبَا أبَاهَا ... قَدْ بلغَا في المجْدِ غَايتَاهَا
Al-‘Allāmah
Ibnu Hishām al-Naḥwy menganggap bacaan ini diqiyaskan. Karena asal mabni tidak
berbeda dengan bentuknya. Meskipun ada kesesuaian dengan alif لساحران.
3.
Ayat
وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ tidak benar dari
Aishah. Imam Abu Ḥayyān dalam al-Baḥr al-Muḥīṭ menyatakan, disebutkan
dari Aishah raḍiya Allah ‘anhā dan `Abān bin Usman, penulisannya dengan ya` adalah
kesalahan penulis. Itu tidak benar dari Aishah. Karena keduanya orang Arab yang
fasih. Pemutusan beberapa na’at terkenal dalam lisan Arab, itu adalah
bab yang luas. Imam Sibawayh dan lainnya menyebutkan beberapa bukti.
Berdasarkan pemutusan, Sibawayh meriwayatkannya. Barangkali berdasarkan apa
yang telah kami sebutkan dari al-Zamakhshary dalam Kashāf-nya tentang
penolakan terhadap orang yang mencacat bacaan mutawatir ini.
4.
Adapun
firman Allah,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئُونَ
وَالنَّصارى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صالِحاً فَلا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Memiliki beberapa sisi dan arahan yang benar dalam bahasa Arab.
Sisi terbaik ini adalah al-ṣā`ibūn didahulukan. Adapun khabar `inna adalah man `āmana seterusnya.
Sedangkan khabarnya wa al-ṣā`ibūn dibuang karena sudah ditunjukkan
khabarnya `inna. Perkirannya adalah wa al-ṣā`ibūna wa al-naṣārā
kadhalik. Barangkali, rahasia pendahuluannya dan penyebutan mereka di
antara golongan beragama adalah indikasi al-ṣā`ibīn meskipun kesesatan
dan penyimpangan mereka dari beberapa agama seluruhnya terlihat jelas adalah
diterimanya taubat mereka, dengan catattan iman dan perbuatan salih mereka
benar. Adapun selain mereka, pemeluk agama lebih pantas dan utama. Perumpamaan
penggunaan Arab ini adalah ungkapan penyair,
فَمَنْ
يَكُ أَمْسَى بالمَدينَةِ رَحْلُهُ ... فإِنّي- وقَيَّارًا بهَا[63] -
لَغَرِيبُ
Atau, firman Allah wa al-ṣā`ibūna
dan kata yang aṭaf padanya adalah permulaan lain. Sedangkan khabarnya
adalah man `āmana, seterusnya. Khabar ini tidak membutuhkan khabar
`inna. Perumpamaan penggunaan ini adalah ungkapan penyair Arab,
نَحْنُ
بِمَا عِنْدَنَا وَأَنْتَ بِمَا ... عِنْدَكَ رَاضٍ والرّأيُ مُـخْــتَلِفُ
Kita rida
dengan pendapat kita, anda
rida dengan pendapat anda, pendapat
itu berbeda
Khabar pertama
dibuang karena telah diindikasikan khabar kedua. Yakni, naḥnu bi mā
‘indanā rāḍūna.
Tuduhan
kesepuluh
Mereka mengatakan, bagaimana kalian berpegang pada mushaf yang
memuat kesalahan yang jelas, kekeliruan i’rāb dan ketercampuran, sesuatu
yang hampir tidak samar bagi orang yang memilki pengetahuan bahasa Arab. Mereka
membuat contoh sebagai berikut.
1.
Firman
Allah Ta’ālā,
وَالْمُوفُونَ
بِعَهْدِهِمْ إِذا عاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْساءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ
الْبَأْسِ
yang jelas adalah الصابرون.
2.
Firman
Allah Ta’ālā,
وَأَسَرُّوا
النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا[64]
ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ[65]
yang benar adalah وأسـرّ,
عمى dan صمّ.
3.
Firman
Allah,
لَوْلا
أَخَّرْتَنِي إِلى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
yang benar Dia berfirman و أكون.
Jawab
Dalih-dalih ini batal, sumbernya adalah kebodohan akan beberapa
bahasa Arab, beberapa aliran komunikasi dan metode penjelasan Arab. Allah subḥānahu
menghendaki –itu memilki hikmah yang tinggi– mendatangkan Al-Quran al-Karīm
–selain bahasa Quraish yang memimpinnya– mencakup sebagian bahasa-bahasa Arab
dan penggunaannya, baik yang fasih atau lebih fasih. Hal itu memiliki rahasia.
Yaitu, Al-Quran merupakan kitab Arab terbesar, pemersatu Arab yang besar,
rujukan Arab yang paling terpercaya dalam mengetahui beberapa gaya bahasa Arab
dalam penjelasan dan aliran-aliran mereka dalam membuat ibarat. Jadi, yang
lebih patut dan sesuai adalah mendatangkan Al-Quran yang mencakup sesuai
penerimaan yang mudah, tidak dianggap buruk dan berat. Agar Arab menemukan yang
disukai rasa dan bakat mereka. Inilah penjelasan sisi kebenaran yang telah
disebutkan.
a.
Firman
Allahوَالصَّابِرِينَ dinasabkan berdasarkan pujian. Yakni, `amdaḥu
al-ṣābirīna (saya memuji orang-orang sabar). Hanya saja, berbeda gaya
bahasannya dan tidak didatangkan sesuai keteraturan sebelumnya. Karena memberi
penjelasan keutamaan sabar dan penjelasan posisinya di antara kebaikan.
Seolah-olah, Allah subḥānahu menjelaskan kepada kita bahwa sabar, meskipun
disebutkan secara terakhir, adalah suatu tempat di antara keutamaan dan dibalas
kebaikan. Telah disebutkan para pakar bahasa dan nahwu, Arab memiliki
keanekaragaman dalam membuat kekhususan. Tidak samar, pengaruh besar dari sisi
jiwa yang merubah beberapa gaya bahasa dan keanekaragamn dalam khitab. Karena
menarik perhatian, menggugah perasaan dan mendorong akal untuk bertanya dan
mengkaji. Boleh jadi makna-makna rohani adalah
keutamaan yang diposisikan. Bagi Allah kebagusan penempatan, banyak yang memiliki
rahasia-rahasia dan kelembutan.
b.
Firman
Allah, وَأَسَرُّوا, ثُمَّ عَمُوا dan وَصَمُّوا
dikemukakan berdasarkan sebagian bahasa Arab. Yaitu, bahasa `akalūnī
al-barāghith. Bahasa tersebut dalam Arab memilki banyak bukti. Bahasa ini
menyatakan, isim yang menempel fi’il (kata kerja) bukan ḍamīr
(kata ganti), melainkan hanya tanda tathniyah dan jama’.
Sedangkan isim sesudahnya adalah fā’il (subjek). Atau, isim yang
mengikuti kata kerja adalah fā’il, sedangkan isim ẓahir
setelahnya adalah badal dari isim yang mengikuti kata kerja atau fā’ilnya
fi’il yang dibuang yang dijelaskan dengan kata yang telah disebutkan.
Perkiraanya adalah وأسروا النجوى أسرها الذين ظلموا.
c.
Firman
Alah Ta’ālā, فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
memiliki dua dari tujuh bacaan. Pertama, وَأَكُونَ
dibaca nasab. Bacaan ini digunakan oleh Abu ‘Amr dan arahannya jelas. Kedua, وَأَكُنْ dibaca jazm. Kata ini aṭaf pada
makna. Ungkapannya bermakna syarat, seolah-olah Allah berfirman إنْ أَخَّرْتَنِي إلى أجَلٍ قَرِيبٍ أصَدّقْ وأكُنْ.
Jenis ini dinamakan aṭaf pada dugaan oleh ahli nahwu. Ini merupakan bab
yang dikenal dalam bahasa Arab.
Kejanggalalan
Kesebelas
Riwayat imam Ahmad, dengan sanadnya dari Ismail al-Makky. Ia
mengatakan, kami diberitahu Abu Khalaf, maula bani Jumaḥ. Ia bersama Ubayd bin
Umayr berkunjung kepada Aishah raḍiya Allah ‘anhā . Aishah mengucapkan, selamat datang Abu ‘Āṣim. Apa yang
menghalangi engkau untuk mengunjungi kami atau mampir? Ia menjawab, saya
khawatir saya membuat anda bosan. Aishah menimpali, apa yang akan kau lakuan?
Ia menjawab, saya datang untuk bertanya kepada anda tentang ayat kitab Allah ‘Azza
wa Jalla, bagaimana Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam
membacanya? Aishah menjawab, ayat per ayat. Ia bertanya, وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ ما آتَوْا atau الّذِيْنَ
يَأتُونَ مَا أتَوا?. Aishah balik bertanya, mana yang lebih
kamu sukai? Saya jawab, demi Dzat yang jiwaku berada digenggamannya, salah
satunya lebih saya sukai daripada dunia seluruhnya atau dunia serta isinya.
Aishah bertanya, yang mana? Saya jawab, الذين يأتون ما
أتوا. Aishah mengatakan, saya bersaksi bahwa Rasulullah Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam pun seperti itu. Beliau membacanya dan begitu juga
ayat itu diturunkan. Akan tetapi, huruf abjad berubah. Itu adalah prasangka
bahwa bacaan yang lain yang tidak tetap dan bentuk tulisan bukan kesepakatan.
Jawab
1.
Dalam
sanad Riwayat ini, ada Ismail al-Makky. Ia adalah lemah[66].
Jadi, riwayat ini tidak bertentangan dengan kepastian yang ditetapkan dengan tawātur
dan tidak digunakan untuk menetapkan Al-Quran, meskipun riwayat itu sahih.
2.
Berdasarkan
teori kesahihannya, riwayat ini tidak memberi pemahaman pengingkaran bacaan
yang ada yang telah disepakati oleh tujuh imam, yaitu يُؤْتُونَ
ما آتَوْا[67].
Ungkapan Aishah, Rasulullah membacanya dan begitu juga diturunkan, tidak
meniadakan bahwa bacaan mutawatir
diturunkan. Nabi membacanya, terutama bacaan itu adalah mutawatir yang
disepakati tujuh ahli baca. Adapun bacaan lain yang mana sayyidah Aishah sesuai
dengan penanya berdasarkan angggapan baiknya adalah tidak mutawatir dan tidak
digunakan untuk menetapkan Al-Quran. Telah saya sebutkan dalam sebagian
penulisan hadis, akan tetapi tidak diriwayatkan oleh pakar bacaan dari jalur
mereka[68].
Barangkali, itu termasuk bacaan yang dinaskh pada masa nabi Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam atau termasuk
yang ditinggal pada saat kodifikasi Al-Quran. Karena, ketiadaan
ketetapan dan kemutawatirannya. Adapun ungkapan Aishah, hijaiyah berubah,
maksud huruf adalah bahasa, yakni bacaan yang tetap secara bahasa dan diarahkan
dari beberapa sisi penyampaian untuk Al-Quran. Tidak benar, maksud Aishah
dengan huruf adalah “salah dan perubahan” karena bahasa tidak dapat disaksikan.
Tuduhan
keduabelas
Mereka mengatakan, diriwayatkan dari Khārijah bin Zayd bin Thābit.
Ia mengatakan, kita mengatakan kepada Zayd, wahai Abu Sa’id! apakah engkau
mencurigai bahwa yang benar ثمانية أزواج من الضأن
اثنين اثنين, ومن المعز اثنين اثنين ,
ومن الإبل اثنين اثنين , ومن البقر اثنين اثنين. Maka ia menjawab, tidak, Allah Ta’ālā
berfirman, فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ
وَالْأُنْثى. Keduanya adalah sepasang. Setiap satu darinya adalah zawj,
lelaki adalah zawj dan perempuan zawj.
Mereka mengatakan, ini mengindikasikan pembelokan redaksi dalam
mushaf dan pilihan mereka atas apa yang mereka inginkan dalam penulisan
Al-Quran.
Jawab
Riwayat ini- berdasarkan penerimaan kesahihannya- tidak menunjukkan
tuduhan mereka. Riwayat ini hanyalah penjelasan dan pengarahan apa yang
ditulis, dibaca dan yang tetap padanya dengan mendengar dari nabi Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam, bukan pembelokan dari penyampaian dirinya sendiri.
Orang yang ishkal memahami bahwa sepasang (zawj) tidak diucapkan kecuali
kepada dua orang sepasang. Maka sayyidina Zaid raḍiya Allah ‘anhu wa `arḍāhu menjelaskan, zawj sebagaimana diucapkan untuk dua orang
sepasang, juga diucapkan untuk setiap satu dari keduanya, zawj. Ia
menjadikan dalil akan itu dengan Al-Quran yang merupakan argumen tinggi.
Penanya menerima dan diam. Sahabat yang menulis Al-Quran, menghafalkan dan
menyampaikannya kepada generasi sesudahnya, mereka sangat dalam ketepatan,
kokoh dan amanat tinggi. Dalam al-dharwah dari mereka, Zayd bin Thābit
adalah penulis wahyu dihadapan Rasul Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam dan menanggung beban terbesar dalam penghimpunan
Al-Quran dalam masa al-Ṣiddīq dan Usman raḍiya Allah ‘anhumā.
Penolakan
Secara Umum
Di
sini ada penolakan secara umum yang digunakan untuk menolak semua tuduhan yang
telah lewat. Yaitu, pegangan Al-Quran dan hafalannya adalah talaqqī
(pertemuan) dan mendengar dari nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam atau
dari seseorang yang mendengar dari nabi atau seseorang yang mendengar orang
yang mendengar dari nabi, begitu seterusnya sehingga Al-Quran sampai kepada
kita dengan subur, sebagaimana diturunkan. Al-Quran tidak diambil dari lembaran
atau kumpulan lembaran yang tertulis. Sesungguhnya tujuan dari tulisan hanyalah
menolong hafalan dan menjadi rujukan ketika ada perbedaan bacaan atau bentuk
tulisan. Beberapa orang yang dinisbatkan dalam riwayat-riwayat ini, terutama
Ibnu Abbas dan murid-muridnya, membaca dengan bacaan yang ditetapkan secara
mutawatir, berbeda dengan fitnah yang diriwayatkan dari mereka yang termasuk
mengindikasikan kebatalan cacat-cacat ini.
Sesudahnya,
barangkali anda serta saya melihat tuduhan ini dan semisalnya lebih lemah dari
rumah laba-laba. Maka tidak sampai padanya kecuali dengan pengecualian.
Barangkali anda bertambah yakin, Al-Quran sebagaimana dalam mushaf-mushaf hari
ini adalah Al-Quran yang diturunkan kepada nabi kita, Muhammad. Semua yang
berbeda dengan kemutawatiran serta kepastian adalah tertolak dan batal.
Al-Quran tidak ditetapkan dengan riwayat `Āḥād. Seandainya riwayat itu sampai
pada tingkatan kesahihan tertinggi, maka anda sesuai penyebutan itu semua.
Semoga Allah mengukuhkan kita dan anda dengan pernyataan yang tetap dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
SHAKL AL-QURAN
Shakl adalah sesuatu
yang menunjukkan sisi-sisi huruf, seperti harakat dan sukun. Baik itu terdapat
di permulaan kata, tengah maupun akhir. Pemilik al-Qāmūs tentang materi shakl mengatakan, tulisan itu memberi titik dan
harakat seperti memberi shakl. Seolah-olah menghilangkan kesamarannya, yakni
kesamaran tulisan. Tidak diragukan, sesuatu yang membedakan huruf, berharakat
atau sukun, dapat menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan huruf. Sehingga, makna etimologi dan terminologinya menjadi
jelas sesuai yang terlihat.
Para sejarawan sepakat bahwa Arab pada masa
awal tidak mengetahui shakl secara terminologi. Akan tetapi, mereka mengucapkan lafal-lafal secara berkaidah serupa sesuai dengan tabiat dan fitrah Arab mereka tanpa kekeliruan bacaan dan salah. Karena pada asalnya dalam jiwa
mereka tertanam kefasihan, kesastraan dan kelurusan lidah mereka dalam
mengucapkan susunan lafal sebagaimana peletakannya yang benar tanpa membutuhkan
pengetahuan kaidah-kaidahnya. Oleh karena itu, pada masa awal mushaf ditulis
tidak ada shakl dan titik karena berpegang pada tabiat ini dan yang
menjadi pegangan mengenai Al-Quran adalah talaqqī
(pertemuan) dan riwayat. Dengan begitu, tidak ada kebutuhan pada shakl. Ketika
wilayah Islam menjadi luas dan tercampurnya Arab dengan Ajam, fitrah bahasa
Arab menjadi rusak dan dalam perkataan terjadi kesalahan. Beberapa kejadian
memperingatkan umat Islam untuk menjaga Al-Quran yang menjadi dasar agama dan sumber jalan lurus dari terbukanya
jalan masuknya
kekeliruan. Di antara umat Islam, ada orang yang memiliki pengetahuan
dasar-dasar nahwu serta kaidah-kaidahnya, dan mahir dalam hafalan dan bacaan Al-Quran. Misalnya, Abu al-`Aswād al-Du`aly, Yahya bin Ya’mar al-‘Adwāny, qadi
Khurasan dan Naṣr bin ‘Āṣim al-Laythy.
Diceritakan, Abu Aswād al-Du`aly mendengar seseorang membaca `anna
Allaha barī`un mina al-mushrikīna wa rasūlihi dengan
membaca jir kata rasūlihi. Hal itu membuat dirinya khawatir dan
berkata, Maha Mulia Allah, lepas dari Rasul-Nya. Lalu, ia pergi kepada Ziyād, penguasa Basrah. Abu al-`Aswād berkata kepada Ziyād, aku memenuhi permintaanmu. Sebelumnya, Ziyād telah memintanya untuk membantu manusia dengan membuat
tanda-tanda yang menunjukkan harakat dan sukun. Kemudian Abu al-`Aswād menjadikan titik di atas huruf sebagai fatah, titik di bawah
sebagai kasrah, titik di antara huruf sebagai damah dan titik dua sebagai tanwin.
Manusia menggunakan metode ini dalam satu masa. Kemudian mereka mulai memberi tambahan
dan membuat hal baru. Mereka membuat tanda huruf yang ditashdīd seperti busur
dan tanda alif waṣal dengan bentuk
bejana di atas, bawah atau tengahnya sesuai harakat sebelumnya, fatah, kasrah
atau damah. Sampai pada masa Abdul Malik bin Marwān. Mereka memerlukan titik untuk menjelaskan huruf bā`, tā`,
thā` dan seterusnya. Sehingga mereka menggabungkan titik dengan harakat.
Mereka menjadikan masing-masing keduanya panjang untuk membedakan satu sama
lainnya. Kemudian mereka membuat harakat sebagai tanda yang lain, yaitu
tanda-tanda yang dikenal pada hari ini, seperti fatah, kasrah, ḍamah, tasydid dan lainnya. Mereka mejadikan fatah dengan bentuk
alif secara horizontal di atas huruf, kasrah di bawah huruf dan ḍamah dengan bentuk huruf wawu. Adapun tanwin, mereka membuat
harakat lain dari jenis harakat sebelumnya: damah, fatah atau kasrah.
Dengan
begitu, Al-Quran diberi harakat.
`I’JĀM
AL-QURAN
`I’jām adalah sesuatu yang menunjukkan hakikat huruf dan perbedaan huruf
yang sama dalam tulisan antara sebagian dari bagian yang lain. Tāj al-‘Arūs
dalam al-Qāmūs wa Sharḥuhu menyatakan
tentang materi ‘ajam, fulan menjelaskan sebuah perkataan. Yakni,
menghilangkan ketidakjelasan. Setiap orang yang tidak jelas mengenai sesuatu,
maka ia menjelaskannya. Menjelaskan tulisan berbeda dengan mengi’rabinya
–sebagaimana penjelasan dalam al-Ṣaḥāḥ–
memberi titik. Dalam al-Nihāyah, menghilangkan ketidakjelasannya,
seperti ‘ajamahu ‘ajman dan ‘ajjamahu ta’jīman. Ibnu Jinnī mengatakan, saya menjelaskan tulisan, maka
saya menghilangkan sesuatu yang menjadikannya tidak jelas. Ibnu Sīdah
mengatakan, `i’jām menurutku adalah peniadaan. Ulama mengatakan, saya
menafsirkan tulisan, kemudian ada ketidakjelasan maka saya meniadaannya.
Sebagaimana datangnya saya melakukannya. Ia memiliki keserupaan-keserupaan.
Telah disebutkan bahwa shakl adalah pemberian harakat. Keduanya, shakl
dan `i’jam, secara etimologi bersinonim. Hanya saja, secara istilah
keduanya dibedakan. Sebagaimana yang telah anda ketahui, shakl dikhususkan
untuk harakat dan i’jām untuk titik.
Mushaf
pada masa awal tidak bertitik. Karena yang menjadi pegangan bukanlah bacaan,
melainkan perjumpaan dan pendengaran. Bentuk tulisan suatu kata masih bisa menyatukan
setiap bacaan yang sahih dan ada dari sisi bacaan. Karena riwayat dari Ibnu
Mas’ud raḍiya Allah ‘anhu,
kosongkan Al-Quran! Jangan kalian campuri dengan sesuatu yang lain, disampaikan
oleh Abu Ubayd dan lainnya.
Orang yang Pertamakali
Memberi Titik Mushaf
Para
sejarawan berbeda pendapat mengenai titik. Sebagian dari mereka berpendapat,
pemberian titik dikenal sebelum Islam untuk membedakan huruf yang serupa. Hanya
saja, pemberian titik tidak dipakai saat penulisan mushaf. Karena alasan yang
telah kami sebutkan. Sebagian yang lain berpendapat, pemberian titik baru
dikenal dari metode Abu al-`Aswād al-Du`aly. Kemudian metode tersebut menjadi
terkenal dan digunakan dalam Al-Quran pada masa Abdul Malik bin Marwan.
Pendapat yang tampak benar adalah pendapat pertama. Karena, jauh kemungkinannya
huruf-huruf tidak memiliki tanda yang membedakan keserupaan antara satu dengan lainnya.
Bilamana termasuk, maka sangat dibutuhkan ketika wilayah Islam menjadi luas dan
Arab dengan Ajam tercampur. Kekaburan dan kesamaran dalam membaca Al-Quran
mulai muncul. Sehingga, kebanyakan dari mereka kesulitan untuk membedakan
antara huruf-huruf Al-Quran dan bacaannya, seperti firman Allah, نُـنْشِرُها dan نُنْـشِزُها, فَتَـبَيَّنُوا
dan فَتَثَـبَّتُوا. Maka, Abdul Malik
prihatin dengan hal itu dan memberi perintah kepada al-Ḥajjāj untuk
memperhatikan masalah besar tersebut. Kemudian al-Ḥajjāj memilih dua orang
muslim pilihan, Naṣr bin ‘Āṣim al-Laythy dan Yahya bin Ya’mar al-‘Adwāniy,
kedua murd Abu Aswād al-Du`aly. Keduanya merupakan orang wirai dan salih,
mencapai puncak dalam bahasa Arab dan bacaan di suatu tempat. Keduanya membuat
satu sampai tiga titik untuk huruf yang serupa. Pekerjaan ini menjadi kesepakatan
besar bagi umat yang terkait dengan penjagaan Al-Quran.
Menurut
sebagian, orang yang pertamakali memberi titik dalam mushaf adalah Abu
Aswād al-Du`aly. Sedangkan Ibnu Sīrīn mempunyai mushaf yang diberi titik Yahya
binYa’mar. Kemungkinan konsiliasi antara pendapat ini dan sebelumnya adalah Abu
al-`Aswād merupakan orang yang pertama kali memberi titik dalam mushaf dengan
secara pribadi. Kemudian diikuti Ibnu Sīrīn. Adapun Abdul Malik adalah orang
yang pertama kali memberi perintah pemberian titik dalam mushaf secara umum dengan tulisan yang
telah tersebar dan tersiar di kalangan manusia, secara keseluruhan.
Hal Baru dalam Penulisan
Mushaf
Sesuatu
yang baru dalam penulisan mushaf, seperti pembagian hizb, juz, takhmīs
dan ta’shīr[69],
penulisan pembukaan dan penutupan surat dan sebagainya. Semuanya ditambahkan
dengan tujuan memberi kemudahan bagi pembaca. Akan tetapi, semuanya tidak ada
yang sepenting shakl dan pemberian titik. Qatadah mengatakan, mereka
memulainya kemudian memberi titik, takhmīs dan ta’shīr. Sedangkan
yang lainnya mengatakan, hal baru yang mereka buat pertama kali adalah titik
pada akhir ayat, kemudian pembukaan dan penutupan surat.
Ulama
membagi Al-Quran dengan beraneka ragam. Di antaranya adalah pembagian tiga
puluh bagian. Mereka menyebut tiap bagiannya dengan nama juz. Sekiranya tidak
terpikirkan dalam pikiran ketika mengucapkannya yang lain. Ketika seseorang
mengatakan, saya membaca satu juz Al-Quran. Maka, yang segera terlintas dalam
pikiran adalah ia membaca satu dari tiga puluh juz. Kemudian, ulama membagi
setiap juz menjadi dua bagian. Mereka menyebut setiap bagian itu dengan ḥizb.
Jadi, jumlah ḥizb ada enam puluh. Misalnya, dari permulaan al-Fātiḥah
sampai firman Allah, sayaqūlu al-sufahā`u adalah satu juz, dari sayaqūlu
al-sufahā`u sampai tilka al-rusulu adalah satu juz dan seterusnya.
Mulai dari permulaan al-Fātiḥah sampai wa mā Allah bi ghāfilin ‘ammā
ta’malūn adalah satu ḥizb, `afataṭma’ūna `an yu`minū lakum sampai
wa lā tas`alūna ‘ammā kānū ya’malūna adalah satu ḥizb dan
seterusnya. Para ulama juga menjadikan setiap juz delapan rub’ (seperempat)
dan setiap ḥizb empat rub’. Adat dalam salinan Al-Quran adalah ulama
menyebutkan nama juz, ḥizb dan rub’ dalam pinggir mushaf. Hanya
saja, mereka menulisnya dengan tulisan yang berbeda dengan tulisan Al-Quran.
Tintanya juga berbeda dengan tinta Al-Quran. Karena berhati-hati agar tidak
dikira tulisan tersebut termasuk bagian Al-Quran.
Hukum Pemberian Titik, Shakl
dan Semisalnya dalam Al-Quran
Pada
masa awal, ulama berpendapat akan kemakruhan pemberian titik mushaf, shakl dan
semisalnya. Karena, sikap yang sangat dalam menjaga Al-Quran dari penambahan
dan penulisan Al-Quran sebagaimana cara yang telah ada pada masa Nab Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Abu ‘Ubayd menyampaikan
dari al-Nukha’iy bahwa ia memakruhkan pemberian titik pada mushaf. Ibnu Abu
Dawud juga menyampaikan dari al-Nukha’iy bahwa ia memakruhkan pembagian menjadi
sepuluh, pembukaan, memperkecil mushaf dan penulisan surat demikian dan demikian.
Ketika ia mendapatkan mushaf yang di dalamnya bertuliskan surat ini, begitu
juga ayatnya, ia mengatakan, hapus ini! Sungguh Ibnu Mas’ud memakruhkannya. Diriwayatkan
dari imam Malik bahwa ia memakruhkan sepersepuluh dengan warna merah atau lainnya
dalam mushaf. Diriwayatkan darinya juga, imam Malik mengatakan, penggunaan titik
dalam Al-Quran untuk belajar para pemuda tidak masalah. Namun, jika untuk para
ibu tidak boleh.
Akan
tetapi, keadaannya telah berbeda dengan masa awal, umat Islam membutuhkan titik
dan harakat untuk menjaga Al-Quran dari kekeliruan i’rāb, perubahan, salah
ucap dan memudahkan bagi para penghafal dan pembaca. Setelah mereka memakruhkannya,
pemberian tanda itu kemudian menjadi wajib atau sunah. Karena, sebagaimana
dalam ilmu Usul, hukum itu berputar beserta ada dan tidak adanya illat. Imam
Nawawi, dalam al-Tibyān, menyatakan, ulama mengatakan, disunahkan memberi
titik dan harakat pada mushaf. Karena dapat menjaga dari salah i’rāb dan
bacaan. Adapun kemakruhan al-Sya’by dan al-Nukha’y adalah pemberian titik. Pemakruhan
keduanya pada masanya, karena khawatir membuat perubahan. Kekhawatiran itu
hilang pada masa sekarang. Jadi, tidak ada larangan dan tidak dilarang karena
termasuk sebagai pembaharuan. Pembaharuan itu termasuk pembaharuan yang baik, sehingga
tidak dilarang seperti pembaharuan lainnya. Misalnya, pembagian dua ilmu, pembangunan
sekolah, pondok dan lain sebagainya. Wa Allah `a’lam.
Hal ini dan semisalnya seperti peringatan waqaf dan saktah
adalah memudahkan, selama tujuanya adalah memberi kemudahan bagi pembaca dan
selama masalah ini jauh dari kekacauan, penambahan dan mengada-ada serta aman
dari melebih-lebihkan.
Kemulian
Mushaf
Hampir tidak ada sejarah yang benar mengetahui kitab yang dilingkupi
dengan lingkaran cahaya kesucian dan kemulian seperti yang diketahui terhadap Al-Quran.
Tidak mengherankan al-Ḥaqq Jallā wa ‘Alā
memberi sifat Al-Quran dengan kitab yang tersimpan dan menetapkan tidak bisa
disentuh kecuali orang-orang yang suci. Allah bersumpah sekiranya berfirman,
فلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ,
وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ لَا يَمَسُّهُ إِلَّا
الْمُطَهَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ[70]
Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran.
Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Quran ini
adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan, Diturunkan dari Rabbil 'alamiin.
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam telah melarang berpergian membawa Al-Quran ke
wilayah musuh, jika dikhawatirkan jatuhnya Al-Quran di tangan musuh.
Sebagaimana riwayat dalam al-Ṣaḥīḥayn. Ulama berfatwa tentang kekafiran orang yang
merobek-robek, menghina atau melempar Al-Quran ke kotoran dan keharaman
menjualnya kepada orang kafir meskipun kafir dhimmi. Mereka mewajibkan
suci ketika menyentuh dan membawanya. Bahkan, mereka mengatakan menyentuh yang
bersentuhan dengan mushaf, setiap kantong[71], sampul dan kotak, berdasarkan pendapat yang sahih. Ulama juga mensunahkan perbaikan
penulisan, memperjelas, membenarkan huruf, mengagungkan dan tidak meremehkan
tulisan mushaf, sebagaimana mereka mengagungkan dan mengakkan mushaf. Imam Nawawi mengatakan, disunahkan mengangkat Al-Quran
ketika bermaksud padanya. Karena berdiri dianjurkan untuk ulama dan orang baik.
Jadi, mushaf lebih utama. Wajib bagi seseorang yang mempunyai mushaf atau
kertas mushaf yang tidak baik untuk dibaca untuk menjaganya dari injakan kaki
dan mainan anak-anak. Wajib juga, untuk membakarnya atau menguburnya yang jauh dari
injakan kaki dan kotoran. Semaoga Allah subḥānahū wa ta’ālā memberi karunia kepada kita untuk berbudi baik dengan
Allah dan kitabnya.
[1] Pendahuluan
sebelum bi’thah.
[3] Lihat, bentuk
tulisan dalam kitab al-Wasīṭ bab al-`Adāb al-‘Araby wa Tarīkhihi,
h. 122. Cet. 1.
[4] Al-Sīrah
al-Nabawiyah dalam Ḍaw` Al-Qur`ān wa al-Sunnah li al-Mu`allif,
2:128.
[5] Fatḥ
al-Bāry, 9:18, al-`Istī’āb, 1:51 dalam catatan pinggir al-`Iṣābah,
Tahdhīb al-`Asmā` wa al-Lughāt, 1:29.
[6] Jelasnya, ia
bukan Abdullah bin Jaḥsh al`Asady, putra bibi nabi yang shahid di Uhud. Karena
ia tidak buta. Adapun ayat yang diturunkan disebabkannya adalah fakāna `a’mā.
Riwayat ini disebutkan al-Kalaby dalam tafsrinya dan diriwayatkan al-Tha’laby
darinya. Ia memperingatkan itu bukan al-`Asady. Al-`Iṣābah, 2:287.
Riwayat yang disbutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fatḥ bukan yang
disebutkan ini. Ia mengatakan, adapun yang benar adalah Abu Ahmad Abd bin Jaḥsh
tanpa penyandaran Abd. Ia adalah saudara Abdullah. Al-Ṭabary men-takhrīj-nya
sesuai yang benar. Dalam riwayat al-Bukhāry tidak menyebutkan Abdullah bin Jaḥsh.
Dalam perintah ini juga tidak ada perintah Zayd akan penulisannya. Juga tidak
ada ungkapan Zayd, “Seolah-olah aku melihat tempat ayat tersebut ketika nabi
menjelaskannya di batu putih tipis situ. Ringkasnya, ia adakalanya adalah Abd
bin Jaḥsh, sebagaimana penjelasan yang dibenarakan al-Ḥāfiẓ Ibnu Hajar. Adapun
Abdullah bin Jaḥsh adalah orang lain, sebagaimana penjelasan al-Tha’laby. (fatḥ
al-Bāry, 8:112). Segala puji bagi Allah yang member hidayah kepadaku akan
permasalahan ini, h. 662. Cet. Al-Salafiyah.
[7] Yaitu, Abu
al-‘Abbās Ahmad bin Muhammad bin Usman al-`Asady al-Marākishy yang dikenal
dengan Ibnu al-Binā`. Wafat tahun 721.
[8] Tafsīr
al-Kashāf, 2:35. Cet. Būlāq.
[9]Al-Quran, 8:35.
[10] Al-Quran,
6:162
[11] Al-Quran,
6:29.
[12] Al-Quran,
30:39.
[13] Pendapat saya,
mungkin penulisan itu disebabkan bahwa ṣalātuhum bukan syar’i dan tidak
diperhitungkan. Jadi, tidak pantas untuk diagungkan. Pada firman Allah, `innā ṣalātī
merupakan bentuk perendahan dan penyerahan kepada Allah, bukan derajat yang
pantas dengan pengagungan. Adapun firman Allah, `in hiya `illā ḥayātunā
al-dunyā, adalah masa antara kehidupan mereka adalah sempit, tidak patut
untuk diagungkan. Sedangkan firman Allah, wa mā `ātaytum min riban,
adalah riba bukan maknanya secara syar’i. Di sana tidak ada penarik untuk
menakuti dan kepastian.
[14] Mereka memberi
alasan, aslinya pada lafal-lafal ini penulisannya adalah dengan sīn,
sebagaimana bahasa umumnya. Akan tetapi, lafal-lafal itu ditulis dalam beberapa
mushaf Usmani dengan ṣād. Supaya dua bacaan, bacaan yang dibuktikan dengan
tulisan dan bacaan yang dibuktikan oleh induk, berimbang. Seandainya, kata-kata
tersebut ditulis dengan sīn, maka keberimbangan itu hilang. Sedangkan
pengibaratan dengan ṣād menyalahi asal dan tulisan. oleh karena itu, bacaan baṣṭah
dalam al-`A’rāf berbeda, terkadang dibaca dengan ṣād dan terkadang dengan sīn.
Hal itu tidak terjadi dengan basṭah dalam surat al-Baqarah, karena
ditulis dengan sīn. Lihat, bagaimana sahabat bisa sampai pada batasan ini dalam
tulisan mushaf, detail dan penelitian ilmu?
[15] Keduanya telah
ditulis dalam beberapa mushaf penduduk Basrah dengan redaksi Allah, tanpa lām,
sebagai jawaban pertanyaan. Keduanya juga ditulis dengan lam dalam beberapa
mushaf penduduk Ḥaramayn, Kufah dan Shām masih semakna. Karena siapa Dzat yang
memiliki dan milik Dzat siapa adalah semakna. Oleh karena itu jawaban ayat
pertama menggunakan lām, diangfap cukup. Allah berfirman,
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيها إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ, سَيَقُولُونَ لِلَّهِ
قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ.
Berbeda dengan dua ayat selanjutnya.
[16] Al-`Itqān,
2:167-170.
[17] Dalam al-Qāmūs
al-Muḥīṭ, lāqa al-dawāta yalīquhā
līqatan, layqan, bentuk `alāqahā yaitu menjadikannya līqat
atau memperbaiki tintanya. Jadi, lāqat al-dawāta adalah melekatkan tinta
dengan bulu tinta, yakni, memperbaiki tintanya dengan meletakkan bulu dalam
tinta. Yaitu, bulu atau semisalnya.
[18] Al-Quran,
5:3,44.
[19] Al-Quran,
69:19-20.
[20] Al-Quran, 29:48-49.
[21] Mungkin yang
dimaksud adalah jelasnya kerusakan keraguan. Beliau tidak kembali karena
alasan. Dalam Fatḥ al-Bāry, 7:405, aman dari keraguan adalah
lebih jelas.
[22] Di antara yang
meriwayatkannya adalah al-Bayhaqy dalam al-Sunan al-Kubrā. Ia member
komentar, hadis ini munqaṭi’ (terputus sanadnya). Para perawinya da
sekelompok perawi lemah dan tidak diketahui, wa Allahu Taālā `a’lam.
[23] Ṣaḥīḥ
al-Bukhāry -kitab al-Maghāzy- bāb ‘Umrat al-Qaḍā`. Diriwayatkan juga
oleh al-Nasā`y dalam Sunan-nya dan Ahmad dalam Musnad-nya.
Sedangkan Muslim, meriwayatkannya tanpa wa laysa yaḥsunu yaktubu, akan
tetapi dalam riwayatnya ada penetapan penulisan sebagaimana di sini. Hadis ini
menetapkan nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam belajar tulisan, meskipun
tidak bagus.
[24] Adalah al-Ḥāfiẓ
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Anbar al-`Anṣāry al-Maliky,
syakh al-Ḥaram. Lahir tahun 355 dan wafat pada 434 H.
[25] Adalah imam Nāṣir
bin Sulaiman bin Nāṣir bin Muhammad l-`Anṣāry al-Shāfi’y. lahir tahun 489 dan
wafat tahun 552 H.
[26] Adalah al-Qāḍī
Sulaiman bin Khalaf bin Said bin `Ayyub al-Tujīby al-Qurṭuby, pemilik beberapa
karya yang bermanfaat. Lahir pada tahun 453 dan wafat tahun 474 H.
[27] Adalah al-Qāḍy
Muhammad bin Muahammad bin Ahmad al-Simnāny Abu Ja’far, seorang ulama fikih
Irak. Namanya dinisbatkan ke Simnān, suatu daerah di Irak. Ia bertanggungjawab
pada kehakiman di Mawṣil. Wafat pada tahun 444 H di Mawṣil.
[28] Tafsīr
al-`Ālūsy, 21:4 dan 5. Cet. Munir dan Fatḥ al-Bāry, 7:405 dan 406.
[29] Penentuan Ḥā
mīm, ‘Ayn sīn qāf surat al-Shūrā dalam tulisan bukan saudara-saudaranya
yang lain yang disebutkan bersamanya hanya untuk menjauhkan untuk yang pertama
dengan enam saudaranya. Yaitu, al-Ḥawāmīm Ghāfir, Fuṣṣilat, al-Zukhruf,
al-Dukhān, al-Jāthiyah dan al-`Aḥqāf.
[30] Al-Marākisyi
mengikuti madhab khalaf yang menakwil yad dengan kekuasaan. Sedangkan
salaf tidak mentakwilnya. Mereka mengimaninya secara lafal, sebagaimana adanya
serta menyerahkan pengetahuan hakikatnya kepada Allah Tabāraka wa Ta’ālā.
[31] Al-`Itqān,
2:108.
[32] Saya
mendapatkan banyak hal dari masalah ini dengan paparan shaykh al-Marrākushy.
Akan tetapi saya menambahinya secara jelas. Sebagiannya adalah hasil ijtihad
saya, sebagaimana ijtihad ulama dahulu.
[36] Yaitu firman
Allah, إنْ يَشَأْ يُسْكِنِ الرِّيحَ فَيَظْلَلْنَ رَوَاكِدَ
علَى ظَهْرِهِ
[37] Al-Quran, 5:29.
[43] Al-Muqaddimah,
h. 351. Ibnu Khaldūn mengatakan,
tulisan termasuk salah satu hasil yang perdaban modern dan klasik. Ketika
peradaban kuat, maka tulisan menjadi lebih kuat dan baik. Ketika kebaduwian
menjadi kokoh maka keummian menjadi menang dan menyeluruh. Sahabat tidak berada
dalam tingkatan tulisan yang sempurna. Oleh karena itu, beberapa tulisan mushaf
berbeda dengan beberapa kaidah tulisan yang terkenal dalam sebagian ayat
Al-Quran. Generasi sesudahnya mengikuti tulisan mereka karena mengikuti mereka
dan tabarrukan dengan mereka, seterusnya sampai akhir pernyataan Ibnu
Khaldūn.
[45] Pembawa
bendera kebohongan ini adalah
cendekiawan yang mengaku sebagai Pfander. Ia membuat buku yang bernama Mīzān
al-Ḥaqq, lebih utama dinamai Mīzān al-Bāṭil. Cendekiawan lainnya
tidak diketahui. Ia menggunakan nama Hashim al-‘Araby dalam Tadhyīl Maqāl fī
al-`Islām. Sedangkan cendekiawan ketiga mengaku sebagai . Lihat kitab `Adillat
al-Yaqīn, h. 8,9 karya al-Maghfūr ustadh shaykh Abdurrahman al-Jazīry.
[46] Lihat, Muqaddimatān
fī ‘Ulūm Al-Qur`ān, h. 104 dan setelahnya.
[47] Juz 6:5 cet.
Munīr.
[48] Bagian surat
al-Nisā` ayat 162. Bunyi nasnya,
لكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِما أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَما
أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكاةَ
وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْراً
عَظِيماً
[49] Maksudnya
kitab Sibawayh, yaitu Ilmun bi al-Ghalabah ‘Alā al-Naḥwiyyīn.
[50] Samar akan itu
dan tidak mengetahuinya.
[52] Tafs
[53] Tafsir
al-`Ālūsy
[54] Surat al-Ra’d
ayat 31. Penulisannya seperti ini dalam tulisan Uthmani dengan tambahan alif
setelah Yā` pertama.
[55] Maksud mushaf
imam adalah mushaf usman dan selainnya yang ditulis karena perintah Usman dan
disebarkan ke beberapa kota. Sebagian ulama memandang, maksud mushaf imam
adalah mushaf yang ditetapkan untuk Usman sendiri.
[56] Tafsīr
al-Qurṭuby, j. 9, h. 320.
[57] Al-`Itqān,
j. 1, h. 121.
[59] Lihat tafsir
al-`Ālūsy, 18:165,166.
[60] Perbedaan ini
ada indikasi kuat bahwa riwayat dari Ubayy, ia membaca dengan bacaan ini,
maksudnya hanyalah tafsir. Seandainya tidak, jauh bahwa semua itu adalah bacaan
yang tetap dengan talaqqy dan simā’. Bacaan-bacaan yang berupa tafsir
banyak ditemukan dari sebagian sahabat dan tabiin. Sehingga seseorang yang
tidak mengetahui bahwa itu adalah bacaan tilawah menduga hal itu. Adapun yang
benar adalah penjelasan yang telah kita paparkan kepada anda.
[62] Bagi yang
menginginkan penjelasan utuh pernyataan ulama tentang pengarahan bacaan ini,
yaitu beberapa pendapat dan bukti dalam bahasa Arab, lihat tafsir al-Qurṭuby,
11:216 dan sesudahnya, tafsir al-`Ālūsy, 16:222 dan seterusnya dan muqaddimatān
fī ‘Ulūm al-Qur`ān h. 109 dan seterusnya.
[63] Qayyār
adalah nama keledainya.
[66] Tafsir Ibnu
Kathīr dan al-Baghawy, 6:26.
[67] Bacaan
mutawatir dari al-`ityān adalah al-`i’ṭā`. Yakni, yu’ṭauna mā
`u’ṭū. Adapun yang kedua, al-`ityān juga bermakna fi’l.
Yakni, yaf’alūna mā yaf’alūn.
[68] Tafsir
al-`Alūsy, 17:44.
[69] Takhmīs
adalah tulisan lafal lima pada permulaan setiap lima ayat. Sedangkan ta’shīr
adalah penulisan lafal sepuluh dari
permulaan setiap sepuluh ayat. Di antara mereka ada yang mencukupkan
dengan penulisan huruf خ dan ع.
[70] Al-Quran,
56:75-80.
[71] Kantong dari
kulit yang berisi Al-Quran
makasih tulisan detail banget
BalasHapusCeritanya gotong royong neh....
BalasHapusTulisan Dan Penulisan Al-Qur'An >>>>> Download Now
BalasHapus>>>>> Download Full
Tulisan Dan Penulisan Al-Qur'An >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Tulisan Dan Penulisan Al-Qur'An >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK