ALIRAN KEBATINAN JAWA
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/11/aliran-kebatinan-jawa.html
Oleh:
Muhammad Nur Faqih
1.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, bahasa, budaya
dan agama. Keberagaman suku bangsa, bahasa, budaya dan agama pada hakikatnya
justru memperkaya khasanah budaya bangsa. Salah satu wujud budaya Indonesia
tersebut adalah budaya spiritual yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, yang pada dasarnya adalah warisan leluhur budaya bangsa.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu aspek warisan
budaya bangsa (budaya spiritual) secara realistis masih hidup dan berkembang
serta dihayati oleh sebagian masyarakat Indonesia.[1]
Budaya spiritual yang ada dalam berbagai aliran kebatinan, kejiwaan, maupun
kerohanian merupakan bentuk usaha manusia menuju integrasi kembali dari
nilai-nilai asli yang terdesak oleh modernisasi. Kehidupan moderen membuat
manusia tertekan jiwanya, menuntut kesibukan besar tanpa mempedulikan
nilai-nilai manusiawi. Akibatnya manusia menjadi terasing dalam struktur rohani
asasinya dan membutakan rasa, emosi, simpati yang ada pada diri manusia.
Seluruh kemudaratan peradaban sekarang dengan ekses-ekses negatifnya
dicerminkan secara positif dalam kebatinan, sehingga dapat dikatakan bahwa
kelahiran berbagai aliran kebatinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
merupakan bentuk kritik terhadap berbagai macam perubahan di masa sekarang.[2] Kebatinan dapat menyelamatkan unsur berharga
dari tradisinya. Mengenai adanya gerakan kebatinan ini merupakan protes melawan
kekosongan hidup dan kepalsuan jiwa dan mencari kekayaan rohani dan batin.[3]
Paham kebatinan sendiri telah lama ada di tengah masyarakat Indonesia. Akan
tetapi sejak kapan persisnya paham tersebut muncul belum diketahui secara
pasti. Hal ini disebabkan karena tidak ada literatur tertulis yang mencatat
tentang sejarah awal timbunya kebatinan Jawa. Namun, dewasa ini kejawen
bercampur baur dengan Islam, Hindu, Budha (pengaruh Brahmanisme dan Budhisme),
dan juga bercampur dengan ajaranagama Kristen.[4]
Kepercayaan masyarakat yang hidup dan berkembang di setiap etnis, suku,
marga, desa merupakan kebudayaan lokal yang dapat memberikan dan mencerminkan
ciri bagi daerah setempat. Kepercayaan-kepercayaan masyarakat dengan
unsur-unsur yang melekat di dalamnya terkandung nilai-nilai peradaban manusia,
dapat menjadi pendukung upaya pembentukan kepribadian dan jatidiri bangsa.
Sebagai salah satu unsur kebudayaan lokal, kepercayaan masyarakat dapat menjadi
perekat bagi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[5]
Indonesia, khususnya di Jawa banyak masyarakat
yang menekuni budaya kejawen secara
mendalam. Hal ini terlihat dari pola hidup masyarakat yang masih banyak
melakukan serangkaian
upacara selametan, memberi sajian pada waktu dan tempat tertentu serta
berziarah ke makam-makam yang dianggap keramat.[6] Kejawen menurut Niels Mulder merupakan kelengkapan
diri dari setiap individu Jawa, karena di dalamnya berisikan kosmologi,
mitologi dan perangkat konsepsi mistik yang secara keseluruhan menimbulkan
antropologi Jawa sendiri, yaitu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan
masyarakatnya.[7] Mereka merasa mempunyai kewajiban untuk memelihara
warisan budaya Jawa secara baik dan dapat mengungkapkannya dengan menaruh
perhatian dan mampu melaksanakan setiap ketentuan tatanannya. Hal itu
dikarenakan ajaran kejawen yang penuh
dengan simbolisme telah merasuk dalam angan-angan dan perenungan masyarakat
Jawa.
Pada dasarnya ajaran-ajaran mistik Jawa atau
kebatinan pada mulanya berkembang dan tersiman dalam berbagai macam serat
wirid dan serat suluk, seperti misalnya wirid hidayat jati,
maklumat jati, centini, wehatama, wulangreh, suluk sukma lelana, malang
sumirang, suluk wujil, sastra gendhing, jati swara, kunci swarga, dan lain
sebagainya. Kesemuanya adalah kitab-kitab yang mempertemukan tradisi Jawa
dengan unsur-unsur Islam, terutama unsur tasawufnya. Hampir semua ajaran
kebatinan mengenal nafsu amarah, lauwamah, dan mutmainnah, dari
ajaran Ghazali.[8]
Berangkat dari persoalan di atas, penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang aliran kebatinan Jawa atau mistik
Jawa dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya ditinjau dari segi ajarannya.
2. Aliran
Kebatinan Jawa
A. Pengertian Kebatinan
”Kebatinan” berasal dari kata ”batin”, dengan mendapat awalan ”ke” dan
akhiran ”an”. Kata ”batin” sendiri berasal dari bahasa Arab, yang artinya
adalah ”yang tersembunyi”. Jadi secara bahasa ”kebatinan” adalah sesuatu yang
tersembunyi. Ditinjau secara istilah, ”kebatinan” mempunyai bermacam-macam
pengertinan tergantung kepada siapa yang mengartikan istilah tersebut.[9]
Badan Konggres Kebatinan Indonesia (BKKI) pada konggresnya yang ke II di
Solo tahun 1956, memberikan definisi tentang kebatinan sebagai
berikut:”kebatinan adalah sumber Azaz Sila Keruhanan Yang Maha Esa guna
mencapai budi luhur, untuk mencapai budi luhur”.[10] Di sini tidak dijelaskan apa yang dimaksud
dengan ”kesempurnaan hidup” tersebut. Tetapi dalam kaum kebatinan sendiri bahwa
kesemurnaan hidup itu adalah ”manunggaling kawula-gusti” atau bersatunya
hamba dengan Tuhan.
Harun Hadiwijono mengatakan,bahwa ciri khas kebatinan itu ialah persekutuan
hamba dengan Tuhannya, persekutuhan yangmana diusahakan agar bisa
direalisasikan di dalam hidup ini.[11] Dan juga menyebut kebatinan itu dengan
sebutan ”kebatinan Jawa”artinya kebatinan seperti yang diajarkan kebatinan yang
datang dari luar Jawa.
Menurut H. Kraemer, kebatinan Jawa adalah suatu kebatinan yang mengajarkan
kesatuan hamba dengan Tuhan, yang sifatnya spekulatif, campuran, dan radikal.
Sifat kebatinan yang demikian itu dipertahankan oleh orang Jawa sampai berabad-abad
hingga kini, tanpa mengalami perubahan.[12]
Kebatinan juga merupakan suatu gerakan:[13] a) untuk meningkatkan integrasi diri manusia;
b) Membawa sertanya latihan-latihan agar diri manusia beralih dari kedudukan
semula kepada tingkat yang lebih sempurna; c) Menyebabkan manusia dalam daya
luar biasa yang mengatasi oran biasa yang mengatasi orang biasa dalam
pengertian induktif yang diambil dari panorama kebatinan seperti memperlihatkan
dirinya kepada seseorang peninjau.
Kebatinan yang umumnya disebut sebagai aliran kebatinan, menurut
kenyataannya, aliran kebatinan ialah semacam Agama orang Jawa yang bersifat
mistis selain Agama-agama yang diakui pemerintah. Sedang kebatinan dalam arti
luas disamakan dengan kepercayaan atau yang dianggap Agama yang berada di Indonesia
selain yang sudah diakui oleh pemerintah. Agama dan kepercayaan belum tentu
produk Indonesia. Tetapi bahannya tidak asli Indonesia. Diakui pemerintah
disini artinya ditampung persoalannya sebagaimana resmi, karena soal ini
bukanlah soal pemerintah. Bukan wewenang suatu pemerintah tertentu termasuk
Indonesia, untuk mengakui atau mengesahkan suatu Agama resmi. Dan dalam
perkembangan berikutnya, pemerintah yaitu departemen pendidikan dan kebudayaan
mengawasi persoalan aliran kebatinan ini, walaupun pemerintah tidak mengakuinya
sebagai Agama.[14]
H.M. Rasjidi memberikan bermacam-macam arti mengenai kebatinan antara lain
beliau mengatakan ” Nama Batiny ” diambil dari kata ”batin” artinya bagian
dalam. Batiny (golongan kebatinan) orang-orang mencari yang mencari arti yang
dalam dan tersembunya dalam kitab suci. Golongan kebatinan kata-kata itu tidak
menurut interpretasi sendiri yang di dalam bahasa Arab disebut dengan ta’wil
(penjelasan suatu arti kata dengan arti lain daripada arti bahasa yang
sebenarnya atau sewajarnya). Sedangkan menurut M. M. Djodjodiguno, kebatinan
itu menpunyai empat unsur ang penting, yaitu: ilmu ghaib, union mistik, sangkan
paraning dumadi dan budi luhur.[15]
Kata kebatinan diambil dari bahasa Arab, karena bangsa lain tidak ada kata
yang mempunyai kalimat batin itu. Asal katanya adalah batin (dengan huruf ba’,
ṭa, dan nun). baṭin adalah lawan dari ẓahir, kedua
kalimat bahasa Arab ini (baṭin dan ẓahir) telah menjadi batin dan
lahir, di Indonesia tidak mempunyai huruf ṭa dan ẓa. Besar kemungkinan bahwa
kata kebatinan ini terambil dari satu nama firqah (pecahan) atau satu
golongan yang mulanya tumbuh dalam Islam, kemudian keluar dari garis aslinya
yaitu firqah terkenal dengan nama baṭiniyah karena arti baṭiniyah
memang kebatinan, yaitu suatu golongan yang mementingkan usaha batin,
sebagai lawan dari urusan batin.[16]
Pada dasarnya kebatinan adalah mistik. Penebusan secara langsung antara
individu dengan Yang Maha Kuasa. Bagi setiap individu, aliran kebatinan
merupakan sebuah perguruan yang ideal guna mempelajari bagaimana harus menempuh
jalan mistik yang akhirnya menuju kepada persatuan dengan Tuhan, ”Manunggaling
Kawula Dan Gusti”. Kebatinan juga seringkali dianggap sebagai intipati dari
Javanisme: gaya hidup orang Jawa, yang meliputi ilmu ghaib, ilmu sihir, baik
yang hitam atau putih.[17]
Menurut Warsito S, kebatinan adalah kebudayaan spiritual dari kraton Jawa
yang sudah sangat tua dan lelah mengalami perkembangan yang sangat unik pula,
dimana di dalamnya terjadi sinkretisme antara mistik agama Hindu dan Budha yang
berperan sebagai intinya, dengan kepercayaan Jawa kuno, dan menolak bahwa
kebatinan bukan produk dari islam.[18] S. De Jong, menurutnya kebatinan itu adalah
sama dengan mistik. Bahwa setiap orang yang tinggal beberapa lama di pulau Jawa
pasti tertarik perhatiannya oleh gejala mistik yang mulai muncul kembali. Lewat
kebatinan orang dapat mempelajari salah satu sikap hidup orang-orang Jawa.[19]
Dari uraian diatas bahwa kebatinan itu pada dasarnya adalah mistik jawa,
yang terbentuk dari ramuan mistik Hindu-Budha sebagai intinya, dengan
kepercayaan Jawa kuno. Kebatinan juga sering dianggap sebagai inti-pati dari
Jawanisme; gaya hidup orang Jawa ialah kebatinan. Oleh sebab itu di dalam
kebatinan kita jumpai sekali nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Jawa.
Mistik Jawa atau aliran kebatinan dalam aliran-aliran kebatinan pada
dasarnya saling berbeda dengan yang lainya, namun karena mereka itu termasuk
dalam satu rumpun (kebatinan), maka tentulah adalah persamaan yang merupakan
ciri khas dari rumpun tersebut yang bisa kita temukan. Persamaan-persamaan itu
terletak pada pokok ajaran-ajaran mereka. Di sisi lain bahwa pokok-pokok ajaran
kebatinan atau mistik Jawa, itu ada persamaan dengan mistik Islam atau tasawuf
yang ajarannya banyak digunakan oleh tarekat Islam, tetapi ajaranya terletak
pada unsur-unsur Hindu-Budha yang sinkretis dengan budaya Jawa, sedangkan
tasawuf berasal dari ajaran Islam murni yang datang dari Arab.
B. Pengertian Mistik Islam Secara Umum
Mistik Islam atau tasawuf dalam bahasa Inggris disebut dengan Islamic
mysticism (mistik yang tumbuh dalam islam), ilmu yang mengajarkannya disebu
dengan mistisme. Di dalam agama Islam jalan mistik ini dikenal dengan istilah
tasawuf atau orang-orang Orientalis Barat lebih suka menyebutkannya sufisme
sebagai mistisisme Islam.[20] Adapun tujuan utama dari seseorang yang
mengamalkan ajaran tasawuf menurut Abdul Hakim Hasan dalam bukunya Al-ThasawufFi
al Syi’ri al-Arabi yang dikutip oleh Simuh, diterangkan yang artinya
sebagai berikut:[21]”Sasaran (tujuan) tasawuf atau mistik Islam
ialah sampai kepada Dzat al-Haq atau mutlak (Tuhan) dan bersatu dengan Dia”.
Dari konsep di atas jelas bahwa tujuan utama dari tasawuf adalah untuk
sampai kepada Allah atau bahkan ada yang bersatu dengan Tuhan. Adapun jalan
untuk sampai kepada Allah disebut tarekat (Thariqah). Ada beberapa tingkatan
dalam ajaran Islam untuk bisa dekat dengan Tuhan yaitu Syari’at Tarikat,
Hakikat, dan yang paling tinggi adalah Ma’rifat.
Sedangkan menurut Annemarie Scimmel dalam bukunya Mystical Dimension of
Islam yang dikutip oleh Simuh menyatakan adanyadua tipe ajaran mistik,
yakni Mysticism of Infinity dan Mysticism of Personality. Mysticism
of Infinity adalah faham mistik yang memandang Tuhan sebagai realitas yang
asolut dan tidak terhingga. Tuhan di ibaratkan sebagai lautan yang tidak
terbatas dan tidak terlihat oleh zaman, H.M. Rasjidi misalnya, menamai paham
ini dengan sebagai union mistik, yaitu suatu aliran yang memandang manusia
bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhannya.
Tipe kedua disebut personal mistik yakni suatu aliran mitik yang yang
menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada paham kedua ini hubungan
manusia dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara kawula (mahluk) dengan
gusti (khalik).[22]
Dalam tradisi mistik Islam di Jawa banyak dipengaruhi Islam Persia dimana
al-Hallaj, seorang tokoh terkenal tinggal. Tradisi literer, mistik dan ritual
Persia sampai ke Jawa melalui Dekkan, India Selatan pantai Koromandel dan
Sumatra.bahwa tradisi pengajaran mistik islam ini sama dengan
pengajaran-pengajaran agama yaitu tradisi sosial dengan menempatkan Ulama
centric sebagai seorang tokoh, guru, atau wali-wali karismatik yang kebanyakan
mereka melakukan pengobatan dan tindakan-tindakan magis dan mengajar secara
berkelompok-kelompok dan siswa-siswa senior berperan menjadi tutor bagi
adik-adik kelasnya.[23]
C. Pokok-pokok ajarannya
Penghayatan
tasawuf atau mistik islam merupakan ketika sudahmencapai tingkat ma’rifat,
yaitu laksana didepan cermin yang melihat wajah tuhan, sama saja ketika ia
melihat dirinya sendiri. Dengan penghayatan antara yang mengetahui dan
diketahui (Tuhan) adalah sama atau satu. Al-Hallaj atau mistikislam terkenal
dizamannya mengatakan: Ana al- Haq (saya adalah Tuhan). Dari pernyataan
ini muncullah segolongan kaum sufi yang menganut faham union mistik atau
dalam Islam kejawen lebih terkenal dengan konsep manunggaling kawulo gusti.
Paham ini dianut oleh Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, Fariduddin al-Athar,
Ibnu al-Arabi, Abdul Karim al-Jillil, Inayat Khan, Hamzah Fansuri, Syamsuddin
Sumatrani. Hal itu merupakan inti dari ajaran serat-serat suluk yang menjadi
acuhan ilmu kejawen. Sementara aliran ini ditentang keras oleh al-Ghazali.[24]
Pokok-pokok
ajaran mistik Islam atau tasawuf untuk mencapai makrifat kepada Tuhan dapat
diringkas sebagai berikut:
1.
Dinasti
Mengambil
jarak antara dirinya dengan nafsu-nafsu yang berusaha memperhamba jiwanya,
serta mengambil jarang ikatan dunia. Distansi merupakan syarat mutlaq bagi
sarana untuk menemukan kesadaran tentang “aku”-nya, sehingga dapat benar-benar
berdiri sebagai khalifah. Yakni memerdekakan diri dari penghambaan nafsu amarah
dan lawumah ataupun penghambaan terhadap dunia. Dalam tasawuf distansi
dimaksudkan untuk membina sikap eskapisme agar bisa mencapai suasana hati yang
suci, terbebas dari ikatan-ikatan selain hanya Allah. Hal ini merupakan syarat
mutlaq untuk dapat mencapai makrifat.
Hanya
dengan distansi inilah manusia dapat menjadi khalifah bagi diri pribadinya dan
setelah itu memungkinkan untuk menjadi khalifah Fil Ardhi yang bertugas
memakmurkan bumi. Dalam ajaran mistik Islam dinasti dan mawas diri merupakan
aspek yang falsafi yang dinamis dan merupakan aspek positif yang merupakan
hasil ijtihad para ulama sufi. Aktualisasi ajaran ini akan merupakan sumbangan
yang paling efektif untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang bertanggung
jawab serta jujur menciptakan aparat yang bersih dan berwibawa, bebas dari
sikap korup, aji mumpung, kolusi kekuasaan dan lain-lain.
2.
Konsentrasi
Konsentrasi
ini dimaksudkan untuk berdzikir kepada Allah. Hal ini teramat penting, karena
tasawuf yang notabene menjadi mistik murni untuk mendapatkan penghayatan
langsung terhadap alam gaib yang puncaknya makrifat kepada Allah, bahkan
bersatu kepada Tuhan. Tasawuf yang berubah menjadi mistik murni memang berbeda
dengan tasawuf Islam sebagai mana dijelaskan oleh Ibnu Kaldun dalam kitab muqaddimah.
Mistik Islam murni ini sebagai mana yang dirumuskan oleh al-Ghazali,
konsentrasi dengan wasilah dzikir dijadikan sarana memanfaatkan dan mengalihkan
pusat kesadaran alam materi kepusat kesadaran dunia kejiwaan yang disebut illuminasi
atau isyaraq. Iluminasi yang merupakan penghayatanterhadap alam ghaib
menjadi inti ideal ajaran tasawuf murni, karena puncak kesadaran ini adalah
makrifat untuk menemukan hakikat Tuhan.
Dalam
mistik Islam atau tasawuf, konsentrasi merupakan aspek praktis sehingga setiap
orang dapat menjalani dzikir. Walaupun yang benar-benar dzikir secara semppurna
tentu terbatas hanya golongan khawas saja. Mistik Islam murni, hanya bisa
dinikmati orang-orang pilihan yang sanggup mensucikan hatinya. Yakni golongan
khawas (para wali Allah) dan bukan golongan awam yang menghormati dan
berwasilah pada orang-orang suci dan dianggap keramat. Bahkan salat pun
bertingkat pula, yakni salatnya orang awam (syari’at), golongan khawas dan
golongan khususul khusus.
3.
Iluminasi Atau Khasaf
Diterangkan
oleh al-Ghazali bahwa konsentrasi dzikir bila berhasil akan mengalami fana
terhadap kesadaran inderawi dari mulai kasyaf (tersingkap takbir) terhadap
penghayatan alam ghaib dan memuncak menjadi makrifat. Mulai awal dari kasyaf
ini para kaum sufi merupakan awal mi’raj jiwanya, sehingga dapat bertemu denhan
malaikat, ruh para Nabi dan dapat memperoleh ilmu laduni bahkan dapat
melihat nasib di lauhil mahfudl. Akhirnya penghayatan kasyaf ini dapat
bertemu dengan tuhan, bahkan bersatu dengan tuhan (union mistik).
4.
Insan Kamil
Sebagai
mana dalam mistik Islam atau tasawuf yang percaya bahwa orang bisa berhubungan
langsung dengan alam ghaib dan makrifat kepada Tuhan, dipandang sebagai manusia
pilihan Tuhan dan mendapat predikat sebagai manusia sempurna (insan kamil).
Maka manusia sempurna menurut ajaran tasawuf adalah orang-orang suci yang
kehidupannya memancarkan sifat-sifat ke-Illahi-an, atau bahkan merupakan
penjelmaan Tuhan dimuka bumi sebagai mana dianut oleh paham union mistik insan
kamil adalah orang-orang yang dalam semua segi kehidupannya memancarkan nur
Muhammadserta memiliki berbagai macam karomah (saktisme)[25].
Jadi
mistik Islam murni bertujuan untuk menjadi insan kamil dalam arti menjadi
waliyullah. Yakni orang-orang yang dapat mencapai penghayatan makrifat dan
setiap saat berdialog langsung dan menjadi kekasih Tuhan.
D. Pengaruh Mistik Islam Terhadap Kebatinan (Mistik Jawa)
Perpaduan antara budaya Jawa lama dengan budaya Islam yang baru sejak
kewalian tercermin dalam penghitungan tahun Jawa perhitungan gubahan Sultan
Agung dari Mataram pada pertengahan abad ke-17 M. Menurut Ki Hajar Dewantara ”kehidupan
rakyat kita yang semula bersifat animistis dan hinduistis sejak mendalamnya
agama Islam bertambha corak warnanya. Pada permulaan, yaitu pada zaman
kewalian, sifat keIslaman amat mementingkan pengajaran serta laku mistik
(Tasawuf-Tarekat)”. Misalnya pengaruh sinkretisme ini dalam perhitungan
hari dipergunakan hari-hari Islam (Isnain, salasa, dan sebagianya) dan
digabung dengan hari pasaran lima (wage, kliwon, legi, pahing, pon).
Demikian pula perhitungan bulan yang dipakai bulan-bulan Islam (sura, sapar,
maulud, dsb). [26]
Demikian seterusnya jelmaan baru yang berasal dari unsur-unsur lama (Jawa)
disintesiskan dengan unsur-unsur baru (Islam). Begitu juga pengaruh mistik Jawa
(tasawuf) ini tehadap mistik Jawa atau kebatinan di Jawa, seperti misalnya Primbon
Sunan Bonang, Suluk Wijil, Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang dan
sebagainya. Menurut Poerbatjatara yang dikutip oleh simuh mengatkan ”adapun
yang diceritakan, ialah hal mistik, hampir sama saja dengan apa yang
dibentangkan di dalam kitab Dewaruci, bedanya hanya yang satu bukan Islam dan
yang satu Islam”.[27] Dan pengaruh tasawuf ini juga mengilhami
mistik Jawa yang dipakai dalam ajaran aliran kebatinan.
Dalam serat centini, kitab mistik Jawa yang teresar yang ditulis oleh
pujangga-pujangga keraton Surakarta pada awal abad ke-19 M. Atas perintah Paku
Buwana V (1820-1823). Banyak dipengaruhi oleh paham tasawuf tentang jenjang
pengalaman ilmu kebatinan, syari’at, tarikat, dan hakikat, makrifat. Jelas di
dalamnya unsur-unsur ajaran kitab-kitab tasawuf seperti Ihya’ Ulumuddin.[28]
E. Unsur-unsur Kebatinan Jawa
Unsur-unsur atau bagian-bagian kebatinan dalam hal ini berhubungan sangat
erat dalam berbagai ajaran setiap aliran kebatinan. Dalam hal ini H.M. Rasjidi
membagi beberapa hal mengenai pemahaman tentang kebatinan. Menurutnya dengan
adanya pembagian ini dengan tujuan untuk mempermudah dalam memahami kebatinan
itu sendiri. Sehingga mendapatkan pemahaman yang jelas. Beberapa bagian
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1.
Union Mistik
Union Mistik dalam aliran kebatinan di Jawa bisa dikenal dengan ”manunggaling
kawulo gusti”, yaitu persatuan antara manusia dan Tuhan.[29] Union Mistik selalu ada dalam aliran kebatinan Jawa dan
dijadikan ajaran yang ideal dalam ritual-ritualnya. Tetapi menurut H.M. Rasjidi
bahwa union mistik itu jarang terjadi.[30] maksudnya, tidak semua orang dapat mencapai
penghayatan union mistik. Misalnya dalam suluk wirid hidayat Jati karangan
Ronggowarsito di samping mengajarkan tentang moral manusia, juga masih adanya
faham tentangg union mistik dan occutisme. Umumnya dalam pemahaman union mistik
yang tersimpan dalam pemahaman kebatinan adalah pemikiran pujangga dan
sastrawan keraton, sehingga dalam union mistik masih ada tingkatan atau
golongan dalam mempelajarinya dan merupakan golongan khawas (elite kerohanian)
saja yang berhak mempelajari union mistik sedangkan golongan awam tidak akan
mengerti.[31]
Dengan munculnya aliran-aliran kebatinan yang tergabung dalam kelompok
penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa, pertumbuhannya seperti
gerakan-gerakan dalam tasawuf. Yakni, meruakan upaya untuk memasyarakatkan
ajaran mistik atau kebatinan, yang mana dahulunya bahwa union mistik dalam
kitab-kitab suluk selalu dan harus dirahasiakan ajarannya. Dan pengajarannya
hanya boleh diajarkan. Sedangkan menurut Warsito S. Mengenai union mistik
mengatakan:
Sedang dalam kebatinan, union mistik ”manunggalin
kawula gusti” merupakan tujuan hidup, sesuai dengan paham Bramanisme.
Tetapi orang tidak mungkin ”manunggal” (makhluk dengan khaliknya), apabila
belum cukup ”budi dharmanya” (amal shalehnya). Jadi dalam kebatinan, akses
hidup dengan menjauhkan diri dari kemewahan dann kesenangan dan ektase
(sentakan jiwa) itu memang panembah yang intensitas kekhusyukannya tergantung
dari taraf jiwa manembah, seperti juga dalam Hinduisme ataupun Budhiesme yang di
dalam ”wedatama” disebut Sembah raga, Sembah raga, Sembah kalbu, Sembah jiwa
dan Sembah rasa.[32]
Dalam pencapaian menuju union mistik manusia dalam
penyatuan dengan Tuhan banyak menggunakan cara-cara yang berbeda, menurut
Marbangun Harjowigoro yang dikutip oleh HM. Amin Jaiz, menyebutkan:
Di dalam Islam kaum sufi menari dan berdzikir,
di dalam agama Nasrani orang bernyanyi puja terhadap penciptanya dan di dalam
kepercayaan (paham kebatinan) orang
bertapa atau berpuasa demikian tekunya hingga orang mengalami suasana ketiadaan
diri, dimana orang bisa sampai bertemu dengan penciptanya. Aliran tertentu ada
juga yang menggunakan candu dan minuman keras sebagai sarana gna mencapai
extase, kesurupan yang memungkinkan orang untuk bertemu dengan Tuhannya. [33]
Sedangkan menurut H.M. Rasjidi bahwa union mistik adalah soal yang
kontroversial dan mengandung lebih
banyak subyektifitasnya dari pada obyektifitasnya. Mungkin bila dikatakan orang
bisa menembus dan mempelajari union mistik dibandingkan dari seribu orang hanya
satu orang saja yang dapa mencapainya. Walaupun begitu yang jelas bahwa union
mistik itu jarang terjadi. Dalam mekanisme primitif, yakni bahwa diantara
bangsa terbelakang union mistik itu bersifat orgiast, artinya ditimbulkan
dengan membangkitkan nerf dan tidak dengan melakukan zuhud (ascatic). Memang
ada juga larangan akan tetapi larangan itu ditaati karena larangan bukan
kemauan untuk union mistik. Seorang mistik primitif tertarik ole gelombang
emosinya, sedangkan orang yang moralnya dan intlektualnya tinggi dapat
mengontrol emosi tersebut.[34]
2.
Theosophy
Bahwa di dalam alirann kebatinan paham kebatinan atau mistik Jawa, dasarnya
adalah paham akan occultis atau ilmu ghaib. Yang semuanya meruakan
kepercayaan dan bukan ilmu ilmiah.[35] Timbulnya occultis atau ilmu ghaib ini
berkaitan Erat dengan kepercayaan atau paham mistik, tasawuf, theosophy, atau
di Jawa disebut aliran kebatinan yang bergani nama menjadi penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Aliran theosopy adalah suatu nama umum yang bermacam-macam doktrin yang
pada umumnya mengaku sebagai pengetahuan tentang Tuhan serta hal-hal yang
berhubungan dengan Ketuhanan, didasarkan atas memperdalam penghidupan batin.
Pengetahuan tersebut dibarengi dengan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari,
akan memberi kemampuan untuk mempergunakan kekuatan-kekuatan yang dapat
ditaklukan oleh kemampuan manusia. Menurut Simuh, ajaran-ajaan mistik,
kebatinan, tasawuf dalam Islam, merupakan sejenis Thesopy. Setidaknya memiliki
dasar-dasar pikiran dan cara-cara kerja yang seirama.
Sedangkan menurut H.M. Rasjidi yang dikutip dari Andre Lalande, guru besar
di Sorbone, Paris. H.M. Rasjidi mengatakan bahwa theosophy ada cabang yang
bermacam-macam, sebagaimana berikut:
a.
Theogonie: Ilmu
prinsip-prinsip mutlak, sama dengan ilmu angka yang diterapkan dalam alam atau
ilmu pasti.
b.
Cosmogoni: realisasi
prinsip-prinsip abadi dalam waktu atau tempat, dengan perkataan lain:
tercampurnya jiwa dalam benda (materi).
c.
Psychologi:susunan jiwa
manusia atau perkmbangan jiwa manusia dalam macam-macam keadaan.
d.
Physique: ilmu tentang
alam bumi serta sifat-sifatnya.
Nama theosopy juga dipakai
oleh suatu doktrin metaphysika dan moral yang ada pada Budhisme dan Hinduisme.
Thesopy juga ada hubungan dengan faham kebatinan, termasuk golongan ilmu ghaib
dan golongan sangkan paraning dumadi.[36] Adapun tujuan dari theosopy tersebut adalah: membentuk
suatu kelompok-kelompok inti untuk persaudaraan kemanusiaan dengan tidak
memandang bangsa, agama, kasta, kelamin, warna kulit. Kedua, memajukan
studi perbandingan mengenai Agama, filsafat, dan pengetahuan. Ketiga,
menyeidiki alam dan manusia. Sehingga kita perlu adanya perbedaan mendasar apa
yang dimaksud theosopy dengan faham mistik, yang mana theosopy tersebut ingin
mengetahui rahasia alam,sedangkan orang mistik hanya ingin memelihara hati
mereka sendiri. Dalam hal ini M.M. Rasjidi menganggap bahwa satu sama lainnya
masih ada hubungan yang erat dalam tujuannya dalam mencapai menuju Tuhan.
3.
Trantisme Dan Yoga
Mistik Jawa atau disebut dengan kebatinan ini, dalam
pelajarannya masih terdapat adanya unsur-unsur dari Agama Hindu-Budha. Seorang
penganut kebatinan dalam mengamalkan ajarannya banyak menggunakan cara-cara
Hinduisme dari India yaitu trantisme dan juga yoga. Yang mana keduanya sangat
mempengaruhi dalam setiap ritual-ritualnya, yang tujuannya agar bisa bertemu
dengan Tuhannya.
Trantisme arti katanya tantra
adalah bermacam-macam seperti: melanjutkan, meneruskan, melipatkan. Tantra juga
berarti melancarkan pengetahuan manusia. Kita tidak mengerti bagaimana
sejarahnya tantra kemudian menjadi nama gerakan filsafat dan Agama yang
timbul pada abad keempat, yang kemudian tersiar keseluruh India pada abad
keenam.[37] Begitu cepatnya ajaran ini menyebar secara
mendadak dan populer di kalangan filsafat, ahli teologis, ahli yoga. Trantisme
juga mempengaruhi Budhisme, Jainisme,Civaisme, dan Visnuisme. Menurut kalangan Budha bahwa
trantisme diciptakan oleh Asanga ahli yoga, atau oleh Nagarjuna ahli agama
Budha. Tetapi yang jelas adalah bahwa rantisme Budha
mulai timbul pada abad ke-4 dan berkembang pada abad ke-8. Dalam trantisme
mengajarkan bahwa alam (cosmos) berada di dalam manusia, dan mengatur nafas
untuk melepaskan diri dari ikatan waktu. Bagi mereka, badan manusia,alam, dan
waktu adalah unsur pokok dalam sadhana trantisme.
Dari penjelasan
tersebut di atas cirri-ciri trantisme, yaitu sikap anti zuhud dan anti
berfikir. Yang mana bahwa dalam ajaran tantrisme seorang laki-laki dan
perempuan diibaratkan bagaikan dewa ketika keduanya menyatu dalam persetubuhan.
Karena pada dasarnya ajaran trantisme adalah penyatuan laki-laki dan perempuan
sehingga mencapai hakikat tinggi dan bisa bertemu dengan Tuhannya. H.M. Rasjidi
memandang kebatinan di Jawa dalam prakteknya masih melakukan ritual-ritualnya
menggunakan trantisme tersebut. Sehingga dalam memahami kebatinan di Jawa H.M.
Rasjidi memandang naskah darmogandul dan gatholoco yang mana naskah itu mirip
dengan ajaran pelajaran yang ada dalam ajaran trantisme Hindu-Budha. Menurutnya
naskah itu sangat menghina santri, yang isinya memberikan pemahaman terhadap
Islam dan mengartikan dengan buruk dan tidak benar.[38]
Sedangkan yoga dalam
kebatinan menurut H.M. Rasjidi adalah sangat penting dilakukan karena dengan
yoga manusia dapat mencapai ketiadaan diri apabila dilakukan dengan cara
hikmat. Yoga bisa diartikan dengan
istilah meditasi, dan meditasi bisa dilakukan dengan cara-cara yang berbeda.
Yoga yang bertujuan mistik yaitu adanya union mistikyang mengharuskan
menjauhkan diri dari kebendaan dan memerdekakan diri dari keduniaan. Titik
berat yoga adalah pada usaha manusia untuk mendapatkan kesempatan bersatu
dengan Tuhan.
H.M. Rasjidi dalam memahami kebatinan yang ada di kitab Wirid Hidayat
Jati karangan Ronggowarsito adalah kitab tersebut masih menghargai dan
mengagungkan ajaran-ajaran Islam. Yang mana dalam kitab tersebut banyak
terdapat unsur-unsur Islam yang sangat kental. Rujukannya sama dengan kitab Ihya’
Ulumuddin karangan al-Ghazali. Adanya praktek-praktek konsentrasi dan
meditasi yang dilakukan dalam ritual-ritualnya terpengaruh ajaran yoga dan
kadang juga mirip dengan gerakan-gerakan para ahli sufi Islam.
3. Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan beberapa hal sebagaimana berikut:
a.
”Kebatinan” berasal dari
kata ”batin”, dengan mendapat awalan ”ke” dan akhiran ”an”. Kata ”batin”
sendiri berasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah ”yang tersembunyi”. Jadi
secara bahasa ”kebatinan” adalah sesuatu yang tersembunyi. Ditinjau secara
istilah, ”kebatinan” mempunyai bermacam-macam pengertinan tergantung kepada
siapa yang mengartikan istilah tersebut.
b.
Dari uraian diatas bahwa
kebatinan itu pada dasarnya adalah mistik jawa, yang terbentuk dari ramuan
mistik Hindu-Budha sebagai intinya, dengan kepercayaan Jawa kuno. Kebatinan
juga sering dianggap sebagai inti-pati dari Jawanisme.
c.
pokok-pokok ajaran
kebatinan atau mistik Jawa, itu ada persamaan dengan mistik Islam atau tasawuf
yang ajarannya banyak digunakan oleh tarekat Islam, tetapi ajaranya terletak
pada unsur-unsur Hindu-Budha yang sinkretis dengan budaya Jawa, sedangkan
tasawuf berasal dari ajaran Islam murni yang datang dari Arab.
d.
Unsur-unsur atau
bagian-bagian kebatinan: a) Union mistik, b) Theosopy, c) Trantisme dan Yoga.
DAFTAR PUSTAKA
Al Payamani, Ma’ruf. 1992. Islam
dan Kebatinan. Solo:V. Ramadhani.
H.M. Amien Jaiz, 1980. Masalah
Mistik Tasawuf Dan Kebatinan. Bandung: Al Ma’arif.
Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan Film, 2005. Pedoman Teknis Pemberdayaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Hamka. 1972. Perkembangan
Kebatinan Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Hadiwijono, Harun. tth Kebatinan
Jawa Dalam Abad 19. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kartapradja, Kamil. 1985. Aliran
Kebatinan Dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Masagung.
Mulder, Niels. 2003. Mistisisme
Jawa Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Rosyid, Harun Nur, dkk, 2004. Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat.
Jakarta: Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan,
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Rasjidi, H.M. 1967. Islam
dan Kebatinan. Jakarta: Yayasan Studi Club Indonesia.
Sosrodiguno, Sarwedi. 1965. Fungsi
dan Arti Kebatinan untuk Pribadi dan Revolusi. Jakarta: Gramedia.
Simuh, 1990. Sufiesme
Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Sufa’at, M. 1985. Beberapa
Pembahasan Tentang Kebatinan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Hadiwijono, Harun. 1970. Kebatinan Dan Injil. Jakarta: BPK Gunung
Muliah.
Subagya, Rahmat. 1976. Kepercayaan
Kebatinan, Kerohanian Kejiwaan Dan Agam. Yogyakarta: Kanisius.
S, De Jong. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta:
Kanisius.
S, Warsito, S, Rasjidi, H.M
dan Bakry, H. Hasbullah. 1973. Di Sekitar Kebatinan. Jakarta: Bulan
Bintang
[1] Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan
Film, Pedoman Teknis Pemberdayaan
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, 2005), hlm. 1.
[2] Harun Nur Rosyid, dkk, Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat,
(Jakarta: Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan,
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), hlm.1-3.
[3] Sarwedi Sosrodiguno, Fungsi dan Arti Kebatinan untuk Pribadi dan
Revolusi, (Jakarta: Gramedia, 1965). hlm. 5-6.
[4]
Ma’ruf Al Payamani, Islam dan Kebatinan, (Solo:V. Ramadhani, 1992), 219.
[5] Harun Nur Rosyid, dkk., op. cit., hlm. 27.
[6]
Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS,
2003), hlm. 3.
[7] Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1995), hlm. 16.
[8] Simuh,
Sufiesme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1990), 63.
[9] M.
Sufa’at, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan, (Yogyakarta: Kota
Kembang, 1985), hlm.9.
[10]
Ibid.
[11]
Harun Hadiwijono, Kebatinan Dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1970), hlm. 6.
[12] Harun
Hadiwijono, Kebatinan Jawa Dalam Abad 19, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
tth), hlm.7.
[13] Rahmat
Subagya, Kepercayaan Kebatinan, Kerohanian Kejiwaan Dan Agam, (Yogyakarta:
Kanisius, 1976), 47.
[14]
Romdon, Tasawuf Dan Aliran Kebatinan, (Yogyakarta: Lesfi, 1995), 77.
[15] Kamil
Kartapradja, Aliran Kebatinan Dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Masagung, 1985), 60.
[16]
Hamka, Perkembangan Kebatinan Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1972), 10.
[17] M.
Sufa’at, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan, (Yogyakarta: Kota
Kembang, 1985), hlm.14-15.
[18]
Warsito, S., H.M R Bakryasjidi, dan H. Hasbullah Bakry, Di Sekitar Kebatinan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 17
[20]
Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang,1973), 56.
[21]
Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tsawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1996), 25.
[22]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of
Islam, (The University Og North Carolina Press, 1978), 5.
[23]
Ibid.
[24]
Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tsawuf Islam ke Mistik Jawa…,28.
[25]
Ibid., 30.
[26]
Ibid., 155.
[27]
Ibid., 156.
[28]
Ibid., 156.
[29]
H.M. Rasjidi, Islam Dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Studi Club
Indonesia, 1967), 50.
[30]
Ibid., 71.
[31]
Simuh, Sufiesme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa, (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1996), 63.
[32]
Warsito S, Di Sekitar Kebatinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 53.
[33]
H.M. Amien Jaiz, Masalah Mistik Tasawuf Dan Kebatinan, (Bandung: Al Ma’arif,
1980), 43.
[34]
H.M. Rasjidi, Islam Dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Studi Clun
Indonesia, 1967), 71.
[35] Simuh,
Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1996), 202.
[36]
H.M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Studi Club
Indonesia, 1967), 44.
[37]
Ibid., 61.
[38]
Ibid., 62.
Aliran Kebatinan Jawa >>>>> Download Now
BalasHapus>>>>> Download Full
Aliran Kebatinan Jawa >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Aliran Kebatinan Jawa >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK