1735262163458753
Loading...

ALIRAN KEBATINAN JAWA

Aliran Kebatinan Jawa
Oleh: Muhammad Nur Faqih
1.      Pendahuluan
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Keberagaman suku bangsa, bahasa, budaya dan agama pada hakikatnya justru memperkaya khasanah budaya bangsa. Salah satu wujud budaya Indonesia tersebut adalah budaya spiritual yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang pada dasarnya adalah warisan leluhur budaya bangsa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu aspek warisan budaya bangsa (budaya spiritual) secara realistis masih hidup dan berkembang serta dihayati oleh sebagian masyarakat Indonesia.[1]
Budaya spiritual yang ada dalam berbagai aliran kebatinan, kejiwaan, maupun kerohanian merupakan bentuk usaha manusia menuju integrasi kembali dari nilai-nilai asli yang terdesak oleh modernisasi. Kehidupan moderen membuat manusia tertekan jiwanya, menuntut kesibukan besar tanpa mempedulikan nilai-nilai manusiawi. Akibatnya manusia menjadi terasing dalam struktur rohani asasinya dan membutakan rasa, emosi, simpati yang ada pada diri manusia. Seluruh kemudaratan peradaban sekarang dengan ekses-ekses negatifnya dicerminkan secara positif dalam kebatinan, sehingga dapat dikatakan bahwa kelahiran berbagai aliran kebatinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan bentuk kritik terhadap berbagai macam perubahan di masa sekarang.[2] Kebatinan dapat menyelamatkan unsur berharga dari tradisinya. Mengenai adanya gerakan kebatinan ini merupakan protes melawan kekosongan hidup dan kepalsuan jiwa dan mencari kekayaan rohani dan batin.[3]
Paham kebatinan sendiri telah lama ada di tengah masyarakat Indonesia. Akan tetapi sejak kapan persisnya paham tersebut muncul belum diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan karena tidak ada literatur tertulis yang mencatat tentang sejarah awal timbunya kebatinan Jawa. Namun, dewasa ini kejawen bercampur baur dengan Islam, Hindu, Budha (pengaruh Brahmanisme dan Budhisme), dan juga bercampur dengan ajaranagama Kristen.[4]
Kepercayaan masyarakat yang hidup dan berkembang di setiap etnis, suku, marga, desa merupakan kebudayaan lokal yang dapat memberikan dan mencerminkan ciri bagi daerah setempat. Kepercayaan-kepercayaan masyarakat dengan unsur-unsur yang melekat di dalamnya terkandung nilai-nilai peradaban manusia, dapat menjadi pendukung upaya pembentukan kepribadian dan jatidiri bangsa. Sebagai salah satu unsur kebudayaan lokal, kepercayaan masyarakat dapat menjadi perekat bagi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[5]
Indonesia, khususnya di Jawa banyak masyarakat yang menekuni budaya kejawen secara mendalam. Hal ini terlihat dari pola hidup masyarakat yang masih banyak melakukan serangkaian upacara selametan, memberi sajian pada waktu dan tempat tertentu serta berziarah ke makam-makam yang dianggap keramat.[6] Kejawen menurut Niels Mulder merupakan kelengkapan diri dari setiap individu Jawa, karena di dalamnya berisikan kosmologi, mitologi dan perangkat konsepsi mistik yang secara keseluruhan menimbulkan antropologi Jawa sendiri, yaitu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakatnya.[7] Mereka merasa mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan budaya Jawa secara baik dan dapat mengungkapkannya dengan menaruh perhatian dan mampu melaksanakan setiap ketentuan tatanannya. Hal itu dikarenakan ajaran kejawen yang penuh dengan simbolisme telah merasuk dalam angan-angan dan perenungan masyarakat Jawa.
Pada dasarnya ajaran-ajaran mistik Jawa atau kebatinan pada mulanya berkembang dan tersiman dalam berbagai macam serat wirid dan serat suluk, seperti misalnya wirid hidayat jati, maklumat jati, centini, wehatama, wulangreh, suluk sukma lelana, malang sumirang, suluk wujil, sastra gendhing, jati swara, kunci swarga, dan lain sebagainya. Kesemuanya adalah kitab-kitab yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam, terutama unsur tasawufnya. Hampir semua ajaran kebatinan mengenal nafsu amarah, lauwamah, dan mutmainnah, dari ajaran Ghazali.[8]
Berangkat dari persoalan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang aliran kebatinan Jawa atau mistik Jawa dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya ditinjau dari segi ajarannya.
2.      Aliran Kebatinan Jawa
A.    Pengertian Kebatinan
”Kebatinan” berasal dari kata ”batin”, dengan mendapat awalan ”ke” dan akhiran ”an”. Kata ”batin” sendiri berasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah ”yang tersembunyi”. Jadi secara bahasa ”kebatinan” adalah sesuatu yang tersembunyi. Ditinjau secara istilah, ”kebatinan” mempunyai bermacam-macam pengertinan tergantung kepada siapa yang mengartikan istilah tersebut.[9]
Badan Konggres Kebatinan Indonesia (BKKI) pada konggresnya yang ke II di Solo tahun 1956, memberikan definisi tentang kebatinan sebagai berikut:”kebatinan adalah sumber Azaz Sila Keruhanan Yang Maha Esa guna mencapai budi luhur, untuk mencapai budi luhur”.[10] Di sini tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ”kesempurnaan hidup” tersebut. Tetapi dalam kaum kebatinan sendiri bahwa kesemurnaan hidup itu adalah ”manunggaling kawula-gusti” atau bersatunya hamba dengan Tuhan.
Harun Hadiwijono mengatakan,bahwa ciri khas kebatinan itu ialah persekutuan hamba dengan Tuhannya, persekutuhan yangmana diusahakan agar bisa direalisasikan di dalam hidup ini.[11] Dan juga menyebut kebatinan itu dengan sebutan ”kebatinan Jawa”artinya kebatinan seperti yang diajarkan kebatinan yang datang dari luar Jawa.
Menurut H. Kraemer, kebatinan Jawa adalah suatu kebatinan yang mengajarkan kesatuan hamba dengan Tuhan, yang sifatnya spekulatif, campuran, dan radikal. Sifat kebatinan yang demikian itu dipertahankan oleh orang Jawa sampai berabad-abad hingga kini, tanpa mengalami perubahan.[12]
Kebatinan juga merupakan suatu gerakan:[13] a) untuk meningkatkan integrasi diri manusia; b) Membawa sertanya latihan-latihan agar diri manusia beralih dari kedudukan semula kepada tingkat yang lebih sempurna; c) Menyebabkan manusia dalam daya luar biasa yang mengatasi oran biasa yang mengatasi orang biasa dalam pengertian induktif yang diambil dari panorama kebatinan seperti memperlihatkan dirinya kepada seseorang peninjau.
Kebatinan yang umumnya disebut sebagai aliran kebatinan, menurut kenyataannya, aliran kebatinan ialah semacam Agama orang Jawa yang bersifat mistis selain Agama-agama yang diakui pemerintah. Sedang kebatinan dalam arti luas disamakan dengan kepercayaan atau yang dianggap Agama yang berada di Indonesia selain yang sudah diakui oleh pemerintah. Agama dan kepercayaan belum tentu produk Indonesia. Tetapi bahannya tidak asli Indonesia. Diakui pemerintah disini artinya ditampung persoalannya sebagaimana resmi, karena soal ini bukanlah soal pemerintah. Bukan wewenang suatu pemerintah tertentu termasuk Indonesia, untuk mengakui atau mengesahkan suatu Agama resmi. Dan dalam perkembangan berikutnya, pemerintah yaitu departemen pendidikan dan kebudayaan mengawasi persoalan aliran kebatinan ini, walaupun pemerintah tidak mengakuinya sebagai Agama.[14]
H.M. Rasjidi memberikan bermacam-macam arti mengenai kebatinan antara lain beliau mengatakan ” Nama Batiny ” diambil dari kata ”batin” artinya bagian dalam. Batiny (golongan kebatinan) orang-orang mencari yang mencari arti yang dalam dan tersembunya dalam kitab suci. Golongan kebatinan kata-kata itu tidak menurut interpretasi sendiri yang di dalam bahasa Arab disebut dengan ta’wil (penjelasan suatu arti kata dengan arti lain daripada arti bahasa yang sebenarnya atau sewajarnya). Sedangkan menurut M. M. Djodjodiguno, kebatinan itu menpunyai empat unsur ang penting, yaitu: ilmu ghaib, union mistik, sangkan paraning dumadi dan budi luhur.[15]
Kata kebatinan diambil dari bahasa Arab, karena bangsa lain tidak ada kata yang mempunyai kalimat batin itu. Asal katanya adalah batin (dengan huruf ba’, ṭa, dan nun). baṭin adalah lawan dari ẓahir, kedua kalimat bahasa Arab ini (baṭin dan ẓahir) telah menjadi batin dan lahir, di Indonesia tidak mempunyai huruf  ṭa dan ẓa. Besar kemungkinan bahwa kata kebatinan ini terambil dari satu nama firqah (pecahan) atau satu golongan yang mulanya tumbuh dalam Islam, kemudian keluar dari garis aslinya yaitu firqah terkenal dengan nama baṭiniyah karena arti baṭiniyah memang kebatinan, yaitu suatu golongan yang mementingkan usaha batin, sebagai lawan dari urusan batin.[16]
Pada dasarnya kebatinan adalah mistik. Penebusan secara langsung antara individu dengan Yang Maha Kuasa. Bagi setiap individu, aliran kebatinan merupakan sebuah perguruan yang ideal guna mempelajari bagaimana harus menempuh jalan mistik yang akhirnya menuju kepada persatuan dengan Tuhan, ”Manunggaling Kawula Dan Gusti”. Kebatinan juga seringkali dianggap sebagai intipati dari Javanisme: gaya hidup orang Jawa, yang meliputi ilmu ghaib, ilmu sihir, baik yang hitam atau putih.[17]
Menurut Warsito S, kebatinan adalah kebudayaan spiritual dari kraton Jawa yang sudah sangat tua dan lelah mengalami perkembangan yang sangat unik pula, dimana di dalamnya terjadi sinkretisme antara mistik agama Hindu dan Budha yang berperan sebagai intinya, dengan kepercayaan Jawa kuno, dan menolak bahwa kebatinan bukan produk dari islam.[18] S. De Jong, menurutnya kebatinan itu adalah sama dengan mistik. Bahwa setiap orang yang tinggal beberapa lama di pulau Jawa pasti tertarik perhatiannya oleh gejala mistik yang mulai muncul kembali. Lewat kebatinan orang dapat mempelajari salah satu sikap hidup orang-orang Jawa.[19]
Dari uraian diatas bahwa kebatinan itu pada dasarnya adalah mistik jawa, yang terbentuk dari ramuan mistik Hindu-Budha sebagai intinya, dengan kepercayaan Jawa kuno. Kebatinan juga sering dianggap sebagai inti-pati dari Jawanisme; gaya hidup orang Jawa ialah kebatinan. Oleh sebab itu di dalam kebatinan kita jumpai sekali nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Jawa.
Mistik Jawa atau aliran kebatinan dalam aliran-aliran kebatinan pada dasarnya saling berbeda dengan yang lainya, namun karena mereka itu termasuk dalam satu rumpun (kebatinan), maka tentulah adalah persamaan yang merupakan ciri khas dari rumpun tersebut yang bisa kita temukan. Persamaan-persamaan itu terletak pada pokok ajaran-ajaran mereka. Di sisi lain bahwa pokok-pokok ajaran kebatinan atau mistik Jawa, itu ada persamaan dengan mistik Islam atau tasawuf yang ajarannya banyak digunakan oleh tarekat Islam, tetapi ajaranya terletak pada unsur-unsur Hindu-Budha yang sinkretis dengan budaya Jawa, sedangkan tasawuf berasal dari ajaran Islam murni yang datang dari Arab.
B.     Pengertian Mistik Islam Secara Umum
Mistik Islam atau tasawuf dalam bahasa Inggris disebut dengan Islamic mysticism (mistik yang tumbuh dalam islam), ilmu yang mengajarkannya disebu dengan mistisme. Di dalam agama Islam jalan mistik ini dikenal dengan istilah tasawuf atau orang-orang Orientalis Barat lebih suka menyebutkannya sufisme sebagai mistisisme Islam.[20] Adapun tujuan utama dari seseorang yang mengamalkan ajaran tasawuf menurut Abdul Hakim Hasan dalam bukunya Al-ThasawufFi al Syi’ri al-Arabi yang dikutip oleh Simuh, diterangkan yang artinya sebagai berikut:[21]”Sasaran (tujuan) tasawuf atau mistik Islam ialah sampai kepada Dzat al-Haq atau mutlak (Tuhan) dan bersatu dengan Dia”.
Dari konsep di atas jelas bahwa tujuan utama dari tasawuf adalah untuk sampai kepada Allah atau bahkan ada yang bersatu dengan Tuhan. Adapun jalan untuk sampai kepada Allah disebut tarekat (Thariqah). Ada beberapa tingkatan dalam ajaran Islam untuk bisa dekat dengan Tuhan yaitu Syari’at Tarikat, Hakikat, dan yang paling tinggi adalah Ma’rifat.
Sedangkan menurut Annemarie Scimmel dalam bukunya Mystical Dimension of Islam yang dikutip oleh Simuh menyatakan adanyadua tipe ajaran mistik, yakni Mysticism of Infinity dan Mysticism of Personality. Mysticism of Infinity adalah faham mistik yang memandang Tuhan sebagai realitas yang asolut dan tidak terhingga. Tuhan di ibaratkan sebagai lautan yang tidak terbatas dan tidak terlihat oleh zaman, H.M. Rasjidi misalnya, menamai paham ini dengan sebagai union mistik, yaitu suatu aliran yang memandang manusia bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhannya. Tipe kedua disebut personal mistik yakni suatu aliran mitik yang yang menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada paham kedua ini hubungan manusia dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara kawula (mahluk) dengan gusti  (khalik).[22]
Dalam tradisi mistik Islam di Jawa banyak dipengaruhi Islam Persia dimana al-Hallaj, seorang tokoh terkenal tinggal. Tradisi literer, mistik dan ritual Persia sampai ke Jawa melalui Dekkan, India Selatan pantai Koromandel dan Sumatra.bahwa tradisi pengajaran mistik islam ini sama dengan pengajaran-pengajaran agama yaitu tradisi sosial dengan menempatkan Ulama centric sebagai seorang tokoh, guru, atau wali-wali karismatik yang kebanyakan mereka melakukan pengobatan dan tindakan-tindakan magis dan mengajar secara berkelompok-kelompok dan siswa-siswa senior berperan menjadi tutor bagi adik-adik kelasnya.[23]
C.    Pokok-pokok ajarannya

Penghayatan tasawuf atau mistik islam merupakan ketika sudahmencapai tingkat ma’rifat, yaitu laksana didepan cermin yang melihat wajah tuhan, sama saja ketika ia melihat dirinya sendiri. Dengan penghayatan antara yang mengetahui dan diketahui (Tuhan) adalah sama atau satu. Al-Hallaj atau mistikislam terkenal dizamannya mengatakan: Ana al- Haq (saya adalah Tuhan). Dari pernyataan ini muncullah segolongan kaum sufi yang menganut faham union mistik atau dalam Islam kejawen lebih terkenal dengan konsep manunggaling kawulo gusti. Paham ini dianut oleh Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, Fariduddin al-Athar, Ibnu al-Arabi, Abdul Karim al-Jillil, Inayat Khan, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani. Hal itu merupakan inti dari ajaran serat-serat suluk yang menjadi acuhan ilmu kejawen. Sementara aliran ini ditentang keras oleh al-Ghazali.[24]
Pokok-pokok ajaran mistik Islam atau tasawuf untuk mencapai makrifat kepada Tuhan dapat diringkas sebagai berikut:
1.      Dinasti
Mengambil jarak antara dirinya dengan nafsu-nafsu yang berusaha memperhamba jiwanya, serta mengambil jarang ikatan dunia. Distansi merupakan syarat mutlaq bagi sarana untuk menemukan kesadaran tentang “aku”-nya, sehingga dapat benar-benar berdiri sebagai khalifah. Yakni memerdekakan diri dari penghambaan nafsu amarah dan lawumah ataupun penghambaan terhadap dunia. Dalam tasawuf distansi dimaksudkan untuk membina sikap eskapisme agar bisa mencapai suasana hati yang suci, terbebas dari ikatan-ikatan selain hanya Allah. Hal ini merupakan syarat mutlaq untuk dapat mencapai makrifat.
Hanya dengan distansi inilah manusia dapat menjadi khalifah bagi diri pribadinya dan setelah itu memungkinkan untuk menjadi khalifah Fil Ardhi yang bertugas memakmurkan bumi. Dalam ajaran mistik Islam dinasti dan mawas diri merupakan aspek yang falsafi yang dinamis dan merupakan aspek positif yang merupakan hasil ijtihad para ulama sufi. Aktualisasi ajaran ini akan merupakan sumbangan yang paling efektif untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang bertanggung jawab serta jujur menciptakan aparat yang bersih dan berwibawa, bebas dari sikap korup, aji mumpung, kolusi kekuasaan dan lain-lain.
2.      Konsentrasi
Konsentrasi ini dimaksudkan untuk berdzikir kepada Allah. Hal ini teramat penting, karena tasawuf yang notabene menjadi mistik murni untuk mendapatkan penghayatan langsung terhadap alam gaib yang puncaknya makrifat kepada Allah, bahkan bersatu kepada Tuhan. Tasawuf yang berubah menjadi mistik murni memang berbeda dengan tasawuf Islam sebagai mana dijelaskan oleh Ibnu Kaldun dalam kitab muqaddimah. Mistik Islam murni ini sebagai mana yang dirumuskan oleh al-Ghazali, konsentrasi dengan wasilah dzikir dijadikan sarana memanfaatkan dan mengalihkan pusat kesadaran alam materi kepusat kesadaran dunia kejiwaan yang disebut illuminasi atau isyaraq. Iluminasi yang merupakan penghayatanterhadap alam ghaib menjadi inti ideal ajaran tasawuf murni, karena puncak kesadaran ini adalah makrifat untuk menemukan hakikat Tuhan.
Dalam mistik Islam atau tasawuf, konsentrasi merupakan aspek praktis sehingga setiap orang dapat menjalani dzikir. Walaupun yang benar-benar dzikir secara semppurna tentu terbatas hanya golongan khawas saja. Mistik Islam murni, hanya bisa dinikmati orang-orang pilihan yang sanggup mensucikan hatinya. Yakni golongan khawas (para wali Allah) dan bukan golongan awam yang menghormati dan berwasilah pada orang-orang suci dan dianggap keramat. Bahkan salat pun bertingkat pula, yakni salatnya orang awam (syari’at), golongan khawas dan golongan khususul khusus.
3.      Iluminasi Atau Khasaf
Diterangkan oleh al-Ghazali bahwa konsentrasi dzikir bila berhasil akan mengalami fana terhadap kesadaran inderawi dari mulai kasyaf (tersingkap takbir) terhadap penghayatan alam ghaib dan memuncak menjadi makrifat. Mulai awal dari kasyaf ini para kaum sufi merupakan awal mi’raj jiwanya, sehingga dapat bertemu denhan malaikat, ruh para Nabi dan dapat memperoleh ilmu laduni bahkan dapat melihat nasib di lauhil mahfudl. Akhirnya penghayatan kasyaf ini dapat bertemu dengan tuhan, bahkan bersatu dengan tuhan (union mistik).
4.      Insan Kamil
Sebagai mana dalam mistik Islam atau tasawuf yang percaya bahwa orang bisa berhubungan langsung dengan alam ghaib dan makrifat kepada Tuhan, dipandang sebagai manusia pilihan Tuhan dan mendapat predikat sebagai manusia sempurna (insan kamil). Maka manusia sempurna menurut ajaran tasawuf adalah orang-orang suci yang kehidupannya memancarkan sifat-sifat ke-Illahi-an, atau bahkan merupakan penjelmaan Tuhan dimuka bumi sebagai mana dianut oleh paham union mistik insan kamil adalah orang-orang yang dalam semua segi kehidupannya memancarkan nur Muhammadserta memiliki berbagai macam karomah (saktisme)[25].
Jadi mistik Islam murni bertujuan untuk menjadi insan kamil dalam arti menjadi waliyullah. Yakni orang-orang yang dapat mencapai penghayatan makrifat dan setiap saat berdialog langsung dan menjadi kekasih Tuhan.
D.    Pengaruh Mistik Islam Terhadap Kebatinan (Mistik Jawa)
Perpaduan antara budaya Jawa lama dengan budaya Islam yang baru sejak kewalian tercermin dalam penghitungan tahun Jawa perhitungan gubahan Sultan Agung dari Mataram pada pertengahan abad ke-17 M. Menurut Ki Hajar Dewantara ”kehidupan rakyat kita yang semula bersifat animistis dan hinduistis sejak mendalamnya agama Islam bertambha corak warnanya. Pada permulaan, yaitu pada zaman kewalian, sifat keIslaman amat mementingkan pengajaran serta laku mistik (Tasawuf-Tarekat)”. Misalnya pengaruh sinkretisme ini dalam perhitungan hari dipergunakan hari-hari Islam (Isnain, salasa, dan sebagianya) dan digabung dengan hari pasaran lima (wage, kliwon, legi, pahing, pon). Demikian pula perhitungan bulan yang dipakai bulan-bulan Islam (sura, sapar, maulud, dsb). [26]
Demikian seterusnya jelmaan baru yang berasal dari unsur-unsur lama (Jawa) disintesiskan dengan unsur-unsur baru (Islam). Begitu juga pengaruh mistik Jawa (tasawuf) ini tehadap mistik Jawa atau kebatinan di Jawa, seperti misalnya Primbon Sunan Bonang, Suluk Wijil, Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya. Menurut Poerbatjatara yang dikutip oleh simuh mengatkan ”adapun yang diceritakan, ialah hal mistik, hampir sama saja dengan apa yang dibentangkan di dalam kitab Dewaruci, bedanya hanya yang satu bukan Islam dan yang satu Islam”.[27] Dan pengaruh tasawuf ini juga mengilhami mistik Jawa yang dipakai dalam ajaran aliran kebatinan.
Dalam serat centini, kitab mistik Jawa yang teresar yang ditulis oleh pujangga-pujangga keraton Surakarta pada awal abad ke-19 M. Atas perintah Paku Buwana V (1820-1823). Banyak dipengaruhi oleh paham tasawuf tentang jenjang pengalaman ilmu kebatinan, syari’at, tarikat, dan hakikat, makrifat. Jelas di dalamnya unsur-unsur ajaran kitab-kitab tasawuf seperti Ihya’ Ulumuddin.[28]
E.     Unsur-unsur Kebatinan Jawa
Unsur-unsur atau bagian-bagian kebatinan dalam hal ini berhubungan sangat erat dalam berbagai ajaran setiap aliran kebatinan. Dalam hal ini H.M. Rasjidi membagi beberapa hal mengenai pemahaman tentang kebatinan. Menurutnya dengan adanya pembagian ini dengan tujuan untuk mempermudah dalam memahami kebatinan itu sendiri. Sehingga mendapatkan pemahaman yang jelas. Beberapa bagian unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1.      Union Mistik
Union Mistik dalam aliran kebatinan di Jawa bisa dikenal dengan ”manunggaling kawulo gusti”, yaitu persatuan antara manusia dan Tuhan.[29] Union Mistik selalu ada dalam aliran kebatinan Jawa dan dijadikan ajaran yang ideal dalam ritual-ritualnya. Tetapi menurut H.M. Rasjidi bahwa union mistik itu jarang terjadi.[30] maksudnya, tidak semua orang dapat mencapai penghayatan union mistik. Misalnya dalam suluk wirid hidayat Jati karangan Ronggowarsito di samping mengajarkan tentang moral manusia, juga masih adanya faham tentangg union mistik dan occutisme. Umumnya dalam pemahaman union mistik yang tersimpan dalam pemahaman kebatinan adalah pemikiran pujangga dan sastrawan keraton, sehingga dalam union mistik masih ada tingkatan atau golongan dalam mempelajarinya dan merupakan golongan khawas (elite kerohanian) saja yang berhak mempelajari union mistik sedangkan golongan awam tidak akan mengerti.[31]
Dengan munculnya aliran-aliran kebatinan yang tergabung dalam kelompok penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa, pertumbuhannya seperti gerakan-gerakan dalam tasawuf. Yakni, meruakan upaya untuk memasyarakatkan ajaran mistik atau kebatinan, yang mana dahulunya bahwa union mistik dalam kitab-kitab suluk selalu dan harus dirahasiakan ajarannya. Dan pengajarannya hanya boleh diajarkan. Sedangkan menurut Warsito S. Mengenai union mistik mengatakan:
Sedang dalam kebatinan, union mistik ”manunggalin kawula gusti” merupakan tujuan hidup, sesuai dengan paham Bramanisme. Tetapi orang tidak mungkin ”manunggal” (makhluk dengan khaliknya), apabila belum cukup ”budi dharmanya” (amal shalehnya). Jadi dalam kebatinan, akses hidup dengan menjauhkan diri dari kemewahan dann kesenangan dan ektase (sentakan jiwa) itu memang panembah yang intensitas kekhusyukannya tergantung dari taraf jiwa manembah, seperti juga dalam Hinduisme ataupun Budhiesme yang di dalam ”wedatama” disebut Sembah raga, Sembah raga, Sembah kalbu, Sembah jiwa dan Sembah rasa.[32]

Dalam pencapaian menuju union mistik manusia dalam penyatuan dengan Tuhan banyak menggunakan cara-cara yang berbeda, menurut Marbangun Harjowigoro yang dikutip oleh HM. Amin Jaiz, menyebutkan:
Di dalam Islam kaum sufi menari dan berdzikir, di dalam agama Nasrani orang bernyanyi puja terhadap penciptanya dan di dalam kepercayaan  (paham kebatinan) orang bertapa atau berpuasa demikian tekunya hingga orang mengalami suasana ketiadaan diri, dimana orang bisa sampai bertemu dengan penciptanya. Aliran tertentu ada juga yang menggunakan candu dan minuman keras sebagai sarana gna mencapai extase, kesurupan yang memungkinkan orang untuk bertemu dengan Tuhannya. [33]

Sedangkan menurut H.M. Rasjidi bahwa union mistik adalah soal yang kontroversial dan mengandung  lebih banyak subyektifitasnya dari pada obyektifitasnya. Mungkin bila dikatakan orang bisa menembus dan mempelajari union mistik dibandingkan dari seribu orang hanya satu orang saja yang dapa mencapainya. Walaupun begitu yang jelas bahwa union mistik itu jarang terjadi. Dalam mekanisme primitif, yakni bahwa diantara bangsa terbelakang union mistik itu bersifat orgiast, artinya ditimbulkan dengan membangkitkan nerf dan tidak dengan melakukan zuhud (ascatic). Memang ada juga larangan akan tetapi larangan itu ditaati karena larangan bukan kemauan untuk union mistik. Seorang mistik primitif tertarik ole gelombang emosinya, sedangkan orang yang moralnya dan intlektualnya tinggi dapat mengontrol emosi tersebut.[34]
2.      Theosophy
Bahwa di dalam alirann kebatinan paham kebatinan atau mistik Jawa, dasarnya adalah paham akan occultis atau ilmu ghaib. Yang semuanya meruakan kepercayaan dan bukan ilmu ilmiah.[35] Timbulnya occultis atau ilmu ghaib ini berkaitan Erat dengan kepercayaan atau paham mistik, tasawuf, theosophy, atau di Jawa disebut aliran kebatinan yang bergani nama menjadi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Aliran theosopy adalah suatu nama umum yang bermacam-macam doktrin yang pada umumnya mengaku sebagai pengetahuan tentang Tuhan serta hal-hal yang berhubungan dengan Ketuhanan, didasarkan atas memperdalam penghidupan batin. Pengetahuan tersebut dibarengi dengan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari, akan memberi kemampuan untuk mempergunakan kekuatan-kekuatan yang dapat ditaklukan oleh kemampuan manusia. Menurut Simuh, ajaran-ajaan mistik, kebatinan, tasawuf dalam Islam, merupakan sejenis Thesopy. Setidaknya memiliki dasar-dasar pikiran dan cara-cara kerja yang seirama.
Sedangkan menurut H.M. Rasjidi yang dikutip dari Andre Lalande, guru besar di Sorbone, Paris. H.M. Rasjidi mengatakan bahwa theosophy ada cabang yang bermacam-macam, sebagaimana berikut:
a.       Theogonie: Ilmu prinsip-prinsip mutlak, sama dengan ilmu angka yang diterapkan dalam alam atau ilmu pasti.
b.      Cosmogoni: realisasi prinsip-prinsip abadi dalam waktu atau tempat, dengan perkataan lain: tercampurnya jiwa dalam benda (materi).
c.       Psychologi:susunan jiwa manusia atau perkmbangan jiwa manusia dalam macam-macam keadaan.
d.      Physique: ilmu tentang alam bumi serta sifat-sifatnya.
            Nama theosopy juga dipakai oleh suatu doktrin metaphysika dan moral yang ada pada Budhisme dan Hinduisme. Thesopy juga ada hubungan dengan faham kebatinan, termasuk golongan ilmu ghaib dan golongan sangkan paraning dumadi.[36] Adapun tujuan dari theosopy tersebut adalah: membentuk suatu kelompok-kelompok inti untuk persaudaraan kemanusiaan dengan tidak memandang bangsa, agama, kasta, kelamin, warna kulit. Kedua, memajukan studi perbandingan mengenai Agama, filsafat, dan pengetahuan. Ketiga, menyeidiki alam dan manusia. Sehingga kita perlu adanya perbedaan mendasar apa yang dimaksud theosopy dengan faham mistik, yang mana theosopy tersebut ingin mengetahui rahasia alam,sedangkan orang mistik hanya ingin memelihara hati mereka sendiri. Dalam hal ini M.M. Rasjidi menganggap bahwa satu sama lainnya masih ada hubungan yang erat dalam tujuannya dalam mencapai menuju Tuhan.
3.      Trantisme Dan Yoga
             Mistik Jawa atau disebut dengan kebatinan ini, dalam pelajarannya masih terdapat adanya unsur-unsur dari Agama Hindu-Budha. Seorang penganut kebatinan dalam mengamalkan ajarannya banyak menggunakan cara-cara Hinduisme dari India yaitu trantisme dan juga yoga. Yang mana keduanya sangat mempengaruhi dalam setiap ritual-ritualnya, yang tujuannya agar bisa bertemu dengan Tuhannya.
            Trantisme arti katanya tantra adalah bermacam-macam seperti: melanjutkan, meneruskan, melipatkan. Tantra juga berarti melancarkan pengetahuan manusia. Kita tidak mengerti bagaimana sejarahnya tantra kemudian menjadi nama gerakan filsafat dan Agama yang timbul pada abad keempat, yang kemudian tersiar keseluruh India pada abad keenam.[37] Begitu cepatnya ajaran ini menyebar secara mendadak dan populer di kalangan filsafat, ahli teologis, ahli yoga. Trantisme juga mempengaruhi Budhisme, Jainisme,Civaisme, dan Visnuisme. Menurut kalangan Budha bahwa trantisme diciptakan oleh Asanga ahli yoga, atau oleh Nagarjuna ahli agama Budha. Tetapi yang jelas adalah bahwa rantisme Budha mulai timbul pada abad ke-4 dan berkembang pada abad ke-8. Dalam trantisme mengajarkan bahwa alam (cosmos) berada di dalam manusia, dan mengatur nafas untuk melepaskan diri dari ikatan waktu. Bagi mereka, badan manusia,alam, dan waktu adalah unsur pokok dalam sadhana trantisme.
            Dari penjelasan tersebut di atas cirri-ciri trantisme, yaitu sikap anti zuhud dan anti berfikir. Yang mana bahwa dalam ajaran tantrisme seorang laki-laki dan perempuan diibaratkan bagaikan dewa ketika keduanya menyatu dalam persetubuhan. Karena pada dasarnya ajaran trantisme adalah penyatuan laki-laki dan perempuan sehingga mencapai hakikat tinggi dan bisa bertemu dengan Tuhannya. H.M. Rasjidi memandang kebatinan di Jawa dalam prakteknya masih melakukan ritual-ritualnya menggunakan trantisme tersebut. Sehingga dalam memahami kebatinan di Jawa H.M. Rasjidi memandang naskah darmogandul dan gatholoco yang mana naskah itu mirip dengan ajaran pelajaran yang ada dalam ajaran trantisme Hindu-Budha. Menurutnya naskah itu sangat menghina santri, yang isinya memberikan pemahaman terhadap Islam dan mengartikan dengan buruk dan tidak benar.[38]
            Sedangkan yoga dalam kebatinan menurut H.M. Rasjidi adalah sangat penting dilakukan karena dengan yoga manusia dapat mencapai ketiadaan diri apabila dilakukan dengan cara hikmat. Yoga bisa diartikan  dengan istilah meditasi, dan meditasi bisa dilakukan dengan cara-cara yang berbeda. Yoga yang bertujuan mistik yaitu adanya union mistikyang mengharuskan menjauhkan diri dari kebendaan dan memerdekakan diri dari keduniaan. Titik berat yoga adalah pada usaha manusia untuk mendapatkan kesempatan bersatu dengan Tuhan.
H.M. Rasjidi dalam memahami kebatinan yang ada di kitab Wirid Hidayat Jati karangan Ronggowarsito adalah kitab tersebut masih menghargai dan mengagungkan ajaran-ajaran Islam. Yang mana dalam kitab tersebut banyak terdapat unsur-unsur Islam yang sangat kental. Rujukannya sama dengan kitab Ihya’ Ulumuddin karangan al-Ghazali. Adanya praktek-praktek konsentrasi dan meditasi yang dilakukan dalam ritual-ritualnya terpengaruh ajaran yoga dan kadang juga mirip dengan gerakan-gerakan para ahli sufi Islam.
3.   Penutup
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagaimana berikut:
a.       ”Kebatinan” berasal dari kata ”batin”, dengan mendapat awalan ”ke” dan akhiran ”an”. Kata ”batin” sendiri berasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah ”yang tersembunyi”. Jadi secara bahasa ”kebatinan” adalah sesuatu yang tersembunyi. Ditinjau secara istilah, ”kebatinan” mempunyai bermacam-macam pengertinan tergantung kepada siapa yang mengartikan istilah tersebut.
b.      Dari uraian diatas bahwa kebatinan itu pada dasarnya adalah mistik jawa, yang terbentuk dari ramuan mistik Hindu-Budha sebagai intinya, dengan kepercayaan Jawa kuno. Kebatinan juga sering dianggap sebagai inti-pati dari Jawanisme.
c.       pokok-pokok ajaran kebatinan atau mistik Jawa, itu ada persamaan dengan mistik Islam atau tasawuf yang ajarannya banyak digunakan oleh tarekat Islam, tetapi ajaranya terletak pada unsur-unsur Hindu-Budha yang sinkretis dengan budaya Jawa, sedangkan tasawuf berasal dari ajaran Islam murni yang datang dari Arab.
d.      Unsur-unsur atau bagian-bagian kebatinan: a) Union mistik, b) Theosopy, c) Trantisme dan Yoga.






DAFTAR PUSTAKA
Al Payamani, Ma’ruf. 1992.  Islam dan Kebatinan. Solo:V. Ramadhani.
H.M. Amien Jaiz, 1980. Masalah Mistik Tasawuf Dan Kebatinan. Bandung: Al Ma’arif.

Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan Film, 2005. Pedoman Teknis Pemberdayaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Hamka. 1972. Perkembangan Kebatinan Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Hadiwijono, Harun. tth Kebatinan Jawa Dalam Abad 19. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Kartapradja, Kamil. 1985. Aliran Kebatinan Dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Masagung.

Mulder, Niels. 2003. Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Rosyid, Harun Nur, dkk, 2004. Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat. Jakarta: Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Rasjidi, H.M. 1967. Islam dan Kebatinan. Jakarta: Yayasan Studi Club Indonesia.
Sosrodiguno, Sarwedi. 1965. Fungsi dan Arti Kebatinan untuk Pribadi dan Revolusi. Jakarta: Gramedia.

Simuh, 1990. Sufiesme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Sufa’at, M. 1985. Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan. Yogyakarta: Kota Kembang.

Hadiwijono, Harun. 1970. Kebatinan Dan Injil. Jakarta: BPK Gunung Muliah.
Subagya, Rahmat. 1976. Kepercayaan Kebatinan, Kerohanian Kejiwaan Dan Agam. Yogyakarta: Kanisius.

S, De Jong. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius.

S, Warsito, S, Rasjidi, H.M dan Bakry, H. Hasbullah. 1973. Di Sekitar Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang







[1] Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan Film, Pedoman Teknis Pemberdayaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005), hlm. 1.
[2] Harun Nur Rosyid, dkk, Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat, (Jakarta: Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), hlm.1-3.
[3] Sarwedi Sosrodiguno, Fungsi dan Arti Kebatinan untuk Pribadi dan Revolusi, (Jakarta: Gramedia, 1965). hlm. 5-6.
[4] Ma’ruf Al Payamani, Islam dan Kebatinan, (Solo:V. Ramadhani, 1992), 219.
[5] Harun Nur Rosyid, dkk., op. cit., hlm. 27.
[6] Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hlm. 3.
[7] Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa,  (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), hlm. 16.
[8] Simuh, Sufiesme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1990), 63.
[9] M. Sufa’at, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm.9.
[10] Ibid.
[11] Harun Hadiwijono, Kebatinan Dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1970), hlm. 6.
[12] Harun Hadiwijono, Kebatinan Jawa Dalam Abad 19, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, tth), hlm.7.
[13] Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan, Kerohanian Kejiwaan Dan Agam, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 47.
[14] Romdon, Tasawuf Dan Aliran Kebatinan, (Yogyakarta: Lesfi, 1995), 77.

[15] Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan Dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), 60.
[16] Hamka, Perkembangan Kebatinan Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 10.
[17] M. Sufa’at, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm.14-15.
[18] Warsito, S., H.M R Bakryasjidi, dan H. Hasbullah Bakry, Di Sekitar Kebatinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 17
[19] S. De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 10.
[20] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), 56.
[21] Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tsawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996), 25.
[22] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, (The University Og North Carolina Press, 1978), 5.
[23] Ibid.
[24] Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tsawuf Islam ke Mistik Jawa…,28.
[25] Ibid., 30.
[26] Ibid., 155.
[27] Ibid., 156.
[28] Ibid., 156.
[29] H.M. Rasjidi, Islam Dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Studi Club Indonesia, 1967), 50.
[30] Ibid., 71.               
[31] Simuh, Sufiesme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996), 63.
[32] Warsito S, Di Sekitar Kebatinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),  53.
[33] H.M. Amien Jaiz, Masalah Mistik Tasawuf Dan Kebatinan, (Bandung: Al Ma’arif, 1980), 43.
[34] H.M. Rasjidi, Islam Dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Studi Clun Indonesia, 1967), 71.
[35] Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996), 202.
[36] H.M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Studi Club Indonesia, 1967), 44.
[37] Ibid., 61.
[38] Ibid., 62.
Kumpulan Makalah 4327879463389585873

Posting Komentar

  1. Aliran Kebatinan Jawa >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Aliran Kebatinan Jawa >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Aliran Kebatinan Jawa >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK

    BalasHapus

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments