MENELAAH KITAB TAFSIR PERTAMA DI INDONESIA: TAFSIR TARJŪMAN AL-MUSTAFĪD Oleh: Ahmad Iwanuridlwan & Ahmad Murtadlo
http://kaweruh99.blogspot.com/2016/03/menelaah-kitab-tafsir-pertama-di.html
Abstrak
Abd
al-Ra`ūf al-Sinkīlī yang juga dikenal dengan Shaykh Kuala merupakan ulama
Nusantara yang cukup produktif yang dilahirkan pada tahun 1615 M. Dia menempuh
pendidikannya mulai dari daerah kelahirannya sendiri, daerah Singkil, hingga ke
Tanah Arab. Dia menempuh pendidikannya di tanah Arah hingga 19 tahun lamanya.
Di antara hasil karyanya adalah kitab Tarjūman al-Mustafīd, sebuah kitab tafsir yang diakui sebagai
kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan menggunakan bahasa Melayu.
Kitab ini muncul secara lengkap, 30 juz pada abad ke-17. Kitab ini telah
diterbitkan berkali-kali di berbagai daerah di dunia. Metode yang digunakan
dalam menyusun kitab ini adalah metode ijmalī. Sedangkan coraknya adalah al-adabī al-ijtima’ī. Dari penjelasan ini membuat tafsir Tarjūman al-Mustafīd ini sangat istimewa, tidak hanya
dikarang oleh ulama’ besar tetapi juga sebagai tafsir pertama yang berbahasa
melayu yang lengkap 30 juz.
Kata Kunci: Abd al-Ra`ūf, Tarjūman al-Mustafīd, Tafsir Pertama.
I. Biografi ‘Abd
al-Ra`ūf al-Sinkīlī
‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī atau yang lebih dikenal
dengan Shaykh Kuala merupakan ulama yang cukup produktif menulis. Pengaruhnya
juga sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusaantara. Dia adalah pembawa
tarekat Shatariyyah ke Indonesia, di mana hampir semua silsilah ordo tarekat
Shatariyyah di Indonesia berujung kepadanya. Dia juga dikenal sebagai tokoh
yang membuka jaringan ulama Nusantara di jaringan internasional. Untuk
menghormati jasa-jasanya, nama Shaykh Kuala diabadikan menjadi nama universitas
di Banda Aceh, yakni Universitas Syah Kuala.[1]
Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Ra`ūf bin ‘Ali al-Fanṣūrī al-Sinkīlī. Dia adalah seorang melayu dari daerah Fansur, Sinkil, sebuah daerah yang
terletak di wilayah pantai barat laut Aceh. Mengenai kelahirannya, tidak
ketahui secara pasti tanggal berapa dia dilahirkan. Sumber yang ada hanya
menyebutkan tahun kelahirannya. Mubarok Yasin mengatakan bahwa dia dilahirkan
pada tahun 1035 H.[2]
Yasin tidak menyebutkan tahun masehinya. Berbeda dengan Islah Gusmian, dalam
bukunya, Khazanah Tafsir Indonesia, dia menyebutkan tahun kelahirannya dalam
masehi, yaitu tahun 1615 M.[3]
A.
Latar Belakang Pendidikan
‘Abd al-Ra`ūf kecil memulai pendidikannya di tanah kelahirannya sendiri di kawasan
pedalaman Singkel. Dia belajar di Pesantren Simpang Kanan yang diasuh oleh
ayahnya seendiri, Shaykh ‘Ali al-Fanṣūrī. Setelah itu, dia melanjutkan
pendidikannya di Pesantren Rundeng, Simpang Kiri, Barus, yang diasuh oleh
pamannya sendiri, yaitu Shaykh Hamzah al-Fanṣūrī. Di sana dia belajar ilmu
agama, sejarah, mantiq, filsafat, sastra Arab, Melayu dan juga Persia. Setelah
mengenyam pendidikan di Barus, dia melanjutkan perjalanannya ke Pesantren
Samudra Pasai yang dipimpin oleh Shaykh Shams al-Dīn al-Sumatranī. Namun,
ketika sang guru diangkat menjadi hakim pada masa Sultan Iskandar Muda, yaitu
sekitan tahun 1642, dia kemudian mengembara ke tanah Arab untuk mendalami ilmu
pengetahuannya.[4]
‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī berada di tanah Arab
selama kurang lebih 19 tahun. Di sana dia belajar agama kepada ulama-ulama
besar dari berbagai daerah, seperti Jeddah, Makkah dan Madinah. Akan tetapi
dari sekian banyak ulama yang menjadi gurunya, Aḥmad al-Qushashi adalah guru yang amat
berpengaruh baginya sebagai guru spiritualnya. Dia mengenal al-Qushashi dari
gurunya, yaitu Shayh Ibrāhīm bin ‘Abdullāh Jam’ān yang memberikan banyak
ilmu lahir kepadanya.[5]
Sedangkan dari al-Qushashi, dia mempelajari apa yang dinamakan ilmu batin,
yakni ilmu-ilmu tasawuf dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, sampai dia
mendapatkan ijazah untuk menjadi khalifah dalam tarekat Shatariyyah dan
Qodiriyah. Setelah al-Qushashi meninggal pada tahun 1660, ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī kemudian melanjutkan pendidikannya kepada
Shaykh Ibrāhīm al-Kurani, dan
memperdalam berbagai pengetahuan agama.
Selain itu, ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī juga belajar secara tidak formal
kepada beberapa ulama, seperti Shaykh Muḥammad al-Babilī dari Mesir dan Shaykh
Muḥammad al-Barzanjī dari Anatolia. Shaykh Muḥammad al-Babilī merupakan ulama
hadis terkemuka di Ḥaramayn. Sedangkan Shaykh Muḥammad al-Barzanjī dikenal
sebagai sufi tersohor di masanya.[6]
‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī meninggal pada tahun 1693 M.[7]
Dia dimakamkan di Kuala Banda Aceh. Karena itulah dia dikenal dengan sebutan
Shaykh Kuala.
B.
Karya-karyanya
Karya-karya ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī tersebar di berdagai bidang seprti
tasawuf, tafsir dan fikih. Dia menggunakan bahasa Melayu dan Arab dalam menulis
karyanya. Di antara kitab yang telah ditulisnya adalah:
1.
‘Umdah al-Muḥtājīn. Kitab ini merupakan sebuah karya terpenting yang
ditulis oleh ‘Abd al-Ra`ūf
al-Sinkīlī dalam bidang tasawuf. Kitab ini memuat, antara lain, tentang zikir,
sifat-sifat Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dan rasul-Nya dan asaal-usul
mistik. Di akhir kitab ini dicantumkan sedikit tentang riwayat hidupnya.[8]
2.
Tarjūman al-Mustafīd. Sebuah kitab tafsir yang diakui sebagai kitab
tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan menggunakan bahasa Melayu.
3.
Mir`ah al-Ṭullāb fī Taḥṣīl Ma’rifah Aḥkām al-Shar’iyyah li al-Mālik al-Wahhāb. Ini adalah sebuah kitab dalam bidang
fikih. Di dalamnya membahas tentang berbagai persoalan mazhab Shāfi’ī.
II. Analisis Kitab
Tafsir Tarjūman al-Mustafīd
Pada abab ke-17 muncul sebuah kitab tafsir yang
menjadi kitab tafsir pertama di Indonesia yang lengkap 30 juz, dan pertama di
dunia kitab tafsir dengan menggunakan bahasa Melayu-Jawi. Sebelum kitab tafsir
ini ada, sebetulnya sudah ada kitab tafsir di Indoensia yang ditemukan tetapi
hanya tafsiran surat al-Kahfi saja, kira-kira pada abad ke-16. Tapi sayangnya
belum diketahuai siapa penulis dari kitab tafsir ini.[9]
Kitab tafsir Tarjūman al-Mustafīd ini merupakan karya dari ulama besar Indonesia yaitu
‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī . Kitab ini diterbitkan pada tahun1884 M di Instanbul.
Ini merupakan cetakan pertama. Setelah itu kitab ini dicetak ulang berkali-kali
di Instanbul, Makkah, Kairo, Bombay, Penang, Singapura dan juga di Indonesia.
Kitab ini dicetak dengan satu jilid besar dengan ukuran 34 x 24 cm. Salah satunya
adalah dari cetakan Kaherah Mustafa Albabi Alhalabi pada tahun 1951, terdiri
dari 611, termasuk halaman do’a khatam al-Qur`an mulai dari surat al-Fātiḥah sapai surat terakhir yaitu surat al-Nās.[10]
Tafsir ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī ini adalah kitab tafsir yang istimewa dan juga
mutu dan kualitasnya tidak bisa diragukan lagi. Hal bisa dilihat bahwa
berkali-kali kitab ini dicetak di berbagai negeri. Di Istambul ia diterbitkan
oleh Mathba’ah Al-‘Ustmaniyyah pada tahun 1302/1884 dan juga pada 1324/1906. Di
Kairo diterbitkan oleh Sulaiman Al-Maraghi, serta di Mekah di terbitkan oleh
Al-Amiriyyah. Sedangkan edisi terakhir diterbitkan di Jakarta pada tahun 1981.[11]
Alasan penulisan tafsir oleh ‘Abd al-Ra`ūf
al-Sinkīlī adalah karena pada masa itu banyak tulisan-tulisan atau
tafsiran-tafsiran kelompok wahdatul wujud yang banyak kesalahan, juga ada
kelompok-kelompok yang menafsirkan al-Qur`an dengan bebas dengan selera mereka,
hal ini kemudian memicu ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī untuk menafsirkan al-Qur`an
agar masyarakat dapat memahami ajaran islam dengan benar dan mudah supaya tidak
terpengaruh oleh tulisan-tulisan yang dibuat oleh kelompok-kelompok yang tidak
baik.Alasan kenapa‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī menggunakan bahasa melayu dalam
menafsirkan al-Qu`an karena selama ini jika seseorang ingin mempelajari
al-Qur`an dia mesti bersusah payah terlebih dahulu dalam belajar bahasa arab
dan beliau ingin masyarakat dapat dengan mudah mempelajari al-Qu`an.[12]
Banyak dari tulisan-tulisan yang beredar di publik
membicarakan tentang tafsir Tarjūman al-Mustafīd bahwa kitab tersebut merupakan hasil dari terjemahan
dari kitab tafsir al-Bayḍawī. Salah seorang yang
menyangka akan hal ini adalah Snock Hurgronje. Pendapat ini diikuti oleh dua
sarjana lainnya dari Belanda yang bernama Rinkes dan Voorhoeve. Rinkes, murid
Snouck menciptakan kesalahan-kesalahan tambahan dengan menyatakan bahwa tafsir
ini selain mencakup terjemahan dari kitab tafsir al-Bayḍawī juga merupakan terjemahan dari sebagian tafsir al-Jalālayn. Sementara Voorhoeve menjelaskan
bahwa sumber tafsir al-Mustafid itu adalah berbagai tafsir yang berbahasa Arab.[13]
Tetapi ketika banyak orang yang meneliti kitab
tafsir ini ternyata bukanlah hasil dari terjemahan kitab tafsir al-Bayḍawī, melainkan hasil terjemahan dari kitab
tafsir al-Jalālayn.
Di atara peneliti yang mengatakan tafsir Tarjūman al-Mustafīd tidak terjemahan dari kitab al-Bayḍawī adalah Salman Harun. Dia melakukan
penelitian dengan mengambil sampel juz ke-30, dan hasilnya dapat disimpulkan
bahwa tafsir Tarjūman al-Mustafīd bukanlah terjemahan kitab tafsir al- Bayḍawī. Pernyataan dari Salman Harun kemudian
diperkuat oleh Azyumardi Azra dalam telaahnya mengenai tafsir ini. Azyumardi
Azra juga memberikan bukti yaitu dalam kitab tafsir Tarjūman al-Mustafīd bahasa yang digunakan sama persis dengan
tafsir al-Jalālayn,
padat, ringkas dan berbahasa lugas.[14]
A.
Metode
Mengenai metode yang digunakan oleh ‘Abd al-Ra`ūf
al-Sinkīlī dalam tafsirnya ini, dia
menggunakan metode ijmalī, yaitu dengan menjelaskan makna-makna al-Qur`an secara
global. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran surat al-Falaq dan al-Nās. Dalam penafsiran surat
al-Falaq, ‘Abd al-Ra`ūf
as-Sinkīlī sebelumnya menjelaskan letak turunya al-Falaq
di Mekah dan Madinah, menjelaskan jumlah bilangan ayat, keutamaan membaca surat
al-Falaq. Ia juga menampilkan asbāb al-nuzūl. Dalam penafsiran surah al-Falaq terlihat ia
menafsirkan secara ijmalī (global).
Contoh penafsiran
QS al-Nas:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ [١]
مَلِكِ النَّاسِ [٢]
إِلَٰهِ النَّاسِ [٣]
مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ[٤] الَّذِي
يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ [٥]
Katakanlah Aku
berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia.
Sembahan manusia. dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia. dari (golongan) jin dan manusia.
Dalam penafsiran
surat al-Nās ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī sebelumnya mengungkapkan letak turun surat
al-Nās di Mekah dan Madinah, menjelaskan jumlah bilangan ayat dan keutamaan
membacanya. Di samping itu ketika menafsirkan surat al-Nās terlihat bahwa ‘Abd
al-Ra`ūf al-Sinkīlī tidak lebih hanya menerjemahkan saja kedalam Bahasa Malayu.
Dengan dasar
pertimbangan tersebut maka tidak salah lagi bahwa metode yang digunakan oleh ‘Abd
al-Ra`ūf al-Sinkīlī adalah metode ijmalī. Dia menggunakan metode ini
karena ingin menyajikan secara lengkap dengan mengungkapkan secara singkat,
padat dan bahasa yang mudah diahami. Di sisi lain, dia hanya menerjemahkan
ayat-ayat al-Qur`an saja. Hal tersebut dilakuakn dengan tujuan agar tafsir ini
dapat dikonsumsi oleh masyarakat awam. Selain itu, Tarjūman al-Mustafīd berupaya secara cepat untuk memperkokoh
landasan syari’at dikalangan masyarakat awam sebelum mereka diberi pengetahuan
tentang pemahaman yang lebih jauh.[16]
B.
Corak
Corak yang digunakan ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī dalam
kitabnya Tarjūman al-Mustafīd adalah corak al-adabī al-ijtima’ī atau
kemasyarakatan. Di antara contoh yang dapat dikemukakan adalah mengenai
pengharaman memakan bagkai, darah, daging babi dan hewan yang disembeli tanpa
menyebut nama Allah. Di samping itu ia menyatakan bahwa orang yang memakan
barang tersebut dalam keadaan darurat, maka ia masih dalam keadaan Islam dan
tidak ada dosa baginya. ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī menulis pendapatnya tersebut
dalam tafsir sebagai berikut
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya maka ia tidak keluar sari Islam) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula)melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya, sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Hanya yang telah mengharamkan atas kamu memakan bangkai
dan darah dan daging babi dan barang yang disembelih atas yang lain dari pada
nama Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Maka barang siapa membawa ia darurat
kepada memakan sesuatu dari pada segalah tersebut itu, maka dimakannya ia pada
halnya tiada keluar atas segalag Islam dan tiada ia memalui had mereka
itu. Maka tiada dosa atas pemakan. Bahwasannya Allah ta’ala yang amat
mengampuni bagi segala awliyahnnya lagi mengasihani ia akan
segala orang yang berbuat taat.
Uraian diatas merupakan solusi yang ditawarkan ‘Abd
al-Ra`ūf al-Sinkīlī terhadap masyarakat yang ketika itu dalam keadaan terpaksa
memakan barang-barang tersebut, maka tidaklah mereka keluar dari Islam dan
berdosa, asal jangan melampaui batas (had) yang telah ditentukan.
Dalam mengangkat masalah ini dalam tafsirnya, tampak
bahwa Abdul Rauf as-Singkili ingin memberikan sumbangan pemikirannya walaupun
pendapat yang dikemukakannya itu sangat ringkas sekali. Mungkin inilah salah satu
kelebihan dari tafsir ini yang hanya menyajikan penafsiran yang ringkas, padat
dan dengan bahasa yang mudah dipahami. Lebih jauh ia ingin berupaya secara
cepat memperkokohkan landasan syari’ah dikalangan masyarakat awam sebelum
mereka diberi pengetahuan yang lebih jauh.[17]
III. Kesimpulan
Pembahas yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan
bahwa ‘Abd al-Ra`ūf al-Sinkīlī merupakan seorang ulama’ besar indonesia yang
jiwa dan raganya diberikan untuk membantu masyarakat Indonesia. Salah satu
buktinya adalah beliau mengarang kitab tafsir yang menjadi kitab tafsir pertama
di Indonesia yang lengkap 30 juz, kitab tafsir tersebut adalah tafsir Tarjūman al-Mustafīd. Kitab tafsir ini sangat istimewa, bukan hanya
sebagai tafsir pertama yang lengkap 30 juz tetapi juga sebagai tafsir pertama
yang menggunakan bahasa Melayu-Jawi sehingga sangat memudahkan bagi masyarakat
indonesia yang tidak pandai dalam berbahasa arab.
Daftar Pustaka
Yasin, A. Mubarok.
Ensiklopedi Penulis Pesaantren. Jombang: Pustaka Tebuireng. 2009.
Gusmian, Islah. Khazanah
Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi. Yokyakarta: LKIS. 2013.
Zuhdi, M. Nurdin. Pasaraya
Tafsir Indonesia: Dari Kontestasi Metodologi hingga Konstektualisai. Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara. 2014.
Baha’, Ahmad bin Mukhtar dan Muhammad Lukman. “Ikhtilaf
Qiraat Kitab Tarjuman al-Mustafid”. dalam Internasional Jurnal on Quranic
Reseach. vol. 2. no. 2. t.t.: t.p.. 2012.
Safitri, Rois.
“Kitab Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Karya Abdul Rauf Sinkili”. dalam
http://safitrirois.blogspot.co.id/2014/11/a_13.html (diakses pada 23 Februari
2016).
Suarni. “Karakteristik
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid”.
dalam Substantia, vol. 17. no. 2. t.t.: t.p.. 2015.
Yusoff,
Zulkifli Mohd dkk. “Tarjuman al-Mustafid: Satu Analisa Terhadap Karya
Terjemahan”. dalam Jurnal Pengajian Melayu. jilid 16. t.t.: t.p.. 2005.
[1] A. Mubarok Yasin, Ensiklopedi Penulis
Pesaantren, (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2009), 32.
[2] Ibid..
[3] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir
Indonesia:Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yokyakarta: LKIS, 2013), 20.
[4]
Mubarok Yasin, Ensiklopedi
Penulis Pesaantren, 32-33.
[5]
Ibid., 33.
[6]
Ibid..
[7]
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir
Indonesia: ..., 20.
[8]
Mubarok Yasin, Ensiklopedi
Penulis Pesaantren, 34-35.
[9] M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir
Indonesia: Dari Kontestasi Metodologi hingga Konstektualisai, (Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2014), 61.
[10] Ahmad Baha’ bin Mukhtar dan Muhammad
Lukman, “Ikhtilaf Qiraat Kitab Tarjuman al-Mustafid”, dalam Internasional
Jurnal on Quranic Reseach, vol. 2, no. 2, (t.t.: t.p., 2012), 114.
[11]
Suarni, “Karakteristik Tafsir
Tarjuman Al-Mustafid”, dalam Substantia, vol. 17, no. 2, (t.t.: t.p., 2015), 160-161.
[12] Zulkifli Mohd Yusoff, dkk, “Tarjuman
al-Mustafid: Satu Analisa Terhadap Karya Terjemahan”, dalam Jurnal Pengajian
Melayu, jilid 16, (t.t.: t.p., 2005), 157-158.
[14] M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir
Indonesia: ..., 62.
[16] Rois Safitri, “Kitab Tafsir Tarjuman
Al-Mustafid Karya Abdul Rauf Sinkili”, dalam http://safitrirois.blogspot.co.id/2014/11/a_13.html
(diakses pada 23 Februari 2016).
[17] Ibid..
tadlo jios....
BalasHapus