HADITH ḌA’IF DITINJAU DARI SUDUT MATAN Oleh: Khoirudin Azis, M. Abdul Karim dan A. Ahzum
http://kaweruh99.blogspot.com/2016/03/hadith-daif-ditinjau-dari-sudut-matan_7.html
I.
Pendahuluan
Hadith merupakan salah
satu sumber rujukan dalam Islam setelah al Qur’an. Hadith
yang begitu banyak jumlahnya tidak
semuanya dijadikan pokok sandaran dalam Islam. Karena setelah dilihat, tidak
semua hadith itu dapat diterima keṣahihannya atau kehujjahannya.
Untuk mengetahui semua itu perlu adanya usaha atau kritik agar dapat diketahui
kualitas hadiht, mana hadith yang dapat diterima dan mana hadith yang tidak
dapat diterima.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang
kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadith. Banyak sekali bahasan dalam ilmu hadith yang sangat
menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu
hadith.
Sebagian orang bingung
melihat jumlah pembagian hadith yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian
kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadith yang ternyata
dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi
pandangan saja. Misalnya hadith ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya,
hadith ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk lebih jelasnya,
di dalam makalah ini penulis berusaha mengkaji tentang makna hadith ḍa’if
ditinjau dari sudut matan dan bagaimana kehujjahan hadith ḍa’if
tersebut.
II. Pengertian
Hadith Ḍa’if.
الضعيف.
تعر يفه:
أ. لغة: ضد القوي, والضعف حسي ومعنوي, والمرادبه هنا الضعف
المعنوي.
ب. اصطلاحا: هو ما لم يجمع صفة الحسن, بفقد شرط من شروطه.[1]
ما فقد شرطا أواكثر من شروط الصحيح أوالحسن.
Hadith ḍa’if Ialah hadith yang kehilangan satu syarat atau
lebih dari syarat-syarat hadith ṣahih atau hadith hasan.[2]
Hadith ḍa’if adalah hadith yang di dalamnya tidak didapati syarat
hadith ṣahih dan tidak pula didapati syarat hadith hasan”.[3]
III. Pembagian
Hadith Ḍa’if Ditinjau dari Sudut Matan.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai beberapa
hadith ḍa’if ditinjau dari
sudut matan.
1.
Hadith Mauqūf.
Penisbatan
matan kepada sahabat, disebut mauqūf:
ما قصر على الصحابي
قولاأوفعلامتصلاكان أومنقطعا.
“Berita yang hanya dinisbatkan kepada sahabat, baik yang
dinisbatkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung
maupun terputus”.[4]
Contoh hadith mauqūf :
يقول: إذاأمسيت فلاتنتظر الصباح وإذاأصبحت فلاتنتضرالمساء, وخذ
من صحتك لمرضك, ومن حياتك لموتك.
“Konon Ibnu ‘Umar r. a. berkata: “Bila kau berada diwaktu sore,
jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada diwaktu pagi jangan
menunggu datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk
waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu”. (Riwayat Bukhāri)”
.
Hadith
Bukhāri yang bersanad ‘Ali bin ‘Abdillāh, Muhammad bin ‘Abdurrahmān At-Thuwafi,
Sulaiman Al-A’masy, Mujahid dan Ibnu Umar r. a. ini adalah hadith mauqūf.
Sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu ‘Umar sendiri, tidak ada petunjuk
kalau itu sabda Rasūlullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām yang ia ucapkan setelah ia
menceritakan bahwa Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām memegang bahunya dengan
bersabda:
كن فى الدّنيا كأنك غريب او عابرسبيل.
“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing
atau orang yang lewat di jalanan”.[5]
2.
Hadith Maqṭū’.
Penisbatan matan kepada tabi’īn, disebut maqṭū’.
ماجاءعن تابعي من قوله أوفعله موقوفا عليه سواء اتصل سنده أم
لا.
“Perkataan atau perbuatan yang berasal dari seseorang tabi’īn
serta dinisbatkan kepadanya, baik sanadnya bersambung maupun terputus”.[6]
Contoh hadith maqṭū’:
المؤمن إذا عرف ربّه عزّ وجل أحبه,
وإذاأحبه أقبل إليه.
“Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhanya ‘Azza Wajalla,
niscaya ia mencintai-Nya, Allah menerimanya”.
Contoh
hadith ini adalah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’īn besar.[7]
3.
Hadith Muḍṭarib.
Muḍṭarib dari akar kata اِضْطَرَبَ يَضْطَرِبُ
اِضْطِرَابًا فَهُوَ مُضْطَرِبٌ , berati guncang dan bergetar,
seperti guncangan ombak di laut.[8]
Secara istilah hadith muḍṭarib
adalah hadith yang diriwayatkan dari jalur yang berbeda-beda serta sama
dalam tingkat kekuatanya, dimana jalur satu dengan yang lainya tidak
memungkinkan untuk disatukan atau digabungkan dan tidak memungkinkan pula untuk
dipilih salah satu yang terkuat.[9]
Ketidaktetapan (Al-Iḍṭirab)
kadang-kadang terjadi pada sanad hadith dan kadang-kadang terjadi
pada matanntya. Namun terjadinya ketidak tetapan (Al-Iḍṭirab)
pada sanad lebih banyak dari pada terjadi pada matanya. Adapun contoh
muḍṭarib pada matan, seperti hadith yang diriwayatkan At-Tirmidhi
dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy-Sya’bi dari Fatimah bin Qays berkata: Rasūlullah
Ṣalallāhu’alyhiwasallām ditanya tentang zakat menjawab:
إنّ في المال لحقَا سوى الزّكاة.
“Sesungguhnya pada
harta itu ada hak selain zakat”.
Sementara pada riwayat Ibnu Majah melalui
jalan ini Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām bersabda:
ليس فيالمال حقٌّ
سوى الزّكاة
“Tidak ada hak pada
harta selain zakat”.
Al-Iraqi berkata:
“Hadith di atas terjadi Iḍṭirab tidak mungkin ditakwilkan”. Hadith
pertama menyatakan adanya hak bagi harta selain zakat, sedangkan hadith kedua
menyatakan sebaliknya, yakni tidak adanya hak selain zakat atau hanya zakat
saja sebagai hak harta.[10]
4. Hadith Maqlūb.
Maqlūb dari akar kata قَلَبَ يَقْلِبُ
قَلْباً فَهُوَ مَقْلُوْبٌ , berati mengubah,
mengganti, perpindah, dan tau membalik. Hati dalam bahasa Arab adalah Al-
Qalbu, karena sifat hati itu berpindah-pindah, berbolak balik. Dalam hadith
maqlūb akan terjadi terbaliknya redaksi hadith.[11]
Hadith maqlūb
menurut istilah adalah hadith yang terjadi padanya taqdīm atau takhīr,
yakni (mendahulukan yang kemudian atau sebaliknya) pada sanad atau matan
atau menggantinya dengan yang lain.[12]
Hadith maqlūb
terbagi menjadi dua bagian yaitu maqlūb sanad dan maqlūb matan. Contoh
hadith maqlūb matan yaitu seperti hadith Abu Hurairah pada Imam Muslim
tentang tujuh golongan yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat di bawah
naungan ‘Arsh-Nya, di dalamnya disebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ
تَعْلَمَ يَمِينُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan laki-laki yang
bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kanannya tidak mengetahui
apa yang dinafkahkan tangan kirinya”.
Bunyi hadith ini dirubah oleh seorang perawi, padahal yang sebenarnya:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ
فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمُ شمِاَلَهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan laki-laki yang
bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang dinafkahkan tangan kanannya”. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab
Bukhari.[13]
5. Hadith Munqalib.
Munqalib menurut bahasa artinya yang berbalik atau yang berpaling. Sedangkan menurut
istilah adalah hadith yang sebagian dari lafaz matannya terbalik karena
siperawi, sehingga berubahlah maknanya.[14]
Hadith munqalib
hampir sama dengan hadith maqlūb, hanya saja kebanyakan ulama
mengkhususkan munqalib apabila terjadi pembalikan lafaz dalam matan.[15]
6. Hadith Mudraj.
Mudraj berasal dari kata أَدْرَجَ يُدْرِجُ إِدْرَاجًا فَهُوَ
مُدْرَجٌ , yang berarti memasukkan atau
menghimpun dan atau menyisipkan.[16] Sedangkan
secara istilah adalah hadith yang asal sanadnya atau matannya
tercampur dengan sesuatu yang bukan bagiannya.[17] Mudraj
itu ada dua bagian, yaitu mudraj pada sanad dan mudraj pada
matan. Mudraj
pada matan yaitu hadith yang dimasukkan ke dalam matannya sesuatu
yang tidak bagian dari padanya tanpa ada pemisah. Contohnya yaitu hadith
riwayat Al-khāthib dari Abi Qathan dan Syababah dari Syu’bah dari Muhammad bin
Zayad dai Abu Hurairah berkata: Rasūlullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām bersabda:
اَسْبِغُواالْوُضُوْءَ وَيْلٌ لِلاَعْقَابِ مِنَالنَّارِ.
Pada hadith tersebut
kalimat Asbighūl al-Wuḍū’a adalah kalimat Abu Hurairah sendiri.[18]
7. Hadith Muṣahhaf.
Dari segi bahasa, muṣahhaf
berasal dari kata صَحَّفَ يُصَحِّفُ تَصْحِيْفًا فَهُوَ
مُصَحِّفٌ, yang berarti salah baca tulisan
(ṣahifah).[19]
Secara istilah adalah
hadith yang terjadi padanya perbedaan dengan riwayat yang thiqah
(kepercayaan) yang lain, dengan mengubah satu huruf atau beberapa huruf serta
tetap rupa tulisan yang asli.[20]
Contoh muṣahhaf, hadith nabi Muhammad Ṣalallāhu’alyhiwasallām:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ
شَوَّالِ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهَرَ
“Barang siapa yang
berpuasa Ramadhan dan diikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia
sama dengan berpuasa satu tahun.
Hadith ini di-taṣīf-kan
oleh Abu Bakar Ash-Shuli dengan ungkapan:
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ وَ اتَّبَعَهُ شَيْئًا مِنْ شَوَّالِ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
Perkataan sittān
yang artinya enam, oleh Abu Bakar Ash-Shuli di ubah dengan shaiān, yang
berarti sedikit. Dengan demikian rusaklah makna karenanya.[21] Muṣahhaf
dalam hadith tersebut terjadi pada matan.
8. Hadith Muharraf.
Sedangkan menurut
istilah adalah hadith yang harakat dan sukun dari huruf yang ada pada matan
dan sanadnya berubah dari asalnya.[23]
Contoh hadith Muharraf, Jabir berkata:
رُمِىَ أُبَىٌّ يَوْمَ الأَحْزَابِ
عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
“Ubay dipanah pada
peperangan Ahzāb di urat lengannya, maka Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām
mengobatinya dengan besi panas. (HR. Ad-Daruquthni).
Hadith di atas di-tahhrīf (diubah) oleh Ghandar pada kata Ubay menjadi
Abī = ayahku. Maksud Jabir menjelaskan yang terpanah atau mati syahid
pada peperangan Ahzāb adalah Ubay bin Ka’ab bukan bapaknya sendiri,
bapaknya meninggal dunia pada perang Uhud sebelum perang Ahzāb.[24]
Meskipun beberapa sebab
terjadinya muharraf, tetapi yang umum adalah karena mengambil hadith
dari isi kitab hadith tidak bertemu langsung dengan gurunya. Terjadinya Muharraf
itu terkadang ada pada sanad dan terkadang pada matanya.
Contoh di atas merupakan contoh dari muharraf dari segi matan.
9. Hadith Mubham
Mubham (البمهم) menurut bahasa adalah samar, tidak jelas. jadi perowinya atau orang ketiga
yang menjadi objek pembicaraan tidak di jelaskan siapa nama dan dari mana dia.[25]
Adapun pada istilah
adalah hadith yang pada matan atau sanadnya ada seorang yang tidak
disebut namanya. Mubham adakalanya ada dalam sanad dan adakalanya
ada pada matannya.
Adapun contoh hadith mubham dalam sanad yaitu hadith yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah ra. Berkata: “Ada seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām: “Sedekah apa yang paling
utama? Rasul menjawab: Sedekah sedang Anda dalam keadaan sehat, sangat perlu..”.[26]
Hukum mubham dalam sanad, jika terjadi pada seorang sahabat
tidak apa-apa, karena semua sahabat adil dan jika terjadi pada selain sahabat
jumhur ulama menolaknya sehingga diketahui identitasnya seperti majhul ‘ain,
sedang mubham dalam matan tidak mengapa dan tidak mengganggu keṣahihan
hadith.
10. Hadith Shadh.
Dari segi bahasa, shadh
berasal dari kata شذّ يشذّ شذا فهو شاذّ
, diartikan ganjil, tidak sama dengan yang mayoritas.[27]
Hadits shadh
adalah hadith yang diriwatkan oleh orang yang maqbūl, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya
lebih utama[28].
Hadits shadh ini dapat terjadai pada sanad dan juga dapat terjadi
pada matan.
Contoh hadis shadh
pada matan, hadith yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul
Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfū’,
Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām bersabda:
إِذَا صَلَّى
أحَدُكُمْ رَكْعَتَي الفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِينِهِ.
“Jika telah shalat dua rakaat fajar salah seorang di
antara kamu, hendaklah tidur pada lambung kanan”.
Al-Baihaqi berkata: periwayatan
Abdul Wahid bin Zayyad adalah Shadh karena menyalahi mayoritas
perawiyang meriwayatkan dari segi perbuatan nabi bukan sabda beliau. Abdul Wahid menyendiri di antara para perawi thiqāh.
Sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh Al- Bukhari dari Aisyah:
كان نبي صلى
الله عليه وسلّمإذا صلى ركعتي اضطجع على شقّه الأيمن
“Nabi muhammad
Ṣalallāhu’alyhiwasallām ketika telah melaksanakan shalat dua rakaat fajar
tiduran pada lambung sebelah kanan”.[29]
IV. Berhujjah
dengan Hadith Ḍa’īf.
Para ulama’ terjadi perbedaan pendapat tentang
kehujjahan hadith ḍa’īf. Setidaknya terdapat tiga pendapat
berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadith ini:
1.
Menurut Yahya
Ibn Ma’īn Abu Bakar Ibn ‘Arabi, al-Bukhāri, Muslim, dan Ibn Hazm, hadith ḍa’īf
tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam maasalah faḍāil al’mal
maupun hukum.
2.
Menurut Abu
Dawūd dan Ahmad Ibn Hambal bahwa hadith ḍa’īf dapat diamalkan secara
mutlak. Menurut mereka hadith ḍa’īf kedudukanya lebih kuat jika di
bandingkan dengan pendapat manusia.
3.
Menurut Ibn
Hajar al-‘Asqālani, hadith ḍa’īf dapat dijadikan hujjah dalam masalah
faḍāil al a’mal, mawā’izh, al-tarhib wa al-targhīb, dan
sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu.[30]
Syarat-syarat
itu adalah:
a.
Keḍa’ifannya
tidak parah, seperti hadith yang diriwayatkan oleh para pendusta atau tertuduh
dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan.
b.
terdapat dalil
lain yang kuat yang dapat diamalkan.
c.
ketika mengamalkan
tidak beriktikad bahwa hadith itu thubūt, tetapi sebaiknya dalam rangka
berhati-hati.
Menurut penulis pendapat yang paling kuat
adalah yang pertama, sebab masalah keutamaan-keutamaan (faḍāil al-a’mal)
dan kemuliaan akhlak (makarim al-akhlaq), termasuk pula mawā’ih,
al-tarhib wa al-targhīb merupakan tiang-tiang agama yang tidak ada berbeda
dengan hukum yang harus berdasar hadith Ṣahih atau hasan, karena
semuanya itu harus bersumber dari hadith yang maqbūl. Pendapat ini sependapat dengan
pendapatnya seorang ulama’ ahli hadith yang bernama Muhammad ‘Ajjaj al-Khātib.[31]
V. Kesimpulan
Dari hasil penyusunan makalah ini dapat diambil
beberapa keseimpulan, diantaranya:
1. Hadith ialah sesuatu yang di sandarkan kepada
nabi Muhammad Ṣalallāhu’alyhiwasallām, baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan,
atau yang lain misalnya berkenaan dengan sifat fisik, budi pekerti dan
sebagainya.
2. Hadith ḍa’if adalah hadith yang tidak terkumpul padanya sifat hadith Ṣahih dan hasan.
3. Hadith ḍa’if ditinjau dari sudut matan
ada banyak jenisnya diantaranya yaitu
hadith mauqūf, hadith
maqṭū’, hadith mudhtharib,
hadith maqlub, hadith munqalib, hadith mudraj, hadith mushahhaf,
hadith muharraf, hadith mubham, hadith shadh. Dan
lain-lain.
VI. Saran
Pada penyusunan makalah ini kamin sangat
menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya
baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik lagi.
Daftar Pustaka
Khaeruman, Badri, Ulumul al-Hadis, Bandung,
Pustaka Setia, 2014.
Indri, Studi Hadis, Jakarta,
Prenada Media Group, 2010.
Zuhri, Muhammad, Telaah Hadis Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara
Wacana Yogya, 2011.
Aththahan, Mahmud, Taisir Musṭālah al-Hadith, ttp. , Darul
Fikr, tth.
Qaththan (al), Syaikh Manna’, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj.
Mifdhol Abdurrahman, Jakarta Timur, Pustaka
Al-Kautsar, 2014.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung, PT
Alma’arif, 2012.
Majid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2013.
Hasan, Ahmad
Qadir, Ulumul Hadis, Bangil, Al-Muslimun,1966.
Anwar,
Muhammad, Ilmu Musthalahul Hadits, Surabaya, Al-Ikhlas, 1
[2]
Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul
Hadists (Bandung: PT Alma’arif, 2012), 166.
[3] Syaīkh Manna’ Al-Qaththan, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, terj. Mifdhol
Abdurrahmān, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2014), 129.
[4]
Ibid., 131.
[5]
Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadists (Bandung: PT Alma’arif, 2012), 166.
[6]
Dr. Badri Khaeruman, Ulumul
Al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), 131.
[7]
Ibid., 131.
[9]
Syaikh Manna’
Al-Qaththan, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 161.
[10] Ibid., 162.
[11] Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 217.
[12]
Ibid., 156.
[13]
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 158.
[16] Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 215.
[17]
Ibid., 153.
[18]
Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 217.
[19]
ibid,.hlm. 220.
[20]
ibid., hlm. 221.
[21]
Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadists (Bandung: PT Alma’arif, 2012), 194.
[22]
Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,
(Jakarta: Amzah, 2013), 220.
[24]
Ibid., 222.
[25]
Ibid,. 210.
[26]
Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 210.
[27]
Ibid., 222.
[28]
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 166.
[29]
Ibid., 224.
[30]
Dr. Indri, Studi Hadis, (Jakarta,
Prendana Media Grup, 2010), hlm. 245.
[31]
Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadists (Bandung: PT Alma’arif, 2012), 246.