Gus Bahak, Ulama Yang Enggan Dikenal
http://kaweruh99.blogspot.com/2016/02/gus-bahak-ulama-yang-enggan-dikenal.html
Sewaktu
menyantri di daerah Sarang, saya jadi tidak asing lagi mendengar nama Gus Bahak,
orang alim yang sering dibicarakan teman-teman saya itu baru hanya bisa saya
kenal lebih dekat lewat ceramah-ceramah beliau yang banyak di dokumentasikan
lewat bentuk audio MP3, gaya bicaranya yang khas, ceplas ceplos tapi ilmiah,
maksud saya sangat ilmiah. Membuat saya dan mungkin seluruh pendengar merasa
ingin terus mendengarkan dengan seksama. Bahasa hiperbolanya “ bagaimana bisa
ada orang se-alim itu “. Atau seperti pujian Prof. Dr. Quraisy Syihab “sulit
ditemukan orang yang sangat memahami dan hafal detail-detail Al-Quran hingga
detail-detail Fiqh yang tersirat dalam ayat-ayat al Qur'an seperti pak
Baha'...".
Ulama
karismatik yang enggan disorot media ini berasal dari Narukan, sebuah desa yang
berada di kecamatan Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Meskipun enggan
dipublikasikan, ke-Aliman beliau tetap
membuat beliau banyak dikenal Masyarakat, bahkan di kalangan intelektual.
Semenjak
kecil beliau mendapat didikan langsung dari ayahnya, KH. Nur Salim. terutama
dalam membaca Al-Quran, KH. Nur Salim ini ternyata adalah murid KH. Arwani
Kudus. Tak heran jika ayah beliau sangat ketat dalam tajwid Al-Quran, Memang,
karakteristik bacaan dari murid-murid mbah Arwani mengetrapkan ketetatan dalam
tajwid dan makhorijul huruf. Gus Bahak ini sudah menghatamkan Al-Quran bahkan
sejak umur beliau masih sangat belia. Disertai dengan bacaan tajwid yang ketat
Dalam masa
selanjutnya, KH. Nur Salim menitipkan beliau ke pondok pesantren Al-Anwar
Sarang, Rembang yang diasuh oleh KH. Maimoen Zubair. Siapa sangka minat belajar
beliau di pesantren ini sangat besar, dan dengan antusiasme yang tinggi ini
beliau menguasai banyak fan ilmu. Sampai-sampai ketika akan ikut kegiatan
musyawarah di pesantren tersebut, beliau serta merta ditolak oleh
teman-temannya, karena dianggap sudah tidak berada di level mereka, bahkan
jauh.
Shohih
Bukhori pun beliau khatamkan di sini, lengkap dengan sanad dan matannya. Sebuah
prestasi yang sulit ditandingi oleh santri lain. Selain hafalan-hafalan wajib
beliau juga menghatamkan Fathul Muin, hal ini menjadikan beliau seorang santri
dengan hafalan terbanyak di era beliau.
Prestasi ini
membuat beliau menjadi seorang santri yang sangat disayangi oleh KH. Maimoen
Zubair, dalam berbagai keperluan Gus Bahak juga sering diberi kesempatan oleh
Mbah Mun untuk menemani beliau, baik dalam masalah ringan seperti
berbincang-bincang santai sampai urusan mencari dalil hukum, Gus Bahak memang
ahlinya dalam masalah ini, bahkan sangat cepat dalam mencari ta’bir suatu
permasalahan.. Mbah Mun pun kerap mamuji Gus Bahak “ Iyo Ha’, koe pancen ‘alim “.
Selain itu
Mbah Mun juga kerap menjadikan Gus Bahak sebagai contoh santri teladan, Gus
Bahak merupakan santri ideal yang kerap dipuji Pengasuh pondok pesantren
Al-Anwar ini “ Santri Tenan iku yo koyo Bahak iku “ terang Mbah Mun kepada
santri-santri lain di sela-sela Mauidzohnya.
Pada suatu
kesempatan KH. Nur Salim, ayah Gus Bahak sempat menawari beliau untuk
melanjutkan studi ke Yaman, namun beliau lebih memilih menetap di Sarang, dan
berkhidmat di Madrasah Ghozaliyah Syafiiyah. Dan juga mengajar di pesantren
beliau sendiri LP3IA.
Gus Bahak
memang hanya mengenyam pendidikan di dua pesantren berbeda, yakni pesantren
ayahnya sendiri di desa Narukan dan di Pondoknya KH. Maimoen Zubair, Al-Anwar
Sarang. Meski begitu, kedalaman ilmu beliau sungguh sangat luas.
Setelah
bertahun-tahun menyantri akhirnya beliau dipilihkan seorang calon istri oleh
paman beliau, ia adalah putri dari salah seorang pengasuh pesantren di
Sidogiri, atau dalam budaya pesantren biasa di panggil Neng.
Kesederhanaan
hidup yang diajarkan ayah beliau sudah sangat melekat dalam keseharian beliau,
sehingga seusai lamaran pun beliau langsung mengutarakan kepada mertuanya bahwa
kehidupan glamour bukanlah model kehidupan beliau, melainkan kesederhanaan
hidup. Dan kembali beliau mayakinkan mertuanya, untuk berfikir ulang tentang
menjadikan Gus Bahak sebagai menantu, agar tidak ada penyesalan di kemudian
hari. Hal ini juga terbukti kemudian hari kala beliau hendak melangsungkan akad
nikah di kediaman mertua beliau. Beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan
menaikibis regular kelas ekonomi, dari Pandangan, Sarang sampai ke tempat akad
nikah, yakni Pasuruan. Namun entah disangka mertuanya justru menimpali “ Klop
“, yang menandakan bahwa apa yang ia fikirkan searah dengan apa yang diutarakan
calon mantunya itu.
Gaya hidup
sederhana ini memang telah diajarkan oleh ayah beliau, KH Nur Salim. Memang
sudah menjadi tradisi dalam silsilah keluarga beliau unutk hidup dalam
kesederhanaan, bahkan ayah beliau sempat berwasiat agar beliau jangan sampai
berkeinginan untuk menjadi manusia mulya dari pandangan makhluk, hal ini bukan
lantaran kelauarga beliau adalah keluarga yang kurang mampu atau tidak
berkecukupan, bahkan kakek beliau merupakan juragan tanah, bisa dibayangkan
pada zaman itu, bagaimana juragan tanah menjadi orang terhormat dan kaya
daripada kalangan lain. Menurut beliau, kesederhanaan ini juga merupakan
karakter keluarga Quran yang telah dipegang erat sejak zaman leluhurnya.
Semenjak
tahun 2003 beliau mulai menetap di daerah Jogja, dan disana beliau menyewa
rumah untuk ditempati keluarga kecil beliau, memulai hidup baru dengan lebih
mandiri, dan tetap sederhana.
Namun
kepindahan beliau ke Jogja membuat para santri-santri beliau seakan kehilangan
induknya, sehingga sebagian dari mereka memilih untuk menyusul beliau ke Jogja
dan kemudian menyewa rumah yang letaknya tidak jauh dari kediaman beliau. Hal
ini mereka lakukan lantaran masih sangat ingin menimba ilmu dan ngaji kepada
Gus Bahak.
Kealiman
beliau membuat beliau dikenal masyarakat sekitar dan lama-kelamaan banyak pula
masyarakat yang juga ikut ngaji. Sampai pada tahun 2005, sebuah ujian datang.
Ayah beliau KH Nur Salim jatuh sakit, semenjak saat itu beliau pulang, diikuti
pula oleh ke empat saudaranya, beberapa
bulan kemudian ayah beliau meninggal dunia.
Karena
diberi amanah untuk meneruskan estafet kepengasuhan di LP3IA, maka Gus Bahak
tidak bisa kembali menetap di Jogja agar dapat memenuhi amanah yang diembankan
oleh ayahnya ini. Hingga akhrinya beliau hanya sempat mengajar kembali di sana
namun hanya satu bulan sekali.
Selain aktif
mengajar, Gus Bahak Juga mengabdikan diri di Lembaga Tafsir Al-Quran
Universitas Islam Indinesia ( UII ) Yogyakarta. Dalam tim pengkaji Al-Quran ini
beliau menjadi ketua Tim Lajnah Mushaf UII bersama para tim lain yang
kebanyakan adalah kalangan akademis, baik para Doktor, Profesor dan para
akademisi lain seperti Prof.Dr.Quraisy Syihab, Prof.Zaini Dahlan, Prof.Shohib,
dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yg lain.
Pernah pada
suatu ketika beliau hendak diberi gelar Doktor Honoris Causa dari Uii, namun
beliau tidak berkenan. Dan hal ini tetap menjadikan beliau satu-satunya anggota
dewan tafsir yang berlatar belakang pesantren murni, tanpa pendidikan formal
dan tanpa gelar akademis.
Hingga
sekarang beliau juga aktif mengajar di berbagai lembaga pendidikan, salah
satunya sekolah tinggi Al-Anwar, sebuah kampus yang didirikan oleh KH. Maimoen
Zubair untuk emnampung santri akademis, dan menampung mahasiswa yang mampu
membaca kitab.
Jadi inilaha
Gus Bahak, sosok ulama dengan kesederhanaan. Ahli fiqh, ahli tafsir, ahli
hadits dan ahli dalam fan-fan lain.