Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca Oleh : Islachuddin
http://kaweruh99.blogspot.com/2016/02/bahasa-dan-aksara-tafsir-al-quran-di.html
Islam yang
berkembang di Indonesia telah mengalami dua proses penyebaran. Pertama, proses
adopsi (to adopt) elemen-elemen kultural lain, dalam hal ini kultur
Nusantara. Kedua, proses adaptasi (to adapt) kultur luar dengan
nilai-nilai kultur internal.
Islam di
Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri dalam proses pergumulannya dengan
budaya Indonesia, karena telah mengalami dua proses kultur di atas. Kedua
proses tersebut telah berpengaruh diberbagai bidang, terutama di bidang social
dan budaya. Anthony H. Johns telah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 M di
berbagai wilayah Nusantara telah terjadi proses pembahasalokalan (vernakularisasi)
keilmuan Islam.
Analisis Johns
ini menunjukkan bahwa islamisasi akan selalu memunculkan situasi dimana dua
variasi bahasa dan budaya akan dipergunakan secara bersamaan dalam sebuah
komunitas. Namun, proses arabisasi yang seringkali lebih tampak menonjol.
Keyakinan bahwa bahasa Arab lebih unggul daripada bahasa-bahasa yang lain,
karena bahasa Arab dipakai oleh Kitab Suci Al-Qur’an.
Tradisi
penulisan karya-karya keilmuan Islam di Nusantara, seperti dalam bidang sastra,
fikih, kalam, hadis, tafsir dan tasawuf bergerak bersamaan dengan
diperkenalkannya Islam kepada penduduk di Nusantara. Hamzah Fansuri, Nuruddin
ar-Raniri (w. 1658), ‘Abd ar-Rauf as-Singkili (1615-1693), Muhammad Yusuf
al-Maqassari (1627-1699) adalah di antara tokoh-tokoh penting yang berperan
dalam tradisi penulisan karya-karya keislaman di Nusantara dalam bidang-bidang
keilmuan yang cukup beragam.
Karya-karya
tafsir di Nusantara pada periode abad ke-17 M ini ditulis dalam bahasa Melayu
berhuruf Arab (Jawi), keterangan ini berdasarkan lacakan Anthony H.
Johns bahwa pada akhir abad ke-16 M telah terjadi pembahasalokalan Islam di
berbagai wilayah di Nusantara, seperti tampak pada penggunaan aksara (script)
Arab yang kemudian dikenal dengan aksara jawi dan pegon.
Sejak abad
ke-18 M tradisi penilisan tafsir di Jawa mengalami perkembangan yang khas,
yaitu pemakaian aksara Arab tidak dominan seperti di Aceh dan Sumatera. Namun,
aksara Arab masih dipakai dan dipadukan dengan bahasa dan aksara Jawa, sebatas
sebagai penulisan teks ayat-ayat Al-Qur’an. Pada abad ke-18 M sampai 19 M
proses romanisasi tidak menyentuh tradisi penulisan tafsir di Jawa.
Naskah Islam
Jawa umumnya ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa. Jarang terlihat penggunaan
aksara Roman, begitupun bahasa Arab tidak dipakai dalam penulisan naskah
keagamaan selain penulisan teks Al-Qur’an. Sering terjadi berbagai kesalahan
pengejaan istilah Arab, karena perbedaan dialek dan kuatnya struktur bahasa dan
sastra Jawa jika dikaitkan dengan konversi Islam dan Arabisasi di Jawa.
Asumsi tradisi
penaskahan Islam di Jawa, termasuk naskah tafsir Al-Qur’an, hingga akhir abad
ke-18 M bergerak cukup dominan di pusat kekuasaan,yaitu keraton, baik di Solo maupun di Yogyakarta dan
Cirebon, yang ditulis oleh para penghulu, tokoh agama yang ada di lingkungan keraton.
Dalam konteks
romanisasi dan kesadaran nasionalisme dalam konteks komunikasi bahwa bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu, bahasa lokal daerah dan Arab-Pegon tidaklah
lenyap begitu saja dalam tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an. Sebagian mufasir di
Indonesia masih menggunakannya dalam penulisan tafsir, meskipun tidak dominan.
Literature-literatur
tafsir Al-Qur’an yang muncul dari tangan para Muslim Indonesia tersebut, dengan
keragaman bahasa dan aksara yang digunakan, mencerminkan adanya elitism “hierarki”,
baik “hierarki tafsir” itu sendiri ditengah karya-karya tafsir lain, maupun
“hierarki pembaca” yang menjadi sasarannya.
Yang dimaksud dengan elitism hierarki tafsir
dan pembaca adalah bahwa dengan bahasa dan aksara tertentu sebuah karya tafsir menjadi
elitis dikalangan suatu masyarakat Muslim tertentu dan segmen pembacanya pun
menjadi tertentu. Serta dalam konteks bahasa dan aksara yang dipakai, karya
tafsir akan mengalami proses elitism dan hierarki di tengah kemampuan para
pembacanya.
Keragaman
bahasa dan aksara yang dipakai oleh para penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia
di atas, bukan hanya menciptakan adanya hierarki dan tujuan demi pembumian
nilai-nilai dalam kitab suci Al-Qur’an. Tetapi juga mencerminkan adanya
keterpengaruhan ruang sosiokultural tempat karya tafsir tersebut ditulis.
suwun kang
BalasHapus