1735262163458753
Loading...

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca Oleh : Islachuddin



Islam yang berkembang di Indonesia telah mengalami dua proses penyebaran. Pertama, proses adopsi (to adopt) elemen-elemen kultural lain, dalam hal ini kultur Nusantara. Kedua, proses adaptasi (to adapt) kultur luar dengan nilai-nilai kultur internal. 

Islam di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri dalam proses pergumulannya dengan budaya Indonesia, karena telah mengalami dua proses kultur di atas. Kedua proses tersebut telah berpengaruh diberbagai bidang, terutama di bidang social dan budaya. Anthony H. Johns telah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 M di berbagai wilayah Nusantara telah terjadi proses pembahasalokalan (vernakularisasi) keilmuan Islam. 

Analisis Johns ini menunjukkan bahwa islamisasi akan selalu memunculkan situasi dimana dua variasi bahasa dan budaya akan dipergunakan secara bersamaan dalam sebuah komunitas. Namun, proses arabisasi yang seringkali lebih tampak menonjol. Keyakinan bahwa bahasa Arab lebih unggul daripada bahasa-bahasa yang lain, karena bahasa Arab dipakai oleh Kitab Suci Al-Qur’an. 

Tradisi penulisan karya-karya keilmuan Islam di Nusantara, seperti dalam bidang sastra, fikih, kalam, hadis, tafsir dan tasawuf bergerak bersamaan dengan diperkenalkannya Islam kepada penduduk di Nusantara. Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), ‘Abd ar-Rauf as-Singkili (1615-1693), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1627-1699) adalah di antara tokoh-tokoh penting yang berperan dalam tradisi penulisan karya-karya keislaman di Nusantara dalam bidang-bidang keilmuan yang cukup beragam.

Karya-karya tafsir di Nusantara pada periode abad ke-17 M ini ditulis dalam bahasa Melayu berhuruf Arab (Jawi), keterangan ini berdasarkan lacakan Anthony H. Johns bahwa pada akhir abad ke-16 M telah terjadi pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah di Nusantara, seperti tampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian dikenal dengan aksara jawi dan pegon.

Sejak abad ke-18 M tradisi penilisan tafsir di Jawa mengalami perkembangan yang khas, yaitu pemakaian aksara Arab tidak dominan seperti di Aceh dan Sumatera. Namun, aksara Arab masih dipakai dan dipadukan dengan bahasa dan aksara Jawa, sebatas sebagai penulisan teks ayat-ayat Al-Qur’an. Pada abad ke-18 M sampai 19 M proses romanisasi tidak menyentuh tradisi penulisan tafsir di Jawa.

Naskah Islam Jawa umumnya ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa. Jarang terlihat penggunaan aksara Roman, begitupun bahasa Arab tidak dipakai dalam penulisan naskah keagamaan selain penulisan teks Al-Qur’an. Sering terjadi berbagai kesalahan pengejaan istilah Arab, karena perbedaan dialek dan kuatnya struktur bahasa dan sastra Jawa jika dikaitkan dengan konversi Islam dan Arabisasi di Jawa.

Asumsi tradisi penaskahan Islam di Jawa, termasuk naskah tafsir Al-Qur’an, hingga akhir abad ke-18 M bergerak cukup dominan di pusat kekuasaan,yaitu keraton, baik di Solo maupun di Yogyakarta dan Cirebon, yang ditulis oleh para penghulu, tokoh agama yang ada di lingkungan keraton.

Dalam konteks romanisasi dan kesadaran nasionalisme dalam konteks komunikasi bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, bahasa lokal daerah dan Arab-Pegon tidaklah lenyap begitu saja dalam tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an. Sebagian mufasir di Indonesia masih menggunakannya dalam penulisan tafsir, meskipun tidak dominan.

Literature-literatur tafsir Al-Qur’an yang muncul dari tangan para Muslim Indonesia tersebut, dengan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan, mencerminkan adanya elitism “hierarki”, baik “hierarki tafsir” itu sendiri ditengah karya-karya tafsir lain, maupun “hierarki pembaca” yang menjadi sasarannya.

 Yang dimaksud dengan elitism hierarki tafsir dan pembaca adalah bahwa dengan bahasa dan aksara tertentu sebuah karya tafsir menjadi elitis dikalangan suatu masyarakat Muslim tertentu dan segmen pembacanya pun menjadi tertentu. Serta dalam konteks bahasa dan aksara yang dipakai, karya tafsir akan mengalami proses elitism dan hierarki di tengah kemampuan para pembacanya. 

Keragaman bahasa dan aksara yang dipakai oleh para penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia di atas, bukan hanya menciptakan adanya hierarki dan tujuan demi pembumian nilai-nilai dalam kitab suci Al-Qur’an. Tetapi juga mencerminkan adanya keterpengaruhan ruang sosiokultural tempat karya tafsir tersebut ditulis.
Lain-Lain 8302163092142455101

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments