KITAB AL-JĀMI’ LI AHKĀM AL-QUR’AN KARYA IMAM AL-QURṬUBI
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/11/kitab-al-jami-li-ahkam-al-quran-karya.html
MENGENAL
KITAB AL-JĀMI’ LI AHKĀM AL-QUR’AN
KARYA
IMAM AL-QURṬUBI
Oleh : Joko Supriyanto
I.
Pendahuluan
Umat Islam bisa berkembang, atau bahkan manusia secara
umum pun, adanya perkembangan mereka tidaklah mungkin dengan hanya berpegang
kepada pengalaman semata tanpa adanya petunjuk-petunjuk dari ajaran Al Qur’an
yang meliputi segala unsur yang menuntun munusia pada jalan menuju
kebahagiaan. Dan
untuk bisa memahami ajaran-ajaran al-Qur’an, tidaklah cukup dengan kita
membaca teksnya tanpa mengetahui penafsirannya. Karena dengan mengetahui
penafsiran, kita akan lebih mengetahui maksud yang terkandung dalam al-Qur’an
tersebut. Oleh kerena itu, dapat kita sebut bahwa mengetahui tafsir adalah anak
kunci perbendaharaan isi Al Qur’an yang diturunkan untuk menjelaskan tuntunan
dan memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan
menyejahterakan alam ini.
Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban dan budaya manusia. Hal ini dikarenakan adanya
permasalahan-permasalahan yang terus berkembang, yang pada masa Nabi belum
pernah ada. Jadi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa keluar dari
aturan al-Qur’an, para ulama’ akhirnya membuat penafsiran al-Qur’an yang
nantinya bisa dijadikan hujjah untuk menyelesaikan problem masyarakat. Salah satu ulama’ yang terkenal dengan kemahirannya
dalam menafsirnya al-Qur’an serta dengan karya-karyanya yang monumental adalah Abu
‘Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibn Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi
al- Qurṭubi al-Maliki atau yang biasa dikenal dengan julukan Imam al-Qurṭubi.
Imam al-Qurṭubi juga mempunyai karangan kitab dalam bidang ilmu tafsir yang
diberi judul “al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an” atau yang biasa dikenal juga
dengan tafsir Qurṭubi.
Untuk menambah wawasan pembaca dalam mengenal kitab
tafsir, dalam makalah ini akan dibahas mengenai kitab al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, mulai dari biografi
penulisnya, latar belakang penulisannya, sumber penafsirannya, sistematika
penulisannya dan metode yang dipakai dalam penafsirannya. Selain itu juga akan
ditambahkan mengenai corak penafsiran serta karakteristik penafsirannya. Dan
tidak ketinggalan pula dalam makalah ini akan dicantumnya kelebihan serta
kekurangan yang ada dalam tafsir ini.
II.
Pengenalan
Tentang Kitab Tafsir al-Jāmi’ li
Ahkām al-Qur’an
A.
Biografi Penulis
Penulis tafsir al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an atau yang biasa dikenal
dengan tafsir al-Qurṭubi bernama Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr
Ibn Farh al-Anshari al-Khazraji al-Qurṭubi al-Andalusi al-Maliki.[1]
Beliau dilahirkan di Cordova, Andaluisa (Spanyol sekarang). Di sanalah beliau
mempelajari Bahasa Arab, Syair, Al-Qur’an al-Karim, Fiqh, Nahwu, Qira’at,
Balaghah, Ulumul Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya. Dan ia juga
adalah salah satu pengikut madzhab fikih yaitu Imam Maliki. Metode
penafsirannya akan banyak mempengaruhi para mufassir setelahnya dengan
mengikuti gaya penafsirannya, seperti halnya Ibn Katsir yang menjadikan
kitabnya yang terkenal yaitu al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an
atau kitab al-Qurṭubi sebagai rujukan.
Namun sayangnya para ulama tidak ada yang tahu dengan
pasti mengenai kapan ia dilahirkan, oleh siapa ia dibesarkan dan apakah ia
seorang anak yatim atau tidak. Namun yang ditulis dalam sejarah, bahwa ia dilahirkan
dan dibesarkan oleh ayahnya yang bermata pencaharian bercocok tanam yang hidup
pada zaman dinasti Muwahidun yang kala itu dipimpin oleh Muhammad bin Yusuf bin
Hud (625-635 H). Dalam kehidupannya sehari-hari beliau mempunyai sifat yang
unik yang memang tidak semua orang memiliknya sehingga beliau banyak dikenal
akan sikap ketawaḍuanya, kealimannya, kezuhudannya, berkarisma dan komited
dalam melakukan amal akhirat untuk dirinya.[2]
Terlepas dari itu, al-Qurṭubi kecil mempelajari berbagai
disiplin ilmu ditempat ia dilahirkan kepada para gurunya. Di antaranya Ibn
Rawwa (seorang Imam hadis), Ibn al-Jumaizi, al-Hassan al-Bakari. Diantara
ilmu-ilmu yang ia pelajari ialah tentang keagamaan seperti bahasa Arab, Hadis, Syair, dan al-Qur’an. Disamping itu pula ia banyak
belajar dan mendalami ilmu yang menjadi pendukung ilmu Qur’an yakni dengan
belajar nahwu, qira’at, fikih dan juga
ia mempelajari ilmu balagh.
Setelah ia tumbuh dewasa dan merasa kurang dalam
mendalami ilmunya itu, kemudian dia pergi ke mesir (yang pada waktu itu
kekuasaan dipegang oleh Dinasti Ayyubiah) dan Ia menetap disana sampai wafatnya
pada malam senin 9 syawal 671 H/1273 M dan makamnya sendiri berada di Elmania,
di timur sungai Nil. Berkat pengabdiannya terhadap ilmu agama dan keinginannya
dalam memajukan peradaban Islam, para penduduk disana sangat menghormati jasa
beliau sehingga makamnya pun sering diziarahi oleh banyak orang.[3]
Aktifitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius
di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu. Beberapa karya penting
yang dihasilkan oleh al-Qurṭubi adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran, al-Asna fi
Syarh Asma Allah al-husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh
al-Taqassi,Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa
al-Qana’ah dan Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.[4]
Diantara
guru-guru Imam Al-Qurthubi adalah :
- Ibnu
Rawwaj, Imam Al-Muhaddits Abu Muhammad Abdul Wahab bin Rawwaj. Nama
aslinya Zhafir bin Ali bin Futuh Al Azdi Al Iskandarani Al-Maliki,
wafatnya tahun 648 H.
- Ibnu Al-Jumaizi, Al-Allamah Baha’uddin
Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al Mashri Asy-Syafi’I, wafat
pada tahun 649 H. Ahli dalam bidang Hadits, Fiqih dan Ilmu Qira’at.
- Abu
Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al-Maliki Al-Qurthubi, wafat pada
tahun 656 H. Penulis kitab Al-Mufhim fisyarh Shahih Muslim.
- Al-Hasan
Al-Bakari, Al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Amaruk At-Taimi
An-Nisaburi Ad-Dimsyaqi atau Abu Ali Shadruddin Al-Bakari, wafat pada
tahun 656 H.
Imam
al-Qurṭubi wafat di perkampungan Munayyah bani Khaṣīb yang termasuk bagian
bagian paling bawah dari Kota Mesir pada malam Senin tanggal 9 Syawwal 671 H.
Beliau juga di makamkan di daerah tersebut.[5]
B.
Kitab Tafsir al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an
- Pengenalan
Umum Kitab Tafsir Qurtubi
Kitab
tafsir ini sering disebut dengan tafsir al-Qurtubi yang merupakan nisbah
dari pengarangnya. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkām
al-Quran wa al Mubayyin limā Taḍammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan yang
berarti kitab ini berisi himpunan hukum-hukum al-Quran dan penjelasan terhadap
isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Quran.
Selain
itu, di dalamnya dimasukkan
pula qira’at
dan i’rab
yang periwayatannya sampai pada Rasulullah Ṣallallah
Alayhi wa Sallam, pembahasan lughat, nahwu, dan sharaf. Dalam
kitab ini tidak memasukkan pendapat ahli bid’ah dan orang yang berpendapat
dengan nafsunya. Jadi bisa dipahami bahwa di dalam kitab ini tidak terdapat
periwayatan dari israiliyat yang biasanya terdapat juga dalam kitab tafsir
seperti halnya kitabnya at-Ṭabari.[6]
- Latar Belakang
Penulisan Tafsir al-Qurṭubi
Berangkat dari pencarian ilmu dari para Ulama’ (seperti
Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad
al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan berhasrat besar untuk
menyusun kitab Tafsir yang juga bernuansa fiqh dengan menampilkan pendapat
imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah
yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit
sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun kitabnya,
dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan tafsir beliau
juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqh, hadis-hadis
Rasulullah saw maupun pandangan para Ulama’
mengenai masalah itu.
- Sumber
Tafsir
Banyak sekali sumber yang digunakan al-Qurṭubi dalam
menulis tafsirnya. Sumber-sumber ini telah dipaparkan pada muqaddimah pada
kitab aslinya. Adapun sebagian sumber rujukan dalam penulisannya tafsirnya adalah:[7]
-
Referensi primer yaitu menafsirkan al-Quran dengan
al-Quran, sunnah Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam, perkataan
sahabat dan tabi’in, kaidah-kaidah kebahasaan dan ijtihad yang di dasarkan pada
dalil.
-
Referensi sekundernya, di antaranya yaitu: tafsir at-Ṭabari,
tafsir Ibnu Aṭiya, tafsir al-Mawardi, tafsir Abi al-Laits al-Samarqandi, tafsir
al-Baghawi, Ahkām al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi dan Ma’aniy al-Qur’an,
wa I’rāb al-Qur’an, wa al-Nāsikh wa al-Mansūkh karya Abi Ja’far al-Nahash.
- Sistematika Penulisan
-
Menjelaskan sebab turunnya ayat.
-
Menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa
serta menjelaskan tata bahasanya.
-
Mengungkapkan periwayatan hadis, mengungkapkan lafadz-lafadz
yang gharib di dalam Al Qur’an, memilah-milih perkataan fuqaha, dan
mengumpulkan pendapat ulama salaf dan pengikutnya.
Argumentasi-argumentasinya banyak dikuatkan dengan sya’ir
arab, mengadopsi pendapat-pendapat ahli tafsir pendahulunya, seperti Ibnu
Jarir, Ibnu Aṭiya, Ibnu al Arabi, Ilya al-Harasi, dan al-Jasshash.
Ia menyebutkan pendapat-pendapat ulama mazhab dan
mengomentarinya, ia juga tidak ta’assub dengan mazhab Malikiahnya. Sebaliknya
al-Qurthubi terbuka dalam tesisnya, jujur dalam argumentasinya, santun dalam
mendebat musuh-musuhnya dengan penguasaan ilmu tafsir dan segala perangkapnya,
serta penguasaan ilmu syariat yang mendalam.
- Metode Yang Dipakai
Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya
adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang
terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju.
Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat
al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan
nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya, bab Ta’min, dan bab tentang Qiraat serta I’rabnya. Masing-masing
dari bab tersebut memuat beberapa masalah.[9]
Kemudian, untuk mengetahui metode
analisis yang digunakan Imam al-Qurṭubi, kita bisa melihat contoh penafsirannya, semisal pada kasus QS. Al-Mulk ayat 1 berikut:[10]
تبارك الذي بيده الملك وهو على كل شيء قدير
تبارك الذي بيده الملك وهو على كل شيء
قديرقوله تعالى: [تبارك] تفاعل من البركة وقد تقدم. وقال الحسن: تقدس. وقيل دام.
فهو الدائم الذي لا أول لوجوده ولا آخر لدوامه. [الذي بيده الملك] أي ملك السموات
والأرض في الدنيا والآخرة. وقال ابن عباس: بيده الملك يعز من يشاء ويذل من يشاء،
ويحيي ويميت، ويغني ويفقر، ويعطي ويمنع. وقال محمد بن إسحاق: له ملك النبوة التي
أعز بها من اتبعه وذل بها من خالفه. [وهو على كل شيء قدير] من إنعام وانتقام
Dapat
dipahami dari penjelasan diatas bahwa al-Qurthuby menggunakan analisis lughawy
(kebahasaan). Hal ini diketahui, karena dia menafsirkan ayat di atas dengan
mengutip pendapat-pendapat para sahabat dan ulama-ulama tentang arti kata dalam
ayat. Demikian itu dia lakukan untuk memperjelas maksud dari setiap kata dalam
ayat.
Disamping
menggunakan analisis Lughawy, beliau dalam mempertajam penelitiannya juga
menggunakan analisis bi al-Ma’tsur, yakni suatu metode analisis ayat-ayat
al-Qur’an dengan menggunakan ayat lain, dengan hadis atau pendapat para
sahabat. Hal ini bisa kita cermati dari sebagian penafsiran beliau mengenai Qs.
Al-Mulk ayat 2 sebagai berikut :[11]
الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز
الغفور
الذي
خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الغفورقوله تعالى: (الذي خلق الموت والحياة) يل: المعنى خلقكم للموت والحياة؛ يعني
للموت في الدنيا والحياة في الآخرة وقدم الوت على الحياة؛ لأن الموت إلى القهر
أقرب؛ كما قدم البنات على البنين فقال: (يهب لمن يشاء إناثا) الشورى:
49]. وقيل: قدمه لأنه أقدم؛ لأن الأشياء في الابتداء كانت في حكم الموت كالنطفة
والتراب ونحوه. وقال قتادة: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (إن الله تعالى أذل بني آدم بالموت وجعل الدنيا دار حياة ثم دار موت
وجعل الآخرة دار جزاء ثم دار بقاء) وعن أبي الدرداء أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال: (لولا ثلاث ما طأطأ ابن آدم رأسه الفقر والمرض والموت
وإنه مع ذلك لو ثاب) دم الموت على الحياة، لأن أقوى الناس داعيا إلى العمل
من نصب موته بين عينيه؛ فقدم لأنه فيما يرجع إلى الغرض المسوق له الآية أهم قال
العلماء: الموت ليس بعدم محض ولا فناء صرف، وإنما هو انقطاع تعلق الروح بالبدن
ومفارقته، وحيلولة ببنهما، وتبدل حال وانتقال من دار إلى دار. والحياة عكس ذلك
Dalam
penafsiran ayat di atas, bisa kita lihat penukilan hadis yang dilakukan oleh
Imam al-Qurṭubi, seperti contoh :
وقال قتادة: كان رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول: (إن الله تعالى أذل بني آدم بالموت وجعل الدنيا
دار حياة ثم دار موت وجعل الآخرة دار جزاء ثم دار بقاء)
وعن أبي الدرداء أن النبي صلى الله
عليه وسلم قال: (لولا ثلاث ما طأطأ ابن آدم رأسه الفقر والمرض
والموت وإنه مع ذلك لو ثاب) دم الموت على الحياة، لأن أقوى الناس داعيا إلى
العمل من نصب موته بين عينيه؛ فقدم لأنه فيما يرجع إلى الغرض المسوق له الآية أهم.
Dari
persoalan-persoalan yang telah diuraikan, bisa disimpulkan bahwa metode Imam
al-Qurṭubi dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, yaitu dengan menggunakan Tafsir
Tahlily atau secara menyeluruh, karena beliau berupaya menjelaskan seluruh
aspek yang terkandung dalam al-Qur’an dan mengungkapkan segenap pengertian yang
dituju dan juga dipertajam melalui analisis bi al-ma’thur dan diperkuat
dengan analisis lughawy (kebahasaan).
- Corak
Penafsiran
Para
pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak
Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagaimana dengan ulama’ lain, Husain al-Dzahabi juga memasukkan pembahasan
kitab ini pada kategori tafsir fiqhi. Namun, dalam menentukan hukum-hukum fiqihnya, al-Qurṭubi setelah memaparkan pendapat-pendapat dan
mengomentarinya, ia tetap tidak fanatik dengan madzhabnya (Malikiah).
Sebagai
contoh dapat dilihat ketika Imam al-Qurṭubi menafsirkan Qs. Al-Baqarah (2) ayat
43 sebagaimana yang dijelaskan Husain al-Dzahabi dalam kitabnya Tafsīr wa al-Mufassirūn
seperti berikut
:[12]
ومثلاً نجده عندما تعرَّض
لقوله تعالى فى الآية [187] من سورة البقرة: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصيام
الرفث إلى نِسَآئِكُمْ} ...
. الآية، نجده فى المسألة الثانية عشرة من مسائل هذه الآية يذكر خلاف العلماء
فى حكم مَن أكل فى نهار رمضان ناسياً.. فيذكر عن مالك أنه يفطر وعليه القضاء،
ولكنه لا يرضى ذلك الحكم فيقول: "وعند غير مالك ليس بمفطر كل مَن أكل ناسياً
لصومه. قلت: وهو الصحيح، وبه قال الجمهور إن مَن أكل أو شرب ناسياً فلا قضاء عليه،
وإن صومه تام، لحديث أبى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إذا
أكل الصائم ناسياً، أو شرب ناسياً فإنما هو رزق ساقه الله تعالى إليه، ولا قضاء
عليه.. ".
Dari keterangan al-Dzahabi di atas, bisa dimengerti bahwa dalam masalah ke dua belas
dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan
pendapat para ulama’ mengenai hukum orang yang makan di siang hari bulan
Ramadhan karena lupa, dan kutipan dari imam Malik bahwa orang tersebut
dinyatakan batal dan wajib mengqaḍa’. Kemudian al-Qurṭubi
megatakan : “ Menurut pendapat selain Maliki, tidaklah dipandang batal setiap
orang yang makan dan minum karena lupa, dan jumhur pun berpendapat sama bahwa
barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajid mengqaḍa’nya, dan puasanya tetap sempurna.
Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah Raḍiyallahu ‘Anhu yang
menyetakan, Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam bersabda: “ Jika
seseorang sedang berpuasa, dan ia makan atau minum karena lupa, maka yang
demikian adalah rizki yang diberikan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā kepadanya,
dan ia tidak wajib mengqaḍa’.
Dari kutipan tersebut, kita bisa melihat bahwa dengan
pendapat yang dikemukakannya itu, al-Qurṭubi tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia berlaku
adil dengan madzab yang lain.
- Karakteristik
Penafsiran al-Qurṭubi
Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini yang
perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurṭubi dalam
muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:[13]
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال
إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى
قائله.
Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada
orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena
dikataan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang
yang mengatakannya.
- Kelebihan dan Kekurangan
Tafsir al-Qurṭubi
Imam Adz-Dzahabi pernah berkata, “Al Qurṭubi telah
mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat spektakuler”.[14]
Diantara
kelebihan kitab ini adalah
:
-
Memuat
hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim, dengan pembahasan yang
luas.
-
Hadis-hadis
yang didalamnya di tahrij dan pada umumnya disandarkan langsung kepada orang
yang meriwayatkannya.
-
Menghimpun ayat, hadis dan aqwal ulama’ pada
masalah-masalah hukum, yang kemudian ditarjih salah satunya dengan dalil-dalil ‘aqli
dan naqli.
-
Tidak
mengabaikan bahasa Arab, sya’ir Arab dan sastra Arab.
-
Ibnu Farhun
berkata: “Tafsir
yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, dan diganti dengan menetapkan hukum dan istimbat
dalil, serta menerangkan I’rob, qira’at,
nasikh dan mansukh”.[15]
Diantara
kekurangannya:
-
Banyak
mencantumkan hadis-hadis dha’if tanpa diberi komentar (catatan), padahal beliau
adalah seorang muhaddith
(ahli hadis).
-
Penulis
menta’wil beberapa ayat yang berbicara tentang sifat Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
III. KESIMPULAN
Al
Qurṭubi adalah salah satu mufassir muslim mempunyai
pengetahuan luas yang selalu memperjuangkan Islam. Dengan segenap kemampuannya
ia mengumpulkan, dan menghafal hadis untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan
dengan hukum baik itu hukum fikih, ibadah dan sebagainya.
Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa
bab di atas dapat diambil kesimpulan bahwa : pertama, al-Qurṭubi pengarang
kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran adalah seorang mufasir yang bermazhab
Maliki yang hidup di Andalus. Beliau menulis kitab ini karena ingin memahamkan
masyarakat mengenai hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an, selain itu juga
karena beliau sudah lama berkecimpung di dunia Fiqih. Kedua, dalam menulis
tafsirnya, al-Qurṭubi banyak menggunakan rujukan dari kitab-kitab lain seperti
al-Ṭabari dan juga banyak menukil riwayat-riwayat yang ma’thur yang
kemudian ini dijadikan sebagai karakteristik tafsirnya. Ketiga, tafsir
yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi, metode Tahlili dan
bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan madhabnya
sendiri. Keempat, dalam tafsir al-Qurṭubi juga terdapat beberapa kelebihan yang
di antaranya memuat hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim,
dengan pembahasan yang luas dan memiliki beberapa kekurangan yang di antaranya
adalah banyak mencantumkan
hadis-hadis dha’if tanpa diberi komentar (catatan), padahal beliau adalah seorang
muhaddith (ahli hadis).
DAFTAR PUSTAKA
al-Dzahabi, Muhammad Husain, Tafsīr
wa al-Mufassirūn. Kairo : Maktabah Wahbah, t.th. juz 2.
al-Qaṭṭan, Manna’ Khalil, Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, Bogor : Pustaka Litera
Antar Nusa, 2013.
al-Qurṭubi, Abi Abdillah Muhammad, al-Jamī’ li
Ahkām al-Qur’an. Beirut : Muassasah al-Risālah, 2006. jilid.
1, juz 1.
Farhun, Ibnu, al-Dībāj al-Madhab fī Ma’rifati A’yāni Ulamā’ al-Madhab. Kairo : Dār al-Turāth, t.th. juz 2.
http://Biografi%20Imam%20al-Qurtubi%20_%20Warna%20Sahabat.html.
Diakses pada tanggal 23 September 2015, pukul 15.29 WIB.
[1]
Abi Abdillah Muhammad al-Qurṭubi, al-Jamī’ li Ahkām al-Qur’an, (Beirut
: Muassasah al-Risālah, 2006)
jilid. 1, 37.
[2] http://Biografi%20Imam%20al-Qurtubi%20_%20Warna%20Sahabat.html.
Diakses pada tanggal 23 September 2015, pukul 15.29 WIB
[8]
Manna’ Khalil al-Qaṭṭan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor :
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013) 520.
[11]
Ibid., jilid. 21, 110-111.
[12] Muhammad
Husain al-Dzahabi, Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kairo : Maktabah Wahbah, t.th) juz 2, 339-340.
[15]
Ibnu Farhun, al-Dībāj al-Madhab fī
Ma’rifati A’yāni Ulamā’ al-Madhab,
(Kairo : Dār al-Turāth, t.th) juz 2, 309.
Terimakasih postingannya, menambah wawasan. ijin copy. trims
BalasHapus