1735262163458753
Loading...

PENDIDIKAN ANAK

PENDIDIKAN ANAK
Oleh: Abdullah Fauzie Hanan

I.                   Pendahuluan
Dalam Islam, berbicara mengenai pendidikan tidak dapat dilepaskan dari asal muasal manusia itu sendiri. Kata "pendidikan" yang dalam bahasa arabnya disebut "tarbiyah" (mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu dengan kata "Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari, serta dipilah-pilah dalam kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia berarti terjadi pula disintegrasi dalam kehidupan manusia, yang konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya itu sendiri. Dalam makalah kali ini kami mengambil tema “Pendidikan Anak” yang mana pendidikan anakn ini sangatlah penting karna anak adalah bibit bagi orang dewasa yang nantinya akan meneruskan perjuangan dalam hidup. Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan bagian terpenting dari kebahagiaan setiap rumah tangga. Orang tua atau keluarga yang telah dikaruniai anak, wajib berterimakasih atau bersyukur kepada Allah Subḥānahu wa Taʻālā yang telah memberikan kebahagiaan dengan memberikan karunia berupa keturunan atau anak yang menjadi buah hati dan kesayangan, sekaligus menjadi  tumpuan harapan bagi kebahagiaan masa depannya orang tua tersebut.
Mendidik anak dengan sebaik-baiknya merupakan bentuk lain dari wujud rasa Syukur kepada Allāh Subḥānahu wa Taʻālā. Yang dimana hal itu termasuk hak seorang anak untuk memperoleh pendidikan.

II.    Biografi Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya
A.    Biografi
Nama lengkapnya adalah Luqman bin `Anqo’ bin Sadun, anaknya bernama Tsaron. Ia seorang hamba yang shalih, bukan seorang nabi. Karena keshalihan­nya dan untaian nasihatnya bagaikan mutiara, namanya diabadikan dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat Luqman, surat ke-31. la telah mendapat­kan ilmu hikmah sehingga dijuluki al-Hakim (ahli hikmah). Bahkan dalam banyak riwayat shahih dikatakan, ia seorang budak belian, berkulit hitam, berparas pas-pasan, hidung pesek, kulit hitam legam. Namun demikian, namanya diabadikan oleh Allah menjadi nama salah satu surat dalam al-Qur’an, surat Luqman. Penyebutan ini tentu bukan tanpa maksud. Luqman diabadikan namanya oleh Allah, karena memang orang shaleh yang patut diteladani. Allah tidak menilai seseorang dari gagah tidaknya, juga tidak dari statusnya, jabatannya, warna kulitnya dan lainnya. Akan tetapi Allah menilai dari ketakwaaan dan kesalehannnya[1]

B.     Nasihat
Luqmān Al-Hakim adalah sosok teladan dalam mendidik anak. Keteladanan Luqmān Al-Hakim dalam mendidik anak ini telah diabadikan dalam al-Qur`an Al-Karīm supaya menjadi contoh dan pedoman untuk umat sesudahnya dalam mendidik anak sebagai amanat sekaligus anugerah dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā  yang tersebut dalam Surāt Luqmān ayat 14-19.
Luqmān yang disebut oleh Surāt ini adalah seorang tokoh yang diperselisihkan identitasnya. Orang Arab mengenal dua tokoh yang bernama Luqmān. Pertama, Luqmān bin ‘Ad. Tokoh ini mereka agungkan karena wibawa, kepemimpinan, ilmu, kefasihan dan kepandaiannya. Ia kerap sekali dijadikan sebagai permisalan atau perumpamaan. Tokoh kedua adalah Luqmān Al-Hakim yang terkenal dengan kata-kata bijak dan perumpamaan-perumpamaannya. Agaknya dialah yang dimaksud oleh Surāt ini.
Diriwayatkan bahwa Suwayd bin Shamit suatu ketika datang ke Makkah. Ia adalah seorang yang cukup terhormat di kalangan masyarakatnya. Lalu Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa sallam. mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Suwayd berkata kepada Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa sallam, “Mungkin apa yang ada padamu itu sama dengan apa yang ada padaku.” Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa sallam. bersabda, “Apa yang ada padamu?” Ia menjawab, “Kumpulan hikmah Luqmān.” Kemudian Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa sallam. berkata, “Tunjukanlah kepadaku.” Suwayd pun menunjukkannya, lalu Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa sallam. berasabda, “Sungguh perkataan yang amat baik! Tetapi apa yang ada padaku lebih baik dari itu. Itulah al-Qur’an yang diturunkan Allah keepadaku untuk menjadi petunjuk dan cahaya.” Rasulullah lalu membacakan al-Qur’an kepadanya dan mengajaknya memeluk Islam.
Banyak pendapat mengenai siapa Luqmān Al-Hakim. Ada yang mengatakan bahwa ia berasal dari Nuba, dari penduduk Ailah. Ada juga yang menyebutnya dari Ethiopia. Pendapat lain mengatakan bahwa ia berasal dari Mesir Selatan yang berkulit hitam. Ada lagi yang menyatakan bahwa ia seorang Ibrani. Hampir semua yang menceritakan riwayatnya sepakat bahwa ia bukanlah seorang Nabi, hanya sedikit saja yang berpendapat bahwa ia adalah seorang Nabi.
            Kelompok ayat-ayat ini menguraikan tentang bait-bait hikmah yang disampaikan Luqmān Al-Hakim sebagai nasehat kepada anaknya. Dimulai dengan Surāt Luqmān ayat 14:
        و وصّين الإنسان بوالديه حملته أمّه وهنا على وهن وّ فصٰله في عامين أن اشكرلي و لوالديك إليّ المصير.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun (Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun).[2] bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
            Dinilai oleh banyak ulama bukan bagian dari nasehat dan pengajaran Luqmān kepada anaknya. Ia disisipkan untuk menunjukkkan betapa pentingnya penghormatan dan kebaktian kepada kedua orang tua itu sehingga menempati posisi kedua setelah pengagungan kepada Allāh Subḥānahu wa Taʻālā. Al-Qur`an sering kali menggandengkan perintah menyembah Allah dan perintah berbakti kepada kedua orang tua. Walaupun nasehat ini bukan nasehat Luqmān, namun tidak berarti bahwa beliau tidak menasehati anaknya dengan nasehat serupa.
Ayat di atas tidak menyebut jasa bapak, tetapi menekankan pada jasa ibu. Ini disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak karena kelemahannya, hal ini berbeda dengan bapak. Di sisi lain, peranan bapak dalam konteks kelahiran anak lebih ringan dibandingkan dengan peranan ibu. Setelah pembuahan semua proses kelahiran anak dipikul oleh ibu sorang diri. Bukan hanya sampai masa kelahirannya, tetapi berlanjut dengan penyusuan, bahkan lebih dari itu. Memang ayah pun bertanggungjawab menyiapkan dan membantu ibu agar beban yang dipikulnya tidak terlalu berat, tetapi ini tidak langsung menyentuh anak, berbeda dengan peranan ibu. Betapapun peranan ayah tidak sebesar peranan ibu dalam proses kelahiran anak, namun jasanya tidak diabaikan, karena itu anak berkewajiban berdoa untuk ayahnya, sebagaimana berdoa untuk ibunya. Perhatikan doa yang diajarkan al-Qur’an: ربّ ارحمهما كما ربّيانى صغيرا  (Tuhanku! Kasihanilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil.)[3]
Al-Qur’an hampir tidak berpesan kepada ibu bapak untuk berbuat baik kepada anaknya kecuali sangat terbatas, yaitu pada larangan membunuh anak. Ini karena seperti riwayat yang dinisbahkan Ibnu Ashur kepada Luqmān di atas, Allah telah menjadikan orang tua secara naluriah rela kepada anaknya. Kedua orang tua bersedia mengorbankan apa saja demi anaknya tanpa keluhan. Bahkan mereka memberi kepada anak, namun dalam pemberian itu sang ayah atau ibu justru merasa menerima dari anaknya. Ini berbeda dengan anak, yang tidak jarang melupakan sedikit atau banyak  jasa-jasa ibu bapaknya.
Ayat ke 15 menyatakan kewajiban mematuhi kedua orang tua dibatasi oleh larangan ketika keduanya, atau salah satu dari mereka (orang tua) mengajak atau menyuruh kepada pebuatan syirik.
و إن جاهدٰك على أن تشرك بي ما ليس لك به علم فلا تطعهما و صاحبهما في الدّنيا معروفا وّ اتّبع سبيل من أناب إليّ ثمّ إليّ مرجعكم فأنبّئكم بما كنتم تعملون.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
            Dalam hal ini ketaatan kepada Allāh Subḥānahu wa Taʻālā. ditempatkan pada posisi yang paling tinggi. Perintah atau ajakan kedua orang tua tidak perlu ditaati, bahkan wajib ditolak jika bertentangan dengan dengan ajarannya. Sekalipun demikian, jangan memutuskan hubungan dengan kedua orang tua atau tidak menghormatinya. Bagaimanapun juga, anak tetap berkewajiban mempergauli kedua orang tuanya dengan cara yang baik, dengan catatan jangan sampai hal ini mengorbankan prinsip-prinsip aqidah. Tetaplah berbakti kepada keduanya selama tidak bertentangan dengan ajaran agama, dan ini adalah perintah Allāh Subḥānahu wa Taʻālā.
Dalam konteks ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Abu Bakar, bahwa ia pernah didatangi oleh ibunya yang ketika itu masih musyrikah. Asma’ bertanya kepada Rasulullah bagaimana seharusnya ia bersikap. Maka Rasullāh memerintahkannya untuk tetap menjalin hubungan baik, menerima dan memberinya hadiah serta mengunjungi dan menyambut kunjungannya.
Kemudian pada ayat 16, pada ayat ini dikemukakan kelanjutan nasehat Luqmān Al-Hakim:
يٰبنيّ  إنّها إنتك مثقال حبّة من خردل فتكن في صخرة أو في السّمٰوٰت أو في الأرض يأت بها الله إنّالله لطيف خبير .
"Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus (Yang dimaksud dengan Allah Maha Halus ialah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu  bagaimanapun kecilnya)[4]lagi Maha mengetahui.
Ayat ini diakhiri dengan menunjukkan sifat Allah yaitu Lathīf  (لطيف)
karena Dia selalu menghendaki untuk makhluknya agar memperoleh kemaslahatan dan kemudahan. Allah telah menyediakan sarana dan prasarana di jagad raya yang terbentang luas, guna memberikan kemudahan pula untuk meraihnya. Dia yang bergegas menyingkirkan kegelisahan pada saat terjadinya cobaan, serta melimpahkan anugerah sebelum tersembul dalam benak. Dalam konteks ayat ini, agaknya perintah berbuat baik, apalagi kepada orang tua yang berbeda agama, merupakan salah satu bentuk dari luthf  (لطيف)  Allah Subḥānahu wa Taʻālā. karena betapapun perbedaan atau perselisihan antara anak dengan kedua orang tuanya, pasti hubungan darah yang terjalin antara mereka tetap berbekas di hati masing-masing.
Kata berikutnya adalah Khabīr  (خبير)  yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kelemahlembutan. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini bermakna “membelah”, seakan-akan yang bersangkutan membahas sesuatu sampai dia membelah bumi untuk menemukannya. Pakar dalam bidangnya yang memiliki pengetahuan mendalam rinci menyangkut hal-hal yang tersesmbunyi, dinamai khabir. Menurut al-Ghazali, Allah adalah al-Khabīr, karena tidak ada yang tersembunyi baginya, sekalipun ada hal-hal yang sangat dalam dan yang sangat disembunyikan oleh makhluknya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi dalam kerajaannya, baik di langit maupun di bumi, kecuali pasti diketahuinya. Tidak satu dharrahpun yang bergerak atau yang diam, tidak ada satu jiwapun yang bergejolak maupun yang tenang tenang, kecuali semua itu ada beritanya di sisi Allah Subḥānahu wa Taʻālā.
Luqmān melanjutkan nasehat kepada anaknya, dimulai dengan perkataan yang dapat menjamin terpeliharanya nilai tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang anak, dengan nasehat mendirikan shalat:
يٰبنيّ أقم الصّلٰوة و أمر بالمعروف و انه عن المنكر و اصبر على ما أصابك إنّ ذٰلك من عزم الأمور.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah.
Menyuruh mengerjakan maʻrūf mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga melarang kemungkaran, menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Itu agaknya yang menjadi sebab mengapa Luqmān tidak memerintahkan anaknya melaksanakan maʻrūf dan menjauhi munkar, melainkan memerintahkannya untuk menyuruh kepada yang maʻrūf dan mencegah yang munkar. Di sisi lain, hal ini juga bermakna membiasakan diri anak untuk berbuat sesuatu, dan melaksanakan tuntutan amar maʻrūf nahi munkar yang dapat menumbuhkan jiwa kepemimpinan serta kepedulian sosial pada dirinya.
Al-Maʻrūf    adalah apa yang baik menurut pandangan masyarakat umum dan telah mereka kenal luas, selama sejalan dengan Al-Khair (الخير) yang berarti kebajikan, yaitu nilai-nilai Ilahi.  AL-Munkar  (المنكر)  adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Maʻrūf, karena telah menjadi kesepakatan umum masyarakat, maka sewajarnya ia diperintahkan. Sebaliknya dengan munkar yang juga telah menjadi kesepakatan bersama, ia perlu dicegah demi menjaga keutuhan masyarakat dan keharmonisannya. Di sisi lain, karena keduanya merupakan kesepakatan umum masyarakat, maka ia bisa berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat muslim yang lain, bahkan bisa berbeda antara satu waktu dan waktu yang lain dalam satu wilayah tertentu, namun kesemuanya itu tidak boleh bertentangan nilai-nilai Ilahi, tidak boleh bertentangan dengan aturan Allah Subḥānahu wa Taʻālā.
Sedangkan sabar  (الصّبر)  memiliki makna menahan atau konsisten. Karena orang yang bersabar berarti dia sedang bertahan, menahan diri pada satu sikap. Seseorang yang sabar akan menahan diri, dan untuk itu ia memerlukan kekukuhan jiwa dan mental agar dapat mencapai ketinggian derajat yang diharapkannya. Sabar adalah menahan gejolak nafsu demi mencapai yang baik atau yang terbaik, keteguhan dan tekad akan terus ada selama masih ada kesabaran.
Nasehat berikutnya yakni pada ayat 18-19:
و لا تصعّر خدّك للنّاس و لا تمش في الأرض مرحا إنّ الله لا يحبّ كلّ مختال فخور.
و اقصد بمشيك و اغضض من صوتك إنّ أنكر الأصوات لصوت الحمير.
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan (ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat).[5]dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Nasehat Luqmān kali ini berkaitan dengan pendidikan akhlak dan sopan santun dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Kemuliaan budi pekerti (akhlaq al-karīmah) merupakan bagian inti dari ajaran yang dibawa Nabi. Oleh karena itu, dalam mendidik anak, pendidikan akhlak atau budi pekerti merupakan bagian penting yang sama sekali tidak boleh diabaikan.
Marilah kembali kita cermati nasehat Luqmān Al-Hakim  bagian terakhir ini, dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti seolah beliau mengatakan: “Wahai anakku, jangan engkau berkeras memalingkan mukamu dari manusia, karena penghinaan dan kesombongan. Tampillah dihadapan setiap orang dengan wajah yang berseri penuh rendah hati. Bila engkau melangkah maka janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh, tetapi berjalanlah dengan lemah lembut penuh tawaḍuʻ. Sesungguhnya Alah tidak menyukai (yakni tidak menganugerahi kasih sayang) kepada orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Bersikaplah sederhana dalam berjalan, yakni jangan membusungkan dada dan jangan pula merunduk bagaikan orang sakit. Jangan berlari tergesa-gesa dan jangan juga sangat perlahan-lahan menghabiskan waktu. Dan lunakkanlah suaramu sehingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai.”
Asal manusia dari tanah (bumi), sehingga hendaknya dia tidak menyombongkan diri dan melangkah angkuh dimuka bumi. Penulis memperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan semua orang, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, penguasa dan rakyat jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi pejalan yang sama merasa lebih dari yang lain dengan menampakkan kesombongan.

III.             Kesimpulan
Dalam Islam, berbicara mengenai pendidikan tidak dapat dilepaskan dari asal muasal manusia itu sendiri. Kata "pendidikan" yang dalam bahasa arabnya disebut "tarbiyah" (mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu dengan kata "Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari, serta dipilah-pilah dalam kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia berarti terjadi pula disintegrasi dalam kehidupan manusia, yang konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya itu sendiri
Nama lengkapnya adalah Luqman bin `Anqo’ bin Sadun, anaknya bernama Tsaron. Ia seorang hamba yang shalih, bukan seorang nabi. Karena keshalihan­nya dan untaian nasihatnya bagaikan mutiara, namanya diabadikan dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat Luqman, surat ke-31. la telah mendapat­kan ilmu hikmah sehingga dijuluki al-Hakim (ahli hikmah)
Luqmān Al-Hakim adalah sosok teladan dalam mendidik anak. Keteladanan Luqmān Al-Hakim dalam mendidik anak ini telah diabadikan dalam al-Qur`an Al-Karīm supaya menjadi contoh dan pedoman untuk umat sesudahnya dalam mendidik anak sebagai amanat sekaligus anugerah dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā  yang tersebut dalam Surāt Luqmān ayat 14-19.




Daftar Pustaka
Al-Qur`an
M Aliyul Wafa, “Kisah Lukman al-Hakim”, dalam http://aliyulwafa.blogspot.com/2013/05/kisah-luqman-al-hakim.html (dikutip pada 10, Januari 2015).
Maḥally (al) Muḥammad bin Ahmad Jalāluddīn dan Suyūṭy (al) ʻAbdurraḥman bin Aby Bakar Jalāluddīn. Tafsīr Jalalain, (ttp: Muwaqiʻ al-Islām,tt)


[1] M Aliyul Wafa, “Kisah Lukman al-Hakim”, dalam http://aliyulwafa.blogspot.com/2013/05/kisah-luqman-al-hakim.html (dikutip pada 10, Januari 2015).
[2] Jalāluddīn Muḥammad bin Ahmad al-Maḥally dan Jalāluddīn ʻAbdurraḥman bin Aby Bakr al-Suyūṭy, Tafsīr Jalalain, (ttp: Muwaqiʻ al-Islām), 494.
[3]  Al-Qur`an, 17:24).
[4] Jalāluddīn Muḥammad bin Ahmad al-Maḥally dan Jalāluddīn ʻAbdurraḥman bin Aby Bakr al-Suyūṭy, Tafsīr Jalalain, (ttp: Muwaqiʻ al-Islām), 496.
[5] Ibid, 499.
Kumpulan Makalah 261011340918836818

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments