PENDIDIKAN ANAK
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/10/pendidikan-anak.html
PENDIDIKAN ANAK
Oleh: Abdullah Fauzie Hanan
I.
Pendahuluan
Dalam Islam, berbicara mengenai pendidikan tidak
dapat dilepaskan dari asal muasal manusia itu sendiri. Kata
"pendidikan" yang dalam bahasa arabnya disebut "tarbiyah"
(mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu dengan kata
"Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah
sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari, serta dipilah-pilah
dalam kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya
dalam kehidupan manusia berarti terjadi pula disintegrasi dalam kehidupan
manusia, yang konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya
itu sendiri. Dalam makalah kali ini kami mengambil tema “Pendidikan Anak” yang
mana pendidikan anakn ini sangatlah penting karna anak adalah bibit bagi orang
dewasa yang nantinya akan meneruskan perjuangan dalam hidup. Kehadiran anak di
tengah-tengah keluarga merupakan bagian terpenting dari kebahagiaan setiap
rumah tangga. Orang tua atau keluarga yang telah dikaruniai anak, wajib
berterimakasih atau bersyukur kepada Allah Subḥānahu wa Taʻālā yang telah
memberikan kebahagiaan dengan memberikan karunia berupa keturunan atau anak
yang menjadi buah hati dan kesayangan, sekaligus menjadi tumpuan harapan bagi kebahagiaan masa
depannya orang tua tersebut.
Mendidik anak dengan sebaik-baiknya
merupakan bentuk lain dari wujud rasa Syukur kepada Allāh Subḥānahu wa Taʻālā. Yang
dimana hal itu termasuk hak seorang anak untuk memperoleh pendidikan.
II. Biografi Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya
A.
Biografi
Nama lengkapnya adalah Luqman bin `Anqo’ bin
Sadun, anaknya bernama Tsaron. Ia seorang hamba yang shalih, bukan seorang
nabi. Karena keshalihannya dan untaian nasihatnya bagaikan mutiara, namanya
diabadikan dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat Luqman, surat ke-31. la telah
mendapatkan ilmu hikmah sehingga dijuluki al-Hakim (ahli hikmah). Bahkan dalam
banyak riwayat shahih dikatakan, ia seorang budak belian, berkulit hitam,
berparas pas-pasan, hidung pesek, kulit hitam legam. Namun demikian, namanya
diabadikan oleh Allah menjadi nama salah satu surat dalam al-Qur’an, surat
Luqman. Penyebutan ini tentu bukan tanpa maksud. Luqman diabadikan namanya oleh
Allah, karena memang orang shaleh yang patut diteladani. Allah tidak menilai
seseorang dari gagah tidaknya, juga tidak dari statusnya, jabatannya, warna
kulitnya dan lainnya. Akan tetapi Allah menilai dari ketakwaaan dan
kesalehannnya[1]
B.
Nasihat
Luqmān
Al-Hakim adalah sosok teladan dalam mendidik anak. Keteladanan Luqmān Al-Hakim
dalam mendidik anak ini telah diabadikan dalam al-Qur`an Al-Karīm supaya
menjadi contoh dan pedoman untuk umat sesudahnya dalam mendidik anak sebagai
amanat sekaligus anugerah dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang tersebut dalam Surāt Luqmān ayat 14-19.
Luqmān
yang disebut oleh Surāt ini adalah seorang tokoh yang diperselisihkan
identitasnya. Orang Arab mengenal dua tokoh yang bernama Luqmān. Pertama,
Luqmān bin ‘Ad. Tokoh ini mereka agungkan karena wibawa, kepemimpinan, ilmu,
kefasihan dan kepandaiannya. Ia kerap sekali dijadikan sebagai permisalan atau
perumpamaan. Tokoh kedua adalah Luqmān Al-Hakim yang terkenal dengan kata-kata
bijak dan perumpamaan-perumpamaannya. Agaknya dialah yang dimaksud oleh Surāt
ini.
Diriwayatkan
bahwa Suwayd bin Shamit suatu ketika datang ke Makkah. Ia adalah seorang yang
cukup terhormat di kalangan masyarakatnya. Lalu Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi
wa sallam. mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Suwayd berkata kepada
Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa sallam, “Mungkin apa yang ada padamu itu
sama dengan apa yang ada padaku.” Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa
sallam. bersabda, “Apa yang ada padamu?” Ia menjawab, “Kumpulan
hikmah Luqmān.” Kemudian Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa sallam.
berkata, “Tunjukanlah kepadaku.” Suwayd pun menunjukkannya, lalu
Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alaihi wa sallam. berasabda, “Sungguh perkataan
yang amat baik! Tetapi apa yang ada padaku lebih baik dari itu. Itulah al-Qur’an
yang diturunkan Allah keepadaku untuk menjadi petunjuk dan cahaya.”
Rasulullah lalu membacakan al-Qur’an kepadanya dan mengajaknya memeluk Islam.
Banyak
pendapat mengenai siapa Luqmān Al-Hakim. Ada yang mengatakan bahwa ia berasal
dari Nuba, dari penduduk Ailah. Ada juga yang menyebutnya dari Ethiopia.
Pendapat lain mengatakan bahwa ia berasal dari Mesir Selatan yang berkulit
hitam. Ada lagi yang menyatakan bahwa ia seorang Ibrani. Hampir semua yang
menceritakan riwayatnya sepakat bahwa ia bukanlah seorang Nabi, hanya sedikit
saja yang berpendapat bahwa ia adalah seorang Nabi.
Kelompok
ayat-ayat ini menguraikan tentang bait-bait hikmah yang disampaikan Luqmān
Al-Hakim sebagai nasehat kepada anaknya. Dimulai dengan Surāt Luqmān ayat
14:
و وصّين الإنسان بوالديه حملته أمّه وهنا على وهن وّ فصٰله في عامين أن
اشكرلي و لوالديك إليّ المصير.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun (Selambat-lambat waktu
menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun).[2] bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
Dinilai oleh banyak ulama bukan
bagian dari nasehat dan pengajaran Luqmān kepada anaknya. Ia disisipkan untuk
menunjukkkan betapa pentingnya penghormatan dan kebaktian kepada kedua orang
tua itu sehingga menempati posisi kedua setelah pengagungan kepada Allāh
Subḥānahu wa Taʻālā. Al-Qur`an sering kali menggandengkan perintah menyembah
Allah dan perintah berbakti kepada kedua orang tua. Walaupun nasehat ini bukan
nasehat Luqmān, namun tidak berarti bahwa beliau tidak menasehati anaknya
dengan nasehat serupa.
Ayat
di atas tidak menyebut jasa bapak, tetapi menekankan pada jasa ibu. Ini
disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak karena
kelemahannya, hal ini berbeda dengan bapak. Di sisi lain, peranan bapak dalam
konteks kelahiran anak lebih ringan dibandingkan dengan peranan ibu. Setelah
pembuahan semua proses kelahiran anak dipikul oleh ibu sorang diri. Bukan hanya
sampai masa kelahirannya, tetapi berlanjut dengan penyusuan, bahkan lebih dari
itu. Memang ayah pun bertanggungjawab menyiapkan dan membantu ibu agar beban
yang dipikulnya tidak terlalu berat, tetapi ini tidak langsung menyentuh anak,
berbeda dengan peranan ibu. Betapapun peranan ayah tidak sebesar peranan ibu
dalam proses kelahiran anak, namun jasanya tidak diabaikan, karena itu anak
berkewajiban berdoa untuk ayahnya, sebagaimana berdoa untuk ibunya. Perhatikan
doa yang diajarkan al-Qur’an: ربّ ارحمهما كما ربّيانى صغيرا (Tuhanku!
Kasihanilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu
kecil.)[3]
Al-Qur’an
hampir tidak berpesan kepada ibu bapak untuk berbuat baik kepada anaknya kecuali
sangat terbatas, yaitu pada larangan membunuh anak. Ini karena seperti riwayat
yang dinisbahkan Ibnu Ashur kepada Luqmān di atas, Allah telah menjadikan orang
tua secara naluriah rela kepada anaknya. Kedua orang tua bersedia mengorbankan
apa saja demi anaknya tanpa keluhan. Bahkan mereka memberi kepada anak, namun
dalam pemberian itu sang ayah atau ibu justru merasa menerima dari anaknya. Ini
berbeda dengan anak, yang tidak jarang melupakan sedikit atau banyak jasa-jasa ibu bapaknya.
Ayat
ke 15 menyatakan kewajiban mematuhi kedua orang tua dibatasi oleh larangan
ketika keduanya, atau salah satu dari mereka (orang tua) mengajak atau menyuruh
kepada pebuatan syirik.
و إن جاهدٰك على أن تشرك بي ما ليس لك به علم فلا
تطعهما و صاحبهما في الدّنيا معروفا وّ اتّبع سبيل من أناب إليّ ثمّ إليّ مرجعكم
فأنبّئكم بما كنتم تعملون.
Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.
Dalam hal ini ketaatan kepada Allāh Subḥānahu
wa Taʻālā. ditempatkan pada posisi yang paling tinggi. Perintah atau ajakan
kedua orang tua tidak perlu ditaati, bahkan wajib ditolak jika bertentangan
dengan dengan ajarannya. Sekalipun demikian, jangan memutuskan hubungan dengan
kedua orang tua atau tidak menghormatinya. Bagaimanapun juga, anak tetap berkewajiban
mempergauli kedua orang tuanya dengan cara yang baik, dengan catatan jangan
sampai hal ini mengorbankan prinsip-prinsip aqidah. Tetaplah berbakti kepada
keduanya selama tidak bertentangan dengan ajaran agama, dan ini adalah perintah
Allāh Subḥānahu wa Taʻālā.
Dalam
konteks ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Abu Bakar, bahwa ia
pernah didatangi oleh ibunya yang ketika itu masih musyrikah. Asma’ bertanya
kepada Rasulullah bagaimana seharusnya ia bersikap. Maka Rasullāh memerintahkannya
untuk tetap menjalin hubungan baik, menerima dan memberinya hadiah serta
mengunjungi dan menyambut kunjungannya.
Kemudian
pada ayat 16, pada ayat ini dikemukakan kelanjutan nasehat Luqmān Al-Hakim:
يٰبنيّ إنّها إنتك مثقال حبّة من خردل
فتكن في صخرة أو في السّمٰوٰت أو في الأرض يأت بها الله إنّالله لطيف خبير .
"Hai anakku,
Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam
batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus (Yang
dimaksud dengan Allah Maha Halus ialah ilmu Allah itu meliputi segala
sesuatu bagaimanapun kecilnya)[4]lagi Maha mengetahui.
Ayat ini diakhiri
dengan menunjukkan sifat Allah yaitu Lathīf (لطيف)
karena Dia selalu
menghendaki untuk makhluknya agar memperoleh kemaslahatan dan kemudahan. Allah
telah menyediakan sarana dan prasarana di jagad raya yang terbentang luas, guna
memberikan kemudahan pula untuk meraihnya. Dia yang bergegas menyingkirkan
kegelisahan pada saat terjadinya cobaan, serta melimpahkan anugerah sebelum
tersembul dalam benak. Dalam konteks ayat ini, agaknya perintah berbuat baik,
apalagi kepada orang tua yang berbeda agama, merupakan salah satu bentuk dari luthf (لطيف) Allah Subḥānahu wa Taʻālā. karena betapapun
perbedaan atau perselisihan antara anak dengan kedua orang tuanya, pasti
hubungan darah yang terjalin antara mereka tetap berbekas di hati
masing-masing.
Kata
berikutnya adalah Khabīr (خبير) yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu
pengetahuan dan kelemahlembutan. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini
bermakna “membelah”, seakan-akan yang bersangkutan membahas sesuatu sampai dia
membelah bumi untuk menemukannya. Pakar dalam bidangnya yang memiliki
pengetahuan mendalam rinci menyangkut hal-hal yang tersesmbunyi, dinamai
khabir. Menurut al-Ghazali, Allah adalah al-Khabīr, karena tidak ada
yang tersembunyi baginya, sekalipun ada hal-hal yang sangat dalam dan yang sangat
disembunyikan oleh makhluknya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi dalam kerajaannya,
baik di langit maupun di bumi, kecuali pasti diketahuinya. Tidak satu dharrahpun
yang bergerak atau yang diam, tidak ada satu jiwapun yang bergejolak maupun
yang tenang tenang, kecuali semua itu ada beritanya di sisi Allah Subḥānahu wa
Taʻālā.
Luqmān
melanjutkan nasehat kepada anaknya, dimulai dengan perkataan yang dapat
menjamin terpeliharanya nilai tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang
anak, dengan nasehat mendirikan shalat:
يٰبنيّ أقم
الصّلٰوة و أمر بالمعروف و انه عن المنكر و اصبر على ما أصابك إنّ ذٰلك من عزم
الأمور.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah.
Menyuruh
mengerjakan maʻrūf mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena
tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga
melarang kemungkaran, menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah
dirinya. Itu agaknya yang menjadi sebab mengapa Luqmān tidak memerintahkan
anaknya melaksanakan maʻrūf dan menjauhi munkar, melainkan
memerintahkannya untuk menyuruh kepada yang maʻrūf dan mencegah yang munkar.
Di sisi lain, hal ini juga bermakna membiasakan diri anak untuk berbuat
sesuatu, dan melaksanakan tuntutan amar maʻrūf nahi munkar yang dapat
menumbuhkan jiwa kepemimpinan serta kepedulian sosial pada dirinya.
Al-Maʻrūf
adalah apa yang baik menurut pandangan
masyarakat umum dan telah mereka kenal luas, selama sejalan dengan Al-Khair
(الخير) yang berarti kebajikan, yaitu nilai-nilai Ilahi. AL-Munkar (المنكر)
adalah sesuatu yang dinilai buruk
oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Maʻrūf, karena
telah menjadi kesepakatan umum masyarakat, maka sewajarnya ia diperintahkan.
Sebaliknya dengan munkar yang juga telah menjadi kesepakatan bersama, ia
perlu dicegah demi menjaga keutuhan masyarakat dan keharmonisannya. Di sisi
lain, karena keduanya merupakan kesepakatan umum masyarakat, maka ia bisa
berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat muslim yang lain, bahkan bisa
berbeda antara satu waktu dan waktu yang lain dalam satu wilayah tertentu,
namun kesemuanya itu tidak boleh bertentangan nilai-nilai Ilahi, tidak boleh
bertentangan dengan aturan Allah Subḥānahu wa Taʻālā.
Sedangkan
sabar (الصّبر) memiliki makna menahan atau konsisten. Karena
orang yang bersabar berarti dia sedang bertahan, menahan diri pada satu sikap.
Seseorang yang sabar akan menahan diri, dan untuk itu ia memerlukan kekukuhan
jiwa dan mental agar dapat mencapai ketinggian derajat yang diharapkannya.
Sabar adalah menahan gejolak nafsu demi mencapai yang baik atau yang terbaik,
keteguhan dan tekad akan terus ada selama masih ada kesabaran.
Nasehat
berikutnya yakni pada ayat 18-19:
و لا تصعّر خدّك للنّاس و لا تمش في الأرض مرحا إنّ الله لا يحبّ كلّ مختال
فخور.
و اقصد بمشيك و
اغضض من صوتك إنّ أنكر الأصوات لصوت الحمير.
Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah
kamu dalam berjalan (ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat
dan jangan pula terlalu lambat).[5]dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai.
Nasehat
Luqmān kali ini berkaitan dengan pendidikan akhlak dan sopan santun dalam
berinteraksi dengan sesama manusia. Kemuliaan budi pekerti (akhlaq al-karīmah)
merupakan bagian inti dari ajaran yang dibawa Nabi. Oleh karena itu, dalam
mendidik anak, pendidikan akhlak atau budi pekerti merupakan bagian penting
yang sama sekali tidak boleh diabaikan.
Marilah
kembali kita cermati nasehat Luqmān Al-Hakim
bagian terakhir ini, dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti seolah
beliau mengatakan: “Wahai anakku, jangan engkau berkeras memalingkan mukamu
dari manusia, karena penghinaan dan kesombongan. Tampillah dihadapan setiap
orang dengan wajah yang berseri penuh rendah hati. Bila engkau melangkah maka
janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh, tetapi berjalanlah dengan lemah
lembut penuh tawaḍuʻ. Sesungguhnya Alah tidak menyukai (yakni tidak
menganugerahi kasih sayang) kepada orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri. Bersikaplah sederhana dalam berjalan, yakni jangan membusungkan dada dan
jangan pula merunduk bagaikan orang sakit. Jangan berlari tergesa-gesa dan
jangan juga sangat perlahan-lahan menghabiskan waktu. Dan lunakkanlah suaramu
sehingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai.”
Asal
manusia dari tanah (bumi), sehingga hendaknya dia tidak menyombongkan diri dan
melangkah angkuh dimuka bumi. Penulis memperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat
berjalan semua orang, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin,
penguasa dan rakyat jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi pejalan
yang sama merasa lebih dari yang lain dengan menampakkan kesombongan.
III.
Kesimpulan
Dalam Islam, berbicara mengenai pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari asal muasal manusia itu sendiri. Kata
"pendidikan" yang dalam bahasa arabnya disebut "tarbiyah"
(mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu dengan kata
"Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah
sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari, serta dipilah-pilah
dalam kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya
bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia berarti terjadi pula disintegrasi
dalam kehidupan manusia, yang konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan
dalam kehidupannya itu sendiri
Nama
lengkapnya adalah Luqman bin `Anqo’ bin Sadun, anaknya bernama Tsaron. Ia
seorang hamba yang shalih, bukan seorang nabi. Karena keshalihannya dan
untaian nasihatnya bagaikan mutiara, namanya diabadikan dalam al-Qur’an, yaitu
dalam surat Luqman, surat ke-31. la telah mendapatkan ilmu hikmah sehingga
dijuluki al-Hakim (ahli hikmah)
Luqmān
Al-Hakim adalah sosok teladan dalam mendidik anak. Keteladanan Luqmān Al-Hakim
dalam mendidik anak ini telah diabadikan dalam al-Qur`an Al-Karīm supaya
menjadi contoh dan pedoman untuk umat sesudahnya dalam mendidik anak sebagai
amanat sekaligus anugerah dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang tersebut dalam Surāt Luqmān ayat 14-19.
Daftar Pustaka
Al-Qur`an
M Aliyul Wafa, “Kisah Lukman
al-Hakim”, dalam http://aliyulwafa.blogspot.com/2013/05/kisah-luqman-al-hakim.html (dikutip pada 10, Januari
2015).
Maḥally
(al) Muḥammad bin Ahmad Jalāluddīn dan Suyūṭy (al) ʻAbdurraḥman bin Aby Bakar Jalāluddīn.
Tafsīr Jalalain, (ttp: Muwaqiʻ al-Islām,tt)
[1] M Aliyul Wafa, “Kisah Lukman al-Hakim”, dalam http://aliyulwafa.blogspot.com/2013/05/kisah-luqman-al-hakim.html
(dikutip pada 10, Januari 2015).
[2] Jalāluddīn Muḥammad bin Ahmad al-Maḥally dan Jalāluddīn ʻAbdurraḥman
bin Aby Bakr al-Suyūṭy, Tafsīr Jalalain, (ttp: Muwaqiʻ al-Islām), 494.
[4] Jalāluddīn
Muḥammad bin Ahmad al-Maḥally dan Jalāluddīn ʻAbdurraḥman bin Aby Bakr al-Suyūṭy,
Tafsīr Jalalain, (ttp: Muwaqiʻ al-Islām), 496.