kesenian Wayang Jawa
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/09/kesenian-wayang-jawa.html
KESENIAN
WAYANG DALAM MASYARAKAT JAWA
Oleh:
Chamami
Nur
Said
Taufikur
Rohman
ABSTRAK.
Wayang adalah
suatu seni budaya yang sangat diminati oleh masyarakat, khususnya Jawa. Baik
itu dari anak kecil hingga dewasa. Dalam wayang sendiri mempunyai peran yang sangat
disukai oleh masyarakat Jawa, yaitu berupa seni peran, seni suara, seni musik,
seni tutur, sastra dan lain-lain. Dalang dalam istilah pewayangan perannya
sangat sentral untuk melakukan pertunjukannya dan menghibur masyarakat, pada
zaman sekarang istilah wayang sering dakaitkan dengan hiburan masyarakat berupa
acara sunatan ataupun nikahan.
Pada zaman
dahulu istilah pewayangan belum muncul di kalangan masyarakat pribumi. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, kebudayaan
Hindu dan Budha telah berkembang dan selama ratusan tahun. Ketika zaman dulu, nenek moyang
bangsa Indonesia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, kedua
kepercayaan ini diyakini bahwa roh yang sudah meninggal masih tetap hidup dan
benda-benda yang masih mempunyai kekuatan. Roh-roh itu bersemayam di kayu-kayu
besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Berasal dari zaman animisme dan
dinamisme, wayang terus mengikuti sejarah perjalanan bangsa sampai masuknya
agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam. Mulai bersentuhan dengan peradaban
dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, dan
Sriwijaya.
Pertunjukannya kemudian dikembangkan
dengan cerita yang lebih menarik, Ramayana dan Mahabharata. Selama abad X
hingga XV, wayang berkembang dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada
masyarakat.
Wayang juga dikembangkan oleh para
wali terutama sunan Kali Jaga yang mana dalam dakwahnya menggunakan metode
pewayangan untuk mendekatkan masyarakat jawa agar masuk Islam.
Tokoh-tokoh wayang yang terkenal
adalah Pandawa Lima, yakni Arujna, Yudistira, Bima, Nakula, dan Sadewa.
Mempunyai sifat yang baik yang selalu disegani oleh tokoh wayang lain. Juga
dari kalangan perempuan yaitu Dewi Sambrada, Dewi Srikandi, Dewi Manohara dan
yang lain yang mempunyai paras yang anggun dan elok untuk dibayangkan.
I.
Pendahuluan
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, kebudayaan
Hindu dan Budha telah berkembang dan mendarah daging selama ratusan tahun.
Wayang kulit adalah salah satu wujud kebudayaan yang telah berkembang. Sulit
untuk mencabut suatu kebudayaan yang telah tertanam dengan begitu kuat kemudian
diganti dengan kebudayaan yang bernafaskan Islam. Dalam suatu pertunjukan
wayang kulit, biasanya menceritakan suatu lakon yang mengungkapkan suatu
permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat dan cara penyelesaiannya. Lakon
mempunyai maksud dan tujuan cerita yang dimainkan dalam wayang kulit.
Kesenian wayang kulit mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
kesenian yang lainnya, kelebihannya adalah karena wayang kulit mempunyai
kedudukan dan fungsi yang cukup menonjol dalam kehidupan masyarakat. Dimana
wayang kulit dapat digunakan sebagai media pendidikan termasuk didalamnya
pendidikan agama, media penerangan dan media hiburan.
Wayang adalah sebuah seni pertunjukan khas Indonesia yang
sudah sangat populer baik itu di dalam atau luar pulau Jawa. Karya seni ini
sudah dikenal masyarakat sejak zaman pra sejarah. Kemudian pada saat masuknya
pengaruh Hindu dan Budha, cerita dalam wayang mulai mengadopsi kitab
Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Lalu pada masa pengaruh
Islam, wayang oleh para wali digunakan sebagai media dakwah yang tentunya
dengan menyisipkan nilai-nilai Islam. Seni pewayangan merupakan perpaduan dari
berbagai seni seperti seni musik, seni ukir, seni lukis, kesusastraan, dan
falsafah.
II.
Sejarah Wayang di Indonesia
A.
Definisi Wayang
Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa
Indonesia yang paling diminati bangsan Indonesia baik dari kalangan anak-anak
dewasa maupun orang tua. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni
musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni
perlambang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wayang adalah boneka tiruan
orang dan lain sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan lain
sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh di pertunjukan drama
tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dan lain sebagainya), biasanya dimainkan oleh
seseorang yang disebut dalang[1].
Wayang
sebagai budaya asli Indonesia, banyak disebut oleh sumber-sumber sejarah,
terutama dalam prasasti. Prasasti tertua yang memberi informasi pewayangan
berasal dari masa pemerintahan Raja Airlangga atau tahun 1500 SM[2],
jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia. Tradisi wayang sudah ditulis
oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab
Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India. Selanjutnya,
para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke
Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan
falsafah Jawa Kuna kedalamnya.
Wayang
dalam tradisi masyarakat Indonesia kehadiran wayang yang selalu akrab dengan
masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, wayang tampil sebagai seni budaya
tradisional, dan merupakan puncak budaya daerah. Wayang yang zaman dahulu
berbeda dengan wayang yang zaman sekarang melalui proses dan berkembangnya
zaman suatu seni budaya akan berubah sesuai dengan perkembangannya zaman.
Budaya adalah pikiran atau akal budi, sesuatu kebudayaan yang sudah berkembang,
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah[3].
Namun
seni wayang tidak bisa terpengaruh terhadap jati dirinya, karena wayang telah
memiliki landasan yang kokoh. Landasan utamanaya adalah sifat hamot, hamong,
hamemangkat. Ketiga landasan tersebut tidak akan pernah berubah meski
digrogoti oleh zaman[4].
Hamot adalah
keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar. Hamong
adalah kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai wayang
yang ada, untuk selanjutnya diangkat menjadi nilai-nilai yang cocok dengan
wayang sebagai bekal untuk bergerak maju sesuai perkembangan masyarakat. Hamemangkat
atau memangkat sesuatu nilai menjadi nilai baru. Wayang dan seni pedalangan
tidak akan pernah hilang dan masih exsis sampai zaman sekarang.
Ketika zaman
kuno, nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme, dalam kedua kepercayaan ini diyakini oleh roh yang sudah meninggal
masih tetap hidup dan benda-benda yang masih mempunyai kekuatan. Roh-roh itu
bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan
antara animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya
berkuasa, tetap mempunyai kekuasaan. Mereka terus dipuja dan meminta
pertolongan kepadanya.
Selain
melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung
roh nenek moyang yang dipuja disebut “hyang” atau “dahyang”[5].
Orang-orang
yang ingin berhubungan dengan para hyang untuk meminta pertolongan dan
perlindungan harus melalui medium yang disebut “syaman”. Kedua ritual
inilah yang menyebabkan asal muasal munculnya wayang. Hyang menjadi
wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman
menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek
moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Asli yang hingga sekarang
masih dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang
bangsa Indonesia di sekitar tahun l500 SM.
Berasal dari
zaman animisme dan dinamisme, wayang terus mengikuti sejarah perjalanan bangsa
sampai masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam. Mulai bersentuhan
dengan peradaban dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai,
Tarumanegara, dan Sriwijaya. Pada masa itu wayang berkembang sangat pesat dan
menjadi tradisi seni jawa yang yang sangat kental dengan bahasa jawanya.
Pertunjukan
roh nenek moyang kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih menarik,
Ramayana dan Mahabharata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam
rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Tokoh wayang yang
terkenal dari zaman hindu antara lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala.
Pergelaran wayang yang diperkaya dengan penciptaan peraga wayang terbuat dari
kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang menarik dengan
cerita Ramayana dan Mahabharata.
Di zaman awal majapahit wayang
digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa
awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa
kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat
naiknya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad
duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu
dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai
keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap
dua kini pengaruh budaya Islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada
awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )[6].
Raden Patah memerintahkan mengubah
beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotong royong
wayang Beber karya Prabangkara (zaman majapahit) segera direka ulang dibuat
dari kulit kerbau di wilayah kerajaan demak masa itu.
Gambar dibuat menyamping, tangan
dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disamping sunan Bonang
menyusun struktur dramatikanya sunan Prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera
dan juga menambahkan beberapa skenario cerita. Raden Patah menambahkan tokoh gajah
dan wayang prampogan sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya
dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan.
Sunan Kudus mendalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan
greget saut dan adha-adha.
Pada masa sultan Trenggana bentuk
wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan
(tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal,
pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan
thelengan.
Selain wayang purwa sang ratu juga
memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja
sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan
aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang
kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang
semakin ditata.
Raja dan ratu memakai mahkota/topong
rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan
celana dan kain di jaman ini pula lah sunan Kudus memperkenalkan wayang golek
dari kayu sedang sunan Kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang
gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin
di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan
berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus
sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak,
siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk
‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru seperti: cakil,
tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan Agung
Anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin
diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah
semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut
merah bertaji seperti bisa disebut ‘berwenang menghakimi’? walau demikian,
garis besar struktur dramatikanya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet
sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti
filsafatnya sendiri : “wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari”[7].
B.
Kisah-kisah wayang
Hampir seluruhnya kisah atau lakon
yang didramatisasi dalam wayang berasal dari Mahabharata. Kisah Ramayana sering
disebut dengan ejekan “kisah kera”. Karena menonjolkan tokoh setengah kera,
anoman dan tokoh-tokoh lainnya. Di seluruh Jawa ada beberapa jenis wayang yang
digolongkan menurut jenis boneka yang digunakan, dan kisah yang dipergelarkan.
Dalam kisah Mahabharata ada tiga kelompok tokoh utama:
1.
Dewa-dewi para
dewa dan para dewi yang dikepalai oleh Batara Guru (siwa) dan isterinya, Batari
Durga, Batara Narada, Sang Hyang Brama, serta Batara Kala.
2.
Satria raja dan
bangsawan kerajaan kuno, menurut anggapan “zaman Ramayana” (di India)
digantikan oleh Mahabharata kemudian “zaman Budha” (yakni periode kerajaan
Hindu-Budha) seperti kediri, Singosari, Majapahit.
Ada kelompok
satria, yang terlibat dalam wayang meliputi:
1.
Para Pandawa: lima saudara yang memerintah negara,
Amarta-Yudistira-Bima-Arjuna-Nakula-dan Sadewa. Pandawa biasanya disertai oleh
Krisna, raja negara tetangga Ndarawati yang merupakan penjelmaan wisnu dan
penasehat umum pandawa. Dua tokoh lainnya yang tersohor adalah Gatotkaca, anak
Bima, yang perkasa dan terbang, serta Angka wijaya, anak Arjuna.
2.
Para Kurawa: Seratus Stria Astina, yang dipimpin oleh Sayudana, Sengkuni, Durna
dan Karna, saudara seibu.
3.
Punakawan, Semar, Petrok dan Gareng, pelawak rendahan, pelayan serta pengiring
serta pandawa dari Jawa Semar ayah kedua punakawan lainnya.
C.
Peran seni klasik dalam Pewayangan
Kami mengambil penelitian seni di
Mojokuto, ada tiga rumpun yang agak terpisah tiga kelompok seni yang bentuk
komponannya tidak saja membawa hubungan intrinsik antara satu sama lain tetapi
juga masuk dalam struktur sosial dan budaya.
1. Rumpun
I “Seni Alus”.
a) Wayang,
yang menggunakan kayu atau kulit untuk mendramatisasi cerita-cerita versi Jawa
dari epos India. Mahabharata dan Ramayana, atau versi mitologis dari sejarah
kerajaan-kerajaan Jawa sebelum masa kolonial.
b) Gemelan,
orkes tabuh yang dapat dimainkan sendiri atau mengiringi wayang atau berbagai
bentuk seni lainnya.
c) Lakon,
secara harfiyah berarti “alur” atau “skenario”. Sebuah mitos yang bisa
didramatisasi dalam wayang, tetapi sering hanya diceritakan secara lisan
sebagaimana biasanya mitos.
d) Joged,
tarian keraton Jawa, yang bisa berdiri sendiri atau “menarikan” wayang.
2. Rumpun
II “Seni Kasar”
a) Ludruk,
lawakan rakyat melibatkan laki-laki yang mengenakan baju perempuan dan pelawak
renadahan sebagai tokoh utamanya.
b) Kledek
penari perempuan jalanan, yang menari baik sebagai penari keliling “dari pintu
ke pintu” maupun sebagai penari yang disewa untuk memeriahkan pesta perkawinan,
khitanan dan sebagainya.
c) Jaranan
tarian rakyat, dimana para penari “menunggang” kuda kertas dan menjadi
kesurupan, berbuat seolah-olah mereka itu kuda.
d) Dongeng
cerita rakyat, legenda, tabuh dan sebagainya. Perbedaan utamanya dari lakon
terletak pada fakta bahwa dongeng, selalu dikisahkan secara lisan dan tak
pernah didramatisasi dalam wayang.
3. Rumpun
III “Seni Nasional”
a) Orkes,
band tari populer (walaupun tak seorang pun pernah bernyanyi bersamanya)
terdiri hampir seluruhnya dari instrumen petik bajo, gitar dan sebagainya.
b) Kesusastraaan
Indonesia, novel, sajak, cerita pendek dan sandiwara, modern bergaya Barat,
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional.
c) Bioskop,
film Barat maupun Indonesia (melayu)[8].
D.
Sifat wayang
1. Bima atau Werkudara
Bima
atau Werkudara merupakan salah satu tokoh pewayangan yang dilihat dari segi
historisme telah menggunakan seni metode penyebaran gagasan-gagasan sufisme.
Dalam hal ini tokoh Bima ada keterkaitan cara untuk menggali dan menikmati
ajaran-ajaran sufisme dalam bingkai kebijaksanaan interpretasi subjektif. Sebab
bagaimanapun kisah penokohan dalam wayang merupakan simbol yang cara
memeahaminya diserahkan semuanya kepada para penonton[9].
Tokoh
Bima sebagai salah satu anggota Pandawa bisa dikatakan merupakan “sang
penegak”, ibarat benteng maka ia merupakan pelindung bagi seluruh keluarga
Pandawa. Ini bisa dilihat dari simbol jasmaninya yang besar dan terlihat kokoh,
namun tetap dingkluk (merunduk) mengisyaratkan bahwa telah terjadi
keseimbangan antara jasmani dan rohaninya yang telah terciptakan oleh
cahaya-cahaya spiritual yang menakjubkan[10]
2.
Semar
Semar
simbol kesalehan, membicarakan mengenai tokoh wayang yang salah satu ini, kita
tidak terlepasa dari mewacanakan “samar” oleh dalang sendiri merupakan makna
yang melekat pada tokoh ini. Dilihat dari bentuk rupa gayanya mauapun dari segi
bicaranya sekaligus sikap orang-orang yang ada di sekililingnya, menunujukkan
bahwa tidak mungkin kedudukannya hanya sebagai batur atau abdi kinasih saja.
Para
dalang sering menyebutkan “Sosok Semar memang benar-benar sosok yang samar”
karena kesamaran itu disebabakan Semar memiliki jabatan yang beraneka ragam. Di
satu sisi Semar adalah guru, kiyai, atau orang yang dituakan karena memiliki
kebijakan yang agung. Istilaha Helen Graham ‘merupakan homo sapiens yang
hidup’, yang benar-benra mampu menggambarkan kemampuan manausia secara utuh,
baik dalam berpikir ataupun dalam bertinadak, tanpa harus susah payah
menggunakan pengalam, pemahaman, yang diperoleh dalam kehidupannya. Mengapa
demikian, karena Semar adalah dewa mengejawantah, beratu ke dalam tubuh
manusia, guna mnegendaliakn situasi, memebangun perspektif yang cerdas
mengayomi masyarakat bawahan. Dalam posisisnya sebagai dewa menejawantah (abdi
yang dikasishi) bagi keluarga Pandawa khususnya Prabu Arjuan dan Prabu Abi
Manyu (anak dari Arjuna)[11].
3.
Arjuna
Mpun
Kanwa dalam kitab Arjuna Wiwana, mengibaratkan bahwa sosok Arjuna adalah
pribadi yang benar-benar total dalam penghambaannya kepada gusti, sososk Arjuna
juga diilustrasikan sebagai pribadi yang Insan Kamil (sempurna dalam
segala bidang), karena ia berjuang seoptimal mungkin untuk mencapai
kesempurnnaan hidup[12].
Arjuna
(Satria Lananging Jagad) sesososk pribadi yang teguh dan senang bertapa,
wajahanya tampan dan anggun. Siapa saja yang gemar berpuasa, maka ia akan
menjadi kuat jiwanya dalam menghadapi berbagai cobaan dan wajah ikut
berseri-seri[13]. Arjuan
berparas tampan, berbudi luhur dan halus serta sederhana. Ketampanan arjuna
dilukiskan dalam bentuk bagian badan yang halus, mata, bibir, dagu, telinga,
bahu, lengan, perut dan kaki. Dari segi seni menggambarkan menatah dan menyungging, memebuat arjuna termasuk sukar, bentuk-bentuk sederhana tapi indah[14].
Arjuna
merupakan salah satu dari tokoh pandawa lima yang diidolakan orang jawa.
Pandawa lima merupakan simbolisme dari lima sifat-sifat yang dimiliki oleh
pandawa yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Kelima tokoh tersebut
melambangkan sifat aji, giri, gaya, nagga dan priyambada, kelima sifat ini memiliki
maksud:
1.
Sifat Yudistira, yakni aji pengetahuan suci, artinya bijaksana dan mahir
dalam segala ilmu pengetahuan, tetuma ilmu pengetahuan suci atau agama.
2.
Sifat Bima, yakni aji giri, artinya kuat iman, teguh, tanguh dalam
menegakkan kebenaran serta tabaha dan tegar dalam menghadapi segala kendala
rintangan ataupun penderitaan.
3.
Sifat Arjuna, yakni aji jaya menang, artinya dapat menundukkan
musuh-musuhnya dan segala sifat-sifat buruk yang ada dalam dirinya, serta
sempurna lahir batin.
4.
Sifat Nakula, yakni nangga tangguh dan tanggap dalam segala keadaan serta tahu
membawa diri, sehingga tidak mudah terjerumus dalam kehancuran atau hal-hal
yang merugikan.
5.
Sifat Sadewa, yakni priyambada, artinya selalu memeberikan rasa
kebahagiaan, ketentraman serta kedamaian lahir dan batin kepada masyarakat[15].
Di dalam
pewayangan juga digambarkan keindahan dan kecantikan terhadap setiap tokoh
misalnya:
1.
Dewi Sambrada digambarkan sebagai seorang wanita yang mempunyai kesamaan dengan
bidadari.
2.
Dewi Srikandi digambarkan ibarat wanita dari bulan, suara menggema bagaikan
kilat yang diatur dan berbunyi bersama-sama, kulitnya kuning bagaikan kencana.
3.
Dewi Manohara digambarkan tentang kelebihan kecantikannya bagaikan lukisan yang
indah,. Wajahnya bagai bunga pandan, ibarat matahari yang trtutup tipisnya
awan. Bentuk lambung yang kecil rapi dan ramping bagaikan kumbang besar yang
mengitari bunga. Bibirnya yang kecil, merah, bagus bagaikan buah manggis yang
merekah.
4.
Ratna Gandawati digambarkan berabut hitam, sinomnya tebal, berleher indah,
berdada lebar kuning bagaikan kelapa gading yang masih muda. Bila ia
berjalanamat pelan bagaikan teratai yang melenggang di air.
5.
Dewi Ulupi liriknya digambarkan bagai teratai biru yang bersinar[16].
III. Bentuk Akulturasi Wayang Dan Islam[17].
Berikut beberapa contoh akulturasi antara kisah
atau pakem pewayangan yang berdasarkan budaya Hindu-Budha yang kemudian
digabungkan dengan unsur-unsur Islam:
- Kalimah-Syahadah diibaratkan dalam tokoh Puntadewa atau Samiaji sebagai saudara tua dari Pandawa, karena kalimah Syahadah memang rukun Islam yang pertama. Dalam cerita wayang, sifat-sifat Puntadewa sebagai raja (syahadat bagaikan rajanya rukun Islam) yang memiliki sikap berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan, sebagai pengejawantahan dari kalimah Syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin empat saudaranya dengan penuh suka duka dan kasih sayang. Demikian pula kalimah Syahadat sebagai “rajanya” rukun Islam yang lainnya, karena biarpun seseorang menjalankan rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima, namun apabila tak menjalankan rukun Islam yang pertama maka semua amalannya akan sia-sia.
- Shalat lima waktu dipersonifikasikan dalam tokoh Bima. Dalam kisah pewayangan tokoh tersebut dikenal juga sebagai Penegak Pandawa. Ia hanya dapat berdiri saja, karena memang tidak dapat duduk. Tidur dan merempun konon berdiri pula. Demikian pula shalat lima waktu selamanya harus ditegakkan. Baginya terpikul tugas penegak agama Islam dan jangan lupa sholat adalah tiang agama. Nabi Muhammad Ṣala Allāh Alayhi wa al Salām pernah bersabda: “Shalat lima waktu adalah penegak agama Islam. Siapa-siapa yang menjalankannya berarti menegakan Islam”.
- Zakat dipersonifiksikan dengan tokoh ketiga dalam Pandawa yakni Arjuna. Nama Arjuna diambil dari kata “jun” yang berarti jambangan. Benda ini merupakan simbol jiwa yang jernih. Kejernihan Arjuna memancar pada jiwa dan tubuhnya. Arjuna juga merupakan seorang pecinta seni keindahan. Perasaannya amat halus dan hangat. Karena kehalusannya, Arjuna jadi sulit mengatakan “tidak”. Karena kehalusan budi pekertinya tersebut Arjuna seolah-olah mempunyai kesan lemah. Padahal semua itu dilakukan agar tidak menyakiti hati orang lain. Selain itu dalam perang yang dijalaninya Arjuna tidak terkalahkan. Maka demikianlah, zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, karena setiap muslim berkewajiban berzakat, mengandung inti kebijaksanaan agar setiap orang Islam untuk berjuang memperoleh rizki dan kekayaan. Dalam cerita kepahlawanan Pandawa, Bima dan Arjuna paling menonjol peranannya, satu terhadap lainnya sangat memerlukan hingga menjadi dwi-tunggal yang tidak terpisahkan. Demikian pula sholat lima waktu dan zakat merupakan dua rukun Islam yang tidak terpisahkan, selamanya berjalan seiring-sejalan.
- Puasa Ramadhan dan Haji, dipersonifikasikan dalam tokoh kembar Nakula-Sadewa. Kedua tokoh ini tampil pada saat-saat tertentu saja. Demikian pula dengan puasa Ramadhan dan Haji tidak setiap hari dikerjakan. Bulan Ramadhan untuk puasa dan bulan Zulhijah, sekali dalam setahun untuk melakukan ibadah Haji. Pandawa bukanlah Pandawa tanpa si kembar Nakula dan Sadewa. Memanglah demikian, Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan tertentu, tidak demikian halnya dengan 3 rukun Islam sebelumnya, yang dilakukan setiap saat tiap hari.
IV. Nilai-Nilai
Islam Terkandung Dalam Wayang.
Kedatangan agama Islam di tanah Jawa telah menimbulkan perubahan
kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan
semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya
toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Dalam
Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di
Jawa adalah Wayang.
Peran yang dilakukan Walisanga adalah dalam
rangka mengislamkan tanah Jawa, dalam bukunya Poerbosoebroto yang berjudul “Wayang
Lambang Ajaran Islam” banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan maksud
Walisanga tadi. Oleh Walisanga, wayang diubah menjadi media dakwah Islam.
Akidah Islam disiarakan melalui mitologi Hindhu. Hal-hal yang berkaitan dengan dewa (hyang Sang Hyang) yang menjadi
sesembahan masyarakat waktu itu, dikait-kaitkan dengan cerita nabi. Mitologi
Hindhu berpegang pada dewa sebagai sesembahannya. Karena itu, Walisanga
memadukan cerita-cerita silsilah wayang yang diganti dengan silsilah Nabi. Cerita
silsilah wayang digarap dan diurutkan keatas sampai pada nabi Adam. Metode
dakwah Walisanga lewat mitologi Hindu, sangat tepat dengan kontek budaya
masyarakat Jawa waktu itu (abad 15). Untuk menyiarkan akidah Islam, Walisanga
memlilih cara atau metode Islamisasi Jawa disebut ‘de dewanisasi’ cerita
(lebih tepatnya de-sakralisasi Dewa / Tuhan Hindu). Cerita yang berhubungan
dengan dewa-dewa diubah supaya akidah Islam bisa masuk dalam hati sanubari
masyarakat. Hal ini dilakukan karena adanya dorongan untuk menyebarkan
Islam di jawa secara halus dan tidak terkesan memaksa. Perkembangan yang
terjadi sampai sekarang ini masih tersisa bahwa perjuangan para
Walisanga telah mengilhami ketolerensian agama Islam dengan budaya
setempat.
V.Tujuan Akulturasi Islam dengan Kesenian Wayang
Kesenian wayang kulit telah mendarah daging pada
masyarakat Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) sehingga sulit untuk
menghilangkan dan menggantinya dengan kebudayaan Islam. Karena kesulitan untuk
menghilangkan sesuatu yang telah melekat di dalam hati, maka para Wali Sanga
tidak kehilangan akal. Agar dakwah yang mereka lakukan berjalan lancar, maka
salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan cara memasukkan ajaran Islam ke
dalam pertunjukan wayang kulit.
Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan
cerita dan dialog sekitar Tasawuf dan Akhlaqul Karimah, untuk melemahkan
masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat
pada kebatinan. Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan
Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan
yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan
cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi kepercayaan
atau aqidah, ibadah dan juga Akhlaqul Karimah. Sehingga pada masa itu wayang
dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan mubaligh dengan
tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak khususnya di wilayah Jawa.
VI. Kesimpulan
Wayang merupakan kesenian tradisional suku
Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Pada masa itu nenek moyang masih
meyakini adanya roh-roh yang bersemayan di batu, gunung, dan kayu yang besar
yang mereka sebut Sang dan Hyang, mereka puja dan disembah. Kayu. Wayang
berasal dari cerita Ramayana dan Mahabarata dan menjadi pertunjukkan dan
tontonan, namun seiring dengan beiringan masuknya Islam ke Jawa, sebagai bentuk
dakwah Islam di Jawa wayang menjadi salah satu bentuk akulturasinya.
Bentuk akulturasinya pada tokoh puntadewa, bima, arjuna, nakula-sadewa, dan
yang lain. Nilai pergelaran wayang diisyaratkan dengan nilai-nilai islam oleh
para walisanga. Adapun beberapa bentuk akulturasi Islam dengan kesenian wayang
diantaranya; Kalimah-Syahadah dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa atau
Samiaji sebagai saudara tua dari Pandawa, shalat lima waktu dipersonifikasikan
dalam tokoh Bima, zakat dipersonifiksikan dengan tokoh ketiga dalam Pandawa
yakni Arjuna. puasa Ramadhan dan Haji, dipersonifikasikan dalam tokoh kembar
Nakula-Sadewa.
Akulturasi yang
dilakukan oleh walisanga dalam pagelaran wayang di daerah Jawa tidak lepas dari
misi dakwah yang diemban oleh Sunan Kalijaga, dengan melihat realitas sosial
pada saat itu yang menunjukan kentalnya kesenian wayang dalam kehidupan
masyarakat, mendorong sunan Kalijaga untuk menjadikan wayang sebagai salah satu
metode dalam dakwahnya, yaitu dengan memasukan ajaran-ajaran maupun nilai-nilai
Islam seperti aqidah, akhlak, dan ritual-ritual peribadatan dalam Islam.
Daftar Pustaka
Geertz,
Clifford. “Agama Jawa, Abangan, Priyayi, dalam Kebudayaan Jawa”. Depok: Komunitas
Bambu, 2014.
Haq,
Zaairul. “Ajaran Makrifat Penuntun Jiwa yang Jawa”. Bantul: Kreasi
Wacana, 2013.
Hariwijaya,
M. “Islam Kejawe”.Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006.
Susantio,
Djulianto. https://hurahura.wordpress.com/2012/02/24/ sejarah-wayang-di-indonesia/html.
Susetyo,Wawan.
“Bharatayuda Ajaran Simbolisasi Filosofi dan Maknanay dalam Kehidupan
Sehari-hari”. Bantul: Kreasi Wacana, 2007.
Zarkasi, Efendy. 1977:91.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, 2005.
Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
http://supraba15.blogspot.com/2013/04/sejarah-asal-usul-wayang.html
sejarah
pewayangan https://jun8807200133.wordpress.com/sejarah-pewayangan-di-indonesia/.
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2005),
hal. 1010
[2] Djulianto Susantio,
https://hurahura.wordpress.com/2012/02/24/ sejarah-wayang-di-indonesia/html.
(diakses pada: 24 Maret 2015).
[3]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 214
[4]
http://supraba15.blogspot.com/2013/04/sejarah-asal-usul-wayang.html.
(diakses pada: 24 Maret 2015).
[5]
http://supraba15.blogspot.com/2013/04/sejarah-asal-usul-wayang.html,
diakses pada 24 Maret 2015.
[6] sejarah pewayangan https://jun8807200133.wordpress.com/sejarah-pewayangan-di-indonesia/.
(Diakses pada 25 Maret 2015)
[8]
Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Priyayi, dalam Kebudayaan Jawa.
(Depok: Komunitas Bambu, 2014) Hal 375-376.
[9]
Zaairul Haq, Ajaran Makrifat Penuntun Jiwa yang Jawa, ( Bantul:
Kreasi Wacana, 2013), hal: 79.
[10]
.,ibid 80.
[11]
.,ibid 146.
[12]
Wawan Susetyo, Bharatayuda Ajaran Simbolisasi Filosofi dan Maknanay
dalam Kehidupan Sehari-hari, (Bantul: Kreasi Wacana, 2007) 118.
[13]
Efendy Zarkasi, 1977:91.
[14]
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, (Yogyakarta: Gelombang Pasang,
2006.) 139.
[15]
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, 142.
[16]
.,ibid 141.
[17]
http://hgbudiman.wordpress.com/2010/11/12/wayang-dawah-akulturasi-di-masa-madya/
(diakses pada 01 April 15).