KAJIAN ORIENTALISME RICHARD BELL
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/09/kajian-orientalisme-richard-bell.html
KAJIAN ORIENTALISME RICHARD BELL
Oleh:
Abdullah Fauzie Hanan
Ahmad Robi’
Ahmad Fawaid
I. Pendahuluan
Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies) diberi nama orientalisme baru abad ke 18, meskipun aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran “khususnya Islam” telah terjadi jauh sebelumnya.Namun istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah orientalisme.
A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani). Menurutnya orientalis adalah “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.” Pada tahun 1691, istilah orientalis digunakan oleh Anthony Wood untuk menyebut Samuel Clarke sebagai “orientalis yang cerdas”, karena mengetahui beberapa bahasa Timur. Edward Sa`id mendifinisikan orientalisme adalah bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada pemahaman dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan. Dalam konteks Islam dunia Timur yang menjadi obyek kajian orientalis yang terpenting adalah Islam. Maka dari itu mengkaji orientalisme dan al-Qur’an mengharuskan pemaparan tentang motif kajian, fase perkembangan dan obyektifitas kajian orientalisme
II. Biografi dan Pandangan Richard Bell Tentang al-Qur’an
A. Biografi Richard Bell
Richard Bell merupakan orientalis yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20, tak jelas waktu kelahirannya secara pasti. Dalam beberapa karyanya Ia adalah seorang pakar LingusitikBahasaketimuran, terutama dalam bahasa Arab. Richard Bell menjadi dosen di Universitas di Edinburgh London, Inggris. Bell mengawali karirnya sebagai sarjana al-Qur’an lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di Universitas Edinburgh, The Origins of Islam in its Crhistian Environment (1926).
Menurut Montgomery Watt, secara keseluruhan para orientalis masa ini mempunyai pandangan lebih baik dan telah berpendapat bahwa Nabi benar-benar seorang yang tulus dan bertindak sejujurnya. Diantaranya adalah:
1. Tor Andre menelaah pengalaman Nabi dari sudut psikologi dan menemukan bahwa pengalaman kenabian benar-benar sejati.
2. Frans Buhl yang menekankan makna kesejarahan yang bermakna luas dari gerakan keagamaan yang diinagurasi Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam.
3. Richard Bell, yang berbicara tentang karekter praktis dan faktual dari kegiatan Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam sebagai pribadi dan bahkan seorang Nabi.
Suasana diskursus orientalisme ini secrara intens mempengaruhi Richard Bell. Namun selebihnya, Richard Bell yang hidup pada akhir ke-19 sampai tahun 1960-an masih kelihatan sekali dipengaruhi suasana kolonialisme. Ciri dan posisi orientalime kelihatannya memang terlalu sulit untuk mengelak dari anggapan bahwa studi dan disiplin ini lebih bersifat ideologis dan merupakan anak kandung imperialisme dan kolonialisme. utama dalam usaha pendudukan ini adalah Inggris dan Prancis meskipun Rusia dan Jerman juga tidak dapat kita abaikan peranannya.
Dilihat dari karya-karya Richard Bell, ia merupakan seorang orientalis yang konsisten dalam kajiannya, yang tema sentralnya berkisar pada kajian al-Qur’an terutama dalam sastranya. Diantara karya-karyanya, baik berupa buku maupun dalam bentuk jurnal adalah:
1. Richard Bell, (1953). Introduction to the Quran, Edinburgh at the University.
2. Richard Bell, (1937-1939). The Quran Translation with a Critical Rearrangement of the surah, 2 jilid. Edinburgh: T & T Clark.
3. Richard Bell, (1926), The Origins of Islam in I’ts Chrsitian environment. London: Macmillan.
4. Richard Bell, (1925), The Origin of Islam in Its Christian Environment, Edinburgh University.
5. Richard Bell, A Commentaray on the Qur’an, (1991).
6.
B. Pandangan orientalis terhadap turunnya al-Qur’an
Mengenai pandangan orientalis tentang turunnya al-Qur’an sebenarnya adanya pandangan yang berbeda dengan kaum Muslimin dalam mengartikan itu. Setiap pendapat mereka memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Maka dari itu mudah bagi para sarjana Barat menggugat mushaf usmani yang selama ini diyakini kebenarannya oleh kaum Muslimin Dan diantara pendangan-pandangannya, yaitu:
a. Richard Bell, seorang orientalis abad XX, dengan memerhatikan QS. Al-Muzammil (73): 1-8, mengatakan bahwa Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi Wasallama bersusah payah menempatkan ayat al-Qur’an sesuai urutan turunnya wahyu, memilih waktu malam sebagai yang paling kuat dalam kesan dan paling tepat dalam ajaran, yaitu waktu munculnya pikiran paling jelas dan kata-kata yang tepat. Bahkan Bell memahami QS. al-Qiyaama (29): 16-19, yang terjemahannya adalah:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya (16) Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.(17) Apabila telah kami selasai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.(18) Kemudian sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.(19)"
Sebagai upaya Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi Wasallama sedang mati-matian mengarang dengan mencari kata-kata yang bisa mengalir lancar dan bersajak untuk mengungkapkan maknanya, mengulang frase dengan bersuara kepada diri sendiri, mencoba memaksa kelanjutannya sebelum keseluruhannya menjadi jelas.
Pandangan Bell ini telah dengan sengaja mengaburkan kenyataan bahwa al-Qur’an, sekalipun disampaikan melalui lisan Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam, betul-betul merupakan wahyu dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat bahwa al-Qur’an tidak hanya memuat hal yang sesuai dengan kehendak Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam melainkan juga menegurnya, seperti QS. ‘Abasa (80): 1-12; QS. ‘Ali imran (3): 128; QS. al-Anfal (8): 67-69. Lebih dari itu al-Qur’an tidak jarang datang secara tiba-tiba, bahkan boleh jadi tidak terlintas dalam benak Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam bahwa akan turun ayat.
Dengan anggapan seperti itu Para orientalis jelas ingin mengubah-ubah al-Qur’an dan biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah dan seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi.
Disamping itu adanya hubungan emosi-politis juga menjadikan semua kajian orientalisme klasik kemudian hanya merupakan upaya untuk mengaburkan atau bahkan menghancurkan informasi tentang al-Qur’an. Antonius Walaeus, pendiri dan rektor Semanirium Indicum (1622-1632), misalnya, menyatakan dalam karyanya Opera Omnia bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang disampaikan dan penuh dengan pemikiran yang saling bertentangan.
Didalam suatu ungkapan, katanya lebih lanjut, Tuhan digambarkan sebagai wujud fisik, sedang duduk diatas kursi yang dibawa dari satu tempat ke tempat lain oleh empat orang malaikat yang kuat. Hukum al-Qur’an, katanya lagi, tidak hanya bertentangan dengan hukum moral dan hukum ketuhanan mengenai banyak masalah, tetapi juga bertentangan dengan petunjuk-petunjuk nyata Kristus. Khususnya, orang akan mencela praktik istri lebih dari satu dan gundik-gundik, kebiasaan membunuh saudara kandung sendiri dikalangan kerajaan, berceari tanpa alasan apapun, dan berbagai kejahatan yang secara seksual menentang kodrat alam yang masih tanpa hukum.
C. Kelemahan Pandangan Orientalis Terhadap Turunnya al-Qur’an.
Secara umum, ada bebarapa kejanggalan untuk tidak menyebutkan kesalahan pada beberapa pendekatan yang dilakukan orientalis dalam melakukan pengkajian terhadap al-Qur’an yang darinya hasil kajiannya menyandang beberapa kelemahan yang dilakukan oleh orientalis dalam mengkaji Islam secara umum, yaitu:
a. Orientalis melakukan pengkajian melalui berbagai pikiran tertulis ulama-ulama besar dan cenderung mengabaikan ungkapan dan pengalaman hidup yang tak tertulis, berbagai tulisan ulama dianggap tidak representatif dan berbagai sistem semiotis, non linguistik, seperti mitos, ritus, musik, susunan ruang-waktu, urbanisme, arsitektur, lukisan, dekor, perabot, pakaian, susunan kekerabatan dan susunan sosial.
b. Orientalis menggunakan pendekatan hisotoris berbasis Materialisme Sejarah yang pada prinsipnya menegaskan adanya kekuatan lain di luar diri manusia. Oleh sebab itu, sejarah dalam pandangan ini hanya dianggap sebagai suatu proses penciptaan dan penciptaan ulang dari kebutuhan manusia yang terus menerus.
Sekalipun kajian-kajian terhadap al-Qur’an yang dilakukan orientalis mempunyai kelemahan tersebut, dari dasar-dasar kritisisme dan analisis filologis serta simiotis yang telah dilakukan para orientalis, telah membuka peluang yang sangat luas bagi pengembangan keilmuan al-Qur’an. Setidaknya apa yang telah dilakukan para orientalis telah membangkitkan kembali khazanah pemikiran Islam yang sudah mati dan tidak memiliki gairah hidup.
Al-Qur’an merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka menanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad saw. Khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat islam ingin melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi Isa. Bagi mereka, Musa atau ‘Moses’ cuma tokoh fiktif belaka, invented mythical figure dalam dongeng Bible, manakala tokoh ‘Jesus’ masih lagi diliputi misteri dan cerita-cerita ‘isapan jempol’. Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian ‘Jesus Historis’ mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah hidup Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam ? Setelah itu, Muncullah Arthur Jeffery yang menulis The Quest of the Historical Muhammad, dimana ia tidak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad sebagai “kepala perampok” (robber chief). Usaha Jeffery tersebut diteruskan F.E. Petters dan belum lama ini dilanjutkan oleh seseorang yang menyebut dirinya “Ibn Warraq”. Missionaris-orientalis ini tidak menyadari bahwa sesungguhnya tulisan mereka hanyalah menunjukkan kebusukan hati dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji.
Sikap semacam ini juga tampak dalam kajian orientalis terhadap Hadis. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi Aphokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam Khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk sejarah Hadis. Mereka berspekulasi apa yang dikenal sebagai Hadis muncul beberapa ratus tahun sesudan Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam . wafat, bahwa Hadis mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap totkoh fiktif. Penyandaran suatu Hadis secara sistematik (isnad), menurut mereka baru muncul pada zaman daulat Abbasiyah. Karena itu, mereka beranggapan dari sekian banyak Hadis hanya sedikit saja yang shahih, manakal sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margholiouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya. Para orientalis-missionaris tersebut menghendaki agar umat Islam membuang tuntutan Rasullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam . sebagimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus
III. Kesimpulan
Richard Bell merupakan orientalis yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20, tak jelas waktu kelahirannya secara pasti. Dalam beberapa karyanya Ia adalah seorang pakar Lingusitik Bahasa ketimuran, terutama dalam bahasa Arab. Richard Bell menjadi dosen di Universitas di Edinburgh London, Inggris. Bell mengawali karirnya sebagai sarjana al-Qur’an lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di Universitas Edinburgh, The Origins of Islam in its Crhistian Environment (1926).
Mengenai pandangan orientalis tentang turunnya al-Qur’an sebenarnya adanya pandangan yang berbeda dengan kaum Muslimin dalam mengartikan itu. Setiap pendapat mereka memiliki argumentasi sendiri-sendiri
Secara umum, ada bebarapa kejanggalan untuk tidak menyebutkan kesalahan pada beberapa pendekatan yang dilakukan orientalis dalam melakukan pengkajian terhadap al-Qur’an yang darinya hasil kajiannya menyandang beberapa kelemahan
Daftar Pustaka
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an : Kajian Kritis Jakarta: Gema Insani press, 2005
Muslih Muhammad, Religious Studies, Prolem Hubungan Islam dan Barat,
http://www.referensimakalah.com/2013/05/biografi-richard-bell.html Dikutip pada tanggal 20, Desember 2014
Said Edward, OrientalismVintage Books, New York, 1979
The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII.
Arif Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: GemaInsani, 2008
Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an, Malang.: UIN-Malang Press, 2008