1735262163458753
Loading...

MENGENAL TAFSIR MANAR



PENELITIAN TAFSIR MANAR
Pembukaan
Al-Quran merupakan sebuah karya yang telah menyita perhatian banyak orang, melebihi semua karya paling fenomenal di seluruh dunia. Al-Quran yang juga memiliki nama lain kitabullah ini telah mampu melahirkan ribuan bahkan jutaan kitab lainnya berkat inspirasi yang dikandungnya. Keberadaannya yang demikian meneguhkan posisi bahwa al-Quran memang benar-benar sebuah karya Tuhan yang juga menjadi mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW.
Dengan adanya al-Quran juga telah –dan akan terus—mampu melahirkan kitab-kitab syarah atau tafsir. Kitab tafsir tersebut berisi tentang pemaknaan dan penjelasan dari ayat-ayat al-Quran. Setiap ulama memiliki pandangan yang berbeda terhadap al-Quran. Hebatnya, semakin banyak orang yang mencoba menafsirkan al-Quran justru semakin banyak karya tafsir yang bisa dihasilkan. Karena semakin banyak perspektif yang dimiliki akan semakin membuka cakrawala. Al-Quran ketika dilihat dari sudut pandang sosiologis akan berbeda hasilnya ketika al-Quran dilihat dengan pendekatan ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya.
Karya-karya Tafsir terhadap al-Quran merupakan representasi dari setiap ulama yang mencoba membahasakan pemahaman dari hasil pembacaannya terhadap al-Quran. Sehingga dari sebelumnya al-Quran merupakan sesuatu yang sakral, namun hasil penafsiran dari para ulama berupa kitab tafsir merupakan sesuatu yang tidak lagi sakral. Kitab tafsir merupakan sebuah produk karya manusia yang bisa saja benar dan tidak tertutup kemungkinan hal itu tidak tepat. Mendudukkan posisi ini mejadi penting dilakukan sehingga kita mampu memahami dan menempatkan al-Quran dan kitab tafsir sebagai sesuatu yang berbeda dan terpisah.
Keberadaan kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama sangat dipengaruhi oleh banyak hal dalam lingkup siosio-historisnya. Keberadaan mereka sebagai seorang manusia biasa yang hidup bersama masyarakat lainnya, yang berinteraksi dengan sesama, yang memiliki pengalaman hidup berbeda tentu akan memberi pengaruh dalam diri seseorang. Hal ini mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap, cara berprilaku, dan cara memandang terhadap sesuatu.
Kesemuanya ini menjadi sebab sangat pentingnya untuk melakukan sebuah penelitian yang mendalam terhadap sebuah karya tafsir. Dengan adanya pemahaman terhadap sang penulisnya berikut semua lika-liku perjalanan dan pengalaman hidupnya akan memberikan informasi yang valid dan tidak parsial. Sehingga kita mampu memahami mengapa misalnya ulama ini menafsirkan ayat ini seperti ini sedangkan ulama lainnya berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang seharusnya patut diketahui oleh kalangan pecinta ilmu-ilmu al-Quran.
Sejarah mencatat bahwa dunia Islam mengalami pasang surut kejayaannya. Pergantian masa tersebut mempunyai kekhasan tersendiri yang membedakan dengan masa lainnya. Fakta ini ikut memberi pengaruh terhadap perkembangan ilmu-ilmu al-Quran dan Tafsir. Pasca runtuhnya Kesultanan Turki Usmani, dunia Islam mengalami perubahan yang sangat drastis. Perubahan ini tidak terlepas dari faktor sosio kultural yang dialami oleh umat islam pada masanya. Selain berimbas pada perkembangan Islam sebagai ajaran agama, juga berimbas pada revolusi pemikiran para tokoh Islam.
Munculnya para pemikir Islam dalam suasana akultursi budaya antara timur dan barat, menyebabkan arah dan paradigma berpikirnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran barat yang rasionalis. Namun demikian, bukan berarti bahwa para pemikir Islam scripturalis sudah tidak eksis lagi.[1]
Pertemuan budaya timur dan barat dalam dunia Islam juga berimbas pada corak penafsiran para mufassir pada masa itu. Salah satu faktor yang mengakibatkan perkawinan tradisi keilmuan Timur dan Barat adalah perpindahan pusat keilmuan yang pada awalnya berada di Negara-negara Islam, setelah runtuhnya kejayaan islam pusat keilmuan itu berpindah ke Barat. Hal tersebut sedikitnya memaksa umat Islam untuk memalingkan arah kiblat keilmuan ke barat yang cenderung rasionalis.
Berangkat dari semua itu, maka upaya untuk memahami hasil penafsiran dari seorang mufassir akan jauh berbeda hasilnya ketika dipahami terlebih dahulu perjalanan hidup dan lingkungan sang mufassir tersebut. Tidak bisa disanggah lagi, bahwa kondisi sosio historis dan politis di mana seorang mufassir hidup akan mempengaruhi nalar berfikir dan interperetasinya terhadap Al-Qur’an.
Dalam tulisan ini kami mencoba untuk menelaah lebih jauh salah satu kitab Tafsir Modern. Kitab ini disebut-sebut sebagai kitab yang mempelopori lahirnya kitab tafsir lainnya yang lebih ilmiah dan konstektual. Berawal dari ketidakpuasan dan kegelisahan intelektual Muhammad Abduh terhadap interpretasi Al-Quran yang dilakukan oleh mufassir sebelumnya, dan suasana belajar yang dialami oleh yang cenderung doktriner, telah menggugah keinginan Abduh untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan konteks zaman yang dialaminya. Mendorongnya untuk membumikan tafsir al-Quran melalui tafsir al-Manar dari yang sebelumnya bersifat melangit dan hanya dinikmati oleh kalangan elit.[2]
Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar. Perkuliahan tersebut dicatat dan kemudian disusun oleh Muhammad Rasyid Ridha menjadi sebuah karya dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim setelah wafatnya Muhammad Abduh pada tahun 1905. Namun kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodic.


A.      Penulis Kitab Al-Manar
1.      Muhammad Abduh
1.1.  Biografi
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 H, bertepatan dengan 1849 M, ayahnya berasal dari desa Mahallat Nashr di daerah al Bahīrah, sedangkan ibunya berasal dari daerah desa Hashat Syabsir di al Gharibiyah, disebut-sebut berasal dari keluarga Usman, dari Bani ‘Adi salah satu suku Arab terkemuka.[3] Menurut pendapat lain, ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin Khattab. Dalam banyak literatur, disebutkan bahwa ia lahir di suatu desa tepatnya di Mesir Hilir, namun tak pasti di desa apa. Hal ini disebabkan masyarakat desa di Mesir waktu itu mempunyai pandangan bahwa tak begitu penting mengingattanggal kelahiran anaknya. Bapak Muhammad Abduh sendiri senantiasa berpidah dari desa satu ke desa yang lain, hal ini diakibatkan oleh kesewenangan penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam mengumpulkan pajak yang tidak adil.[4]Padaakhirnya, bapaknya menetap di desa Mahallah Nasrdan membeli sebidang tanah di sana.
Bapak Muhammad  Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah yang  berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir.Kedua orang tua Abduh hidup dalam masa rezim Muhammad Ali Pasha, yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena ketidakcocokan dengan beberapa kebijakan penguasa, ayah Abduh pernah dituduh hendak menentang pemerintah yang kemudian menyebabkannya masuk tahanan. Situasi sosial-politik yang demikian mengakibatkan kedua orang tua Abduh tidak sempat memperoleh pendidikan yang tinggi. Meskipun demikian, keluarga Abduh Khairullah dikenal sangat kuat dalam menjalankan agama, dan inilah yang dijadikan pijakan dalam membesarkan anak-anaknya.[5]
Muhammad Abduh berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagaigai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Beliau hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Semua sudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk mnuntut ilamu pengetahuan. Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah serta ibunya.[6]
Dalam peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882), Muhammad Abduh ikut terlibat didalamnya, sehingga ketika pemberontakan itu berakhir, ia diusir dari Mesir. Dalam pembuangannya ia memilih Syiria (Beirut), disini ia mendapat kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sultaniyah, kurang lebih satu tahun lamanya. Kemudian ia pergi ke Paris atas panggilan Sayid Jamaluddin al-Afghani, yang pada waktu itu tahun 1884 telah berada di sana. Bersama-sama Jamaluddin al-Afghani disusunlah suatu gerakan yang bernama “Al-‘Urwatul Wutsqa”.Suatu gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Tujuan gerakan/organisasi ini adalah untuk menyatukan umat Islam, dan sekaligus melepaskan dari sebab-sebab perpecahan mereka. Setelah 18 bulan di Paris, organisasi tersebut bubar dan Abduh kembali mengajar di Beirut. Di situlah ia menulis Risālat al-Tauhīd dan menterjemahkan Al-Radd ‘Alāal-Dahriyyīn, buku tulisan Jamaluddin al-Afghani yang semula berbahasa Perancis. Di sini pula ia menikah untuk kedua kalinya setelah istrinya yang pertama meninggal.
Setelah diizinkan untuk kembali ke Mesir, pada tanggal 3 Juni 1899 beliau diserahi oleh pemerintah untuk memangku jabatan mufti Mesir, suatu jabatan yang paling tinggi menurut pandangan kaum muslimin. Berbeda dengan mufti-mufti sebelumnya, Abduh tidak mau membatasi dirinya hanya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja, tetapi ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum muslimin. Apa saja masalah-masalah yang timbul di kalangan kaum muslimin, terutama bangsa Mesir, yang dihadapkan kepadanya, dilayaninya dengan senang hati dan diselesaikannya dengan baik. Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 1905.Disamping itu pula, ia juga diangkat menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legislative Council). Muhammad Abduh pernah juga diserahi jabatan Hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang hakim yang adil.[7]
1.2    Perjalanan Keilmuan
lm Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thanta (sekitar 80 km dari Kairo untuk mempelajari Tajwid al-Quran. Alasan utama dipilihnya Masjid Ahmadi adalah karena Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah Universitas Al-Azhar, dari segi tempat belajar Al-Quran dan menghapalnyaNamun pengajaran disana dirasakan sangat mejengkelkan, sehingga setelah dua tahun (yaitu tahun 1864), Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara sera kaum kerabatnya.[10]
Sewaktu baru berumur 16 tahun, Abduh-pun menikah. Namun, baru saja empat puluh hari menikah, ia dipaksa orang tuanya untuk kembali belajar ke Tantha. Ia pun meninggalkan kampungnya, tetapi bukannya pergi ke Tantha, Abduh malahan bersembunyi lagi dirumah pamannya. Dan disini, Abduh bertemu dengan seseorang yang merubah riwayat hidupnya. Orang tersebut bernama syeikh Darwisy Khadr yang sekaligus adalah paman dari ayahnya sendiri. Pada mulanya Syekh Darwisy tahu bahwa Abduh cukup enggan untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda tersebut untuk ikut membaca bersama-sama dengannya. Kengganan Abduh dalam belajar rupanya selalu dibarengi dengan bimbingan yang penuh kesabaran dari Syekh Darwisyi tersebut, hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Muhammad Abduh sendiri, ia pada waktu itu sangat benci melihat buku, dan buku yang diberikan Syekh Darwisy kepadanya untuk dibaca ia lemparkan jauh-jauh. Buku itu dipungut Syekh Darwisy kembali dan diberikan kepadanya dan akhirnya Abduh membaca juga beberapa baris. Setiap habis satu kalimat, Syekh Darwisy memberikan penjelasan luas tentang arti dan maksud yang dikandung kalimat itu. Setelah beberapa hari membaca buku bersama-sama dengan cara yang diberikan Syekh Darwisy itu, Muhammad Abduhpun berubah secara drastis sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Ia sekarang mulai mengerti dan mengetahui lebih banyak.[11]
Setelah belajar di Thanta, pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi al-Azhar di Cairo, dan di sinilah ia bertemu dan berkenalan dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Ketika Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir pada tahun 1871 M, dan sekaligus untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh pun langsung menjadi muridnya yang paling setia. Ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani dan di masa inilah ia mulai membuat karangan harian al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya di al-Azhar selesai dengan hasil yang sangat baik dan ia mendapatkan gelar alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum. Karena hubungannya dengan Jamaluddin al-Afghani dituduh mengadakan gerakan menentang Khadewi Taufik, maka Muhammad Abduh yang juga turut dipandang turut campur dalam persoalan ini dibuang keluar kota Cairo, tetapi setahun kemudian, di tahun 1880 M. ia dibolehkan kembali ke ibukota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir yang bernama Al-Waqa’il Mishriyah, yang dibantu oleh Sa’ad Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah ini Muhammad Abduh mendapat kesempatan yang lebih luas menyampaikan ide-idenya, melalui artikel-artikelnya yang hangat dan tinggi nilainya tentang ilmu agama, filsafat, kesusasteraan, dan lain-lain. Ia juga mempunyai kesempatan untuk mengadakan kritikan terhadap pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.[12]
1.3 Karya-Karya Muhammad 'Abduh
Diantara karya yang ditulis oleh Muhammad 'Abduh adakah sebagai berikut:
a.       Hasyiyah 'Ala Syarh al-Dawwani li al-'Aqa'id al-'Adudiyah
b.      Risalah al-Tauhid
c.       al-Islam wa al-Nasraniyah ma'a al-'Ilm al-Madaniyah
d.      Durus min al-Qur'an
e.       Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin (menterjemah karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia)
f.        Tafsir al-Qur'an al-Karim Juz 'Amma
g.       Tafsir al-Manar

2.      Muhammad Rasyid Ridha
2.1 Biografi
Sayyid Muhammad Rasyid Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekita 4 km dari Tripoli, Libanon,[8] pada 27 Jumadil Ula 1282 H. Dia adalah seorang bangsaan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, puta dari pasangan mulia Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri kesayangan Nabi Muhammad SAW. Gelar “Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada yang mempunyai garis keturunan tersebut.[9]
Keturunan keluarga Rasyid Ridha tergolong keluarga yang mewarisi tradisi keilmuan. Salah seorang kakek Rasyid Ridha, yaitu Sayyid Syaikh Ahmad, dikenal sangat taat dan wara’, sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah. Tak tersisa waktunya untuk bersantai bahkan untuk sekedar menerima tamu. Beliau tidak menerima tamu kecuali sahabat terdekat dan ulama, itu pun hanya pada waktu tertentu, yaitu di waktu antarasetelah ashar sampai menjelang magrib. Ketika Rasyid Ridha mencapai umur remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa, dan ilmu dari sang kakek. Sedangkan Rasyid Ridha mengakui bahwa dirinya sangat terpengaruh dan bahkan belajar dari sang ayahnya sendiri secara langsung.
2.2 Perjalan Keilmuan
Tidak ada yang meragukan tentang kedalaman ilmu Rasyid Ridha. Sejak kecil beliau hidup dalam lingkungan dan suasana belajar. Bagi Muhammad Rasyid Ridha, orang tua merupakan guru yang paling utama. Namun ia tak berpuas diri dengan satu guru. Ia belajar kepada banyak ulama besar. Sejak kecil ia sudah belajar di khuttab (semacam taman pendidikan di kampung). Di khuttab inilah beliau belajar membaca al-Quran, menulis, dan berhitung. Baru setelah lulus dari khuttab, beliau dikirim ke Tripoli untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Di sinilah Rasyid Ridha mulai belajar ilmu Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, Matematika, termasuk ilmu Bumi.
Menurut Quraisy Shihab, mereka yang belajar disana dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah. Saat itu, Libanon masih dibawah kekuasaan Kerajaan Turki Usmani, bahasa yang digunakan juga masih bahasa Turki. Karena itu, Rasyid Ridha tidak tertarik untuk terus belajar disana. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1299 H/1822 M, beliau pindah ke sekolah Islam Negeri, sebuah sekolah terbaik pada saat itu. Sekolah ini dipimpin oleh seorang ulama besar Syam, Syaikh Husain al-Jisr.[13] Syaikh inilah yang sangat berperan dalam merubah pola pikir Rasyid Ridha. Hubungan mereka sangat dekat meskipun kemudian sekolah tersebut terpaksa harus ditutup. Syaikh Husain juga yang merekomendasikan beliau untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli. Di tahun 1314 H, beliau mendapatkan ijazah dari syaikh Husain dalam bidang ilmu-ilmu agama, ilmu bahasa, dan filsafat.
Disamping itu, Rasyid Ridha juga mempunyai beberapa guru lainnya, diantaranya :
- Syaikh Mahmud Nasyabah
- Syaikh Muhammad al-Qawijiy
- Syaikh Abdul Ghani ar-Rafi
- Syaikh Muhammad al-Husaini
- Syaikh Muhammad Kamil al-Rafi
2.3 Karya-Karya Rasyid Ridha
Diantara karya yang ditulis oleh Rasyid Ridha  adakah sebagai berikut:
a.       Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhakamah Al-Qadariyyah wa al-Rifa’iyyah
b.      Tarikh al-Ustadh al-Imam Muhammad Abduh
c.       Al-Wahyu al-Muhammadiy
d.      Risalah fi Hujjah al-Islam al-Ghazali
e.       Majalah al-Manar sebanyak 34 jilid
f.        Tafsir al-Qur'an yang al-Manar sebanyak 12 jilid
g.       Al-Fatawa sebanyak 6 jilid
h.      Shubhatu al-Nashara wa Hujjaju al-Islam
i.         Nida’ li al-Jins al-Ladzif
j.         Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar al- Mashry
3. Pertemuan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
Majalah al-Urwah al-Wusqa, yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar di seluruh dunia Islam, ikut dibaca oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya. Disaat yang bersamaan Rsyid Ridha sedang memulai perjuangan di kampung halamannya melalui pengajian dan menulis di media massa.
Kekaguman Rasyid Ridha kepada Abduh bertambah besar sejak Abduh embali ke Beirut untuk kedua kalinya pada 1885 dan mengajar sambil menulis. Pertemuan antara keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk berkunjung ke salah seorang temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah, yang mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Pada pertemuan pertama ini, Rasyid Ridha sempat bertanya, apa kitab tafsir terbaik menurut Muhammad Abduh. Oleh Abduh dijawab bahwa tafsir al-Kasysyaf , karya al-Zamakhsyari adalah yang terbaik, karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya.[14]
Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M, di Tripoli. Pertemuan ini berlangsung sepanjang hari, sehingga mereka saling berdiskusi tentang banyak hal. Pertemuan ketiga, di Kairo, Mesir pada tanggal 23 Rajab 1315 H/ 18 Januari 1898 M. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengangkat masalah-masalah sosial keagamaan dan budaya.
Pada mulanya Abduh sempat menolak gagasan ini, karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi masalah yang akan diangkat kurang menarik perhatian umum. Namun karena kekukuhan Rasyid Ridha, akhirnya Abduh merestui dan memilih nama al-manar, dari sekian banyak usulan nama yang ditawarkan oleh Rasyid Ridha.
4. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran M. Abduh dan Rasyid Ridha
Pada dasarnya, Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh:
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat
Sedangkan untuk perbedaan penafsiran Muhammad Abduh dan RasyidRidha adalah:
1.      Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi saw;
2.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat; seperti :
a.       Bidang hukum;
b.      Bidang perbandingan agama;
c.       Bidang sunnatullah (hukum-hukum Allah dalam masyarakat); dan
d.      Perkembangan ilmu pengetahuan.
3.      Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat; dan
4.      Keluasan pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi.[25]

Dalam penafsirannya Muhammad Rasyid Ridha mempunyai banyak perbedaan dengan Muhammad Abduh[13]. Di bawah ini akan dikemukakan contoh perbedaan-perbedaan tersebut:
a.       Rashi>d Rid}a> dikenal luas sebagai seorang ulama yang amat dalam pengetahuannya tentang sunah nabi, dia juga menilai banyak riwayat baik dari nabi, sahabat maupun tabi’in yang dapat membantu menjelasakan kandungan al-Qur’an. Sedangkan Muhammad Abduh tidak banyak mengambil riwayat untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an.
b.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat, dalam hal keluasan pembahasan ini, Rashi>d Rid}a> menasihatkan agar uraian tersebut dibaca tersendiri, bukan pada waktu membaca tafsir ayat-ayat al-Qur’an, supaya tidak terputus pikiran pembaca dengan ayat-ayat tersebut.
c.       Rashi>d Rid}a> mengikuti jejak Ibnu Kathi>r dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya.
d.      Rashi>d Rid}a> berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh suatu kata, atau rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama.
e.       Rashi>d Rid}a> lebih rasional sedangkan Muhammad ‘Abduh tidak terlalu rasional, disebut rasional karena pada masa itu adanya taklid buta. Muhammad Abduh juga banyak memasukkan perjanjian lama.

B.      Tafsir al-Manar
1.      Sekilas Tentang Tafsir al-Manar
Tafsir al-Manar yang bernama Tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai“kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah(hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu.”Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan).  Penulisan tafsir ini dilatar belakangi oleh situasi kondisi sosial, politik, dan budaya yang sangat memprihatinkan, tidak hanya di Mesir tapi juga di hampir seluruh Negara Arab.Persoalan ini membuat M.Abduh merasa perlu melakukan pembaharuan pemikiran masyarakat Islam akan hal tersebut.[15]
Pada mulanya, tafsir ini adalah materi Abduh yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya bernama Muhammad Rasyid Ridha bin Muhammad Syamsuddin, beliau lahir di Qalmun pada tahun 1282 H / 1865 M, wafat di Kairo pada 1354 H / 1935 M, hidup selama 70 tahun.[16]Muhammad Abduh mulai membacakan tafsirnya pada kuliah tafsir di Universitas al-Azhar  mulai dari  awal Muharram tahun 1317 H sampai pertengahan Muharram 1327, tiga bulan sebelum beliau wafat. Beliau membacakan penafsirannya sampai penafsiran surah an-Nisa’ ayat 126sebanyak 5 juz dalam kurun waktu 6 tahun.[17]  Rasyid Ridha berinisiatif tulisan-tulisannya itu dijadikan sebuah buku tafsir, karena sebelumnya tulisannya disebuah majalah tersebar luas dan berpengaruh terhadap negara-negara Arab yang kemudian semua pengajaran Abduh dicatat oleh muridnya untuk kemudian dikoreksi  kembali oleh Abduh.
Karenanya,Tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk dinisbahkan kepada Muhammad Rasyid Ridha, sebab di samping lebih banyak yang ditulisnya―baik dari segi jumlah ayat maupun dari segi jumlah halamannya―juga karena dalam penafsiran ayat-ayat surah al-Fatihah dan surah al-Baqarah serta surah an-Nisa ditemui pula pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang ditandai olehnya dengan menulis kata aqūlu (أقول) sebelum menguraikan pendapatnya.[18]
Tujuan pokok penafsiran al-Qur’an dalam pandangan Muhammad Abduh ialah menekankan fungsi-fungsi kehidayahan al-Qur’an untuk manusia agar mereka benar-benar dapat menjalani kehidupan ini dibawah bimbingan dan petunjuk al-Qur’an. Penekanan dari  segi hidayah ini ditegaskan kembali oleh Rasyid Ridha, dalam MuqaddimahTafsir al-Manar.  Ridha mengatakan bahwa Allah SWT telah menurunkan bagi kita kitab suci-Nya sebagai hidayah (petunjuk) dan cahaya terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya untuk mensucikan kehidupan dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat[19]. Hal ini senada dengan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah : 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. Al-Baqarah : 185)
Adapun mengenai sumbernya, jika  dilihat dan dicermati kandungannya, Tafsir Al-Manar bisa dikatakan  merupakan kolaborasi antara tafsīr bi al-ma’tsūr/bi al-riwāyat dan tafsīr bi al-Ra’yi. Dalam penjelasan-penjelasannya, ayat-ayat al-Qur’an menjadi sumber utama dalam penafsirannya, hadits-hadits Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu hadits menjadi sumber berikutnya  dan  semuanya dikaitkan dengan al-Qur’an  sesuai dengan problema yang terjadi di masyarakat.[20]
2.      Latar Belakang Penulisan
Latar belakang penulisan tafsir al manar ini adalah karena Rasyid Ridha ini karena beliu menyadari adanya bidah dan khufarat yang terdapat dalam ajaran tasawuf dan tarekat. Karena itu ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Ia juga berupaya membimbing masyarakat agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah bercampur dengan bidah dan khufarrat tersebut. Upaya yng dilakukannya antara lain membuka pengajian, menebang pohon yang dianggap keramat dan membawa berkah, dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan  para wali dann bertawasul dengan para wali yang telah wafat.
Setelah pertemuanya yang kedua dengan Muhammad Abduh 1885, pengaruh ide pembaharuan Al-Afghani dan Abduh semakin mendalam pada diri Riidha. Ide-ide pembaharuan yang selaras dengan visinya itu iterapkan pada tempat kelahirannya, namun karena mendapat tantangan dari penguasa, Ridha berhijrah ke Mesir dan bergabung dengan Abduh dalam memperjuangkan pembaharuan pada 1352 H/1885 M. Dimesir Ridha menjadi murid sekaligus mitra, penrjemah, pengulas pemikiran-pemikiran Abduh.
Pada awalnya Tafsir almanar ini berangkat dari majalah almanar yang terbit dalam bentuk tabloid  yang terbit seminggu sekali, kemudian setengah bukan sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-kadang setahun hanya sembilan nomor. Majalah itu ditrebitkan Ridha seorang diri hingga akhir hayatnya. Apa yang dilakukan Rasyid ridaha adalah prestasi besar yang sulit ditandingi orang lain, Selama al-Manar terbit, sebanya 34 jilid bear setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya. Setelah Rasyid ridha wafat, masih ada inisiatif  dari keluarga dan sahabatnya untuk terus menerbitkan majalah tersebut, namun mereka hanya mampu menerbitkan sebanyak dua nomor yang kemudian dihimpun menjadi ke-35.
3.      Metode Penafsiran dalam Tafsir al-Manar
Sumber penafsiran yang disajikan oleh Muhammad 'Abduh dan Rashi>d Rid}a dalam tafsir al-Mana>r adalah lebih cenderung kepada al-Ra'yi. Hal ini dikarenakan Muhammad 'Abduh berusaha mencapai tujuan, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni -menurut pandangannya- serta menghubungkan dengan masa kini.
Menurut Muhammad 'Abduh, pengunaan akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur'anberdasarkan asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami oleh akal, tetapi tidak pertentangan dengan akal.[18] Oleh karenanya rasionalitas dalam berpikir adalah sesuatu yang memiliki signifiknsi yang kuat.
Dari penjelasan ini maka pemakalah mengambil kesimpulan bahwa tafsir al-Mana>r dilihat dari sumber penafsirannya cenderung pada tafsir Bi al-Ra’yi walaupun terkadang ada berbagai riwayat tentang Nabi dalam kitab tafsir tersebut namun hal itu hanya sebagian kecil saja contoh ketika menafsirkan surat al-Baqarah, 187; أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
" Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam "
 Muhammad'Abduh menjelaskan ayat ini dengan menyebutkan hadis Nabi[19] yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِم
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila malam telah datang, siang telah hilang, dan matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa sungguh sudah boleh berbuka."

Namun demikian penjelasan yang menggunakan penjelasan yang bersifat riwayat hanyalah sedikat dan ada dalam segelintir penjelasan ayat saja sehingga pemakalah mengambil konklusi bahwa tafsir al-Mana>r adalah tafsir yang tergolong Bi al-Ra’yi.
Al-Manar bisa dikatakan menggunakan metode tahlīli karena penafsirannya dimulai dari surat al-Fatihah atau berdasarkan susunan surah-surah yang ada di mushaf, menjelaskan dan menafsirkan ayat perayat, dengan memaparkan makna dan aspek yang terkandung dalam ayat tersebut dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat.Untuk corak penafsirannya, tafsir Al-Manar memiliki corak penafsiran sebagai berikut :[21]
a.       Corak al-Adabī Ijtimā’ī
Sebagaimana diketahui tafsir Muhammad Abduh mempelopori corak al-Adabī Ijtimā’ī, penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an dan keindahan susunannya dalam penafsiran al-Qur’an itu menurut Muhammad Abduh tiada lain hanya bertujuan untuk menarik jiwa manusia untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al-Qur’an.Muhammad Quraish Shihab menyatakan yang dimaksud dengan tafsir bercorak al-Adabī Ijtimā’ī ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari tujuan diturunkannya al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu memadukan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
b.      CorakTafsir al-Hidā’ī
Yaitu, corak yang dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan hidayah atau akhlak al-Qur’an sebagai poros atau sentral dari usaha penafsiran terhadap kitab suci al-Qur’an. Perlu adanya pembinaan akhlak menurut Muhammad Abduh, karena pembinan akhlak melalui pesan al-Qur’an menjadi misi penafsirannya.Maka perhatian Muhammad Abduh dalam bidang ilmu pengetahuan juga terlihat dalam tafsirnya.
c.       Corak‘Ilmī
Corak ini terlihat pada upaya Abduh menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.Kelihatannya  upayanya ini dimaksudkan agar masyarakat lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al-Qur’an apabila dalam menafsirkan pesan-pesan itu mufassir menghubungkannya  dengan kejadian-kejadian atau peristiwa yang timbul dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa dilihat dari penafsiran Muhammad Abduh mengenai sihir yang terdapat dalam al-Quran surah Thaha ayat 66, yaitu dengan menjelaskan bahwa sihir-sihir yang dilakukan oleh kaum fir’aun tentang tali yang menyerupai ular adalah dengan melekatkan air raksa pada tali-tali dan tongkat mereka sehingga tali dan tongkat tersebut seakan bergerak.[22]
4.      Ciri-ciri Tafsir al-Manar
1.      Melihat setiap surat sebagai satu kesatuan ayat yang  serasi
2.      Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3.      Al-Qur’an sumber akidah dan hukum.
4.      Penggunaan secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
5.      Menentang dan memberantas taklid
6.      Tidak memerinci yang mubham
7.      Selektif dalam memasukan hadits
8.      Kritis terhadappendapatsahabatdanmenolakisrailiyyat
9.      Mengaitkan tafsir al-Qur’an dengan kehidupan sosial.
C.      Kesimpulan
Tafsir al-Mana>r adalah salah satu kitab tafsir yang menitik beratkan penjelasanayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan manusia kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi problema-problema umat manusia, karena itu tafsir al-Mana>r tidak merinci hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal, selain itu jkitab tafsir ini memproklamasikan untuk menghidupkan kembali nilai-nila Qur'ani dan memcegah untuk bersikap taklid buta.

DAFTAR PUSTAKA
Haddad, Yvonne Yazbeck dalam Ali Rahnema (ed),Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
al-Khalidi,Sholah Abdul Fatah.Ta’rīfal-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn. Beirut: Dar al-Syamiyah, 2002.
Faizah Ali Syibromalisi M.A. dan Jauhar Azizy.“Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern”. Jakarta: LITBANG UIN. 2011
Shihab, M. Quraisy, Studi Kritis Tafsir al-Manar; Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha. Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994
Sayid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār dalam al-Maktabah al-Syamilah ver. 3.5
http://cahayakhaeroni.blogspot.com/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-one.html,diakses pada 25 Februari 2014
Kumpulan Makalah 3390840959301481149

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments