MENGENAL TAFSIR MANAR
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/06/mengenal-tafsir-manar.html
PENELITIAN
TAFSIR MANAR
Pembukaan
Al-Quran
merupakan sebuah karya yang telah menyita perhatian banyak orang, melebihi
semua karya paling fenomenal di seluruh dunia. Al-Quran yang juga memiliki nama
lain kitabullah ini telah mampu melahirkan ribuan bahkan jutaan kitab lainnya
berkat inspirasi yang dikandungnya. Keberadaannya yang demikian meneguhkan
posisi bahwa al-Quran memang benar-benar sebuah karya Tuhan yang juga menjadi
mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW.
Dengan
adanya al-Quran juga telah –dan akan terus—mampu melahirkan kitab-kitab syarah
atau tafsir. Kitab tafsir tersebut berisi tentang pemaknaan dan penjelasan dari
ayat-ayat al-Quran. Setiap ulama memiliki pandangan yang berbeda terhadap
al-Quran. Hebatnya, semakin banyak orang yang mencoba menafsirkan al-Quran
justru semakin banyak karya tafsir yang bisa dihasilkan. Karena semakin banyak
perspektif yang dimiliki akan semakin membuka cakrawala. Al-Quran ketika
dilihat dari sudut pandang sosiologis akan berbeda hasilnya ketika al-Quran
dilihat dengan pendekatan ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya.
Karya-karya
Tafsir terhadap al-Quran merupakan representasi dari setiap ulama yang mencoba
membahasakan pemahaman dari hasil pembacaannya terhadap al-Quran. Sehingga dari
sebelumnya al-Quran merupakan sesuatu yang sakral, namun hasil penafsiran dari
para ulama berupa kitab tafsir merupakan sesuatu yang tidak lagi sakral. Kitab
tafsir merupakan sebuah produk karya manusia yang bisa saja benar dan tidak tertutup
kemungkinan hal itu tidak tepat. Mendudukkan posisi ini mejadi penting
dilakukan sehingga kita mampu memahami dan menempatkan al-Quran dan kitab
tafsir sebagai sesuatu yang berbeda dan terpisah.
Keberadaan
kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama sangat dipengaruhi oleh banyak hal
dalam lingkup siosio-historisnya. Keberadaan mereka sebagai seorang manusia
biasa yang hidup bersama masyarakat lainnya, yang berinteraksi dengan sesama,
yang memiliki pengalaman hidup berbeda tentu akan memberi pengaruh dalam diri
seseorang. Hal ini mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap, cara berprilaku,
dan cara memandang terhadap sesuatu.
Kesemuanya
ini menjadi sebab sangat pentingnya untuk melakukan sebuah penelitian yang
mendalam terhadap sebuah karya tafsir. Dengan adanya pemahaman terhadap sang
penulisnya berikut semua lika-liku perjalanan dan pengalaman hidupnya akan
memberikan informasi yang valid dan tidak parsial. Sehingga kita mampu memahami
mengapa misalnya ulama ini menafsirkan ayat ini seperti ini sedangkan ulama
lainnya berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang seharusnya patut
diketahui oleh kalangan pecinta ilmu-ilmu al-Quran.
Sejarah
mencatat bahwa dunia Islam mengalami pasang surut kejayaannya. Pergantian masa
tersebut mempunyai kekhasan tersendiri yang membedakan dengan masa lainnya.
Fakta ini ikut memberi pengaruh terhadap perkembangan ilmu-ilmu al-Quran dan
Tafsir. Pasca runtuhnya Kesultanan Turki Usmani, dunia Islam mengalami
perubahan yang sangat drastis. Perubahan ini tidak terlepas dari faktor sosio
kultural yang dialami oleh umat islam pada masanya. Selain berimbas pada
perkembangan Islam sebagai ajaran agama, juga berimbas pada revolusi pemikiran
para tokoh Islam.
Munculnya
para pemikir Islam dalam suasana akultursi budaya antara timur dan barat,
menyebabkan arah dan paradigma berpikirnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran
barat yang rasionalis. Namun demikian, bukan berarti bahwa para pemikir Islam
scripturalis sudah tidak eksis lagi.[1]
Pertemuan
budaya timur dan barat dalam dunia Islam juga berimbas pada corak penafsiran
para mufassir pada masa itu. Salah satu faktor yang mengakibatkan perkawinan
tradisi keilmuan Timur dan Barat adalah perpindahan pusat keilmuan yang pada
awalnya berada di Negara-negara Islam, setelah runtuhnya kejayaan islam pusat
keilmuan itu berpindah ke Barat. Hal tersebut sedikitnya memaksa umat Islam
untuk memalingkan arah kiblat keilmuan ke barat yang cenderung rasionalis.
Berangkat
dari semua itu, maka upaya untuk memahami hasil penafsiran dari seorang mufassir
akan jauh berbeda hasilnya ketika dipahami terlebih dahulu perjalanan hidup dan
lingkungan sang mufassir tersebut. Tidak bisa disanggah lagi, bahwa kondisi
sosio historis dan politis di mana seorang mufassir hidup akan mempengaruhi
nalar berfikir dan interperetasinya terhadap Al-Qur’an.
Dalam
tulisan ini kami mencoba untuk menelaah lebih jauh salah satu kitab Tafsir
Modern. Kitab ini disebut-sebut sebagai kitab yang mempelopori lahirnya kitab
tafsir lainnya yang lebih ilmiah dan konstektual. Berawal dari ketidakpuasan
dan kegelisahan intelektual Muhammad Abduh terhadap interpretasi Al-Quran yang
dilakukan oleh mufassir sebelumnya, dan suasana belajar yang dialami oleh yang
cenderung doktriner, telah menggugah keinginan Abduh untuk menafsirkan Al-Quran
yang sesuai dengan konteks zaman yang dialaminya. Mendorongnya untuk membumikan
tafsir al-Quran melalui tafsir al-Manar dari yang sebelumnya bersifat melangit
dan hanya dinikmati oleh kalangan elit.[2]
Tafsir ini
bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang
disampaikan di Universitas al-Azhar. Perkuliahan tersebut dicatat dan kemudian
disusun oleh Muhammad Rasyid Ridha menjadi sebuah karya dengan judul Tafsir
al-Qur’an al-Hakim setelah wafatnya Muhammad Abduh pada tahun 1905. Namun
kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah
diterbitkan secara serial dan periodic.
A. Penulis
Kitab Al-Manar
1. Muhammad
Abduh
1.1. Biografi
Muhammad
Abduh lahir pada tahun 1266 H, bertepatan dengan 1849 M, ayahnya berasal dari
desa Mahallat Nashr di daerah al Bahīrah, sedangkan ibunya berasal dari daerah
desa Hashat Syabsir di al Gharibiyah, disebut-sebut berasal dari keluarga
Usman, dari Bani ‘Adi salah satu suku Arab terkemuka.[3] Menurut pendapat lain,
ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar
keturunan Umar bin Khattab. Dalam banyak literatur, disebutkan bahwa ia lahir
di suatu desa tepatnya di Mesir Hilir, namun tak pasti di desa apa. Hal ini
disebabkan masyarakat desa di Mesir waktu itu mempunyai pandangan bahwa tak
begitu penting mengingattanggal kelahiran anaknya. Bapak Muhammad Abduh sendiri
senantiasa berpidah dari desa satu ke desa yang lain, hal ini diakibatkan oleh
kesewenangan penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam mengumpulkan pajak yang tidak
adil.[4]Padaakhirnya, bapaknya menetap di desa Mahallah Nasrdan membeli
sebidang tanah di sana.
Bapak
Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan
Khairullah yang berasal dari Turki yang
telah lama tinggal di Mesir.Kedua orang tua Abduh hidup dalam masa rezim
Muhammad Ali Pasha, yang memerintah Mesir dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Karena ketidakcocokan dengan beberapa kebijakan penguasa, ayah
Abduh pernah dituduh hendak menentang pemerintah yang kemudian menyebabkannya
masuk tahanan. Situasi sosial-politik yang demikian mengakibatkan kedua orang
tua Abduh tidak sempat memperoleh pendidikan yang tinggi. Meskipun demikian,
keluarga Abduh Khairullah dikenal sangat kuat dalam menjalankan agama, dan
inilah yang dijadikan pijakan dalam membesarkan anak-anaknya.[5]
Muhammad
Abduh berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan
bangsawan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagaigai orang terhormat yang suka
memberi pertolongan. Beliau hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan.
Semua sudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad
Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk mnuntut ilamu pengetahuan. Pilihan ini
mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh
ayah serta ibunya.[6]
Dalam
peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882), Muhammad Abduh ikut terlibat
didalamnya, sehingga ketika pemberontakan itu berakhir, ia diusir dari Mesir.
Dalam pembuangannya ia memilih Syiria (Beirut), disini ia mendapat kesempatan
mengajar pada perguruan tinggi Sultaniyah, kurang lebih satu tahun lamanya.
Kemudian ia pergi ke Paris atas panggilan Sayid Jamaluddin al-Afghani, yang
pada waktu itu tahun 1884 telah berada di sana. Bersama-sama Jamaluddin
al-Afghani disusunlah suatu gerakan yang bernama “Al-‘Urwatul Wutsqa”.Suatu
gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Tujuan gerakan/organisasi ini adalah
untuk menyatukan umat Islam, dan sekaligus melepaskan dari sebab-sebab
perpecahan mereka. Setelah 18 bulan di Paris, organisasi tersebut bubar dan
Abduh kembali mengajar di Beirut. Di situlah ia menulis Risālat al-Tauhīd dan
menterjemahkan Al-Radd ‘Alāal-Dahriyyīn, buku tulisan Jamaluddin al-Afghani
yang semula berbahasa Perancis. Di sini pula ia menikah untuk kedua kalinya
setelah istrinya yang pertama meninggal.
Setelah
diizinkan untuk kembali ke Mesir, pada tanggal 3 Juni 1899 beliau diserahi oleh
pemerintah untuk memangku jabatan mufti Mesir, suatu jabatan yang paling tinggi
menurut pandangan kaum muslimin. Berbeda dengan mufti-mufti sebelumnya, Abduh
tidak mau membatasi dirinya hanya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan
pemerintah saja, tetapi ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum
muslimin. Apa saja masalah-masalah yang timbul di kalangan kaum muslimin,
terutama bangsa Mesir, yang dihadapkan kepadanya, dilayaninya dengan senang
hati dan diselesaikannya dengan baik. Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia
meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 1905.Disamping itu pula, ia juga diangkat
menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legislative Council). Muhammad Abduh pernah
juga diserahi jabatan Hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai
seorang hakim yang adil.[7]
1.2 Perjalanan
Keilmuan
lm Mula-mula
Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thanta (sekitar 80 km
dari Kairo untuk mempelajari Tajwid al-Quran. Alasan utama dipilihnya Masjid
Ahmadi adalah karena Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah
Universitas Al-Azhar, dari segi tempat belajar Al-Quran dan menghapalnyaNamun
pengajaran disana dirasakan sangat mejengkelkan, sehingga setelah dua tahun
(yaitu tahun 1864), Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya dan
bertani seperti saudara-saudara sera kaum kerabatnya.[10]
Sewaktu baru
berumur 16 tahun, Abduh-pun menikah. Namun, baru saja empat puluh hari menikah,
ia dipaksa orang tuanya untuk kembali belajar ke Tantha. Ia pun meninggalkan
kampungnya, tetapi bukannya pergi ke Tantha, Abduh malahan bersembunyi lagi
dirumah pamannya. Dan disini, Abduh bertemu dengan seseorang yang merubah
riwayat hidupnya. Orang tersebut bernama syeikh Darwisy Khadr yang sekaligus
adalah paman dari ayahnya sendiri. Pada mulanya Syekh Darwisy tahu bahwa Abduh
cukup enggan untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda tersebut untuk ikut
membaca bersama-sama dengannya. Kengganan Abduh dalam belajar rupanya selalu
dibarengi dengan bimbingan yang penuh kesabaran dari Syekh Darwisyi tersebut,
hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Muhammad Abduh sendiri, ia pada waktu
itu sangat benci melihat buku, dan buku yang diberikan Syekh Darwisy kepadanya
untuk dibaca ia lemparkan jauh-jauh. Buku itu dipungut Syekh Darwisy kembali
dan diberikan kepadanya dan akhirnya Abduh membaca juga beberapa baris. Setiap
habis satu kalimat, Syekh Darwisy memberikan penjelasan luas tentang arti dan
maksud yang dikandung kalimat itu. Setelah beberapa hari membaca buku
bersama-sama dengan cara yang diberikan Syekh Darwisy itu, Muhammad Abduhpun
berubah secara drastis sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Ia sekarang
mulai mengerti dan mengetahui lebih banyak.[11]
Setelah
belajar di Thanta, pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi al-Azhar
di Cairo, dan di sinilah ia bertemu dan berkenalan dengan Sayyid Jamaluddin
al-Afghani. Ketika Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir pada tahun 1871 M, dan
sekaligus untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh pun langsung menjadi muridnya
yang paling setia. Ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani dan di masa inilah
ia mulai membuat karangan harian al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan.
Pada tahun 1877 studinya di al-Azhar selesai dengan hasil yang sangat baik dan
ia mendapatkan gelar alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen al-Azhar
disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum. Karena hubungannya dengan
Jamaluddin al-Afghani dituduh mengadakan gerakan menentang Khadewi Taufik, maka
Muhammad Abduh yang juga turut dipandang turut campur dalam persoalan ini
dibuang keluar kota Cairo, tetapi setahun kemudian, di tahun 1880 M. ia
dibolehkan kembali ke ibukota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat
kabar resmi pemerintah Mesir yang bernama Al-Waqa’il Mishriyah, yang dibantu
oleh Sa’ad Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur.
Dengan majalah ini Muhammad Abduh mendapat kesempatan yang lebih luas
menyampaikan ide-idenya, melalui artikel-artikelnya yang hangat dan tinggi
nilainya tentang ilmu agama, filsafat, kesusasteraan, dan lain-lain. Ia juga
mempunyai kesempatan untuk mengadakan kritikan terhadap pemerintah tentang
nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.[12]
1.3 Karya-Karya
Muhammad 'Abduh
Diantara
karya yang ditulis oleh Muhammad 'Abduh adakah sebagai berikut:
a. Hasyiyah
'Ala Syarh al-Dawwani li al-'Aqa'id al-'Adudiyah
b. Risalah
al-Tauhid
c. al-Islam wa
al-Nasraniyah ma'a al-'Ilm al-Madaniyah
d. Durus min
al-Qur'an
e. Ar-Raddu
'Ala ad-Dahriyyin (menterjemah karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa
Persia)
f.
Tafsir al-Qur'an al-Karim Juz
'Amma
g. Tafsir
al-Manar
2. Muhammad Rasyid
Ridha
2.1 Biografi
Sayyid
Muhammad Rasyid Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekita 4 km
dari Tripoli, Libanon,[8] pada 27 Jumadil Ula 1282 H. Dia adalah seorang
bangsaan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain,
puta dari pasangan mulia Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri kesayangan Nabi
Muhammad SAW. Gelar “Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa
diberikan kepada yang mempunyai garis keturunan tersebut.[9]
Keturunan
keluarga Rasyid Ridha tergolong keluarga yang mewarisi tradisi keilmuan. Salah
seorang kakek Rasyid Ridha, yaitu Sayyid Syaikh Ahmad, dikenal sangat taat dan
wara’, sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah.
Tak tersisa waktunya untuk bersantai bahkan untuk sekedar menerima tamu. Beliau
tidak menerima tamu kecuali sahabat terdekat dan ulama, itu pun hanya pada
waktu tertentu, yaitu di waktu antarasetelah ashar sampai menjelang magrib.
Ketika Rasyid Ridha mencapai umur remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan,
wibawa, dan ilmu dari sang kakek. Sedangkan Rasyid Ridha mengakui bahwa dirinya
sangat terpengaruh dan bahkan belajar dari sang ayahnya sendiri secara
langsung.
2.2 Perjalan
Keilmuan
Tidak ada
yang meragukan tentang kedalaman ilmu Rasyid Ridha. Sejak kecil beliau hidup
dalam lingkungan dan suasana belajar. Bagi Muhammad Rasyid Ridha, orang tua
merupakan guru yang paling utama. Namun ia tak berpuas diri dengan satu guru.
Ia belajar kepada banyak ulama besar. Sejak kecil ia sudah belajar di khuttab
(semacam taman pendidikan di kampung). Di khuttab inilah beliau belajar membaca
al-Quran, menulis, dan berhitung. Baru setelah lulus dari khuttab, beliau
dikirim ke Tripoli untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Di sinilah Rasyid
Ridha mulai belajar ilmu Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, Matematika, termasuk ilmu
Bumi.
Menurut
Quraisy Shihab, mereka yang belajar disana dipersiapkan untuk menjadi pegawai
pemerintah. Saat itu, Libanon masih dibawah kekuasaan Kerajaan Turki Usmani,
bahasa yang digunakan juga masih bahasa Turki. Karena itu, Rasyid Ridha tidak
tertarik untuk terus belajar disana. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1299
H/1822 M, beliau pindah ke sekolah Islam Negeri, sebuah sekolah terbaik pada
saat itu. Sekolah ini dipimpin oleh seorang ulama besar Syam, Syaikh Husain
al-Jisr.[13] Syaikh inilah yang sangat berperan dalam merubah pola pikir Rasyid
Ridha. Hubungan mereka sangat dekat meskipun kemudian sekolah tersebut terpaksa
harus ditutup. Syaikh Husain juga yang merekomendasikan beliau untuk menulis di
beberapa surat kabar Tripoli. Di tahun 1314 H, beliau mendapatkan ijazah dari
syaikh Husain dalam bidang ilmu-ilmu agama, ilmu bahasa, dan filsafat.
Disamping
itu, Rasyid Ridha juga mempunyai beberapa guru lainnya, diantaranya :
- Syaikh
Mahmud Nasyabah
- Syaikh
Muhammad al-Qawijiy
- Syaikh
Abdul Ghani ar-Rafi
- Syaikh
Muhammad al-Husaini
- Syaikh
Muhammad Kamil al-Rafi
2.3
Karya-Karya Rasyid Ridha
Diantara
karya yang ditulis oleh Rasyid Ridha
adakah sebagai berikut:
a. Al-Hikmah
al-Syar’iyyah fi Muhakamah Al-Qadariyyah wa al-Rifa’iyyah
b. Tarikh
al-Ustadh al-Imam Muhammad Abduh
c. Al-Wahyu
al-Muhammadiy
d. Risalah fi
Hujjah al-Islam al-Ghazali
e. Majalah
al-Manar sebanyak 34 jilid
f.
Tafsir al-Qur'an yang al-Manar
sebanyak 12 jilid
g. Al-Fatawa
sebanyak 6 jilid
h. Shubhatu
al-Nashara wa Hujjaju al-Islam
i.
Nida’ li al-Jins al-Ladzif
j.
Al-Muslimun wa al-Qibti wa
al-Muktamar al- Mashry
3. Pertemuan
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
Majalah
al-Urwah al-Wusqa, yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad
Abduh di Paris, yang tersebar di seluruh dunia Islam, ikut dibaca oleh Rasyid
Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya. Disaat yang
bersamaan Rsyid Ridha sedang memulai perjuangan di kampung halamannya melalui
pengajian dan menulis di media massa.
Kekaguman
Rasyid Ridha kepada Abduh bertambah besar sejak Abduh embali ke Beirut untuk
kedua kalinya pada 1885 dan mengajar sambil menulis. Pertemuan antara keduanya
terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk berkunjung ke
salah seorang temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah, yang mengajar di sekolah
al-Khanutiyah. Pada pertemuan pertama ini, Rasyid Ridha sempat bertanya, apa
kitab tafsir terbaik menurut Muhammad Abduh. Oleh Abduh dijawab bahwa tafsir
al-Kasysyaf , karya al-Zamakhsyari adalah yang terbaik, karena ketelitian
redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya.[14]
Pertemuan
kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M, di Tripoli. Pertemuan ini berlangsung
sepanjang hari, sehingga mereka saling berdiskusi tentang banyak hal. Pertemuan
ketiga, di Kairo, Mesir pada tanggal 23 Rajab 1315 H/ 18 Januari 1898 M.
Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya
untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengangkat masalah-masalah sosial
keagamaan dan budaya.
Pada mulanya
Abduh sempat menolak gagasan ini, karena pada saat itu di Mesir sudah cukup
banyak media massa, apalagi masalah yang akan diangkat kurang menarik perhatian
umum. Namun karena kekukuhan Rasyid Ridha, akhirnya Abduh merestui dan memilih
nama al-manar, dari sekian banyak usulan nama yang ditawarkan oleh Rasyid
Ridha.
4. Persamaan
dan Perbedaan Pemikiran M. Abduh dan Rasyid Ridha
Pada
dasarnya, Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang
digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh:
1. Memandang
setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat
Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran
adalah sumber Aqidah dan Hukum
4.
Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5. Bersikap
hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6. Bersikap
hati-hati terhadap pendapat sahabat
Sedangkan
untuk perbedaan penafsiran Muhammad Abduh dan RasyidRidha adalah:
1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat
yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi saw;
2. Penyisipan pembahasan yang luas
menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat; seperti :
a. Bidang hukum;
b. Bidang perbandingan agama;
c. Bidang sunnatullah (hukum-hukum Allah
dalam masyarakat); dan
d. Perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Keluasan pembahasan tentang penafsiran
ayat dengan ayat; dan
4. Keluasan pembahasan kosakata dan
ketelitian susunan redaksi.[25]
Dalam
penafsirannya Muhammad Rasyid Ridha mempunyai banyak perbedaan dengan Muhammad
Abduh[13]. Di bawah ini akan dikemukakan contoh perbedaan-perbedaan tersebut:
a. Rashi>d Rid}a> dikenal luas
sebagai seorang ulama yang amat dalam pengetahuannya tentang sunah nabi, dia
juga menilai banyak riwayat baik dari nabi, sahabat maupun tabi’in yang dapat
membantu menjelasakan kandungan al-Qur’an. Sedangkan Muhammad Abduh tidak
banyak mengambil riwayat untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an.
b. Penyisipan pembahasan yang luas
menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat, dalam hal keluasan
pembahasan ini, Rashi>d Rid}a> menasihatkan agar uraian tersebut dibaca
tersendiri, bukan pada waktu membaca tafsir ayat-ayat al-Qur’an, supaya tidak
terputus pikiran pembaca dengan ayat-ayat tersebut.
c. Rashi>d Rid}a> mengikuti jejak
Ibnu Kathi>r dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya.
d. Rashi>d Rid}a> berusaha untuk
menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh suatu kata, atau
rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang
berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga berbicara tentang persoalan yang
sama.
e. Rashi>d Rid}a> lebih rasional
sedangkan Muhammad ‘Abduh tidak terlalu rasional, disebut rasional karena pada
masa itu adanya taklid buta. Muhammad Abduh juga banyak memasukkan perjanjian
lama.
B. Tafsir
al-Manar
1. Sekilas
Tentang Tafsir al-Manar
Tafsir
al-Manar yang bernama Tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan dirinya
sebagai“kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih
dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta
sunnatullah(hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi
al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat,
serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini
(pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu.”Tafsir ini
disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah
ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi tidak dapat
diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Penulisan tafsir ini dilatar belakangi oleh
situasi kondisi sosial, politik, dan budaya yang sangat memprihatinkan, tidak
hanya di Mesir tapi juga di hampir seluruh Negara Arab.Persoalan ini membuat
M.Abduh merasa perlu melakukan pembaharuan pemikiran masyarakat Islam akan hal
tersebut.[15]
Pada
mulanya, tafsir ini adalah materi Abduh yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan
dicatat oleh muridnya bernama Muhammad Rasyid Ridha bin Muhammad Syamsuddin,
beliau lahir di Qalmun pada tahun 1282 H / 1865 M, wafat di Kairo pada 1354 H /
1935 M, hidup selama 70 tahun.[16]Muhammad Abduh mulai membacakan tafsirnya
pada kuliah tafsir di Universitas al-Azhar
mulai dari awal Muharram tahun
1317 H sampai pertengahan Muharram 1327, tiga bulan sebelum beliau wafat.
Beliau membacakan penafsirannya sampai penafsiran surah an-Nisa’ ayat
126sebanyak 5 juz dalam kurun waktu 6 tahun.[17] Rasyid Ridha berinisiatif tulisan-tulisannya
itu dijadikan sebuah buku tafsir, karena sebelumnya tulisannya disebuah majalah
tersebar luas dan berpengaruh terhadap negara-negara Arab yang kemudian semua
pengajaran Abduh dicatat oleh muridnya untuk kemudian dikoreksi kembali oleh Abduh.
Karenanya,Tafsir
al-Manar yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk dinisbahkan kepada Muhammad
Rasyid Ridha, sebab di samping lebih banyak yang ditulisnya―baik dari segi
jumlah ayat maupun dari segi jumlah halamannya―juga karena dalam penafsiran
ayat-ayat surah al-Fatihah dan surah al-Baqarah serta surah an-Nisa ditemui
pula pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang ditandai olehnya dengan menulis kata
aqūlu (أقول) sebelum menguraikan pendapatnya.[18]
Tujuan pokok
penafsiran al-Qur’an dalam pandangan Muhammad Abduh ialah menekankan
fungsi-fungsi kehidayahan al-Qur’an untuk manusia agar mereka benar-benar dapat
menjalani kehidupan ini dibawah bimbingan dan petunjuk al-Qur’an. Penekanan
dari segi hidayah ini ditegaskan kembali
oleh Rasyid Ridha, dalam MuqaddimahTafsir al-Manar. Ridha mengatakan bahwa Allah SWT telah
menurunkan bagi kita kitab suci-Nya sebagai hidayah (petunjuk) dan cahaya
terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya untuk mensucikan kehidupan
dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat[19]. Hal ini senada
dengan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah : 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
Artinya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya
diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S.
Al-Baqarah : 185)
Adapun
mengenai sumbernya, jika dilihat dan
dicermati kandungannya, Tafsir Al-Manar bisa dikatakan merupakan kolaborasi antara tafsīr bi
al-ma’tsūr/bi al-riwāyat dan tafsīr bi al-Ra’yi. Dalam
penjelasan-penjelasannya, ayat-ayat al-Qur’an menjadi sumber utama dalam
penafsirannya, hadits-hadits Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu hadits menjadi
sumber berikutnya dan semuanya dikaitkan dengan al-Qur’an sesuai dengan problema yang terjadi di
masyarakat.[20]
2. Latar
Belakang Penulisan
Latar
belakang penulisan tafsir al manar ini adalah karena Rasyid Ridha ini karena
beliu menyadari adanya bidah dan khufarat yang terdapat dalam ajaran tasawuf
dan tarekat. Karena itu ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Ia juga
berupaya membimbing masyarakat agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah
bercampur dengan bidah dan khufarrat tersebut. Upaya yng dilakukannya antara
lain membuka pengajian, menebang pohon yang dianggap keramat dan membawa
berkah, dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan para wali dann bertawasul dengan para wali
yang telah wafat.
Setelah
pertemuanya yang kedua dengan Muhammad Abduh 1885, pengaruh ide pembaharuan
Al-Afghani dan Abduh semakin mendalam pada diri Riidha. Ide-ide pembaharuan
yang selaras dengan visinya itu iterapkan pada tempat kelahirannya, namun
karena mendapat tantangan dari penguasa, Ridha berhijrah ke Mesir dan bergabung
dengan Abduh dalam memperjuangkan pembaharuan pada 1352 H/1885 M. Dimesir Ridha
menjadi murid sekaligus mitra, penrjemah, pengulas pemikiran-pemikiran Abduh.
Pada awalnya
Tafsir almanar ini berangkat dari majalah almanar yang terbit dalam bentuk
tabloid yang terbit seminggu sekali,
kemudian setengah bukan sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-kadang
setahun hanya sembilan nomor. Majalah itu ditrebitkan Ridha seorang diri hingga
akhir hayatnya. Apa yang dilakukan Rasyid ridaha adalah prestasi besar yang
sulit ditandingi orang lain, Selama al-Manar terbit, sebanya 34 jilid bear
setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya. Setelah Rasyid
ridha wafat, masih ada inisiatif dari
keluarga dan sahabatnya untuk terus menerbitkan majalah tersebut, namun mereka
hanya mampu menerbitkan sebanyak dua nomor yang kemudian dihimpun menjadi
ke-35.
3. Metode
Penafsiran dalam Tafsir al-Manar
Sumber
penafsiran yang disajikan oleh Muhammad 'Abduh dan Rashi>d Rid}a dalam
tafsir al-Mana>r adalah lebih cenderung kepada al-Ra'yi. Hal ini dikarenakan
Muhammad 'Abduh berusaha mencapai tujuan, yakni menjelaskan hakikat ajaran
Islam yang murni -menurut pandangannya- serta menghubungkan dengan masa kini.
Menurut
Muhammad 'Abduh, pengunaan akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur'anberdasarkan
asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui
pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang
sulit dipahami oleh akal, tetapi tidak pertentangan dengan akal.[18] Oleh
karenanya rasionalitas dalam berpikir adalah sesuatu yang memiliki signifiknsi
yang kuat.
Dari
penjelasan ini maka pemakalah mengambil kesimpulan bahwa tafsir al-Mana>r
dilihat dari sumber penafsirannya cenderung pada tafsir Bi al-Ra’yi walaupun
terkadang ada berbagai riwayat tentang Nabi dalam kitab tafsir tersebut namun
hal itu hanya sebagian kecil saja contoh ketika menafsirkan surat al-Baqarah,
187; أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
"
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam "
Muhammad'Abduh menjelaskan ayat ini dengan
menyebutkan hadis Nabi[19] yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ
الصَّائِم
"Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila malam telah datang, siang
telah hilang, dan matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa sungguh
sudah boleh berbuka."
Namun
demikian penjelasan yang menggunakan penjelasan yang bersifat riwayat hanyalah
sedikat dan ada dalam segelintir penjelasan ayat saja sehingga pemakalah
mengambil konklusi bahwa tafsir al-Mana>r adalah tafsir yang tergolong Bi
al-Ra’yi.
Al-Manar
bisa dikatakan menggunakan metode tahlīli karena penafsirannya dimulai dari
surat al-Fatihah atau berdasarkan susunan surah-surah yang ada di mushaf,
menjelaskan dan menafsirkan ayat perayat, dengan memaparkan makna dan aspek
yang terkandung dalam ayat tersebut dengan tujuan menghasilkan makna yang benar
dari setiap bagian ayat.Untuk corak penafsirannya, tafsir Al-Manar memiliki
corak penafsiran sebagai berikut :[21]
a. Corak al-Adabī Ijtimā’ī
Sebagaimana
diketahui tafsir Muhammad Abduh mempelopori corak al-Adabī Ijtimā’ī, penonjolan
ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an dan keindahan susunannya dalam
penafsiran al-Qur’an itu menurut Muhammad Abduh tiada lain hanya bertujuan
untuk menarik jiwa manusia untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk
al-Qur’an.Muhammad Quraish Shihab menyatakan yang dimaksud dengan tafsir
bercorak al-Adabī Ijtimā’ī ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan
ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an, kemudian menyusun
kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan
tujuan dari tujuan diturunkannya al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam
kehidupan, lalu memadukan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam
yang berlaku dalam masyarakat.
b. CorakTafsir al-Hidā’ī
Yaitu, corak
yang dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan hidayah atau akhlak
al-Qur’an sebagai poros atau sentral dari usaha penafsiran terhadap kitab suci
al-Qur’an. Perlu adanya pembinaan akhlak menurut Muhammad Abduh, karena
pembinan akhlak melalui pesan al-Qur’an menjadi misi penafsirannya.Maka
perhatian Muhammad Abduh dalam bidang ilmu pengetahuan juga terlihat dalam
tafsirnya.
c. Corak‘Ilmī
Corak ini
terlihat pada upaya Abduh menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan dan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.Kelihatannya upayanya ini dimaksudkan agar masyarakat
lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al-Qur’an apabila
dalam menafsirkan pesan-pesan itu mufassir menghubungkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa yang
timbul dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa dilihat dari penafsiran Muhammad
Abduh mengenai sihir yang terdapat dalam al-Quran surah Thaha ayat 66, yaitu
dengan menjelaskan bahwa sihir-sihir yang dilakukan oleh kaum fir’aun tentang
tali yang menyerupai ular adalah dengan melekatkan air raksa pada tali-tali dan
tongkat mereka sehingga tali dan tongkat tersebut seakan bergerak.[22]
4. Ciri-ciri
Tafsir al-Manar
1. Melihat setiap surat sebagai satu
kesatuan ayat yang serasi
2. Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3. Al-Qur’an sumber akidah dan hukum.
4. Penggunaan secara luas dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an
5. Menentang dan memberantas taklid
6. Tidak memerinci yang mubham
7. Selektif dalam memasukan hadits
8. Kritis
terhadappendapatsahabatdanmenolakisrailiyyat
9. Mengaitkan tafsir al-Qur’an dengan
kehidupan sosial.
C. Kesimpulan
Tafsir
al-Mana>r adalah salah satu kitab tafsir yang menitik beratkan
penjelasanayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian
menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam
kehidupan manusia kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Pada
dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an,
yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi problema-problema umat
manusia, karena itu tafsir al-Mana>r tidak merinci hal-hal yang tidak dapat
terjangkau oleh akal, selain itu jkitab tafsir ini memproklamasikan untuk
menghidupkan kembali nilai-nila Qur'ani dan memcegah untuk bersikap taklid
buta.
DAFTAR
PUSTAKA
Haddad,
Yvonne Yazbeck dalam Ali Rahnema (ed),Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung:
Penerbit Mizan.
al-Khalidi,Sholah
Abdul Fatah.Ta’rīfal-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn. Beirut: Dar al-Syamiyah,
2002.
Faizah Ali
Syibromalisi M.A. dan Jauhar Azizy.“Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern”.
Jakarta: LITBANG UIN. 2011
Shihab, M.
Quraisy, Studi Kritis Tafsir al-Manar; Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid
Ridha. Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994
Sayid
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār dalam al-Maktabah al-Syamilah ver. 3.5
http://cahayakhaeroni.blogspot.com/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-one.html,diakses
pada 25 Februari 2014