1735262163458753
Loading...

KONTRADIKSI ULAMA` DALAM MENANGGAPI ADANYA TAFSIR ‘AQLĪ



KONTRADIKSI ULAMA` DALAM
MENANGGAPI ADANYA TAFSIR ‘AQLĪ
Oleh Ahmad Iwanuridlwan dan Ahmad Pauji
I. Pendahuluan
Sebagai kalām Allāh, bahasa al-Qur`an tentu berbeda dengan bahasa yang digunakan manusia, sekalipun diturunkan menggunakan bahasa Arab. Penduduk Arab sendiri, meskipun dalam berinteraksi menggunakan bahasa Arab belum tentu mengetahui apa yang terkandung dalam al-Qur`an. Dalam penurunannya, al-Qur`an menggunakan bahasa Arab dengan tingkat sastra yang tinggi. Oleh karena itu tidak semua orang mampu memahami apa yang ada di dalamnya.
Tafsir memiliki peran yang sangat penting dalam pemahaman terhadap isi kandungan al-Qur`an. Pada periode penurunannya, Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam memiliki peran sebagai penjelas terhadap al-Qur`an.[1] Sahabat, setiap kali mengalami kesulitan dalam memahaminya, mereka selalu menanyakan pada Nabi. Tetapi setelah Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam wafat, tidak ada lagi yang dijadikan tempat bertanya bagi sahabat. Dari sinilah tafsir ‘aqlī mulai muncul. Tetapi mengenai diterima atau tidaknya, ulama` berbeda pendapat.
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan pengertian tafsir ‘aqlī yang menimbulkan perdebatan di kalangan ulama`. Setelah menjelaskan pengertiannya, penulis akan menguraikan alasan ulama` dalam memperkuat pendapatnya masing-masing, kemudian memilih pendapat yang paling tepat menurut penulis. Penulis juga akan menguraikan syarat-syarat yang diberikan ulama` untuk dapat menerima tafsir ‘aqlī, karena ternyata tidak semua tafsir ‘aqlī dapat diterima.
II. Pengertian Tafsir ‘Aqlī
Tafsir aqlī adalah tafsir yang berdasarkan pada pemahaman secara mendalam terhadap lafal-lafal  al-Qur`an. Kebanyakan ulama` menyebut tafsir ‘aqlī dengan tafsir bi al-ra`yi. Dalam kamus al-Munjid, lafal al-ra`yu diartikan dengan mā i’taqadahu al-insān (apa yang diyakini oleh manusia).[2] Yang dimaksud al-ra`yu di sini adalah ijtihad.[3] Sedangkan hasil dari sebuah ijtihad adalah sebuah pendapat yang mungkin benar dan mungkin juga salah. Jadi, dapat dikatakan bahwa tafsir ‘aqlī adalah tafsir al-Qur`an yang berdasar pada pendapat.
Tafsir ‘aqlī atau tafsir bi al-ra`yi dapat diterima apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Tafsir yang seperti itu dalam kitab al-Tibyān karya al-Ṣabunī diistilahkan dengan al-tafsīr al-maḥmūd.[4] Tetapi apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka tafsir yang dihasilkan tidak dapat diterima atau diistilahkan dengan al-tafsīr al-madhmūm.[5]
Adapun tafsir ‘aqlī yang yang diterima atau al-tafsīr al-maḥmūd, Amin Suma memberi contoh penafsiran lafal ذرة pada ayat فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ[6] dengan benda-benda terkecil misalnya atom, dan energi yang oleh ulama` klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum atau semut gatal.[7]
Sedangkan tafsir ‘aqlī yang tidak dapat diterima atau al-tafsīr al-madhmūm, al-Ṣābūnī memberikan contoh yaitu penafsiran lafal امام pada ayatيَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ[8] dengan أمهات. Mereka  menyangka bahwa امام adalah jamaknya أمّ. Padahal dalam bahasa Arab jamaknya امّ  adalah امهات. Dan sebenarnya yang dimaksud امام dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang diikuti umatnya.[9]
III. Kontradiksi Ulama` Tentang Tafsir ‘Aqlī
Mengenai tafsir ‘aqlī ini, ulama` berbeda pendapat tentang diperbolehkan atau tidaknya menafsiri al-Qur`an dengan pendapat. Di antara mereka ada yang memperbolehkan, ada pula yang tidak memperbolehkan. Tentunya pendapat yang mereka kemukakan meiliki alasan.[10]
A.    Ulama` yang Melarang Adanya Tafsir ‘Aqlī
Dalam memperkuat argumennya mereka memiliki beberapa alasan. Di antara alasan tersebut adalah:
Pertama, bahwa tafsir bi al-ra`yi atau penafsiran yang didasarkan kepada ra’yi (akal pkiran) pada dasarnya membicarakan sesuatu atas nama Allah Subḥānahu wa Ta’ālā tanpa didasarkan pada ilmu pengetahuan. padahal membicarakan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā tanpa ilmu pengetahuan merupakan perbuatan yang dilarangan. Mereka juga beranggapan bahwa ­­al-ra`yu­ tidak didasarkan atas keyakinan bahwa penafsirannya itu benar-benar sesuai dengan yang Allah kehendaki, dan karenanya ia tidak mungkin untuk memastikan apa yang ia katakan. Hakikatnya, dia berbicara semata-mata didasarkan pada dugaan kuat (al-ann), sedangkan pembicaraan yang didasarkan atas al-ann berarti berbicara atas nama Allah tanpa pengetahuan. Dari sini mereka mengambil kesimpulan bahwa tafsir bi al-ra`yi adalah sebuah larangan. Pendapat ini diperkuat dengan dalil al-Qur`an:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ[11]
Katakanlah (Muhammad), "Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui."
Meskipun mereka memperkuat argumennya dengan ayat al-Qur`an, tetapi pendapat tersebut dibantah oleh ulama` yang memperbolehkan tafsir bi al-ra`yi. Mereka membantah dengan pendapatnya bahwa persangkaan adalah bagian dari ilmu. Persangkaan tidak diperbolehkan jika memang ditemukan dalil yang bersifat qaī. Tetapi jika tidak ditemukan, maka sebuah persangkaan sudah cukup dijadikan sebagai dalil.
Kedua, bahwa tidak ada selain Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang bertindak sebagai penjelas terhadap makna al-Qur`an. Ini didasarkan pada firman Allah Subḥānahu wa Ta’ālā:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[12]
Dan Kami turunkan al-Dhikr (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.
Ulama` yang memperbolehkan adanya tafsir bi al-ra`yi memberikan tanggapan terhadap dalil tersebut. Mereka membenarkan bahwa Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam memang diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur`an kepada manusia. Tetapi penjelasan tersebut tidak mencakup seluruh isi al-Qur`an. Ini memberikan kesempatan kepada generasi setelahnya untuk berfikir tentang ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dalam akhir ayat tersebut di atas.
Ketiga, hadis Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang diriwayatkan oleh al-Tirmidhī:
حدثنا سفيان بن وكيع حدثنا سويد بن عمرو الكلبي حدثنا أبو عوانة عن عبد الأعلى عن سعيد بن جبير عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال اتقوا الحديث عني إلا ما علمتم فمن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار ومن قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار قال أبو عيسى هذا حديث حسن[13]
Dari Ibnu Abbās dari Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam bersabda “Takutlah kalian berbicara tentangku kecuali apa yang telah kalian ketahui. Barang siapa berdusta atasku dengan sengaja, maka lebih baik dia mengambil tempat duduknya dari neraka. Dan barang siapa berkata dalam al-Qur`an dengan pendapatnya, maka lebih baik dia mengambil tempat duduknya dari neraka.”
Dan hadis lain yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud dan juga oleh al-Tirmidhī dengan sanad dan lafal yang berbeda:
حدثنا عبد الله بن محمد بن يحيى حدثنا يعقوب بن إسحاق المقرئ الحضرمى حدثنا سهيل بن مهران - أخو حزم القطعى - حدثنا أبو عمران عن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال فى كتاب الله عز وجل برأيه فأصاب فقد أخطأ[14]
Dari Jundab berkata “Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam bersabda ‘Barang siapa yang berkata di dalam kitab Allah ‘Azza wa Jalla dengan pendapatnya, kemudia dia membenarkannya, maka sesungguhnya dia telah salah.’”
Pendapat tersebut dibantah oleh ulama` yang memperbohkan adanya tafsir bi al-ra`yi. Mereka mengatakan bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang yang berkata dengan pendapatnya. Seperti kesamaran yang terdapat dalam al-Qur`an yang tidak diketahui kecuali dengan hadis Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam atau penjelasan dari sahabat.
B.     Ulama` yang Memperbolehkan Adanya Tafsir ‘Aqlī
Tidak cukup dengan membantah argumen-argumen yang dikemukakan ulama` yang menolak tafsir bi al-ra`yi, ulama` yang memperbolehkan juga memiliki pendapat sendiri untuk memperkuat argumennya. Di antara argummen yang dikemukakan adalah:
Pertama, banyak ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan kepada manusia supaya berfikir tentang al-Qur`an. Di antara ayat tersebut adalah:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا[15]
Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur`an ataukah hati mereka sudah terkunci?
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ[16]
Kitab (Al-Qur`an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ[17]
(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).
Dari ayat-ayat tersebut, mereka bahwa penafsiran al-Qur`an bi al-ra’yi itu dibolehkan. Dua ayat pertama menurut mereka merupakan dorongan dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā untuk merenungkan ayat-ayat al-Qur`an dan mengambil pelajarannya. Sedangkan ayat terakhir merupakan bukti bahwa di dalam al-Qur`an terdapat hal-hal yang bisa digali dan dikeluarkan isinya oleh orang-orang yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Kedua, seandainya tafsir bi al-ra`yi tidak diperbolehkan, maka ranah ijtihad dalam dunia Islam tidak mendapatkan ruang. Hal itu mengakibatkan banyak permasalahan-permasalahan yang tidak memiliki hukum. Kenyataannya, sampai saat ini pintu ijtihad masih terbuka. Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam  tidak menafsirkan semua ayat al-Qur`an dan mengeluarkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya karena memberikan peluang pada umatnya untuk menafsirkan al-Qur`an bila diperlukan.
Ketiga, para sahabat membaca dan menafsirkan al-Qur`an, tetapi dalam penafsirannya terdapat perbedaan. Mereka tidak mendengar tentang apa yang mereka katakan mengenai tafsir dari Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Hal ini disebabkan karena Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam tidak menjelaskan semua makna-makna al-Qur`an. Untuk mengetahui makna-makna al-Qur`an yang tidak dijelaskan Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, sebagian sahabat berijtihad dengan kemampuan yang dimilikinya. Seandainya ijtihad terhadap al-Qur`an atau sering disebut tafsir bi al-ra`yi dilarang, maka pastinya sahabat telah melakukan sebuah kesalahan yang diharamkan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Keempat, do`a Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam untuk Ibnu Abbās:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Wahai Allah, berikanlah Ibnu Abbās pemahaman agama dan ajarkanlah padanya takwil.
Takwil adalah bentuk dari tafsir bi al-ra`yi. Do`a Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam tersebut menunjukkan dibolehkannya tafsir bi al-ra`yi.
Dari uraian perbedaan di atas dengan disertai argumennya masing-masing, penulis lebih memilih pendapat yang kedua karena seandainya tafsir bi al-ra`yi tidak diperbolehkan, maka permasalah dalam dunia Islam tidak akan pernah terselesaikan. Di sisi lain, sekian banyak problema baru yang bermunculan dari saat ke saat yang memerlukan jawaban dan bimbingan, sedangkan hal tersebut tidak ditemukan penjelasannya dari al-Qur’an dan sunnah. bahkan dalam al-Qur’an surat al-A’rāf ayat manusia dikecam, dan diancam, kalau enggan menggunakan potensi-potensinya.
Meskipun tafsir bi al-ra`yi diperbolehkan, bukan berarti semua penafsiran yang ada dapat diterima. Tafsir bi al-ra`yi dapat diterima jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat itu akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
IV. Syarat-syarat Diterimanya Tafsir ‘Aqlī
A.    Metode Tafsir ‘Aqlī
Tugas seorang mufassir adalah menjelaskan makna-makna ayat al-Qur`an. Untuk dapat menjelaskan makna-makna tersebut, seorang penafsir tidak boleh meningalkan metode-metodenya. Al-‘Akk menyebutkan, ada beberapa metode yang harus ditempuh seorang penafsir.[18] Metode tersebut adalah:
1.      Antara tafsir dan yang ditafsiri harus cocok. Maksudnya adalah tidak ada pengurangan dan penambahan terhadap makna ayat yang ditafsiri.
2.      Menjaga makna aqiqī dan majāzī. Sendainya yang dikehendaki adalah makna majāzī, maka makna hakikatnya harus tetap disertakan.
3.      Memperhatikan hubungan antara ayat satu dengan ayat lainnya.
4.      Memperhatikan asbāb al-nuzūl dengan menyebutkan sabab al-nuzūl setiap ayat yang mempunyai sabab al-nuzūl setelah menjelaskan hubungan dan sebelum menjelaskan makna ayatnya.
5.      Menganalisis kosa kata al-Qur`an menggunakan ilmu al-Ṣarf dan ilmu al-Ishtiqāq. Kemudian menyusun kosa kata tersebut berdasarkan kaidah ilmu al-Nahw, sehingga makna yang dikehendaki dapat diketahui.

B.     Syarat-syarat Penafsir dalam Menafsirkan al-Qur`an
Tafsir bi al-ra`yi dapat diterima apabila dalam melakukan penafsiran, seorang penafsir memenuhi syatar-syarat tertentu. Seorang penafsir apabila hendak menafsirkan al-Qur`an harus menguasai ilmu-ilmu tertentu. al-‘Akk menguraikan ada lima belas syarat yang harus dimiliki seorang penafsir.[19] Sedangkan al-Dhahabī menjelaskan ada lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang penafsir.[20] Adapun syarat-syarat yang berhasil penulis rangkum adalah:
1.      Seorang penafsir harus mengetahui hadis Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Dia juga harus menguasai ilmu-ilmunya, baik riwāyat maupun dirāyat. Itu karena hadis merupakan penjelas bagi al-Qur`an.
2.      Penafsir harus menguasai ilmu bahasa (‘ilm al-lughah). Dengan ilmu tersebut penafsir dapat menjelaskan kosa kata yang terdapat dalam al-Qur`an.
3.      Penafsir harus menguasai ilmu gramatika bahasa Arab. Ilmu tersebut meliputi al-Nahw dan al-arf. Dengan ilmu tersebut dapat diketahui susunan kalimat dan perubahan makna yang mungkin terjadi.
4.      Penafsir harus menguasai ilmu al-Ishtiqāq, yaitu ilmu untuk mengatahui kata dasar.
5.      Penafsir harus menguasai ilmu al-Balāghah. Dengan ilmu tersebut dapat mengetahui dan menjaga kemukjizatan al-Qur`an.
6.      Penafsir harus menguasai ilmu al-Qirā`āt, yaitu ilmu untuk mengetahui cara membaca al-Qur`an.
7.      Penafsir harus menguasai ilmu Uṣūl al-Dīn. Yang dimaksud di sini adalah ilmu tetntang ketuhanan, yakni ilmu Tauhid. Dengan ini dapat diketahui apa yang wajib dan apa yang mustahil bagi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
8.      Penafsir harus menguasai ilmu Uṣūl al-Fiqh. Dengan ilmu tersebut dapat diketahui bagaimana cara mengambil kesimpulan hukum syariat dari ayat al-Qur`an.
9.      Penafsir harus menguasai ilmu Asbāb al-Nuzūl. Dengan mengetahui sebab turunnya sebuah ayat, dapat diketahui pula maksud dari ayat tersebut.
10.  Penafsir harus menguasai ilmu al-Qaa, karena dengan mengetahui sejarah secara rinci dapat meperjelas yang masih global dalam al-Qur`an.
11.  Penafsir harus menguasai ilmu al-Nāsikh wa al-Mansūkh.
12.  Penafsir harus menguasai ilmu al-Mawhabah, yaitu ilmu yang diberikan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā kepada orang yang mengerjakan sesuatu berdasarkan apa yang diketahuinya. Jadi orang yang menguasai ilmu ini tidak berbuat sesuatu kecuali atas dasar ilmu.
Demikian syarat-syarat yang harus dikuasai oleh seorang penafsir yang berhasil penulis rangkum. Apabila seorang penafsir tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka tafsir yang dihasilkannya dapat dipastikan tafsir yang tercela atau al-tafsīr al-madhmūm.
C.    Batasan-batasan Tafsir ‘Aqlī
Tugas seorang penafsir tidak lain adalah menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam al-Qur`an. Jadi secara umum, penulis memberi batasan bahwa tafsir ‘aqlī hanya sebatas untuk menjelaskan makna-makna al-Qur`an dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan hadis.[21] Adapun batasan-batasan dalam menafsirkan al-Qur`an dengan ijtihad secara khusus adalah sebagai berikut:
1.      Menjelaskan makna yang dapat dimengerti oleh akal yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an.
2.      Menarik kesimpulan dari rahasia-rahasia al-Qur`an dengan sekadar kemampuan manusia.
3.      Menguraikan maksud dan tujuan ayat al-Qur`an.
4.      Menjelaskan pelajaran dan nasihat yang dapat diambil dari kisah-kisah di dalam al-Qur`an.
5.      Menjelaskan keagungan al-Qur`an dari keindahan bahasanya.


V. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Tafsir aqlī adalah tafsir yang berdasarkan pada pemahaman secara mendalam terhadap lafal-lafal  al-Qur`an atau lebih mudahnya tafsir ‘aqlī adalah tafsir al-Qur`an yang berdasar pada pendapat.
2.      Ulama` berbeda pendapat mengenai diperbolehkan atau tidaknya menafsiri al-Qur`an dengan pendapat. Di antara mereka ada yang memperbolehkan, ada pula yang tidak memperbolehkan. Tetapi di sini penulis lebih memilih pendapat ulama` yang memperbolehkan menafsiri al-Qur`an dengan pendapat.
3.      Supaya tafsirannya dapat diterima, maka seorang penafsir harus paham dengan hadis dan ilmu-ilmunya, menguasai ilmu bahasa, ilmu gramatika bahasa Arab, ilmu al-Ishtiqāq, ilmu al-Balāghah, ilmu al-Qirā`āt, ilmu Uṣūl al-Dīn, ilmu Uṣūl al-Fiqh, ilmu Asbāb al-Nuzūl, ilmu al-Qaa, ilmu al-Nāsikh wa al-Mansūkh dan ilmu al-Mawhabah.
4.      Tafsir ‘aqlī dapat diterima jika tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan hadis.


Daftar Pustaka
Al-Qur`an
_______. al-Munjid fī al-Lughati wa al-A’lām. Beirut: Dār al-Mashriq. 2008.
‘Akk (al), Khālid ‘Abd al-Rahmān. Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhu. Beirut: Dār al-Nafā`is. 1986.
Dhahabī (al), Muḥammad Husayn. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo: Dār al-Hadīth. 2005.
Khālidī (al), Ṣalāh ‘Abd al-Fatāḥ. Ta’rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn. Damaskus: Dār al-Qalam. 2008.
Qaṭṭān (al), Mannā’. Mabāḥith fi ‘Ulūm al-Qur`ān. Kairo: Maktabah Wahbah. 2000.
Ṣābūnī (al), Muḥammad ‘Alī. al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah. 2003.
Sijistānī (al), Abū Dāwud. Sunan Abī Dāwud. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2011.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur`an. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.
Tirmidhī (al), Muammad bin ‘Īsā. al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ Sunan al-Tirmidhī. Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-‘Arabī. t.th..


[1] Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāḥith fi ‘Ulūm al-Qur`ān, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 327.
[2] _______. al-Munjid fī al-Lughati wa al-A’lām, (Beirut: Dār al-Mashriq, 2008), 243.
[3] Muḥammad Husayn al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kairo: Dār al-Hadīth, 2005), 1:221.
[4] Muammad ‘Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyah, 2003), 157.
[5] Ibid..
[6] Al-Qur`an, 99:7-8.
[7] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur`an, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2013), 352.
[8] Al-Qur`an, 17:71.
[9] al-Ṣābūnī, al-Tibyān, 157-158.
[10] al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 1:222-227. Khālid ‘Abd al-Rahmān al-‘Akk, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhu. (Beirut: Dār al-Nafā`is, 1986), 168-170.
[11] Al-Qur`an, 7:33.
[12] Al-Qur`an, 16:44.
[13] Muammad bin ‘Īsā al-Tirmidhī, al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ Sunan al-Tirmidhī, (Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-‘Arabī, t.th.), 5:199.
[14] Abū Dāwud al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2011), 2:525.
[15] Al-Qur`an, 47:24.
[16] Al-Qur`an, 38:29.
[17] Al-Qur`an, 4:83.
[18] al-‘Akk, Uṣūl al-Tafsīr, 81-83.
[19] al-‘Akk, Uṣūl al-Tafsīr, 186-187.
[20] al-Dhahabī, al-Tafsīr, 1:229-231.
[21] Ṣalāh ‘Abd al-Fatāḥ al-Khālidī, Ta’rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2008), 424.
Kumpulan Makalah 6353854597747235876

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments