KONTRADIKSI ULAMA` DALAM MENANGGAPI ADANYA TAFSIR ‘AQLĪ
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/06/kontradiksi-ulama-dalam-menanggapi.html
KONTRADIKSI
ULAMA` DALAM
MENANGGAPI ADANYA TAFSIR ‘AQLĪ
Oleh
Ahmad Iwanuridlwan dan Ahmad Pauji
I. Pendahuluan
Sebagai
kalām Allāh, bahasa al-Qur`an tentu berbeda dengan bahasa yang digunakan
manusia, sekalipun diturunkan menggunakan bahasa Arab. Penduduk Arab sendiri,
meskipun dalam berinteraksi menggunakan bahasa Arab belum tentu mengetahui apa
yang terkandung dalam al-Qur`an. Dalam penurunannya, al-Qur`an menggunakan
bahasa Arab dengan tingkat sastra yang tinggi. Oleh karena itu tidak semua
orang mampu memahami apa yang ada di dalamnya.
Tafsir
memiliki peran yang sangat penting dalam pemahaman terhadap isi kandungan
al-Qur`an. Pada periode penurunannya, Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa
Sallam memiliki peran sebagai penjelas terhadap al-Qur`an.[1]
Sahabat, setiap kali mengalami kesulitan dalam memahaminya, mereka selalu
menanyakan pada Nabi. Tetapi setelah Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa
Sallam wafat, tidak ada lagi yang dijadikan tempat bertanya bagi sahabat. Dari
sinilah tafsir ‘aqlī mulai muncul. Tetapi mengenai diterima atau
tidaknya, ulama` berbeda pendapat.
Dalam
makalah ini penulis akan menjelaskan pengertian tafsir ‘aqlī yang menimbulkan perdebatan di kalangan
ulama`. Setelah menjelaskan pengertiannya, penulis akan menguraikan alasan
ulama` dalam memperkuat pendapatnya masing-masing, kemudian memilih pendapat
yang paling tepat menurut penulis. Penulis juga akan menguraikan syarat-syarat
yang diberikan ulama` untuk dapat menerima tafsir ‘aqlī, karena ternyata tidak semua tafsir ‘aqlī dapat diterima.
II. Pengertian Tafsir ‘Aqlī
Tafsir
aqlī adalah tafsir yang berdasarkan pada
pemahaman secara mendalam terhadap lafal-lafal
al-Qur`an. Kebanyakan ulama` menyebut tafsir ‘aqlī dengan tafsir bi al-ra`yi.
Dalam kamus al-Munjid, lafal al-ra`yu diartikan dengan mā i’taqadahu al-insān (apa yang diyakini oleh manusia).[2]
Yang dimaksud al-ra`yu di sini adalah ijtihad.[3]
Sedangkan hasil dari sebuah ijtihad adalah sebuah pendapat yang mungkin benar
dan mungkin juga salah. Jadi, dapat dikatakan bahwa tafsir ‘aqlī adalah tafsir al-Qur`an yang
berdasar pada pendapat.
Tafsir ‘aqlī atau tafsir bi al-ra`yi dapat
diterima apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Tafsir yang seperti itu
dalam kitab al-Tibyān karya al-Ṣabunī diistilahkan
dengan al-tafsīr al-maḥmūd.[4] Tetapi apabila tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut, maka tafsir yang dihasilkan tidak dapat diterima atau
diistilahkan dengan al-tafsīr al-madhmūm.[5]
Adapun tafsir ‘aqlī
yang yang diterima atau al-tafsīr al-maḥmūd, Amin Suma memberi contoh penafsiran
lafal ذرة pada ayat فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ[6] dengan benda-benda terkecil misalnya
atom, dan energi yang oleh ulama` klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji
gandum atau semut gatal.[7]
Sedangkan tafsir ‘aqlī yang tidak dapat diterima atau al-tafsīr
al-madhmūm, al-Ṣābūnī
memberikan contoh yaitu penafsiran
lafal امام pada
ayatيَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ[8] dengan أمهات. Mereka menyangka
bahwa امام adalah jamaknya أمّ.
Padahal dalam bahasa Arab jamaknya امّ
adalah امهات. Dan
sebenarnya yang dimaksud امام dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad Ṣalla Allāh
‘Alayhi wa Sallam yang diikuti umatnya.[9]
III. Kontradiksi Ulama`
Tentang Tafsir ‘Aqlī
Mengenai
tafsir ‘aqlī ini, ulama` berbeda pendapat tentang
diperbolehkan atau tidaknya menafsiri al-Qur`an dengan pendapat. Di antara
mereka ada yang memperbolehkan, ada pula yang tidak memperbolehkan. Tentunya
pendapat yang mereka kemukakan meiliki alasan.[10]
A.
Ulama` yang Melarang Adanya Tafsir ‘Aqlī
Dalam
memperkuat argumennya mereka memiliki beberapa alasan. Di antara alasan
tersebut adalah:
Pertama,
bahwa tafsir bi al-ra`yi atau penafsiran yang didasarkan kepada ra’yi
(akal pkiran) pada dasarnya membicarakan sesuatu atas nama Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā tanpa didasarkan pada ilmu pengetahuan. padahal membicarakan
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā tanpa ilmu pengetahuan merupakan perbuatan
yang dilarangan. Mereka juga beranggapan bahwa al-ra`yu tidak
didasarkan atas keyakinan bahwa penafsirannya itu benar-benar sesuai dengan
yang Allah kehendaki, dan karenanya ia tidak mungkin untuk memastikan apa yang
ia katakan. Hakikatnya, dia berbicara semata-mata didasarkan pada dugaan kuat (al-ẓann), sedangkan pembicaraan yang
didasarkan atas al-ẓann berarti berbicara atas nama Allah
tanpa pengetahuan. Dari sini mereka mengambil kesimpulan bahwa tafsir bi al-ra`yi
adalah sebuah larangan. Pendapat ini diperkuat dengan dalil al-Qur`an:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ
الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ
تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ[11]
Katakanlah
(Muhammad), "Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang
terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan
yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu,
sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan
tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui."
Meskipun
mereka memperkuat argumennya dengan ayat al-Qur`an, tetapi pendapat tersebut
dibantah oleh ulama` yang memperbolehkan tafsir bi al-ra`yi. Mereka
membantah dengan pendapatnya bahwa persangkaan adalah bagian dari ilmu.
Persangkaan tidak diperbolehkan jika memang ditemukan dalil yang bersifat qaṭ’ī. Tetapi jika tidak
ditemukan, maka sebuah persangkaan sudah cukup dijadikan sebagai dalil.
Kedua,
bahwa tidak ada selain Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang
bertindak sebagai penjelas terhadap makna al-Qur`an. Ini didasarkan pada firman
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ[12]
Dan Kami
turunkan al-Dhikr (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.
Ulama`
yang memperbolehkan adanya tafsir bi al-ra`yi memberikan tanggapan
terhadap dalil tersebut. Mereka membenarkan bahwa Nabi Muhammad Ṣalla Allāh
‘Alayhi wa Sallam memang diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur`an kepada
manusia. Tetapi penjelasan tersebut tidak mencakup seluruh isi al-Qur`an. Ini
memberikan kesempatan kepada generasi setelahnya untuk berfikir tentang
ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Subḥānahu wa Ta’ālā
dalam akhir ayat tersebut di atas.
Ketiga,
hadis Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang diriwayatkan oleh
al-Tirmidhī:
حدثنا سفيان بن وكيع حدثنا سويد بن عمرو الكلبي حدثنا أبو عوانة عن
عبد الأعلى عن سعيد بن جبير عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال اتقوا
الحديث عني إلا ما علمتم فمن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار ومن قال في
القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار قال أبو عيسى هذا حديث حسن[13]
Dari Ibnu Abbās dari Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam bersabda
“Takutlah kalian berbicara tentangku kecuali apa yang telah kalian ketahui.
Barang siapa berdusta atasku dengan sengaja, maka lebih baik dia mengambil
tempat duduknya dari neraka. Dan barang siapa berkata dalam al-Qur`an dengan
pendapatnya, maka lebih baik dia mengambil tempat duduknya dari neraka.”
Dan hadis lain yang diriwayatkan
oleh Abū Dāwud dan juga oleh al-Tirmidhī dengan sanad dan
lafal yang berbeda:
حدثنا عبد
الله بن محمد بن يحيى حدثنا يعقوب بن إسحاق المقرئ الحضرمى حدثنا سهيل بن مهران -
أخو حزم القطعى - حدثنا أبو عمران عن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال فى
كتاب الله عز وجل برأيه فأصاب فقد أخطأ[14]
Dari Jundab berkata “Rasulullah Ṣalla Allāh
‘Alayhi wa Sallam bersabda ‘Barang siapa yang berkata di dalam kitab Allah ‘Azza
wa Jalla dengan pendapatnya, kemudia dia membenarkannya, maka sesungguhnya
dia telah salah.’”
Pendapat tersebut dibantah oleh ulama` yang memperbohkan adanya
tafsir bi al-ra`yi. Mereka mengatakan bahwa larangan tersebut ditujukan
kepada orang yang berkata dengan pendapatnya. Seperti kesamaran yang terdapat
dalam al-Qur`an yang tidak diketahui kecuali dengan hadis Nabi Ṣalla Allāh
‘Alayhi wa Sallam atau penjelasan dari sahabat.
B.
Ulama` yang Memperbolehkan Adanya
Tafsir ‘Aqlī
Tidak
cukup dengan membantah argumen-argumen yang dikemukakan ulama` yang menolak
tafsir bi al-ra`yi, ulama` yang memperbolehkan juga memiliki pendapat
sendiri untuk memperkuat argumennya. Di antara argummen yang dikemukakan
adalah:
Pertama,
banyak ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan kepada manusia supaya berfikir
tentang al-Qur`an. Di antara ayat tersebut adalah:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ
أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا[15]
Maka
tidakkah mereka menghayati Al-Qur`an ataukah hati mereka sudah terkunci?
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ
مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ[16]
Kitab
(Al-Qur`an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati
ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ
وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ
مِنْهُمْ[17]
(Padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).
Dari
ayat-ayat tersebut, mereka bahwa penafsiran al-Qur`an bi al-ra’yi itu
dibolehkan. Dua ayat pertama menurut mereka merupakan dorongan dari Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā untuk merenungkan ayat-ayat al-Qur`an dan mengambil pelajarannya.
Sedangkan ayat terakhir merupakan bukti bahwa di dalam al-Qur`an terdapat
hal-hal yang bisa digali dan dikeluarkan isinya oleh orang-orang yang memang
memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Kedua, seandainya tafsir bi al-ra`yi tidak
diperbolehkan, maka ranah ijtihad dalam dunia Islam tidak mendapatkan ruang.
Hal itu mengakibatkan banyak permasalahan-permasalahan yang tidak memiliki
hukum. Kenyataannya, sampai saat ini pintu ijtihad masih terbuka. Nabi Ṣalla
Allāh ‘Alayhi wa Sallam tidak
menafsirkan semua ayat al-Qur`an dan mengeluarkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya
karena memberikan peluang pada umatnya untuk menafsirkan al-Qur`an bila
diperlukan.
Ketiga, para sahabat membaca dan menafsirkan al-Qur`an,
tetapi dalam penafsirannya terdapat perbedaan. Mereka tidak mendengar tentang
apa yang mereka katakan mengenai tafsir dari Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa
Sallam. Hal ini disebabkan karena Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam tidak
menjelaskan semua makna-makna al-Qur`an. Untuk mengetahui makna-makna al-Qur`an
yang tidak dijelaskan Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, sebagian
sahabat berijtihad dengan kemampuan yang dimilikinya. Seandainya ijtihad
terhadap al-Qur`an atau sering disebut tafsir bi al-ra`yi dilarang, maka
pastinya sahabat telah melakukan sebuah kesalahan yang diharamkan Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā.
Keempat, do`a Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam untuk
Ibnu Abbās:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Wahai
Allah, berikanlah Ibnu Abbās pemahaman agama dan ajarkanlah padanya takwil.
Takwil
adalah bentuk dari tafsir bi al-ra`yi. Do`a Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi
wa Sallam tersebut menunjukkan dibolehkannya tafsir bi al-ra`yi.
Dari
uraian perbedaan di atas dengan disertai argumennya masing-masing, penulis
lebih memilih pendapat yang kedua karena seandainya tafsir bi al-ra`yi tidak
diperbolehkan, maka permasalah dalam dunia Islam tidak akan pernah
terselesaikan. Di sisi lain, sekian banyak problema
baru yang bermunculan dari saat ke saat yang memerlukan jawaban dan bimbingan,
sedangkan hal tersebut tidak ditemukan penjelasannya dari al-Qur’an dan sunnah.
bahkan dalam al-Qur’an surat al-A’rāf ayat manusia dikecam, dan diancam, kalau
enggan menggunakan potensi-potensinya.
Meskipun
tafsir bi al-ra`yi diperbolehkan, bukan berarti semua penafsiran yang
ada dapat diterima. Tafsir bi al-ra`yi dapat diterima jika telah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat itu akan diuraikan pada
pembahasan selanjutnya.
IV. Syarat-syarat
Diterimanya Tafsir ‘Aqlī
A. Metode
Tafsir ‘Aqlī
Tugas
seorang mufassir adalah menjelaskan makna-makna ayat al-Qur`an. Untuk
dapat menjelaskan makna-makna tersebut, seorang penafsir tidak boleh
meningalkan metode-metodenya. Al-‘Akk menyebutkan, ada beberapa metode yang
harus ditempuh seorang penafsir.[18]
Metode tersebut adalah:
1. Antara
tafsir dan yang ditafsiri harus cocok. Maksudnya adalah tidak ada pengurangan
dan penambahan terhadap makna ayat yang ditafsiri.
2. Menjaga
makna ḥaqiqī dan majāzī. Sendainya yang dikehendaki
adalah makna majāzī, maka makna hakikatnya harus
tetap disertakan.
3. Memperhatikan
hubungan antara ayat satu dengan ayat lainnya.
4. Memperhatikan asbāb al-nuzūl dengan
menyebutkan sabab al-nuzūl setiap ayat yang mempunyai sabab al-nuzūl
setelah menjelaskan hubungan dan sebelum menjelaskan makna ayatnya.
5. Menganalisis kosa kata al-Qur`an menggunakan
ilmu al-Ṣarf dan ilmu al-Ishtiqāq. Kemudian menyusun kosa kata
tersebut berdasarkan kaidah ilmu al-Nahw, sehingga makna yang dikehendaki dapat
diketahui.
B. Syarat-syarat
Penafsir dalam Menafsirkan al-Qur`an
Tafsir
bi al-ra`yi dapat diterima apabila dalam melakukan penafsiran, seorang
penafsir memenuhi syatar-syarat tertentu. Seorang penafsir apabila hendak
menafsirkan al-Qur`an harus menguasai ilmu-ilmu tertentu. al-‘Akk menguraikan ada lima belas syarat yang
harus dimiliki seorang penafsir.[19]
Sedangkan al-Dhahabī menjelaskan ada lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang
penafsir.[20] Adapun syarat-syarat yang
berhasil penulis rangkum adalah:
1. Seorang
penafsir harus mengetahui hadis Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Dia
juga harus menguasai ilmu-ilmunya, baik riwāyat maupun dirāyat. Itu karena hadis merupakan penjelas
bagi al-Qur`an.
2. Penafsir
harus menguasai ilmu bahasa (‘ilm al-lughah). Dengan ilmu tersebut
penafsir dapat menjelaskan kosa kata yang terdapat dalam al-Qur`an.
3. Penafsir
harus menguasai ilmu gramatika bahasa Arab. Ilmu tersebut meliputi al-Nahw dan
al-Ṣarf. Dengan ilmu tersebut dapat
diketahui susunan kalimat dan perubahan makna yang mungkin terjadi.
4. Penafsir
harus menguasai ilmu al-Ishtiqāq, yaitu ilmu untuk mengatahui kata
dasar.
5. Penafsir
harus menguasai ilmu al-Balāghah. Dengan ilmu tersebut dapat
mengetahui dan menjaga kemukjizatan al-Qur`an.
6. Penafsir
harus menguasai ilmu al-Qirā`āt, yaitu ilmu untuk mengetahui cara
membaca al-Qur`an.
7. Penafsir
harus menguasai ilmu Uṣūl al-Dīn. Yang dimaksud di sini adalah ilmu
tetntang ketuhanan, yakni ilmu Tauhid. Dengan ini dapat diketahui apa yang
wajib dan apa yang mustahil bagi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
8. Penafsir
harus menguasai ilmu Uṣūl al-Fiqh. Dengan ilmu tersebut dapat
diketahui bagaimana cara mengambil kesimpulan hukum syariat dari ayat
al-Qur`an.
9. Penafsir
harus menguasai ilmu Asbāb al-Nuzūl. Dengan mengetahui sebab turunnya
sebuah ayat, dapat diketahui pula maksud dari ayat tersebut.
10. Penafsir
harus menguasai ilmu al-Qaṣaṣ, karena dengan mengetahui
sejarah secara rinci dapat meperjelas yang masih global dalam al-Qur`an.
11. Penafsir
harus menguasai ilmu al-Nāsikh wa al-Mansūkh.
12. Penafsir
harus menguasai ilmu al-Mawhabah, yaitu ilmu yang diberikan Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā kepada orang yang mengerjakan sesuatu berdasarkan apa yang
diketahuinya. Jadi orang yang menguasai ilmu ini tidak berbuat sesuatu kecuali
atas dasar ilmu.
Demikian
syarat-syarat yang harus dikuasai oleh seorang penafsir yang berhasil penulis
rangkum. Apabila seorang penafsir tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka
tafsir yang dihasilkannya dapat dipastikan tafsir yang tercela atau al-tafsīr
al-madhmūm.
C. Batasan-batasan
Tafsir ‘Aqlī
Tugas
seorang penafsir tidak lain adalah menjelaskan makna-makna yang terkandung
dalam al-Qur`an. Jadi secara umum, penulis memberi batasan bahwa tafsir ‘aqlī hanya sebatas untuk menjelaskan
makna-makna al-Qur`an dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan
al-Qur`an dan hadis.[21]
Adapun batasan-batasan dalam menafsirkan al-Qur`an dengan ijtihad secara khusus
adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan
makna yang dapat dimengerti oleh akal yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an.
2. Menarik
kesimpulan dari rahasia-rahasia al-Qur`an dengan sekadar kemampuan manusia.
3. Menguraikan
maksud dan tujuan ayat al-Qur`an.
4. Menjelaskan
pelajaran dan nasihat yang dapat diambil dari kisah-kisah di dalam al-Qur`an.
5. Menjelaskan
keagungan al-Qur`an dari keindahan bahasanya.
V. Kesimpulan
Dari uraian di
atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Tafsir aqlī adalah tafsir yang
berdasarkan pada pemahaman secara mendalam terhadap lafal-lafal al-Qur`an atau lebih mudahnya tafsir ‘aqlī adalah tafsir al-Qur`an yang
berdasar pada pendapat.
2. Ulama`
berbeda pendapat mengenai diperbolehkan atau tidaknya menafsiri al-Qur`an
dengan pendapat. Di antara mereka ada yang memperbolehkan, ada pula yang tidak
memperbolehkan. Tetapi di sini penulis lebih memilih pendapat ulama` yang memperbolehkan menafsiri al-Qur`an
dengan pendapat.
3. Supaya tafsirannya
dapat diterima, maka seorang penafsir harus paham dengan hadis dan ilmu-ilmunya,
menguasai ilmu bahasa, ilmu gramatika bahasa Arab, ilmu al-Ishtiqāq, ilmu al-Balāghah, ilmu al-Qirā`āt, ilmu Uṣūl al-Dīn, ilmu Uṣūl al-Fiqh, ilmu Asbāb al-Nuzūl, ilmu al-Qaṣaṣ, ilmu al-Nāsikh wa al-Mansūkh dan ilmu al-Mawhabah.
4. Tafsir ‘aqlī dapat diterima jika tidak
bertentangan dengan al-Qur`an dan hadis.
Daftar Pustaka
Al-Qur`an
_______. al-Munjid fī al-Lughati wa al-A’lām. Beirut: Dār al-Mashriq. 2008.
‘Akk (al), Khālid ‘Abd al-Rahmān. Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhu. Beirut: Dār
al-Nafā`is. 1986.
Dhahabī (al), Muḥammad Husayn. al-Tafsīr wa
al-Mufassirūn. Kairo: Dār al-Hadīth. 2005.
Khālidī
(al), Ṣalāh ‘Abd al-Fatāḥ. Ta’rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn.
Damaskus: Dār al-Qalam. 2008.
Qaṭṭān (al), Mannā’. Mabāḥith fi ‘Ulūm al-Qur`ān. Kairo: Maktabah Wahbah. 2000.
Ṣābūnī (al), Muḥammad ‘Alī. al-Tibyān fī
‘Ulūm al-Qur`ān. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah. 2003.
Sijistānī (al), Abū Dāwud. Sunan Abī Dāwud.
Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyah. 2011.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur`an.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.
Tirmidhī
(al), Muḥammad bin ‘Īsā. al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ Sunan
al-Tirmidhī. Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-‘Arabī. t.th..
[4] Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyah, 2003), 157.
[5] Ibid..
[6] Al-Qur`an, 99:7-8.
[7] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur`an, (Jakarta: Raja Grafindo
persada, 2013), 352.
[8] Al-Qur`an, 17:71.
[10] al-Dhahabī,
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 1:222-227. Khālid
‘Abd al-Rahmān
al-‘Akk, Uṣūl
al-Tafsīr
wa Qawā’iduhu.
(Beirut: Dār
al-Nafā`is,
1986), 168-170.
[11]
Al-Qur`an, 7:33.
[12]
Al-Qur`an, 16:44.
[13] Muḥammad bin ‘Īsā
al-Tirmidhī, al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ Sunan al-Tirmidhī, (Beirut: Dār Iḥyā`
al-Turāth al-‘Arabī, t.th.), 5:199.
[15]
Al-Qur`an, 47:24.
[16]
Al-Qur`an, 38:29.
[17]
Al-Qur`an, 4:83.
[21] Ṣalāh ‘Abd al-Fatāḥ al-Khālidī,
Ta’rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn, (Damaskus: Dār al-Qalam,
2008), 424.