Tafsīr Naqlī (Tafsīr bi al-Ma’thūr)
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/06/tafsir-naqli-tafsir-bi-al-mathur.html
Tafsīr Naqlī
(Tafsīr bi al-Ma’thūr)
Oleh : Islachuddin & Ahmad Winda Andika B
I. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Ṣalla ‘Alayhi wa Sallam sebagai pedoman hidup bagi manusia. Sebenarnya
Al-Qur’an itu tidak mungkin dipahami oleh manusia secara rasional. Karena
antara Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dan manusia itu tidak sejenis.
Maka dari itu perlu adanya penafsiran di dalamnya, guna untuk memahaminya
dengan pemahaman yang mendekati maksud pemiliknya.
Nabi Muhammad Ṣalla ‘Alayhi wa Sallam setiap
menerima Al-Qur’an, langsung menyampaikannya kepada sahabat serta
menafsirkannya. Akan tetapi tidak semua ayat Al-Qur’an ditafsiri oleh
Rasulullah Ṣalla ‘Alayhi wa Sallam, hanya beberapa ayat saja yang
ditafsiri beliau. Hal inilah yang mendasari munculnya bentuk penafsiran, di
antaranya yaitu Tafsīr bi al-Ma’thūr dan Tafsīr bi al-Ra’yi. Tujuan dari munculnya bentuk penafsiran tersebut adalah
untuk menjelaskan ayat yang sekiranya masih global, umum, mutlak dengan ayat
lain yang sudah terperinci, sudah khusus dan sudah muqayyad.
Dalam makalah ini akan menjelaskan bentuk penafsiran
yang pertama kali dilakukan oleh para mufassir, yaitu Tafsīr Naqlī atau
yang biasa disebut dengan Tafsīr bi al-Ma’thūr atau Tafsir Riwayat.
Bagaimana definisinya, apa sumbernya, bagaimana perkembangannya, apa
syarat-syaratnya serta hubungan antara dua sumber pokok Tafsīr Naqlī, yaitu
Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini bertujuan untuk bagaimana kita mengetahui serta
memahami tentang Tafsīr Naqlī, supaya dalam melakukan penafsiran secara
riwayat kita sudah memahami alurnya.
II. Tafsīr Naqlī (Tafsīr bi al-Ma’thūr)
A. Pengertian Tafsīr Naqlī (Tafsīr bi al-Ma’thūr)
Secara etimologi atau bahasa, kata tafsir berasal dari suku kata bahasa
Arab فسر-
يفسر- تفسير yang
mempunyai arti menjelaskan. Begitu juga dengan ma’thūr yang berasal dari suku kata أثر-
يأثر-أثرا-أثر- مأثور
yang berarti jejak atau bekas. Tafsīr bi al-Ma’thūr atau Tafsir Riwayat juga bisa disebut Tafsīr Naqlī.[1]
Sedangkan
secara terminologi ada bebrapa pendapat ulama yang menjelaskan. Syaikh Khalid
Abdurrahman al-‘Ak menjelaskan bahwa Tafsīr Naqlī adalah Tafsīr
bi al-Ma’thūr yang
mencakup penafsiran yang berasal dari Al-Qur’an sendiri, baik dari penjelasan
dan pemerincian sebagian ayat, yang sekiranya ada ayat yang masih global lalu
dijelaskan maksudnya oleh ayat yang lain, dan penafsiran dari Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam di dalam hadis
beliau serta penafsiran dari sahabat dimana mereka adalah orang-orang yang pada
masanya diturunkan wahyu dan menyaksikan asbab al-nuzūl serta orang-orang yang paling mengetahui
tentang tafsīr dan ta’wil Al-Qur’an.[2]
Husain al-Dhahābi di dalam kitabnya memasukkan
riwayat dari tabi’in sebagai Tafsīr bi
al-Ma’thūr meskipun masih ada perbedaan ulama, apakah hal ini merupakan bi
al-ma’thūr atau bi al-ra’yi. Hal ini dikarenakan beliau menemukan
riwayat tabi’in di dalam kitabnya Imam Al-Ṭabari.[3]
Dalam buku Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Tafsīr Naqlī atau Tafsīr bi al-Ma’thūr adalah metode mufassir
yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain, menafsirkan
Al-Qur’an dengan Hadis dan menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan sahabat
karena mereka adalah orang yang paling mengetahui kitab Allah Subḥānahu wa
Ta’ālā atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in.[4]
Setelah melihat tentang definisi Tafsīr Naqlī
di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Tafsīr Naqlī
atau Tafsīr bi al-Ma’thūr secara terminologi adalah metode penafsiran
yang dilakukan oleh mufassirin melalui riwayat yang sambung kepada Nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, baik yang bersumber dari
Al-Qur’an, Hadis Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam maupun dari sahabat
dan tabi’in.
B. Sumber Tafsīr Naqlī (Tafsīr bi al-Ma’thūr)
1.
Al-Qur’an dan
Qira’at yang mutawattir
Sesungguhnya
orang yang mempelajari Al-Qur’an itu akan menemukan bahwa sebenarnya di dalam
Al-Qur’an itu mengandung ayat-ayat yang bersifat ījāz (ringkas), global, mutlak, dan umum. Begitu
pula mereka menemukan di dalam Al-Qur’an itu juga terdapat ayat-ayat īḍāḥ (penjelasan), bayan (penjelasan), penafsiran, penqayyidan (pembatasan)
dan takhṣiṣ
(khusus).
Maksudnya
sesuatu ayat menjadi penjelas atau tafsîr bagi ayat lainnya. Menurut
al-Zarqānī Al-Qur’an adalah sumber tafsîr paling utama, mengingat Allah
adalah yang paling tahu dengan maksud ayat tersebut dibanding yang lainnya dan
sebenar-benar perkataan tentulah kitab Allah.[6]
Contoh
dari penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an adalah firman Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, dalam surat
al-Baqarah ayat 187;
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ [7].
Di dalam ayat tersebut kalimat من
الفجر merupakan
penjelasan dari maksud kalimat الخيط الابيض yang datang sebelumnya.[8]
2.
Hadis Nabi Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam
Dalam
usaha untuk mendapatkan penjelasan tentang Al-Qur’an dan penjelasan tentang
makna Al-Qur’an, sahabat merujuknya kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, selagi beliau menjelaskan kepada mereka beberapa makna, hukum-hukum dan
lain-lainnya dengan ucapan, tindakan maupun ketetapan beliau.
Contoh
dari penafsiran ayat Al-Qur’an dengan keterangan yang di jelaskan oleh Nabi
Muhammad Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam seperti pada ayat;
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ[9].
Rasulullah
Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam menafsirkan kalimat ظلم
adalah sebuah kemusyrikan, sesuai dengan firman Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā.[10]
3.
Penafsiran
sahabat yang berdasarkan riwayat
Sesungguhnya
penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an itu sebanding dengan penafsiran
Rasulullah Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam. Berikut alasannya;
a.
Karena mereka
menyaksikan turunnya wahyu, macam-macam bacaan dan asbab al-nuzūl secara langsung.
b.
Karena mereka
merupakan pemilik dari bahasa Arab serta ahli dalam masalah balāghah, faṣāḥat
dan bayān.
c.
Karena mereka
adalah manusia yang paling mengetahui tentang kebiasaan/adat, keadaan dan
kabar-kabar orang Arab.
Adapun
penafsiran ayat dengan keterangan sahabat, yaitu misalnya pemahaman sahabat
Umar atau Ibn Abbas tentang makna surat al-Nasr ayat 110, bahwa surat
itu adalah isyarat tentang telah dekatnya ajal Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam.[12]
C. Perkembangan Tafsīr Naqlī (Tafsīr bi al-Ma’thūr)
Penafsiran dengan metode riwayat sejatinya sudah
ada sejak Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam masih hidup.
Beliau menjelaskan ayat-ayat atau lafal-lafal Al-Qur’an yang perlu dijelaskan
atau menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh sahabat mengenai ayat atau
lafal yang mereka belum pahami. Tafsīr bi al-Ma’thūr merupakan metode penafsiran pertama yang
dilakukan oleh mufassir.
Syaikh Khalid Abdurrahman al-‘Ak di dalam kitab Uṣul al-Tafsīr wa Qawa’iduhu menjelaskan, bahwa perkembangan Tafsīr bi al-Ma’thūr itu dibagi menjadi dua periode, yaitu
periode periwayatan dan periode tadwin (pembukuan).[13] Periode
pertama adalah dimana Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam menjelaskan
kepada sahabat tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang sukar dipahami oleh mereka. Hal
itu terus berlanjut secara turun temurun sampai ke generasi kita saat ini. Pada
masa sahabat, metode penafsiran yang digunakan tidak hanya metode periwayatan
akan tetapi para sahabat juga menggunakan ijtihad.
Di periode kedua, perkembangan Tafsīr bi al-Ma’thūr bermula
pada pertama kali dibukukannya atau pengkodifikasian resmi hadis pada masa
pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz.. Hal ini dikarenakan kegiatan pengumpulan
tafsir sejalan dengan pengumpulan hadis, sehingga tafsir pada masa itu
merupakan bagian integral dari hadis.[14]
Setelah itu, sekitar abad ke-3 H barulah tafsir berkembang secara mandiri.
Abdurrazaq Ibn Hammam al-Sanami merupakan orang yang pertama menuliskan tafsir
secara terpisah sebelum Ibnu Jarir al-Ṭabari. Maksudnya adalah memisahkan
antara hadis dengan tafsir yang semula berada pada satu kitab menjadi kitab
hadis sendiri dan kitab tafsir sendiri.
D.
Syarat-syarat Tafsīr Naqlī (Tafsīr bi al-Ma’thūr)
Tafsīr bi al-Ma’thūr merupakan sumber tafsir yang paling
utama. Hal ini dikarenakan beberapa alasan di antaranya:
1.
Karena dalam
metode riwayat, mufassir menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lainnya.
2.
Karena dalam
metode riwayat, mufassir menafsirkan dengan hadis Rasulullah, alasannya
karena beliau memang diutus untuk menjelaskan Al-Qur’an.
3.
Karena dalam
metode riwayat, mufassir menafsirkan dengan menggunakan athār sahabat, yang mereka jelas telah menyaksikan
turunnya Al-Qur’an dan memahami kejadian-kejadian dan kondisi turunnya ayat
tersebut.
Namun demikian, kesalahan-kesalahan masih mungkin
terjadi. Dalam artian bahwa Tafsīr bi al-Ma’thūr juga adakalanya ḍo’if. Di antara sebab-sebab keḍo’ifan suatu
riwayat Tafsīr bi al-Ma’thūr adalah;[15]
1.
Banyaknya
pemalsuan di dalam tafsir.
2.
Masuknya
cerita isra’illiyāt yang
bertolak belakang dengan Al-Qur’an di dalam tafsir.
3.
Terbuangnya
sanad di dalam Tafsīr bi al-Ma’thūr.
Adapun syarat dari Tafsīr Naqlī itu selama tafsir
tersebut marfū’, pasti diterima. Karena tidak ada permasalahan ataupun
perbedaan di dalamnya. Sedangkan tafsir yang maqbūl dan maqṭū’ tidak
bisa secara langsung diterima. Kita harus menyelidikinya sesuai sebab-sebab keḍo’ifan suatu riwayat Tafsīr bi al-Ma’thūr.
III. Hubungan Al-Qur’an
dan Hadis
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang merupakan wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam.
Sedangkan Hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah
‘Alayhi wa Sallam mulai dari ucapan, perbuatan dan
ketetapan beliau. Dari kedua pengertian tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa
antara Al-Qur’an dan Hadis mempunyai hubungan yang sangat erat.
Hadis merupakan bayan dari Al-Qur’an.
Maksudnya sebagian besar hadis itu menjelaskan atau menafsiri ayat-ayat yang
dirasa masih perlu untuk dijelaskan secara detail. Adapun hubungan antara
Al-Qur’an dan Hadis yaitu, Hadis itu menguatkan hukum yang ditetapkan Al-Qur`an,
Menjelaskan maksud al-Qur'an, yaitu dengan cara memerinci ayat yang mujmal,
membatasi ayat yang mutlaq, mengkhususkan ayat yang masih umum dan
menjelaskan ayat yang musykil serta menetapkan hukum baru yang tidak
ditetapkan oleh Al-Qur`an.
IV. Kesimpulan
Secara etimologi atau bahasa, kata tafsir berasal dari suku kata bahasa
Arab فسر-
يفسر- تفسير yang
mempunyai arti menjelaskan. Begitu juga dengan ma’thūr yang berasal dari suku kata أثر-
يأثر-أثرا-أثر- مأثور
yang berarti jejak atau bekas. Tafsīr Naqlī atau Tafsīr bi al-Ma’thūr
secara terminologi adalah metode penafsiran yang dilakukan oleh mufassirin melalui
riwayat yang sambung kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, baik
yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam
maupun dari sahabat dan tabi’in.
Mengenai sumber Tafsīr
Naqlī atau Tafsīr bi al-Ma’thūr Syaikh Khalid Abdurrahman al-‘Ak
mengungkapkan bahwa sumber Tafsīr bi al-Ma’thūr itu ada tiga:
1.
Al-Qur’an dan
Qira’at yang mutawattir
2.
Hadis Nabi Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa Sallam
3.
Penafsiran
sahabat yang berdasarkan riwayat
Syaikh Khalid Abdurrahman al-‘Ak di dalam kitab Uṣul al-Tafsīr wa
Qawa’iduhu menjelaskan, bahwa perkembangan Tafsīr bi al-Ma’thūr itu
dibagi menjadi dua periode, yaitu periode periwayatan dan periode tadwin (pembukuan).
Adapun syarat dari Tafsīr Naqlī itu selama tafsir tersebut marfū’,
pasti diterima. Karena tidak ada permasalahan ataupun perbedaan di dalamnya.
Sedangkan tafsir yang maqbūl dan maqṭū’ tidak bisa secara
langsung diterima. Kita harus menyelidikinya sesuai sebab-sebab keḍo’ifan
suatu riwayat Tafsīr bi al-Ma’thūr.
Adapun hubungan antara Al-Qur’an dan Hadis
adalah:
1.
Hadis itu
menguatkan hukum yang ditetapkan Al-Qur`an.
2.
Menjelaskan
maksud Al-Qur'an, yaitu dengan cara memerinci ayat yang mujmal,
membatasi ayat yang mutlaq, mengkhususkan ayat yang masih umum dan
menjelaskan ayat yang musykil.
3.
Menetapkan
hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur`an.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
‘Ak (al), Syaikh Khalid Abdurrahman. Uṣul al-Tafsīr wa
Qawā’iduhu. (Damaskus: Dār al-Nafa’is, 1986).
Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011).
Dhahābi (al), Muhammad Husain. Tafsīr wa al-Mufassirūn.
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2005).
Khālidī (al), Ṣalāḥ Abdul Fattaḥ. Ta’rif al-Dārisīn bi
Manāhij al-Mufassirīn. (Damaskus: Dār al-Qalam, 2008).
Qaṭṭan (al), Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA., (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2013).
Shihab, Muhammad Quraish. Kaidah Tafsir. (Jakarta:
Lentera Hati, 2013).
Zarqānī (al), Muhammad Abdul Aẓim. Manahil al-Irfān fī ‘Ulum Al-Qur’an. (Beirut:
Dār al-Kutūb al-‘Arabī, 1995).
[1]
Dr. Ṣalāḥ Abdul Fattaḥ Al-Khālidī, Ta’rif al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn,
(Damaskus: Dār al-Qalam, 2008), 199.
[2] Syaikh
Khalid Abdurrahman Al-‘Ak, Uṣul al-Tafsīr wa Qawā’iduhu, (Damaskus: Dār
al-Nafa’is, 1986), 111.
[3] Muhammad
Husain Al-Dhahābi, Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah,
2005), I:112.
[4]
Syaikh Manna’ Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur
Rafiq El-Mazni, Lc. MA., (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), 434.
[6] Muhammad Abdul Aẓim Al-Zarqānī, Manahil
al-Irfān fī ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Kutūb al-‘Arabī, 1995), II:13.
[7] Al-Qur’an, 2:187.
[9] Al-Qur’an, 6:82.
[10] Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,
(Jakarta: Lentera Hati, 2013), 350.
[11] Al-Qur’an, 31:13.
[12] Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,
351.
[13] Al-‘Ak, Uṣul al-Tafsīr wa Qawā’iduhu,
120.
[14] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Metode
Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 44.