CORAK TAFSIR SEKTARIAN
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/06/corak-tafsir-sektarian.html
CORAK TAFSIR SEKTARIAN
Oleh: Hikmatin Hamidah
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam sebagai penyempurna atas kitab-kitab umat
terdahulu. Seluruh ayat al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Meskipun
al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab, namun tidak serta-merta ayat-ayat
al-Qur’an bisa difahami secara langsung oleh semua lapisan umat. Oleh karena
itu diperlukan sebuah penafsiran agar ayat-ayat yang sukar untuk difahami dan
dimengerti maknanya menjadi mudah untuk difahami.
Usaha untuk mempelajari dan memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an dari
masa ke masa tak kunjung surut. Semakin hari semakin berkembang usaha untuk memahami
al-Qur’an seiring dengan berjalannya waktu, hal ini merupakan sesuatu yang
wajar karena al-Qur’an merupakan wahyu yang berlaku secara universal bagi
seluruh umat. Meskipun al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab namun dalam
hal ini tidak serta-merta lafaẓ-lafaẓ yang tertulis dalam mushaf bisa
difahami oleh semua lapisan umat terutama oleh orang-orang Arab sendiri yang
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari. Oleh karena itu dibutuhkan
sebuah penafsiran untuk memudahkan umat Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam dalam memahami al-Qur’an. Sebab, tidak semua ayat al-Qur’an
khususnya yang membicarakan tentang hukum dijelaskan secara gamblang dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu, diperlukan lah sebuah penafsiran untuk memudahkan umat
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam serta untuk memahami
pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an.
Penafsiran al-Qur’an telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah hingga zaman
Tabi’in. Seiring berjalannya waktu dan berkembang pesatnya peradaban Islam yang
diiringi oleh kemajuan ilmu pengetahuan hingga akhirnya muncullah berbagai
corak dalam penafsiran baik yang berkaitan dengan filsafat dan teologi, mazhab-mazhab
fikih sehingga muncullah penafsiran yang berdasarkan pada corak fikih, hal
tersebut muncul seiring dengan terbentuknya mazhab-mazhab fikih untuk mendukung
pendapat mazhabnya dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang
membicarakan mengenai hukum cenderung kepada masing-masing mazhab yang mereka
anut. Dan tafsir tersebut disebut dengan istilah tafsir sektarian.
Berangkat dari latar belakang diatas, dalam makalah ini akan dijelaskan penjelasan
mengenai tafsir sektarian, yang meliputi pengertian tafsir sektarian, bagaimana
perkembangan tafsir tersebut, serta kitab-kitab apa saja yang termasuk dalam karakteristik
tafsir sektarian.
II. CORAK TAFSIR SEKTARIAN
A. Pengertian Tafsir Sektarian
Sebuah penafsiran terhadap
ayat-ayat al-Qur’an telah dilakukan sejak zaman Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Dan hal ini dianggap sebagai sesuatu yang
penting karena al-Qur’an sendiri yang diturunkan dengan berbahasa Arab asli. Meskipun
demikian, tidak serta-merta bagi orang-orang Arab bisa langsung memahami
makna-makna yang terkandung didalamnya baik itu secara tersirat maupun tersurat.
Dan dari sinilah sebuah penafsiran itu dianggap penting sebagai alat untuk memudahkan
dan memahami ayat-ayat yang dianggap sulit untuk difahami. Namun, seiring
berjalannya waktu, dunia tafsir pun juga ikut berkembang. Sehingga muncullah berbagai
karya-karya tafsir oleh para ulama’ pada zaman tersebut. Dan akhirnya para
ulama’ mengelompokkan perkembangan tafsir menjadi tiga periode yakni periode klasik,
pertengahan, dan periode kontemporer.
Berbagai corak-corak tafsir mulai
muncul pada periode pertengahan ketika masa akhir dari dinasti Umayyah dan awal
dinasti ‘Abbasiyyah, pada masa ini terkenal dengan zaman keemasan (the
golden age), yang ditandai dengan berkembang
pesatnya ilmu pengetahuan dan disertai dengan dimulainya penerjemahan buku-buku
yang berasal dari luar kebudayaan Arab seperti Yunani, Persia, India dan
beberapa negara lain kedalam bahasa Arab tepatnya pada masa Dinasti ‘Abasiyyah
yaitu ketika Abū Ja’far al-Manshūr menjabat sebagai khalifah.[1] Pada
periode ini juga terjadi persaingan ketat antara para mufassir yang
mahir pada disiplin ilmu-ilmu tertentu.
Beberapa kitab-kitab tafsir
yang muncul pada abad pertengahan seperti Jāmi’ al-Bayān fī tafsīr al-Qur’an karya Ibnu Jarīr al-Ṭabarīy, al-Kasysyāf karya Abū al-Qāsim Maḥmūd Ibn ‘Umar al-Zamakhsyari,
Mafātīḥ al-Ghaib karya Faḥruddīn al-Rāzy, dan tafsīr al-Jalālainy karya Jalāluddīn al-Suyuṭy dan Jalāluddīn al-Maḥally.
Bersamaan dengan munculnya kitab-kitab tafsir pada abad tersebut sehingga, pada
periode ini muncullah istilah corak-corak tafsir seperti tafsir syi’ah, mu’tazilah,
khawarij dan lain-lain. Hal tersebut dilatar belakangi oleh lahirnya
tafsir-tafsir yang didominasi dengan sistem berfikir tertentu, ketika
pemerintahan al-Ma’mūn menjadikan mazhab teologi Mu’tazilah sebagai mazhab
negara serta terjadinya perdebatan suatu bidang ilmu antara filsafat dan ilmu kalām
menambah semaraknya suasanan “keberpihakan” atas ide-ide tertentu pada masa itu.[2]
Pada periode ini tafsir-tafsir
yang umumnya ditulis orang-orang terdahulu dengan sengaja mengambil
spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu, meskipun diantara mereka banyak
memahami beberapa cabang ilmu pengetahuan. Selain itu pada periode pertengahan
inilah muncul fanatisme terhadap mazhab, aliran maupun kelompok-kelompok
tertentu hingga pada akhirnya hal tersebut mengarah pada sikap taqlīd
buta terhadap pengikut maupun kelompoknya. Bahkan ada juga yang kecenderungan
untuk menghapuskan sikap toleransi dan cara berfikir kritis. Akibatnya bagi
generasi selanjutnya pendapat imam-imam dan tokoh fikih tertentu sering kali
menjadi dasar dan standardisasi dalam penafsiran teks-teks al-Qur’an. Seperti
sebuah pernyataan dari al-Karakhi seorang penganut dan pendukung mazhab Abū Ḥanifah
mengatakan bahwa: “Setiap ayat atau hadis yang menyalahi pendapat mazhab
kami, maka harus di ta’wīl atau di naskh”.[3]
Dari sinilah muncul sikap fanatik dan sektarianiseme berdasarkan pada nalar
idiologis.
Akibat dari munculnya sikap
fanatik dan sektarianisme inilah muncul kelompok moderat yang cenderung untuk
dimensi atau mengambil jalan tengah yang berusaha untuk merespon fanatiseme
tersebut. Sehingga kedua arus berpikir tersebut ternyata sama memberikan warna
tertentu terhadap penafsiran yang mereka lakukan masing-masing. Selain itu pada
periode pertengahan antara politik dan agama yang telah menyatu sulit untuk
dipisahkan. Dan tampaknya antara agama dan politik untuk sama-sama saling
memanfaatkan sebagai usaha untuk merebut hati masyarakat.
Sedangkan dalam kamus besar
bahasa Indonesia sektarian diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
anggota (pendukung/penganut), dan terkukung pada satu sekte, mazhab/aliran saja.[4] Adapun
mengenai nama sektarian sendiri merupakan hasil asumsi dari seorang tokoh orientalis
dari Hungaria yang lahir pada tahun 1850 Masehi, yang bernama Ignaz Goldziher
dalam salah satu karyanya yang berjudul “Richtungen der Islamischen
Koranauslegung”, dalam karyanya tersebut Ignaz mengatakan bahwa ada lima
kecenderungan dalam penafsiran al-Qur’an yaitu penafsiran dengan bantuan hadis
Nabi dan sahabat, penafsiran dogmatis, penafsiran mistik, penafsiran sektarian,
dan penafsiran modernis.[5] Tiga
aliran pertama senada dengan corak masing-masing watak kesarjanaan muslim yaitu
tafsīr bi-al-riwāyah, tafsīr bi al-dirāyah, dan tafsīr bi al-isyārah.
Sedangkan dua aliran lainnya yakni sektarian dan modernis yang merupakan hasil
tambahan serta elaborasi dari tipologi
kesarjanaan muslim.
Berangkat dari pengertian
diatas bahwa yang dinamakan tafsir sektarian adalah penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang mufassir pengikut firqah-firqah
khususnya dalam teologi Islam. Adapun model penafsiran pada corak sektarian
ini dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an seperi ayat-ayat yang berhubungan
dengan ibadah serta akidah untuk mendukung, menguatkan serta untuk membela
pendapat mazhabnya. Adapun sebab yang melatarbelakangi munculnya corak tafsir
ini. Menurut sejarah tafsir ini muncul sebagai
dampak dari terjadinya perang siffīn sehingga menimbulkan perpecahan antara umat Islam menjadi
beberapa sekte yaitu syi’ah, khawarij, dan murji’ah. Dan dari
beberapa masing-masing kelompok tersebut menafsirkan ayat al-Qur’an menurut
pemahaman kelompoknya.[6]
Adapun corak tafsir selain cenderung terhadap
mazhab atau firqah-firqah tertentu adalah corak tafsir al-Falsafī
yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kerangka filosofis,
baik itu usaha mengenai perpaduan maupun penyesuaian antara teori filsafat
dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun maupun usaha untuk menolak teori-teori
filsafat yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Filsafat mulai masuk kedalam
tafsir dan pada hal ini dipelopori oleh al-Rāzī dnegan karyanya yang berjudul mafātīh
al-ghaib. Tokoh-tokoh yang mendalami ilmu ini adalah al-Fārābī, Ibn
Sīnā, dan Ibn Rusyd. Selain itu banyak tokoh-tokoh lain yang membatasi dan
tidak terlalu mendalami kajian mengenai filsafat karena hal tersebut dianggap
bertentangan dengan agama, dan dikemudian hari muncul lah para tokoh yang
menentang dan menolak akan hadirnya ilmu filsafat dalam bidang keilmuan Islam,
seperti al-Ghazālī, dan Fakhruddīn al-Rāzy.[7]
B.
Kitab-Kitab Yang Termasuk Dalam Kategori
Tafsir Sektarian
Karya-karya para ulama’
dalam bidang tafsir sangatlah beragam. Hal ini disebabkan oleh berkembang
pesatnya peradaban Islam yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
pada masa itu. Sehingga, muncul lah berbagai tafsir dengan corak yang
berbeda-beda. Diantara kitab-kitab tafsir yang tegolong dalam tafsir sektarian
adalah:
a)
Tafsir Mafātīḥ al-Ghaib
Kitab tafsir
ini adalah hasil karya dari seorang mufassir yang bernama al-Rāzy. Beliau
mempunyai nama lengkap Abū Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-Ḥusin bin al-Ḥasan bin Ali al-Qurasyi at-Taimi al-Bakri al-Ṭabrastani al-Rāzy,
ia mendapat gelar Faḥruddīn. Al-Rāzy lahir pada tanggal 15 Ramadhan
tahun 544 Hijriyah.[8]
Beliau adalah seorang ulama’ yang tekun dalam menuntut ilmu, hampir seluruh disiplin ilmu telah beliau
pelajari. Oleh karena itu wajarr saja jika beliau dijuluki sebagai pakar ilmu
logika, ahli tafsir dan bahasa, serta ahli fikih dalam mazhab Syafi’i. Imam
al-Razī mempunyai karya yang cukup banyak diantaranya adalah karya tafsirnya
yang berjudul Mafātīḥ al-Ghaīb. [9]
Al-Rāzy menggunakan metode penalaran logika
dan islilah-istilah ilmiah, serta mencakup beberapa ilmu didalamnya seperti
ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat. Tafsir karya al-Rāzy ini termasuk
dalam kategori tafsir sektarian, dikarenakan dalam kitab tafsir ini pengarang
kitab tersebut banyak menyisipkan pembahasan mengenai filsafat dan menjelaskan
panjang lebar mengenai permasalahan filsafat ketika menafsirkan al-Qur’an. Selain
memasukkan pembahasan mengenai filsafat pengarang kitab ini juga merangkum
pendapat ahli kalam, ketika al-Rāzy menemui ayat-ayat yang menyangkut tentang
hukum, beliau menafsirkan ayat tersebut dengan menyebutkan semua mazhab fuqaha’.
Akan tetapi al-Razī lebih cenderung pada satu mazhab yaitu pada mazhab Syafi’i.
b)
Tafsir Ahkām
al-Qur’an
Tafsir Aḥkām
al-Qur’an ini adalah sebuah kitab tafsir karya seorang mufassīr
yang bernama al-Jashshash, nama lengkap beliau adalah Abū Bakar Ahmad bin Aly al-Rāzy, namun beliau lebih mashūr dengan nama al-Jashshash,
nama tersebut dinisbatkan pada profesi beliau sebagai seorang tukang kapur (Jashshash).
Beliau lahir pada tahun 305 H di kota Baghdad dan beliau wafat pada tangga 9
Dzulhijjah tahun 370 H. Al-Jashash menghabiskan masa mudanya dengan berkelana
ke beberapa tempat untuk mengggali ilmu dari para ulama’-ulama’ pada masa itu
seperti pada Abū Sahal al-Zujāj dan Abū al-Ḥasan al-Karakhi. Selama hidupnya
al-Jashash dihabiskan untuk aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan ilmu
serta mengarang dan menulis kitab.
Beberapa
kitab hasil karya al-Jashash seperti karyanya dalam bidang tafsir yaitu tafsir Aḥkām
al-Qur’an, selain mengarang kitab tafsir beliau juga mengarang beberapa
kitab seperti Syaraḥ Mukhtaṣar
al-Karakhi, Adab al-Qadḥa, Syaraḥ al-Asma’ al-Ḥusna, dan beberapa kitab lainnya. Tafsir Aḥkām al-Qur’an
ini merupakan salah satu kitab tafsir terpenting diantara kitab-kitab tafsir
yang berhaluan Hanafi. Al-Jashash menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum
fikih. Meskipun kitab ini disusun mengikuti alur urutan surat-surat al-Qur’an,
kitab ini sistematika penyusunannya berdasarkan bab-bab fikih, ketika menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan bab fikih, namun al-Jashash lebih
cenderung untuk mengagungkan dan membela mazhab Ḥanafi. [10]
Selain
dalam segi mengupas ayat-ayat yang terkait dengan bab fikih tafsir Aḥkām
al-Qur’an ini juga mengupas ayat-ayat yang terkait dengan teologi. Namun,
dalam menjelaskan ayat-ayat yang terkait dengan teologi lebih cenderung untuk
mendukung serta memeperkuat pendapat sekte Mu’tazilah, sebagaimana yang ditulis
dalam pengantar kitab tersebut.[11]
Hal ini dianggap wajar sebab al-Jashash termasuk orang yang fanatik dengan
mazhab teologi Mu’tazilah.
c)
Tafsir al-Qummī.
Tafsir ini
adalah sebuah buah karya dari Abū al-Ḥasan Aly bin Ibrahīm al-Qummī. Taufik Adnan
dalam bukunya yang berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an” mengatakan
bahwa:” kitab tafsir ini masuk dalam kategori tafsir sektarian, dan tafsir
al-Qummī ini termasuk sebuah karya terlengkap pada masanya disamping itu tafsir
ini sangat kental dengan nuansa Syi’ahnya. Adapun cara penafsiran yang
dilakukan oleh pengarang kitab ini yaitu dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
yang ditujukan untuk memperkukuh sejumlah kepercayaan resmi yang dimiliki oleh kelompok
Syi’ah, serta membatasi gagasan-gagasan yang berseberangan dengan ortodoksi
Islam dan sejumlah kepercayaan resminya”.[12]
Penafsiran
al-Qur’an yang dilakukan oleh al-Qummī ini dengan tegas dan jelas mengenai
keberadaan mushaf Utsmani sebaga hasil dari manipulasi oleh para pengumpul
al-Qur’an. Menurut keyakinan kelompoknya, bahwa Utsman dan komisi yang
dibentuknya untuk mengumpulkan al-Qur’an telah menggantikan serta tidak
mencakupkan kedalam kodifikasinya sebagian besar dari kitab suci, baik berupa
surat, maupun ayatnya, serta telah memporak-porandakan susunanya.[13]
d) Tafsir Aḥkām al-Qur’an
Kitab
tafsir ini ditulis oleh Ibnu ‘Arabi, nama lengkap beliau adalah Abū Bakar
Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’āfiry
al-Andalusy al-Ishbily. Beliau lahir pada tahun 368 Hijriyah. Beliau berkelana
untuk mencari ilmu ke beberapa daerah diantaranya adalah Mesir, Syam, Baghdād,
serta Makkah.[14]
Beberapa guru beliau ketika di Mesir yaitu Abū al-Ḥasan al-Khalai, Abu al-Ḥasan bin Musyrif, Abū al-Ḥasan bin Daud. Berkat usaha keras Ibn arabiy beliau menguasai banyak ilmu
pengetahuan seperti Fiqih, Uṣul Fiqh, hadith, teologi, tafsir dan lain-lain. Diantara bidang
ilmu pengetahuan yang beliau kuasai
sehingga terciptalah beberapa karya beliau seperti: Aḥkām al-Qur’ān, Qānūn al-Tā’wīl fī Tāfsīr al-Qur’an, Nāsikh wa al-Mansūkh, kitab tafsir
karya Ibnu ‘Arabi yang terkenal adalah kitab Aḥkām
al-Qur’ān, kitab ini termasuk kitab tafsir yang membahas ayat-ayat al-Qur’an yang terkait
dengan masalah-masalah hukum.
Sistematika
penulisan kitab ini dimulai dengan penyebutan surah, kemudian mengidentifikasi
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam surah tersebut secara berurutan, kemudian ayat-ayat
tersebut dijelaskan dan diambil kesimpulan hukumnya. Penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an dalam kitab ini lebih cenderung untuk menguatkan pendapat mazhab
Maliky.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penafsiran al-Qur’an sangatlah
penting, mengingat bahwa al-Qur’an adalah sebuah hal yang sangat penting
sebagai alat untuk memudahkan memahami al-Qur’an. Seiring berjalannya waktu
sebuah penafsiranpun juga mengalami perkembangan. Dalam hal ini tafsir
dibedakan mejadi 3 periode yaitu periode klasik, pertengahan serta periode
modern.
Adapun
bentuk tafsir pada masa klasik yairu dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan model penafsiran bī al-Ma’thūr dan bī al-Ra’yī yang disertai dengan penjelasan yang panjang
lebar. Namun pada periode pertengahan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran
sedikit mengalami perubahan yaitu dari segi penafsirannya lebih cenderung
kepada ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh sang mufassir pada masa itu. Hal
ini disebabkan pada masa itu peradaban Islam khususnya di bidang ilmu
pengetahuan yang sedang berkembang pesat. Selain menafsiran ayat-ayat al-Qur’an
cenderung pada sebuah ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh seorang mufassir,
sering kali para mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dituukan untuk
mendukung serta memperkuat pendapat masing-masing kelompok maupun mazhabnya dan
tafsir model ini disebut dengan tafsir sektarian.
Tafsir ini
muncul pada akhir dari dinasti Umayyah dan awal dari dinasti Abasiyyah masa ini
disebut juga sebagai masa keemasan (the golden age) ditandai dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan yang disertai dengan penerjemahan buku-buku dari
luar arab seperti Yunani, Persia dan lain-lain. Kitab-kitab tafsir yang
termasuk dalam kategori tafsir sektarian yaitu:
a) Tafsir Mafātīh al-Ghaib karya al-Rāzy.
b)
Tafsir Ahkām al-Qur’an karya
al-Jashshash.
c)
Tafsir al-Qummī karya Abū al-Hasan Aly
bin Ibrahīm al-Qummī.
d)Tafsir Aḥkām al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi.
Daftar Pustaka
Al-Dhahaby, Muḥammad Ḥusain, Al-tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo:
Maktabah Wahbah, tth.
Al-Qattan, Mannā’ Khalīl, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. M.
Mudzakir. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004.
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Tangerang:
Pustaka Alvabet, 2013.
Ghofur, Saiful Amin, Mozaik Mufasir
al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba, 2013.
Jamil, M., “Pergeseran Epistemologi Dalam Tradisi Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal
Ilmiah Abdi Ilmu, 01, 2011.
Nugraha, Firman, “Madzhab Tafsir”, dalam http://Firman
- Nugraha. blogspot. com /20/11/2014/ Madzhab- Tafsir. html/, ( diakses pada 27 April 2015).
Raden, Tim forum Karya Ilmiah, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah Dan
Tafsir Kalamullah. Kediri: Lirboyo Press, 2011.
Rif’at, “Peta Literatur Tafsir al-Qur’an Tradisi
Keilmuan Islam Klasik dan Modern”, dalam https://rifat200552.wordpress.com/2009/06/03/peta-literatur-tafsir-al-qur’an-tradisi-keilmuan-Islam
-klasik-modern/, (diakses pada 27 april 2015).
Sugono, Dendi, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa, 2008.
[1] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah dan
Tafsir Kalamullah”, (Lirboyo, Lirboyo press,2011), 247.
[2] M. Jamil, “Pergeseran Epistemologi Dalam Tradisi Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal
Ilmiah Abdi Ilmu, 01, (2011), 477.
[5] Rif’at, “Peta Literatur Tafsir al-Qur’an Tradisi Keilmuan Islam Klasik dan
Modern”, dalamhttps://rifat200552.wordpress.com/2009/06/03/peta-literatur-tafsir-al-qur’an-tradisi-keilmuan-Islam
-klasik-modern/, (diakses pada 27 april 2015).
[6]Firman Nugraha, “Madzhab Tafsir”, dalam http://Firman - Nugraha. blogspot. com /20/11/2014/ Madzhab- Tafsir. html/, ( diakses pada 27 April 2015).
[8] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur’an dari Klasik
hingga Kontemporer, (Yogyakarta, Kaukaba, 2013), 73.
[9] Mannā’ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an,
terj. M. Mudzakir, (Jakarta: Pustaka Litera antar Nusa, 2004), 506.
[10]
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur’an dari Klasik
hingga Kontemporer, (Yogyakarta, Kaukaba, 2013), 64.
[13] Ibid., 403.
[14] Muhammad Ḥusain al-Dhahaby, “al-Tafsīr wa al-Mufassirūn”, (Kairo:
Maktabah Wahbah, tth), 330.