1735262163458753
Loading...

CORAK TAFSIR SEKTARIAN



CORAK TAFSIR SEKTARIAN
Oleh: Hikmatin Hamidah

I.              PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam sebagai penyempurna atas kitab-kitab umat terdahulu. Seluruh ayat al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Meskipun al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab, namun tidak serta-merta ayat-ayat al-Qur’an bisa difahami secara langsung oleh semua lapisan umat. Oleh karena itu diperlukan sebuah penafsiran agar ayat-ayat yang sukar untuk difahami dan dimengerti maknanya menjadi mudah untuk difahami.
Usaha untuk mempelajari dan memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an dari masa ke masa tak kunjung surut. Semakin hari semakin berkembang usaha untuk memahami al-Qur’an seiring dengan berjalannya waktu, hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena al-Qur’an merupakan wahyu yang berlaku secara universal bagi seluruh umat. Meskipun al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab namun dalam hal ini tidak serta-merta lafaẓ-lafaẓ yang tertulis dalam mushaf bisa difahami oleh semua lapisan umat terutama oleh orang-orang Arab sendiri yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penafsiran untuk memudahkan umat Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam dalam memahami al-Qur’an. Sebab, tidak semua ayat al-Qur’an khususnya yang membicarakan tentang hukum dijelaskan secara gamblang dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, diperlukan lah sebuah penafsiran untuk memudahkan umat Rasulullah  Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam  serta untuk memahami pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an.
Penafsiran al-Qur’an telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah hingga zaman Tabi’in. Seiring berjalannya waktu dan berkembang pesatnya peradaban Islam yang diiringi oleh kemajuan ilmu pengetahuan hingga akhirnya muncullah berbagai corak dalam penafsiran baik yang berkaitan dengan filsafat dan teologi, mazhab-mazhab fikih sehingga muncullah penafsiran yang berdasarkan pada corak fikih, hal tersebut muncul seiring dengan terbentuknya mazhab-mazhab fikih untuk mendukung pendapat mazhabnya dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan mengenai hukum cenderung kepada masing-masing mazhab yang mereka anut. Dan tafsir tersebut disebut dengan istilah tafsir sektarian.
Berangkat dari latar belakang diatas, dalam makalah ini akan dijelaskan penjelasan mengenai tafsir sektarian, yang meliputi pengertian tafsir sektarian, bagaimana perkembangan tafsir tersebut, serta kitab-kitab apa saja yang termasuk dalam karakteristik tafsir sektarian.
II.      CORAK TAFSIR SEKTARIAN
A.    Pengertian Tafsir Sektarian
          Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah dilakukan sejak zaman Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Dan hal ini dianggap sebagai sesuatu yang penting karena al-Qur’an sendiri yang diturunkan dengan berbahasa Arab asli. Meskipun demikian, tidak serta-merta bagi orang-orang Arab bisa langsung memahami makna-makna yang terkandung didalamnya baik itu secara tersirat maupun tersurat. Dan dari sinilah sebuah penafsiran itu dianggap penting sebagai alat untuk memudahkan dan memahami ayat-ayat yang dianggap sulit untuk difahami. Namun, seiring berjalannya waktu, dunia tafsir pun juga ikut berkembang. Sehingga muncullah berbagai karya-karya tafsir oleh para ulama’ pada zaman tersebut. Dan akhirnya para ulama’ mengelompokkan perkembangan tafsir menjadi tiga periode yakni periode klasik, pertengahan, dan periode kontemporer.
          Berbagai corak-corak tafsir mulai muncul pada periode pertengahan ketika masa akhir dari dinasti Umayyah dan awal dinasti ‘Abbasiyyah, pada masa ini terkenal dengan zaman keemasan (the golden age),  yang ditandai dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan disertai dengan dimulainya penerjemahan buku-buku yang berasal dari luar kebudayaan Arab seperti Yunani, Persia, India dan beberapa negara lain kedalam bahasa Arab tepatnya pada masa Dinasti ‘Abasiyyah yaitu ketika Abū Ja’far al-Manshūr menjabat sebagai khalifah.[1] Pada periode ini juga terjadi persaingan ketat antara para mufassir yang mahir pada disiplin ilmu-ilmu tertentu.
          Beberapa kitab-kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan seperti Jāmi’ al-Bayān fī tafsīr al-Qur’an karya Ibnu Jarīr al-abarīy, al-Kasysyāf karya Abū al-Qāsim Maḥmūd Ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, Mafātīal-Ghaib karya Faḥruddīn al-Rāzy, dan tafsīr al-Jalālainy karya Jalāluddīn al-Suyuṭy dan Jalāluddīn al-Maḥally. Bersamaan dengan munculnya kitab-kitab tafsir pada abad tersebut sehingga, pada periode ini muncullah istilah corak-corak tafsir seperti tafsir syi’ah, mu’tazilah, khawarij dan lain-lain. Hal tersebut dilatar belakangi oleh lahirnya tafsir-tafsir yang didominasi dengan sistem berfikir tertentu, ketika pemerintahan al-Ma’mūn menjadikan mazhab teologi Mu’tazilah sebagai mazhab negara serta terjadinya perdebatan suatu bidang ilmu antara filsafat dan ilmu kalām menambah semaraknya suasanan “keberpihakan” atas ide-ide tertentu pada masa itu.[2]
          Pada periode ini tafsir-tafsir yang umumnya ditulis orang-orang terdahulu dengan sengaja mengambil spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu, meskipun diantara mereka banyak memahami beberapa cabang ilmu pengetahuan. Selain itu pada periode pertengahan inilah muncul fanatisme terhadap mazhab, aliran maupun kelompok-kelompok tertentu hingga pada akhirnya hal tersebut mengarah pada sikap taqlīd buta terhadap pengikut maupun kelompoknya. Bahkan ada juga yang kecenderungan untuk menghapuskan sikap toleransi dan cara berfikir kritis. Akibatnya bagi generasi selanjutnya pendapat imam-imam dan tokoh fikih tertentu sering kali menjadi dasar dan standardisasi dalam penafsiran teks-teks al-Qur’an. Seperti sebuah pernyataan dari al-Karakhi seorang penganut dan pendukung mazhab Abū Ḥanifah mengatakan bahwa: “Setiap ayat atau hadis yang menyalahi pendapat mazhab kami, maka harus di ta’wīl atau di naskh”.[3] Dari sinilah muncul sikap fanatik dan sektarianiseme berdasarkan pada nalar idiologis.
          Akibat dari munculnya sikap fanatik dan sektarianisme inilah muncul kelompok moderat yang cenderung untuk dimensi atau mengambil jalan tengah yang berusaha untuk merespon fanatiseme tersebut. Sehingga kedua arus berpikir tersebut ternyata sama memberikan warna tertentu terhadap penafsiran yang mereka lakukan masing-masing. Selain itu pada periode pertengahan antara politik dan agama yang telah menyatu sulit untuk dipisahkan. Dan tampaknya antara agama dan politik untuk sama-sama saling memanfaatkan sebagai usaha untuk merebut hati masyarakat.  
          Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia sektarian diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan anggota (pendukung/penganut), dan terkukung pada satu sekte, mazhab/aliran saja.[4] Adapun mengenai nama sektarian sendiri merupakan hasil asumsi dari seorang tokoh orientalis dari Hungaria yang lahir pada tahun 1850 Masehi, yang bernama Ignaz Goldziher dalam salah satu karyanya yang berjudul “Richtungen der Islamischen Koranauslegung”, dalam karyanya tersebut Ignaz mengatakan bahwa ada lima kecenderungan dalam penafsiran al-Qur’an yaitu penafsiran dengan bantuan hadis Nabi dan sahabat, penafsiran dogmatis, penafsiran mistik, penafsiran sektarian, dan penafsiran modernis.[5] Tiga aliran pertama senada dengan corak masing-masing watak kesarjanaan muslim yaitu tafsīr bi-al-riwāyah, tafsīr bi al-dirāyah, dan tafsīr bi al-isyārah. Sedangkan dua aliran lainnya yakni sektarian dan modernis yang merupakan hasil tambahan serta  elaborasi dari tipologi kesarjanaan muslim. 
          Berangkat dari pengertian diatas bahwa yang dinamakan tafsir sektarian adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang mufassir pengikut firqah-firqah khususnya dalam teologi Islam. Adapun model penafsiran pada corak sektarian ini dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an seperi ayat-ayat yang berhubungan dengan ibadah serta akidah untuk mendukung, menguatkan serta untuk membela pendapat mazhabnya. Adapun sebab yang melatarbelakangi munculnya corak tafsir ini. Menurut  sejarah tafsir ini muncul sebagai dampak dari terjadinya perang siffīn sehingga menimbulkan perpecahan antara umat Islam menjadi beberapa sekte yaitu syi’ah, khawarij, dan murji’ah. Dan dari beberapa masing-masing kelompok tersebut menafsirkan ayat al-Qur’an menurut pemahaman kelompoknya.[6]
          Adapun corak tafsir selain cenderung terhadap mazhab atau firqah-firqah tertentu adalah corak tafsir al-Falsafī yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kerangka filosofis, baik itu usaha mengenai perpaduan maupun penyesuaian antara teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun maupun usaha untuk menolak teori-teori filsafat yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Filsafat mulai masuk kedalam tafsir dan pada hal ini dipelopori oleh al-Rāzī dnegan karyanya yang berjudul mafātīh al-ghaib. Tokoh-tokoh yang mendalami ilmu ini adalah al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Ibn Rusyd. Selain itu banyak tokoh-tokoh lain yang membatasi dan tidak terlalu mendalami kajian mengenai filsafat karena hal tersebut dianggap bertentangan dengan agama, dan dikemudian hari muncul lah para tokoh yang menentang dan menolak akan hadirnya ilmu filsafat dalam bidang keilmuan Islam, seperti al-Ghazālī, dan Fakhruddīn al-Rāzy.[7]
B.     Kitab-Kitab Yang Termasuk Dalam Kategori Tafsir Sektarian
            Karya-karya para ulama’ dalam bidang tafsir sangatlah beragam. Hal ini disebabkan oleh berkembang pesatnya peradaban Islam yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa itu. Sehingga, muncul lah berbagai tafsir dengan corak yang berbeda-beda. Diantara kitab-kitab tafsir yang tegolong dalam tafsir sektarian adalah:
a) Tafsir Mafātī al-Ghaib
          Kitab tafsir ini adalah hasil karya dari seorang mufassir yang bernama al-Rāzy. Beliau mempunyai nama lengkap Abū Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-usin bin al-Ḥasan bin Ali al-Qurasyi at-Taimi al-Bakri al-Ṭabrastani al-Rāzy, ia mendapat gelar Faruddīn. Al-Rāzy lahir pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 Hijriyah.[8] Beliau adalah seorang ulama’ yang tekun dalam menuntut  ilmu, hampir seluruh disiplin ilmu telah beliau pelajari. Oleh karena itu wajarr saja jika beliau dijuluki sebagai pakar ilmu logika, ahli tafsir dan bahasa, serta ahli fikih dalam mazhab Syafi’i. Imam al-Razī mempunyai karya yang cukup banyak diantaranya adalah karya tafsirnya yang berjudul Mafātī al-Ghaīb. [9]
           Al-Rāzy menggunakan metode penalaran logika dan islilah-istilah ilmiah, serta mencakup beberapa ilmu didalamnya seperti ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat. Tafsir karya al-Rāzy ini termasuk dalam kategori tafsir sektarian, dikarenakan dalam kitab tafsir ini pengarang kitab tersebut banyak menyisipkan pembahasan mengenai filsafat dan menjelaskan panjang lebar mengenai permasalahan filsafat ketika menafsirkan al-Qur’an. Selain memasukkan pembahasan mengenai filsafat pengarang kitab ini juga merangkum pendapat ahli kalam, ketika al-Rāzy menemui ayat-ayat yang menyangkut tentang hukum, beliau menafsirkan ayat tersebut dengan menyebutkan semua mazhab fuqaha’. Akan tetapi al-Razī lebih cenderung pada satu mazhab yaitu pada mazhab Syafi’i.   
b)  Tafsir Ahkām al-Qur’an
          Tafsir Aḥkām al-Qur’an ini adalah sebuah kitab tafsir karya seorang mufassīr yang bernama al-Jashshash, nama lengkap beliau adalah Abū Bakar Ahmad bin Aly al-Rāzy, namun beliau lebih mashūr dengan nama al-Jashshash, nama tersebut dinisbatkan pada profesi beliau sebagai seorang tukang kapur (Jashshash). Beliau lahir pada tahun 305 H di kota Baghdad dan beliau wafat pada tangga 9 Dzulhijjah tahun 370 H. Al-Jashash menghabiskan masa mudanya dengan berkelana ke beberapa tempat untuk mengggali ilmu dari para ulama’-ulama’ pada masa itu seperti pada Abū Sahal al-Zujāj dan Abū al-Ḥasan al-Karakhi. Selama hidupnya al-Jashash dihabiskan untuk aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan ilmu serta mengarang dan menulis kitab.
          Beberapa kitab hasil karya al-Jashash seperti karyanya dalam bidang tafsir yaitu tafsir Aḥkām al-Qur’an, selain mengarang kitab tafsir beliau juga mengarang beberapa kitab seperti  Syaraḥ Mukhtaṣar al-Karakhi, Adab al-Qadḥa, Syaraḥ al-Asma’ al-usna, dan beberapa kitab lainnya. Tafsir Aḥkām al-Qur’an ini merupakan salah satu kitab tafsir terpenting diantara kitab-kitab tafsir yang berhaluan Hanafi. Al-Jashash menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum fikih. Meskipun kitab ini disusun mengikuti alur urutan surat-surat al-Qur’an, kitab ini sistematika penyusunannya berdasarkan bab-bab fikih, ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan bab fikih, namun al-Jashash lebih cenderung untuk mengagungkan dan membela mazhab anafi. [10]
          Selain dalam segi mengupas ayat-ayat yang terkait dengan bab fikih tafsir Aḥkām al-Qur’an ini juga mengupas ayat-ayat yang terkait dengan teologi. Namun, dalam menjelaskan ayat-ayat yang terkait dengan teologi lebih cenderung untuk mendukung serta memeperkuat pendapat sekte Mu’tazilah, sebagaimana yang ditulis dalam pengantar kitab tersebut.[11] Hal ini dianggap wajar sebab al-Jashash termasuk orang yang fanatik dengan mazhab teologi Mu’tazilah.
c) Tafsir al-Qummī.
          Tafsir ini adalah sebuah buah karya dari Abū al-Ḥasan Aly bin Ibrahīm al-Qummī. Taufik Adnan dalam bukunya yang berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an” mengatakan bahwa:” kitab tafsir ini masuk dalam kategori tafsir sektarian, dan tafsir al-Qummī ini termasuk sebuah karya terlengkap pada masanya disamping itu tafsir ini sangat kental dengan nuansa Syi’ahnya. Adapun cara penafsiran yang dilakukan oleh pengarang kitab ini yaitu dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan untuk memperkukuh sejumlah kepercayaan resmi yang dimiliki oleh kelompok Syi’ah, serta membatasi gagasan-gagasan yang berseberangan dengan ortodoksi Islam dan sejumlah kepercayaan resminya”.[12]
          Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh al-Qummī ini dengan tegas dan jelas mengenai keberadaan mushaf Utsmani sebaga hasil dari manipulasi oleh para pengumpul al-Qur’an. Menurut keyakinan kelompoknya, bahwa Utsman dan komisi yang dibentuknya untuk mengumpulkan al-Qur’an telah menggantikan serta tidak mencakupkan kedalam kodifikasinya sebagian besar dari kitab suci, baik berupa surat, maupun ayatnya, serta telah memporak-porandakan susunanya.[13]
d) Tafsir Aḥkām al-Qur’an
          Kitab tafsir ini ditulis oleh Ibnu ‘Arabi, nama lengkap beliau adalah Abū Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’āfiry al-Andalusy al-Ishbily. Beliau lahir pada tahun 368 Hijriyah. Beliau berkelana untuk mencari ilmu ke beberapa daerah diantaranya adalah Mesir, Syam, Baghdād, serta Makkah.[14] Beberapa guru beliau ketika di Mesir yaitu Abū al-asan al-Khalai, Abu al-asan bin Musyrif, Abū al-asan bin Daud. Berkat usaha keras Ibn arabiy beliau menguasai banyak ilmu pengetahuan seperti Fiqih, Uṣul Fiqh, hadith,  teologi, tafsir dan lain-lain. Diantara bidang ilmu pengetahuan  yang beliau kuasai sehingga terciptalah beberapa karya beliau seperti: Aḥkām al-Qur’ān, Qānūn al-Tā’wīl fī Tāfsīr al-Qur’an, Nāsikh wa al-Mansūkh, kitab tafsir karya Ibnu ‘Arabi yang terkenal adalah kitab Akām al-Qur’ān, kitab ini termasuk kitab tafsir yang  membahas ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan masalah-masalah hukum.
          Sistematika penulisan kitab ini dimulai dengan penyebutan surah, kemudian mengidentifikasi ayat-ayat hukum yang terdapat dalam surah tersebut secara berurutan, kemudian ayat-ayat tersebut dijelaskan dan diambil kesimpulan hukumnya. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dalam kitab ini lebih cenderung untuk menguatkan pendapat mazhab Maliky.
Kesimpulan
          Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penafsiran al-Qur’an sangatlah penting, mengingat bahwa al-Qur’an adalah sebuah hal yang sangat penting sebagai alat untuk memudahkan memahami al-Qur’an. Seiring berjalannya waktu sebuah penafsiranpun juga mengalami perkembangan. Dalam hal ini tafsir dibedakan mejadi 3 periode yaitu periode klasik, pertengahan serta periode modern.
          Adapun bentuk tafsir pada masa klasik yairu dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan model penafsiran bī al-Ma’thūr dan bī al-Ra’yī yang disertai dengan penjelasan yang panjang lebar. Namun pada periode pertengahan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran sedikit mengalami perubahan yaitu dari segi penafsirannya lebih cenderung kepada ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh sang mufassir pada masa itu. Hal ini disebabkan pada masa itu peradaban Islam khususnya di bidang ilmu pengetahuan yang sedang berkembang pesat. Selain menafsiran ayat-ayat al-Qur’an cenderung pada sebuah ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh seorang mufassir, sering kali para mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dituukan untuk mendukung serta memperkuat pendapat masing-masing kelompok maupun mazhabnya dan tafsir model ini disebut dengan tafsir sektarian.
          Tafsir ini muncul pada akhir dari dinasti Umayyah dan awal dari dinasti Abasiyyah masa ini disebut juga sebagai masa keemasan (the golden age) ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang disertai dengan penerjemahan buku-buku dari luar arab seperti Yunani, Persia dan lain-lain. Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori tafsir sektarian yaitu:
a) Tafsir Mafātīh al-Ghaib karya al-Rāzy.
b) Tafsir Ahkām al-Qur’an karya al-Jashshash.
c) Tafsir al-Qummī karya Abū al-Hasan Aly bin Ibrahīm al-Qummī.
d)Tafsir Aḥkām al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi.

Daftar Pustaka
Al-Dhahaby, Muḥammad Ḥusain, Al-tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabah Wahbah, tth.
Al-Qattan, Mannā’ Khalīl, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. M. Mudzakir. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004.
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Tangerang: Pustaka Alvabet, 2013.
Ghofur, Saiful Amin, Mozaik Mufasir al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba, 2013.
Jamil, M., “Pergeseran Epistemologi Dalam Tradisi Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, 01, 2011.
Nugraha, Firman, “Madzhab Tafsir”, dalam http://Firman - Nugraha. blogspot. com /20/11/2014/ Madzhab- Tafsir.  html/, ( diakses pada 27 April 2015).
Raden, Tim forum Karya Ilmiah, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah Dan Tafsir Kalamullah. Kediri: Lirboyo Press, 2011.
Rif’at, “Peta Literatur Tafsir al-Qur’an Tradisi Keilmuan Islam Klasik dan Modern”, dalam https://rifat200552.wordpress.com/2009/06/03/peta-literatur-tafsir-al-qur’an-tradisi-keilmuan-Islam -klasik-modern/, (diakses pada 27 april 2015). 
Sugono, Dendi, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa, 2008.



[1] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah dan Tafsir Kalamullah”, (Lirboyo, Lirboyo press,2011), 247.
[2] M. Jamil, “Pergeseran Epistemologi Dalam Tradisi Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, 01, (2011), 477.
[3] Ibid., 477.
[4] Dendi Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008), 1287.
[5] Rif’at, “Peta Literatur Tafsir al-Qur’an Tradisi Keilmuan Islam Klasik dan Modern”, dalamhttps://rifat200552.wordpress.com/2009/06/03/peta-literatur-tafsir-al-qur’an-tradisi-keilmuan-Islam -klasik-modern/, (diakses pada 27 april 2015). 
[6]Firman Nugraha, “Madzhab Tafsir”, dalam http://Firman - Nugraha. blogspot. com /20/11/2014/ Madzhab- Tafsir.  html/, ( diakses pada 27 April 2015).
[7] Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), 308.
[8] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta, Kaukaba, 2013), 73.
[9] Mannā’ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. M. Mudzakir, (Jakarta: Pustaka Litera antar Nusa, 2004), 506.
[10] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta, Kaukaba, 2013), 64.
[11] Ibid., 65.
[12] Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Tangerang, Pustaka Alvabet, 2013), 403.
[13] Ibid., 403.
[14] Muhammad Ḥusain al-Dhahaby, “al-Tafsīr wa al-Mufassirūn”, (Kairo: Maktabah Wahbah, tth), 330.
Kumpulan Makalah 6740099527003786295

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments