ILMU MA’ĀNY AL-HADĪTH Oleh: Ahmad Murtadlo
http://kaweruh99.blogspot.com/2016/04/ilmu-maany-al-hadith-oleh-ahmad-murtadlo.html
ILMU MA’ĀNY AL-HADĪTH
(Konsep untuk
memahami hadis dengan benar)
Oleh: Ahmad
Murtadlo
I.
Pendahuluan
Tidak ada satupun perkara yang mudah tanpa adanya perkara
yang sulit, maksudnya adalah jika ada sesuatu yang mudah pasti si sisi lainnya
terdapat sesuatu yang sulit. Hadispun begitu, banyak hadis yang mudah dipahami
dan banyak juga hadis yang sulit untuk dipahami, karena tidak semua hadis Nabi
menunjukkan pengertian yang jelas dan pasti.
Lafal-lafal hadis pasca masa sahabat banyak telah dibaca
oleh orang-orang yang tidak mempunyai cukup pengetahuan atau ilmu, ini
menyebabkan seringnya terjadi kesalahan dalam memahami hadis. Banyak juga
orang-orang dalam memahami hadis hanya melihat hadis secara tekstual saja atau
melihat makna dlahir-nya, tanpa melihat pada makna batin-nya atau
pada aspek-aspek yang lain, ini juga yang menyebabkan seringnya terjadi
kekeliruan dalam memahami hadis.
Memahami hadis
tidak hanya dengan melihat secara tektual saja tapi juga harus melihat
aspek-aspek lain untuk bisa membuat pemahaman hadis menjadi benar. Ada salah
satu ilmu hadis yang bisa digunakan untuk memahami hadis dengan benar, yaitu
ilmu ma’āny al-hadīth. Ilmu ini mempunyai konsep yang sangat baik dalam
memahami hadis, konsepnya yaitu dalam memahami hadis tidak hanya melihat pada
satu titik tapi juga melihat pada banyak titik. Oleh karena itu penulis kira
menarik jika ilmu ini dibahas lebih rinci dan panjang lebar.
II.
Pembahasan
A. Pengertian Ilmu Ma’āny
al-Hadīth
Kata ma’āny (معانى) adalah bentuk
jamak dari kata ma’nā (معنى). Secara
bahasa kata ma’āny bisa dikatakan dengan maksud atau arti. Arti dalam
kamus bahasa indonesia diartikan dengan maksud yang terkandung dalam perkataan
atau kalimat. Para ahli ilmu ma’āny mendefinisikan ilmu ma’āny sebagai
suatu ungkapan yang diungkapkan dengan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada
dalam pikiran atau bisa juga disebut gambaran dari pikiran. Adapun menurut
istilah, ilmu ma’āny al-hadīth adalah ilmu yang mempelajari hal ihwal
lafal atau kata bahasa arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.[1]
Dalam redaksi lain yang penulis temukan pengertian ilmu ma’āny al-hadīth
adalah ilmu yang digunakan untuk memahami hadis secara tepat dengan
mempertimbangkan faktor-faktor tertentu yang berkaitan dengan hadis tersebut.[2]
Dari dua pengertian ini maksud dari keduanya sama, tapi redaksi nomer dua
kalimatnya lebih mudah dipahami.
Sebagian orang berpendapat bahwa Ilmu ma’āny al-hadīth
juga bisa dikatakan sebagai ilmu Naqd al-Matan atau nama lainnya adalah ilmu
kritik matan,[3] dengan
alasan pembahasan ilmu ma’āny al-hadīth kurang lebih sama dengan ilmu
kritik matan, yaitu pada aspek matan. Tapi menurut penulis antara ilmu ma’āny
al-hadīth dengan ilmu kritik matan hadis pembahasannya berbeda, ilmu kritik
matan hadis lebih mengutamakan pada pencarian keshahihan sebuah hadis sedangkan
ilmu ma’āny al-hadīth pembahasannya lebih pada pencarian pemahaman
mengenai maksud sebuah hadis. Seperti yang terdapat pada buku kritik matan
hadis bahwa kritik hadis adalah upaya untuk menyeleksi antara hadis shahih dan
dlaif dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau
kecacatan.[4]
Ini berarti antara ilmu ma’āny al-hadīth dengan ilmu kritik matan hadis
tidak sepenuhnya sama dan bisa disamakan.
B. Sejarah dan Objek Ilmu
Ma’āni al-Hadith
Pada zaman Nabi dan sahabat, bahkan tabi’in dan tabi’it
tabi’in belum dikenal istilah ilmu ma’āny al-hadīth.
Istilah tersebut merupakan istilah baru dalam studi hadis kontemporer. Namun,
menurut sejarah, ilmu tersebut telah diaplikasikan pada zaman Rasulullah meski
mungkin masih sangat sederhana. Adapun siapa yang pertama mempelopori ilmu ma’āny
belum diketahui secara jelas karena sedikitnya sumber yang membahas tentang
sejarah ilmu ma’āny, tetapi penulis hanya menemukan pendapat mengenai
orang pertama yang mengembangkan ilmu ini, yaitu Abdu al-Qahir al-Jurzani.
Objek kajian ilmu ma’āny al-hadīth adalah hadis Nabi, yang merupakan
bukti kebijakan Nabi dalam mengajarkan agama Allah. Hadis yang menjadi kajian
utama ilmu ma’āny ini adalah hadis Nabi yang sulit untuk dipahami
maksudnya, tepatnya pada bagian matan hadis,[5]
baik yang tektual[6]
maupun kontekstual.[7]
C. Macam Pendekatan Ilmu
Ma’āny al-Hadīth
Karena ilmu ma’āny
al-hadīth adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui tentang arti atau
maksud dari sebuah hadis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan
hadis guna untuk mencapai pemahaman yang benar maka diperlukan berbagai macam
pendekatan, diantara pendekatannya adalah sebagai berikut:[8]
1.
Pendekatan
Historis
Yang dimaksud
dengan pendekatan historis dalam memahami hadis adalah memahami hadis dengan
memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan
latar belakang munculnya hadis.
Pemahaman hadis
dengan pendekatan historis dapat dilihat misalnya dalam memahami hadis tentang
rajam. Persoalan pemberlakuan hadis tersebut muncul ketika terjadi penolakan
hukum rajam dengan mengajukan argumen bahwa hadis tersebut di-nasakh-kan oleh
surat an-Nur ayat 2. Menurut riwayat yang bersumber dari Aisyah dan Sa'ad bin
Abi Mu'ad, surat an-Nur ayat 2 ini di wahyukan pada tahun ke-6 hijriah. Akan
tetapi hadis tentang rajam dalam kitab-kitab hadis dan asbabul wurud tidak
ditemukan secara pasti tentang kapan pelaksanaan hukum rajam tersebut. Dengan
pemahaman historis yang didukung pemahaman korelasional dengan ayat al-Qur'an,
dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut telah di-mansukh-kan oleh surat an-Nur
ayat 2.
2.
Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan
sosio-historis ialah memahami hadis dengan melihat sejarah sosial serta seting
sosial pada saat dan menjelang hadis tersebut disabdakan.
Pendekatan
sosio-historis ini dapat diterapkan, misalnya dalam memahami hadis tentang
larangan perempuan menjadi pemimpin. Ini berawal jauh sebelum hadis itu
muncul, yakni pada masa awal dakwah islam. Pada saat itu nabi pernah mengirim
surat pada pembesar negeri persia dengan maksud mengajak mereka memeluk islam,
setelah itu raja kisra persia menolak dan merobek-robek surat tersebut.singkat
cerita tidak lama kemudian, kerajaan persia dilanda kekacauan dan kegaduhan
dengan adanya pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Akhirnya
Buwaran binti Syairawaih dijadikan ratu di kisra, peristiwa tersebut terekam
dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H.
Hal tersebut
telah menyalahi tradisi di persia juga di seluruh jazirah arab. Karena pada
saat itu derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada dibawah derajat kaum
laki-laki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus
kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan.
Dalam kondisi
dan keadaan sosial itulah, wajar Nabi melontarkan hadis bahwa bangsa yang
menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) pada perempuan
tidak akan sejahtera ataupun sukses.
Dengan demikian
dapat dipahami bahwa melalui pendekatan sosio-historis dalam memahami hadis
dapat diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada larangan bagi seorang
perempuan untuk menjadi pemimpin bila kondisi sosial berbeda dengan
kondisi pada saat hadis tersebut muncul. Jika keadaan perempuan sudah dihormati
dan mempunyai kewibawaan serta memiliki kualifikasi, memaksakan pemahaman hadis
secara tekstual merupakan tindakan yang kurang benar.
3.
Pendekatan
bahasa
Pendekatan bahasa
dalam memahami hadis dilakukan apabila dalam sebuah matan hadis terdapat
aspek-aspek keindahan bahasa (balaghah) yang memungkinkan mengandung pengertian
majazi (metafosis) sehingga berbeda dengan pengertian hakiki. Misalnya tentang
hadis:
وَاعْلَمُوا أَنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ
ظِلاَلِ السُّيُوفِ[9]
“ketahuilah bahwa surga itu berada
dibawah bayang-bayang pedang”
Hadis ini jika
dipahami secara kontekstual maka akan sulit untuk bisa dipahami secara benar,
karena tidak mungkin surga berada dibawah bayang-bayang pedang. Yang dimaksud
sebenarnya hadis ini adalah surga itu bisa diraih dengan melakukan kerja keras
yang disimbolkan dengan pedang. Oleh karena itu penting sekali menerapkan
pendekatan bahasa terhadap hadis yang seperti diatas.
4.
Pendekatan sosiologis
Pendekatan
sosiologis ialah memahami hadis dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitan
hadis dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis.[10]
Pendekatan ini contohnya
seperti dalam memahami hadis tentang persyaratan keturunan Quraisy bagi seorang
imam atau kepala negara. Ini didasarkan pada kenyataan sosiologis bahwa orang
Quraisy-lah pada saat itu yang merupakan suku arab yang paling memiliki
kualifikasi dan tangguh, namun bila ada suku lain yang lebih berwibawa dan
terkemuka, maka mereka berhak memegang kepemimpinan. Dengan demikian,
sebenarnya syarat keturunan Quraisy tersebut hanya merupakan sebuah simbol saja.
Dari pendekatan
ini dapat diketahui bahwa keturunan Quraisy tidak dimaksudkan sebagai syarat
mutlak bagi jabatan kepala negara yang ditetapkan oleh Nabi. Akan tetapi ini
merupakan syarat keutamaan yang ditunjukan melalui keunggulan solidaritas
kelompok dan kapasitas kepemimpinannya.
5.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan
antropologis adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang
dalam masyarakat pada saat hadis tersebut disabdakan.
seperti hadis
yang menjelaskan larangan melukis mahluk hidup yang bernyawa karena kelak di
hari kiamat dituntut untuk memberi nyawa kepada lukisannya tersebut, ada juga
yang menyebut bahwa malaikat-malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang
didalamnya terdapat lukisan mahluk yang bernyawa.
Jika dicermati
dengan menggunakan pendekatan antropologis, maka hadis ini sebenarnya sangat
terkait terhadap praktik keagamaan masyarakat pada saat hadis itu disabdakan.
Pada masa itu, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan animisme dan
politeisme (menyekutukan Allah), yakni penyembahan terhadap patung-patung dan
semacamnya, sehingga melukis mahluk yang bernyawa dilarang.
6.
Pendekatan Psikologis
Pendekatan
sosiolagis adalah memahami hadis dengan memperhatikan kondisi psikologis
Nabi dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis tersebut disabdakan.
Pendekatan
seperti ini diterapkan pada hadis Nabi, yaitu ada sebuah pertanyaan dari
sahabat Nabi, akan tetapi jawabannya berbeda beda. Pertanyaannya adalah
"ya Rosulullah amalan islam yang manakah yang lebih utama?" dan Nabi
pun menjawab "man salima al-muslimun min lisanihi wa yaddihi" pada
saat yang lain apabila ditanya lagi beliau menjawab; " as-shalah ‘ala
waktiha" dan pada saat yang lain lagi beliau menjawab; " iman kepada
Allah dan Rasul-nya".
Hal ini
disebabkan oleh kondisi psikolog dari orang yang bertanya dan kondisi psikolog
Nabi sendiri. Apabila sang penanya sering berbuat bohong maka jawabannya
"man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi" begitu pula
seterusnya.
D. Urgensi Ilmu Ma’āny
al-Hadīth
Banyak
munculnya aliran-aliran dalam agama islam yang merasa paling benar sendiri
dalam menjalankan agama Allah, ini adalah salah satu akibat dari adanya
perbedaan sudut pandang atau pendakatan dalam memahami dan menjelaskan maksud
kandungan suatu hadis.[11]
Jika pendekatan
dalam memahami hadis bisa disadari sejak dini, memungkinkan perbedaan sudut
pandang diatas akan terhindar, karena masing-masing aliran akan menyadari
sebuah perbedaan yang menyebabkan hasil pemahamannya berbeda. Untuk iltulah ilmu ma’āny al-hadīth sangat urgen kedudukannya dalam
memahami atau menjelaskan maksud kandungan hadis dengan pemahaman yang benar.
III.
Kesimpulan
Ilmu ma’āny al-hadīth adalah ilmu yang digunakan untuk
memahami hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu yang
berkaitan dengan hadis tersebut. Untuk mencapai kepada tujuan ilmu ini, maka
diperlukan berbagai pendekatan guna untuk bisa menghasilkan pemahaman yang
benar, diantara pendekatannya adalah pendekatan historis, pendekatan
sosiologis, pendekatan sosio-historis, pendekatan antropologis, dan pendekatan
psikologis.
Urgensi dalam mempelajari dan mengaplikasikan ilmu ini
adalah untuk bisa mengetahui, memahami, atau menjelaskan
maksud kandungan hadis dengan pemahaman yang benar.
Daftar Pustaka
Abbas,
Hasjim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: Teras, 2004.
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan.
Jogjakarta: YPI al-Rahma, 2001.
Bukhari (al),
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. Shahih al-Bukhari. ttp: Darr Tuq
al-Najah, tth.
Munawwar, Said Agil
Husain dan Abdul Mustaqim. Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosial-Historis-Konstekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Pesisir,
Cah. Ilmu Ma’āny hadis. lihat di
http://napek-cahpesisir.blogspot.co.id/2009/12/ilmu-maani-hadis_7912.html.
Riung,
Pengertian Ilmu Ma’ani. lihat di https://riungsastra.wordpress.com/2010/10/16/pengertian-ilmu-ma%E2%80%99ani/.
Yamani,
Levi. Ilmu Ma’āny Hadis. lihat di https://leviyamani.wordpress.com/2013/01/20/ilmu-maani-hadits/.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Jogjakarta:
Tiara Wacana, 2003.
[1] Di kutip dari
https://riungsastra.wordpress.com/2010/10/16/pengertian-ilmu-ma%E2%80%99ani/,
(di akses 23 maret 2016).
[2] Levi Yamani, Ilmu Ma’āny Hadis, lihat di
https://leviyamani.wordpress.com/2013/01/20/ilmu-maani-hadits/, (di akses 23
maret 2016).
[3] Cah Pesisir, Ilmu Ma’āny hadis, lihat di
http://napek-cahpesisir.blogspot.co.id/2009/12/ilmu-maani-hadis_7912.html, (di
akses 23 maret 2016).
[4] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras,
2004), 10.
[5] Di kutip dari
https://riungsastra.wordpress.com/2010/10/16/pengertian-ilmu-ma%E2%80%99ani/,
(di akses 23 maret 2016).
[6] Tekstual: memahami hadis sesuai dengan
teks
[7] Kontekstual: memahami teks dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
melatar belakangi munculnya teks.
[8] Nizar Ali, Memahami Hadis
Nabi: Metode dan Pendekatan, (Jogjakarta: YPI al-Rahma, 2001), 57.
[9]
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (ttp:
Darr Tuq al-Najah, tth), 4/22.
[10]Said
Agil Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosial-Historis-Konstekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 26.
[11] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan
Metodologis, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2003), 43.