TARJUMAN AL-MUSTAFĪD
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/06/tarjuman-al-mustafid.html
TARJUMAN
AL-MUSTAFĪD
Oleh:
M. Akrom Adabi, Aji Mashuri, M. As’ad Yasih
I.
Pendahuluan
Studi
terhadap Al-Quran dan tafsir beserta metodologinya selalu mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan perkembangan kondisi sosial budaya dan
peradaban manusia, sejak turunnya Al-Quran hingga sekarang. Fenomena tersebut
merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu
mendialogkan antara Al-Quran sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan
perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqi’iyah)
yang tak terbatas. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi dari pandangan
teologis umat Islam bahwa Al-Quran itu shalihīn
li kulli zaman wa makan (Al-Quran itu selalu cocok untuk
setiap waktu dan tempat).
Kebutuhan manusia akan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi
oleh manusia mengharuskan mereka untuk mengorek lebih dalam jawaban yang
disediakan oleh Al-Quran. Tak terkecuali dalam konteks ranah bumi
pertiwi yang merupakan mayoritas beragama Islam. Bersamaan dengan proses awal
masuknya Islam di Nusantara, kitab Suci Al-Quran diperkenalkan para juru dakwah
itu kepada penduduk pribumi di Nusantara. Pengenalan awal terhadap Al-Quran
itu, bagi penyebar Islam tentu suatu hal yang penting, karena Al-Quran adalah
Kitab Suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup bagi orang yang telah
memeluk Islam. Adalah tidak bisa ditolak, keharusan memahami isi Al-Quran bila
ingin menjadi muslim yang baik. Kenyataan ini dikuatkan dengan munculnya
kitab-kitab tafsir yang merupakan hasil karya ulama Nusantara.
Perkembangan penafsiran di Nusantara menjadi sebuah tema diskusi yang penting
untuk dikaji. Karena selain sebagai data sejarah, pembahasan ini juga menjadi
sebuah pemahaman terhadap dinamika keilmuan terlebih mengenai tafsir yang
terjadi di Nusantara. Di sini penyaji akan mencoba membahas salah satu karya
kebanggan Nusantara, Tarjumanul Mustafid yang menjadi tafsir lengkap pertama di
Indonesia. Menarik untuk dikaji.
II.
Biografi Abd. Ra’ūf
al-Sinkilī
Ulama kelahiran Aceh ini memilki nama lengkap Abdul Raūf bin Ali al-Jawī
al-Fansurī al-Sinkilī. Deretan nama terakhir adalah cerminan bahwa ia adalah
orang Melayu dari Fansur, Sinkel, di wilayah pantai barat laut Aceh. Latar
belakang keluarganya tidak diketahui secara pasti. Hasjmi menyebut nenek moyang
Abdul Raūf berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudra Pasai pada
akhir abad ke 13. mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota
pelabuhan tua di pantai Sumatra Barat.[1]
Dalam bukunya Azyumardi Azra juga mengungkapkan pendapat lain. Daly menyebutkan
bahwa ayah Abdul Raūf adalah orang Arab yang menikahi pribumi daerah Fansur.[2]
Data ini kiranya cukup jelas karena memang pada abad ke-9 H samudra Pasai
sering mendapat kunjungan dari Arab, Persia, India dan cina.[3]
Adapun latar belakang atau sejarah intelektual Abdul Raūf juga bermula
dari desa kelahirannya sendiri, yaitu Sinkel di bawah asuhan Ayahandanya
sendiri karena memang ayahnya adalah orang Alim yang juga memilki madrasah.
Dalam catatan Hasjmi, Abdul Raūf melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke
Banda Aceh dan berguru kepada Ulama-ulama di sana seperti Syamsuddin al-Samatrani
dan beberapa ulama lain.[4]
pada masa yang telah dirasa matang, beliau melanjutkan pendidikannya ke Arab, yakni sekitar 1052 H/
1642 M.[5]
Setelah sampai pada masa yang telah dirasa matang, beliau melanjutkan
perjalanannya ke Arab. Dalam petualangannya ini Abdul Raūf telah berhasil
menjalin hubungan selama 19 tahun dengan para ulama besar yang dari mereka dia
mempelajari berbagai cabang ilmu agama
seperti Tafsir, Hadis, Fiqih, Tasawuf Tauhid dan Akhlak. Namun demikian,
beberapa penulis mencatat, pengaruh paling besar dalam membentuk pola pikir dan
pola sikap Abdul Raūf berasal dari gurunya di Madinah, al-Kushashi dan
al-Kurani. Dari al-Kushashi inilah Abdul Raūf mempelajari apa yang disebutnya
sebagai ilmu dalam (batin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya,
hingga akhimya ia ditunjuk sebagai imam tarikat Syaṭṭāriyah dan Qadiriyah. Dari
al-Kurāny ia mendapat gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin
pengetahuan tasawuf atau lebih ke intelektualitas beliau.[6]
Setelah mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun Abdul Raūf kembali ke Aceh
pada sekitar tahun1661,[7]
selama mengembara di Timur Tengah ini beliau banyak menarik hati para guru-guru
beliau melalui kecerdasan dan kealiman beliau, banyak sekali disiplin ilmu yang
beliau kuasai, dan sampai pada akhirnya seolah menjadi sebuah kesempurnaan
pengembaraan intelektualnya dengan mempelajari ilmu tasawuf.
III. Sejarah Penulisan Tarjuman al-Mustafid
Al-Quran dalam bentuk karangan baru muncul pada abad ke-16 meskipun tidak
sempurna menafsiri semua ayat al-Qur`an, diawali oleh seorang penulis yang
bernama Hamzah al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 melakukan
penerjemahan sejumlah ayat Al-Quran yang terkait dengan tasawuf dalam bahasa
Melayu yang indah. Ditemukan juga sebuah penggalan karya tafsir berupa
manuskrip tertanggal sebelum tahun 1620 M. dibawa ke Belanda yaitu tafsir surah
al-Kahfi dalam bahasa Melayu namun sayangnya tidak tercantum nama pengarangnya.[8]
Setelah itu teman Hamzah al-Fansuri adalah Syamsuddin al-Samatrani yang muncul
sebagai ulama terkemuka di istana Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh pada
tahun 1603-1636 juga menulis beberapa karya dalam berabagai bidang ilmu,
termasuk tafsir Al-Quran.
Pada masa Sultanah Safiyat al-Din, penerus Sultan Iskandar II, Abdul Raūf
al-Singkilī menulis karyanya pada tahun 1661 dengan judul Tarjumān
al-Mustafīd yang menurut penelitian para orientalis buku ini pada akhirnya
merupakan terjemahan dan penggabungan dari tiga kitab tafsir yaitu Tafsir
al-Jalalain, Tafsir al-Khazin dan Tafsir al-Baidawi.
Pada masa hidup beliau, memang perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan
budaya berkembang dengan pesat. Terutama pada masa ratu Safiatuddin, banyak
karya tulis dihasilkan oleh Abdul Raūf dengan atau tanpa permintaan Ratu.
Karyanya yang secara tegas dinyatakan sebagai permintaan sultanah adalah Mir’at
al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam yang dimaksudkan agar menjadi
panduan pedoman bagi para qadhi (hakim) dalam menjalankan tugasnya.[9]
Adapun karya tafsirya Tarjumān al-Mustafīd sampai saat ini
dianggap sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa Melayu yang ada. Tafsir
ini, sebagaimana dugaan Hasjmi, buku ini disusun pada masa pemerintahan
Safiatuddin. Persoalannya adalah apakah proses penyusunannya merupakan
permintaan sultanah ataukah atas inisiatif Abdul Rāufl sendiri? Berbeda dengan Mir’at
al-Ṭullāb fi
Tashil Ma’rifat al-Aḥkāmnya. Tidak ada pendahuluan atau keterangan lainnya
yang dapat dijadikan informasi, misalnya tentang kapan, dimana, berapa waktu
yang dibutuhkan dan keterangan lain yang dapat menjelaskan kitab tersebut
sebagai tambahan data.
Mengenai nama dari tafsir ini sendiri adalah nama yang diberikan langsung
oleh pengarangnya sebagaimana yang terdapat dalam salinan teks kolofon berikut:
“Dan telah sempurnalah
tafsir Al-Quran yang amat mulia yang dinamai Tarjumān al-Mustafīdyang di
jamikan oleh syaikh kita dan ikutan kita kepada Allah Ta’ala, yang alim ‘allamah
lagi waliyullah yang fanni fillah Ta’ala, Aminuddin Abdurrauf anak Ali Jawi
Fansuri yang dikasihi Allah Ta’ala jua kiranya akan dia dan diterima-Nya
dandiberi Allah Ta’ala manfaat jua kiranya akan kita dengan berkat ilmunya di
dalamdunia dan dalam akhirat, perkenankan olehmu hai Tuhanku….”[10]
“Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya dan
sehina-hinanya khadimnya itu yaitu Daud Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa Al-Rumi
diampuni Allah Ta’ala jua kiranya sekalian mereka itu akan kisahnya yang
diambil kebaikannya dari pada al-Khazin dan setengah riwayatnya pada khilaf qirāah
dengan suratnya”.[11]
IV. Metode dan Sumber Tafsir
Dalam kajian metode tafsir, terdapat empat varian metode dalam
menafsirkan Al-Quran: Ijmali, Tahlili, Muqaran, dan Maudhu’i. Sementara dalam
tafsir Tarjumān al-Mustafīd ini, beliau menggunakan metode Tahlili. Hal
ini bisa dibuktikan dengan adanya ragam pendekatan dalam menafsirkan ayat
Al-Quran. Seperti: Qira’ah, penjelasan suku kata, latar belakang turunnya ayat,
Nasikh Mansukh dan Munasabah. Syeikh Abdurrauf menafsirkan ayat Al-Quran dengan
urutan mengikuti mushaf Utsmani,
yakni memulainya dari surat al-Fatihah dan kemudian surat al-Baqarah hingga surat al-Nās.
Menurut sebagian peneliti, kitab tafsir Tarjumān al-Mustafīd merupakan
terjemahan dari Tafsir al-Baidhawi. Sedangkan tafsir al-Baidhawi, menurut
Husain al-Dzahabi, sumber tafsir yang digunakannya adalah al-Ra’yu.[12]
Keberadaan tafsir Tarjumān al-Mustafīd ini tergolong kontroversial,
terutama menyangkut sumbernya sebagaimana yang dibahas panjang lebar oleh
Azyumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama”. Penilaian umum yang sudah sejak
lama berkembang menghubungkan karya ini dengan karya al-Baidlawi atau
menegaskan bahwa Tarjumān al-Mustafīd merupakan terjemahan dari Anwar
al-Tanzilnya Baidlawi. Agaknya anggapan ini muncul dari kutipan percetakan
edisi cetakan pertama yang beredar di Istanbul pada 1884. pada halaman judul,
redaktur memuat pemyataan:“….Inilah kitab yang bernama Tarjuman at-Mustafid bi
al-Jawi yang diterjemahkan dengan bahasa Jawi yang diambil setengah maknanya
dari tafsir al-Baidlawi”.[13]
V.
Corak Tafsir Tarjuman
al-Mustafīd
Dalam tafsir ini tidak tertentu
dengan satu corak dalam arti pembahasannya umum, mulai dari qirā`ah, asbāb
nuzūl, lughāt, hukum dan tasawuf.[14]
VI. Contoh-Contoh Tafsir Tarjuman al-Mustafīd
Perlu untuk kami jelaskan di sini bahwa kami penyaji tidak
menemukan buku tafsir asli yang dikarang oleh Abdul Raūf ini. Namun kami
mengutip dalam sebuah tulisan penyaji lain yang mengaku meneliti sendiri tafsir
tersebut[15]
melalui buku yang telah dicetak
1. Menjelaskan
Tentang Tauhid
Tauhid adalah basis pandangan hidup Al-Quran, tauhid merupakan pondasi,
pusat dan akhir seluruh tradisi Islam. Secara umum tauhid berisi ajaran dan
konsepsi-konsepsi tentang Tuhan.
Dalam rentang sejarahnya, diskursus tentang tauhid pernah menimbulkan
percekcokan dan berbuntut pada gejolak Percekcokan muncul karena disinyalir
adanya pemikiran tauhid yang menyimpang sebab mengajarkan konsep
inkarnasionisme (ḥulūl) atau unifikasionisme (īttiḥād). Pemikiran
terakhir diwakili oleh sayap pemikiran dari kalangan sufi.
Di Aceh, gejolak serupa pernah berlangsung. Perselisihan terjadi antara
penganut wahdat al-wujūd dan penentangnya yang kemudian berkembang
menjadi tragedi berdarah. Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani dikenal
sebagai pioner aliran pertama dan Numddin al-Rāniri sebagai tokoh kalangan
berikutnya.
Dalam konteks inilah penting untuk melihat pemikiran tauhid Abdul Raūf dalam
tafsirnya minimal untuk dua alasan. Pertama, posisinya sebagai qādhi mālik
al-ādil yang memiliki kewenangan menjaga stabilitas Negara dalam konteks
itu kerajaan. Kedua, Abdul Raūf adalah penerus paling fasih dalam tradisi
pemikiran Hamzah Fansuri.
Kata tauhid tidak terdapat dalam Al-Quran. Secara etimologis kata ini
terambil dari waḥḥada-yuwaḥḥidu-tawhīdan. Salah satu surat dalam
Al-Quran yang biasa dipakai sebagai landasan konsep tauhid adalah surat al-Ikhlāṣ
dan di sini beliau menafsiri dengan:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ
الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
(4) [16]
“Kata olehmu ya Muhammad pekerjaan
itu ia jua Tuhan yang esa. Allah Ta’ala jua yang dimaksud daripada segala
hajat. Tiada ia beranak dan tiada diperanakkan. Dan tiada baginya sekutu dengan
seorang pun jua”
Beliau menafsiri kata ahad dengan arti esa tidak
menggunakan kata satu, ini menunjukkan bahwa beliau seakan-akan berpendapat ada
perbedaan antara kata esa dengan satu seperti adanya perbedaan antara kata ahad
dengan wahid.
2. Menjelaskan
Ayat Mutashabihāt
Dari pola penerjemahannya terhadap
ayat-ayat Mutashabihāt atau istilah lainnya antropomorfis, Abdul Raūf Sinkel
cenderung pada posisi tengah. Sebagaimana penjelasan tentang
karakteristik tafsir Tarjuman al-Mustafi. Contoh kata yadd yang memiliki
makna dasar tangan. Pada satu bagian Abdul Raūf menerjemahkan secara harfiah (tashbih)
kata tersebut, seperti pada surat al-Fath ayat 10 :
“Tangan Allah di atas tangan mereka itu…”
Namun dalam kasus lain beliau melakukan kombinasi kedua pola antara
terjemah harfiah dengan ta’wil (tashbih-tanzih). Seperti pada
kutipan-kutipan mengenai surat Alī Imrān ayat 7:
“Kata olehmu ya Muhammad bahwasanya nugera itu
ada pada tangan kudrat Allah…”.
“Kata olehmu siapa jua yang pada tangan kodratnya milik tiap-tiap
sesuatu…”.
3.
Menjelaskan Tentang Kedudukan
Wanita
Ayat Al-Quran yang selalu
dikutip untuk menjelaskan hubungan atau kedudukan perempuan diantara laki-laki
adalah surat al-Nisā, berangkat dari kenyataan bahwa penguasa tempat Abdul Raūf
mendermakan karir intelektualnya adalah seorang perempuan, dan kenyataan bahwa Abdul
Raūf adalah seorang ulama yang memiliki latar belakang pendidikan keagamaan
dari jazirah Arabiah maka cukup beralasan untuk melihat penafsiran beliau
mengenai ayat ini. Ketika menerjemahkan ayat ini, Abdul Raūf menulis:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ[20]
“Bermula segala laki-laki dikeraskan
(dikuasakan?) mereka itu atas segala perempuan dengan sebab dilebihkan oleh
Allah Ta’ala segala laki-laki itu atas segala perempuan dengan ilmu dan akal
dan wilayah dan dengan sebab dibiayakan mereka itu atas segala arta mereka
itu…maka segala perempuan yang salih itu berbuat bakti mereka itu akan segala
suami mereka itu.
Mencermati kutipan di atas dapat dikenali ke mana dan bagaimana pola
pandang yang diikuti Abdul Raūf tentang perempuan. Di sana tampak bahwa Abdul
Raūf tetap berpegang teguh pada kecenderungan pemikiran para tradisional.
Kecenderungan dimaksud adalah pandangan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari
perempuan dalam aspek domestik maupun publik. Terbukti dari penafsiran Abdul
Raūf tentang faktor-faktor yang disebut sebagai nilai lebih laki-laki: ilmu,
akal, dan wilayah.
VII.
Kesimpulan
Nama lengkap beliau adalah Abdul Raūf bin Ali al-Jawī
al-Fansurī al-Sinkilī, mengenai asal usul keluarganya, ada dua pendapat, satu
mengatakan beliau asli dari Persia dan pindah ke Indonesia dan pendapat yang
lain mengatakan bahwa ayah beliau adalah orang Persia yang menikah dengan
wanita pribumi daerah Singkel, Aceh dan melahirkan Abdul Raūf al-Fansurī al-Sinkilī.
Pada mulanya beliau belajar langsung kepada ayahandanya dan
kemudian ke Aceh, setelah itu pergi ke Timur tengah dan mengenyam banyak ilmu
hingga pada akhirnya belajar tasawuf.
Dengan kealimannya itu beliau memiliki beberapa karangan yang
diantaranya adalah tafsir lengkap Al-Quran dengan nama Tarjumān al-Mustafīd. Tafsir
Tarjuman merupakan tafsir lengkap pertama dalam bahasa melayu, adapun tafsir
secara umum sudah ada sebelum tafsir ini walaupun ada yang masih bentuk
lembaran-lembaran dan tidak lengkap menafsiri semua ayat al-Qur`an.
Tafsir Tarjuman muncul pada abad ke-17 dan masih simpang siur
apakah atas permintaan Ratu pada waktu itu ataukah tidak. Shaikh Abdul Raūf
juga mengarang kitab lain selain kitab tafsir.
Tafsir ini oleh beberapa peneliti diindikasi merupakan
ringkasan ataupun terjemahan dari tiga kitab tafsir terkemuka, tafsir Baydlawi,
tafsir Khāzin dan tafsir Jalālayn.
Ada beberapa contoh yang kami ungkapkan dalam makalah ini yang
menyimpulkan bahwa tafsir ini kiranya bukan terjemah harfiyah, melainkan
tarjamah tafsiriyah dengan menggunakan bahasa Melayu.
Daftar
Pustaka
Al-Quran Al-Karim.
Azra, Azyumardi.
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta : Prana Media Group, 2013.
Masdudi, Muhammad Idris. Turjuman al-Mustafid; Karya Tafsir Tertua di Nusantara. Link
download
http://www.academia.edu/3717536/Turjuman_al-Mustafid_Karya_Tafsir_Tertua_di_Nusantara. (diakses 8
Februari 2015)
Rahmah, Wahyu Nishifatur. “Mempertimbangkan Tarjuman al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir
Karya Abd. Rauf Sinkel)”,2010.
Link : https://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/16/mempertimbangkan-tarjuman-al-mustafid-telaah-atas-kemurnian-tafsir-karya-abd-rauf-sinkel/
(diakses 8 Februari 2015).
[1] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta : Prana Media Group, 2013), 239.
[7] Ibid
[9] Lihat, Wahyu Nishifatur Rahmah dalam “Mempertimbangkan Tarjuman
al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”, 2010.
[10] Lihat, Wahyu Nishifatur Rahmah dalam “Mempertimbangkan Tarjuman
al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”, 2010.
[11] Ibid.
[13] Lihat, Wahyu Nishifatur Rahmah dalam “Mempertimbangkan Tarjuman
al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”, 2010.
[14] Muhammad Idris Masudi, Turjuman al-Mustafid; Karya
Tafsir Tertua di Nusantara. Link download http://www.academia.edu/3717536/Turjuman_al-Mustafid_Karya_Tafsir_Tertua_di_Nusantara.
[15] Lihat, Wahyu Nishifatur Rahmah dalam “Mempertimbangkan Tarjuman
al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”, 2010.
[17] Al-Quran, 10:48.
[18] Al-Quran, 3:73.
[19] Al-Quran, 23:88.
[20] Al-Quran, 4:34.