1735262163458753
Loading...

TARJUMAN AL-MUSTAFĪD



TARJUMAN AL-MUSTAFĪD
Oleh: M. Akrom Adabi, Aji Mashuri, M. As’ad Yasih
I.     Pendahuluan
Studi terhadap Al-Quran dan tafsir beserta metodologinya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan  perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya Al-Quran hingga sekarang. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara Al-Quran sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqi’iyah) yang tak terbatas. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa Al-Quran itu shalihīn li kulli zaman wa makan (Al-Quran itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat).
Kebutuhan manusia akan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh manusia mengharuskan mereka untuk mengorek lebih dalam jawaban yang disediakan oleh Al-Quran. Tak terkecuali dalam konteks ranah bumi pertiwi yang merupakan mayoritas beragama Islam. Bersamaan dengan proses awal masuknya Islam di Nusantara, kitab Suci Al-Quran diperkenalkan para juru dakwah itu kepada penduduk pribumi di Nusantara. Pengenalan awal terhadap Al-Quran itu, bagi penyebar Islam tentu suatu hal yang penting, karena Al-Quran adalah Kitab Suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup bagi orang yang telah memeluk Islam. Adalah tidak bisa ditolak, keharusan memahami isi Al-Quran bila ingin menjadi muslim yang baik. Kenyataan ini dikuatkan dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang merupakan hasil karya ulama Nusantara. Perkembangan penafsiran di Nusantara menjadi sebuah tema diskusi yang penting untuk dikaji. Karena selain sebagai data sejarah, pembahasan ini juga menjadi sebuah pemahaman terhadap dinamika keilmuan terlebih mengenai tafsir yang terjadi di Nusantara. Di sini penyaji akan mencoba membahas salah satu karya kebanggan Nusantara, Tarjumanul Mustafid yang menjadi tafsir lengkap pertama di Indonesia. Menarik untuk dikaji.
II.    Biografi Abd. Ra’ūf al-Sinkilī
Ulama kelahiran Aceh ini memilki nama lengkap Abdul Raūf bin Ali al-Jawī al-Fansurī al-Sinkilī. Deretan nama terakhir adalah cerminan bahwa ia adalah orang Melayu dari Fansur, Sinkel, di wilayah pantai barat laut Aceh. Latar belakang keluarganya tidak diketahui secara pasti. Hasjmi menyebut nenek moyang Abdul Raūf berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke 13. mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Sumatra Barat.[1] Dalam bukunya Azyumardi Azra juga mengungkapkan pendapat lain. Daly menyebutkan bahwa ayah Abdul Raūf adalah orang Arab yang menikahi pribumi daerah Fansur.[2] Data ini kiranya cukup jelas karena memang pada abad ke-9 H samudra Pasai sering mendapat kunjungan dari Arab, Persia, India dan cina.[3]
Adapun latar belakang atau sejarah intelektual Abdul Raūf juga bermula dari desa kelahirannya sendiri, yaitu Sinkel di bawah asuhan Ayahandanya sendiri karena memang ayahnya adalah orang Alim yang juga memilki madrasah. Dalam catatan Hasjmi, Abdul Raūf melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Banda Aceh dan berguru kepada Ulama-ulama di sana seperti Syamsuddin al-Samatrani dan beberapa ulama lain.[4] pada masa yang telah dirasa matang, beliau melanjutkan  pendidikannya ke Arab, yakni sekitar 1052 H/ 1642 M.[5] 
Setelah sampai pada masa yang telah dirasa matang, beliau melanjutkan perjalanannya ke Arab. Dalam petualangannya ini Abdul Raūf telah berhasil menjalin hubungan selama 19 tahun dengan para ulama besar yang dari mereka dia mempelajari berbagai cabang ilmu agama  seperti Tafsir, Hadis, Fiqih, Tasawuf Tauhid dan Akhlak. Namun demikian, beberapa penulis mencatat, pengaruh paling besar dalam membentuk pola pikir dan pola sikap Abdul Raūf berasal dari gurunya di Madinah, al-Kushashi dan al-Kurani. Dari al-Kushashi inilah Abdul Raūf mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu dalam (batin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, hingga akhimya ia ditunjuk sebagai imam tarikat Syaṭṭāriyah dan Qadiriyah. Dari al-Kurāny ia mendapat gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin pengetahuan tasawuf atau lebih ke intelektualitas beliau.[6] Setelah mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun Abdul Raūf kembali ke Aceh pada sekitar tahun1661,[7] selama mengembara di Timur Tengah ini beliau banyak menarik hati para guru-guru beliau melalui kecerdasan dan kealiman beliau, banyak sekali disiplin ilmu yang beliau kuasai, dan sampai pada akhirnya seolah menjadi sebuah kesempurnaan pengembaraan intelektualnya dengan mempelajari ilmu tasawuf.
III. Sejarah Penulisan Tarjuman al-Mustafid
Al-Quran dalam bentuk karangan baru muncul pada abad ke-16 meskipun tidak sempurna menafsiri semua ayat al-Qur`an, diawali oleh seorang penulis yang bernama Hamzah al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 melakukan penerjemahan sejumlah ayat Al-Quran yang terkait dengan tasawuf dalam bahasa Melayu yang indah. Ditemukan juga sebuah penggalan karya tafsir berupa manuskrip tertanggal sebelum tahun 1620 M. dibawa ke Belanda yaitu tafsir surah al-Kahfi dalam bahasa Melayu namun sayangnya tidak tercantum nama pengarangnya.[8] Setelah itu teman Hamzah al-Fansuri adalah Syamsuddin al-Samatrani yang muncul sebagai ulama terkemuka di istana Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh pada tahun 1603-1636 juga menulis beberapa karya dalam berabagai bidang ilmu, termasuk tafsir Al-Quran.
Pada masa Sultanah Safiyat al-Din, penerus Sultan Iskandar II, Abdul Raūf al-Singkilī menulis karyanya pada tahun 1661 dengan judul Tarjumān al-Mustafīd yang menurut penelitian para orientalis buku ini pada akhirnya merupakan terjemahan dan penggabungan dari tiga kitab tafsir yaitu Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Khazin dan Tafsir al-Baidawi.
Pada masa hidup beliau, memang perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan budaya berkembang dengan pesat. Terutama pada masa ratu Safiatuddin, banyak karya tulis dihasilkan oleh Abdul Raūf dengan atau tanpa permintaan Ratu. Karyanya yang secara tegas dinyatakan sebagai permintaan sultanah adalah Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam yang dimaksudkan agar menjadi panduan pedoman bagi para qadhi (hakim) dalam menjalankan tugasnya.[9]
Adapun karya tafsirya Tarjumān al-Mustafīd sampai saat ini dianggap sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa Melayu yang ada. Tafsir ini, sebagaimana dugaan Hasjmi, buku ini disusun pada masa pemerintahan Safiatuddin. Persoalannya adalah apakah proses penyusunannya merupakan permintaan sultanah ataukah atas inisiatif Abdul Rāufl sendiri? Berbeda dengan Mir’at al-ullāb fi Tashil Ma’rifat al-Aḥkāmnya. Tidak ada pendahuluan atau keterangan lainnya yang dapat dijadikan informasi, misalnya tentang kapan, dimana, berapa waktu yang dibutuhkan dan keterangan lain yang dapat menjelaskan kitab tersebut sebagai tambahan data.
Mengenai nama dari tafsir ini sendiri adalah nama yang diberikan langsung oleh pengarangnya sebagaimana yang terdapat dalam salinan teks kolofon berikut:
 “Dan telah sempurnalah tafsir Al-Quran yang amat mulia yang dinamai Tarjumān al-Mustafīdyang di jamikan oleh syaikh kita dan ikutan kita kepada Allah Ta’ala, yang alim ‘allamah lagi waliyullah yang fanni fillah Ta’ala, Aminuddin Abdurrauf anak Ali Jawi Fansuri yang dikasihi Allah Ta’ala jua kiranya akan dia dan diterima-Nya dandiberi Allah Ta’ala manfaat jua kiranya akan kita dengan berkat ilmunya di dalamdunia dan dalam akhirat, perkenankan olehmu hai Tuhanku….”[10]
“Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya dan sehina-hinanya khadimnya itu yaitu Daud Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa Al-Rumi diampuni Allah Ta’ala jua kiranya sekalian mereka itu akan kisahnya yang diambil kebaikannya dari pada al-Khazin dan setengah riwayatnya pada khilaf qirāah dengan suratnya”.[11]
IV. Metode dan Sumber Tafsir
Dalam kajian metode tafsir, terdapat empat varian metode dalam menafsirkan Al-Quran: Ijmali, Tahlili, Muqaran, dan Maudhu’i. Sementara dalam tafsir Tarjumān al-Mustafīd ini, beliau menggunakan metode Tahlili. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya ragam pendekatan dalam menafsirkan ayat Al-Quran. Seperti: Qira’ah, penjelasan suku kata, latar belakang turunnya ayat, Nasikh Mansukh dan Munasabah. Syeikh Abdurrauf menafsirkan ayat Al-Quran dengan urutan mengikuti mushaf  Utsmani, yakni memulainya dari surat al-Fatihah dan kemudian  surat al-Baqarah hingga surat al-Nās.
Menurut sebagian peneliti, kitab tafsir Tarjumān al-Mustafīd merupakan terjemahan dari Tafsir al-Baidhawi. Sedangkan tafsir al-Baidhawi, menurut Husain al-Dzahabi, sumber tafsir yang digunakannya adalah al-Ra’yu.[12] Keberadaan tafsir Tarjumān al-Mustafīd ini tergolong kontroversial, terutama menyangkut sumbernya sebagaimana yang dibahas panjang lebar oleh Azyumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama”. Penilaian umum yang sudah sejak lama berkembang menghubungkan karya ini dengan karya al-Baidlawi atau menegaskan bahwa Tarjumān al-Mustafīd merupakan terjemahan dari Anwar al-Tanzilnya Baidlawi. Agaknya anggapan ini muncul dari kutipan percetakan edisi cetakan pertama yang beredar di Istanbul pada 1884. pada halaman judul, redaktur memuat pemyataan:“….Inilah kitab yang bernama Tarjuman at-Mustafid bi al-Jawi yang diterjemahkan dengan bahasa Jawi yang diambil setengah maknanya dari tafsir al-Baidlawi”.[13]
V.    Corak Tafsir Tarjuman al-Mustafīd
            Dalam tafsir ini tidak tertentu dengan satu corak dalam arti pembahasannya umum, mulai dari qirā`ah, asbāb nuzūl, lughāt, hukum dan tasawuf.[14]
VI. Contoh-Contoh Tafsir Tarjuman al-Mustafīd
Perlu untuk kami jelaskan di sini bahwa kami penyaji tidak menemukan buku tafsir asli yang dikarang oleh Abdul Raūf ini. Namun kami mengutip dalam sebuah tulisan penyaji lain yang mengaku meneliti sendiri tafsir tersebut[15] melalui buku yang telah dicetak
1.      Menjelaskan Tentang Tauhid
Tauhid adalah basis pandangan hidup Al-Quran, tauhid merupakan pondasi, pusat dan akhir seluruh tradisi Islam. Secara umum tauhid berisi ajaran dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan.
Dalam rentang sejarahnya, diskursus tentang tauhid pernah menimbulkan percekcokan dan berbuntut pada gejolak Percekcokan muncul karena disinyalir adanya pemikiran tauhid yang menyimpang sebab mengajarkan konsep inkarnasionisme (ḥulūl) atau unifikasionisme (īttiḥād). Pemikiran terakhir diwakili oleh sayap pemikiran dari kalangan sufi.
Di Aceh, gejolak serupa pernah berlangsung. Perselisihan terjadi antara penganut wahdat al-wujūd dan penentangnya yang kemudian berkembang menjadi tragedi berdarah. Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani dikenal sebagai pioner aliran pertama dan Numddin al-Rāniri sebagai tokoh kalangan berikutnya.
Dalam konteks inilah penting untuk melihat pemikiran tauhid Abdul Raūf dalam tafsirnya minimal untuk dua alasan. Pertama, posisinya sebagai qādhi mālik al-ādil yang memiliki kewenangan menjaga stabilitas Negara dalam konteks itu kerajaan. Kedua, Abdul Raūf adalah penerus paling fasih dalam tradisi pemikiran Hamzah Fansuri.
Kata tauhid tidak terdapat dalam Al-Quran. Secara etimologis kata ini terambil dari waḥḥada-yuwaḥḥidu-tawhīdan. Salah satu surat dalam Al-Quran yang biasa dipakai sebagai landasan konsep tauhid adalah surat al-Ikhlāṣ dan di sini beliau menafsiri dengan:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4) [16]
“Kata olehmu ya Muhammad pekerjaan itu ia jua Tuhan yang esa. Allah Ta’ala jua yang dimaksud daripada segala hajat. Tiada ia beranak dan tiada diperanakkan. Dan tiada baginya sekutu dengan seorang pun jua”
      Beliau menafsiri kata ahad dengan arti esa tidak menggunakan kata satu, ini menunjukkan bahwa beliau seakan-akan berpendapat ada perbedaan antara kata esa dengan satu seperti adanya perbedaan antara kata ahad dengan wahid.
2.      Menjelaskan Ayat Mutashabihāt
Dari pola penerjemahannya terhadap ayat-ayat Mutashabihāt atau istilah lainnya antropomorfis, Abdul Raūf Sinkel cenderung pada posisi tengah. Sebagaimana penjelasan tentang karakteristik tafsir Tarjuman al-Mustafi. Contoh kata yadd yang memiliki makna dasar tangan. Pada satu bagian Abdul Raūf menerjemahkan secara harfiah (tashbih) kata tersebut, seperti pada surat al-Fath ayat 10 :

[17]…..يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ.….
“Tangan Allah di atas tangan mereka itu…”
Namun dalam kasus lain beliau melakukan kombinasi kedua pola antara terjemah harfiah dengan ta’wil (tashbih-tanzih). Seperti pada kutipan-kutipan mengenai surat Alī Imrān ayat 7:
[18]…..قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
“Kata olehmu ya Muhammad bahwasanya nugera itu ada pada tangan kudrat Allah…”.
[19]….قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ……
“Kata olehmu siapa jua yang  pada tangan kodratnya milik tiap-tiap sesuatu…”.
3.      Menjelaskan Tentang Kedudukan Wanita
Ayat Al-Quran yang selalu dikutip untuk menjelaskan hubungan atau kedudukan perempuan diantara laki-laki adalah surat al-Nisā, berangkat dari kenyataan bahwa penguasa tempat Abdul Raūf mendermakan karir intelektualnya adalah seorang perempuan, dan kenyataan bahwa Abdul Raūf adalah seorang ulama yang memiliki latar belakang pendidikan keagamaan dari jazirah Arabiah maka cukup beralasan untuk melihat penafsiran beliau mengenai ayat ini. Ketika menerjemahkan ayat ini, Abdul Raūf menulis:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ[20]
“Bermula segala laki-laki dikeraskan (dikuasakan?) mereka itu atas segala perempuan dengan sebab dilebihkan oleh Allah Ta’ala segala laki-laki itu atas segala perempuan dengan ilmu dan akal dan wilayah dan dengan sebab dibiayakan mereka itu atas segala arta mereka itu…maka segala perempuan yang salih itu berbuat bakti mereka itu akan segala suami mereka itu.
Mencermati kutipan di atas dapat dikenali ke mana dan bagaimana pola pandang yang diikuti Abdul Raūf tentang perempuan. Di sana tampak bahwa Abdul Raūf tetap berpegang teguh pada kecenderungan pemikiran para tradisional. Kecenderungan dimaksud adalah pandangan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari perempuan dalam aspek domestik maupun publik. Terbukti dari penafsiran Abdul Raūf tentang faktor-faktor yang disebut sebagai nilai lebih laki-laki: ilmu, akal, dan wilayah.
VII.     Kesimpulan
Nama lengkap beliau adalah Abdul Raūf bin Ali al-Jawī al-Fansurī al-Sinkilī, mengenai asal usul keluarganya, ada dua pendapat, satu mengatakan beliau asli dari Persia dan pindah ke Indonesia dan pendapat yang lain mengatakan bahwa ayah beliau adalah orang Persia yang menikah dengan wanita pribumi daerah Singkel, Aceh dan melahirkan Abdul Raūf  al-Fansurī al-Sinkilī.
Pada mulanya beliau belajar langsung kepada ayahandanya dan kemudian ke Aceh, setelah itu pergi ke Timur tengah dan mengenyam banyak ilmu hingga pada akhirnya belajar  tasawuf.
Dengan kealimannya itu beliau memiliki beberapa karangan yang diantaranya adalah tafsir lengkap Al-Quran dengan nama Tarjumān al-Mustafīd. Tafsir Tarjuman merupakan tafsir lengkap pertama dalam bahasa melayu, adapun tafsir secara umum sudah ada sebelum tafsir ini walaupun ada yang masih bentuk lembaran-lembaran dan tidak lengkap menafsiri semua ayat al-Qur`an.
Tafsir Tarjuman muncul pada abad ke-17 dan masih simpang siur apakah atas permintaan Ratu pada waktu itu ataukah tidak. Shaikh Abdul Raūf juga mengarang kitab lain selain kitab tafsir.
Tafsir ini oleh beberapa peneliti diindikasi merupakan ringkasan ataupun terjemahan dari tiga kitab tafsir terkemuka, tafsir Baydlawi, tafsir Khāzin dan tafsir Jalālayn.
Ada beberapa contoh yang kami ungkapkan dalam makalah ini yang menyimpulkan bahwa tafsir ini kiranya bukan terjemah harfiyah, melainkan tarjamah tafsiriyah dengan menggunakan bahasa Melayu.




















Daftar Pustaka
Al-Quran Al-Karim.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.  Jakarta : Prana Media Group, 2013.
Masdudi, Muhammad Idris. Turjuman al-Mustafid; Karya Tafsir Tertua di Nusantara. Link download  http://www.academia.edu/3717536/Turjuman_al-Mustafid_Karya_Tafsir_Tertua_di_Nusantara. (diakses 8 Februari 2015)
Rahmah, Wahyu Nishifatur. “Mempertimbangkan Tarjuman al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”,2010. Link : https://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/16/mempertimbangkan-tarjuman-al-mustafid-telaah-atas-kemurnian-tafsir-karya-abd-rauf-sinkel/ (diakses 8 Februari 2015).


[1] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta : Prana Media Group, 2013), 239.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 240.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,  242.
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,  247.
[7] Ibid
[8] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,  256.
[9] Lihat, Wahyu Nishifatur Rahmah dalam “Mempertimbangkan Tarjuman al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”, 2010.
[10] Lihat, Wahyu Nishifatur Rahmah dalam “Mempertimbangkan Tarjuman al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”, 2010.
[11]  Ibid.
[12] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,  254.
[13] Lihat, Wahyu Nishifatur Rahmah dalam “Mempertimbangkan Tarjuman al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”, 2010.
[14]  Muhammad Idris Masudi, Turjuman al-Mustafid; Karya Tafsir Tertua di Nusantara. Link download  http://www.academia.edu/3717536/Turjuman_al-Mustafid_Karya_Tafsir_Tertua_di_Nusantara.
[15] Lihat, Wahyu Nishifatur Rahmah dalam “Mempertimbangkan Tarjuman al-Mustafid (Telaah Atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)”, 2010.
[16] Al-Quran, 112:1-4.
[17] Al-Quran, 10:48.
[18] Al-Quran, 3:73.
[19] Al-Quran, 23:88.
[20] Al-Quran, 4:34.
Kumpulan Makalah 1482119427789624037

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments