MENYUSUI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/06/menyusui-dalam-perspektif-islam.html
Menyusui dalam Perspektif Al-Quran
Oleh : M. Akrom Adabi
I.
Pendahuluan
Manusia terlahir dengan berbagai naluri bawaan yang dengannya
mereka terdorong untuk melakukan sesuatu tanpa adanya pembelajaran atau
perintah terlebih dahulu. Kaitannya dalam hal ini, Ibu memiliki siklus hidup
dimana ia, secara naluri, akan terdorong untuk menyusui anaknya yang baru
dilahirkan sampai batas waktu tertentu. Seorang bayi pun terdorong untuk
menyusu pada ibunya.
Menyusui merupakan sebuah rangkaian dalam upaya meningkatkan kualitas
kesehatan ibu dan anak, hal ini sejatinya telah dimulai sejak masa kehamilan,
persalinan dan nifas, bayi, balita sampai pada masa dimana ibu mulai menyapih
anaknya. Sehingga menyusui menjadi sebuah siklus penting yang dalam bidang
kesehatan semua siklus tersebut diistilahkan dengan “continuum of care”.[1]
Secara manfaat, ASI tidak diragukan lagi, baik bagi para ahli
di bidangnya maupun masyarakat umum. Sehingga pada kondisi normal, menyusui
adalah hal terbaik bagi seorang ibu. Namun sangat disayangkan jika di kemudian
hari, atau bahkan sekarang, kita menemukan seorang ibu yang enggan menyusui bayinya,
entah karena kesibukan karir atau karena memang kebudayaan yang sudah
mengalihkan peran seorang wanita dalam kapasitasnya menjadi ibu seutuhnya.
Padahal dengan menyusui ini seorang ibu akan lebih memainkan perannya secara
proporsional, yakni menjadi ibu rumah tangga secara utuh. Allah berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ
تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى[2]
“Tetaplah kalian (para wanita) di
rumah-rumah kalian, dan janganlah kalian berhias sebagaimana orang-orang
jahiliyyah dahulu berhias”.
Justru tidak proporsional ketika seorang ibu lebih senang
menyibukkan diri dengan berkarir di luar rumah, dan lebih senang membelikan
susu formula atau alternatif lain untuk bayinya daripada menyusuinya secara
eksklusif. Sehingga, dalam pandangan penulis, penting bagi kita untuk mengkaji
ulang bagaimana agama ini mengajarkan sebuah siklus kemanusiaan, dimana seorang
ibu, sudah secara kodratnya menyusui seorang anak dan berbagai hal yang
berkaitan dengannya, penulis akan mencoba membahas kajian ini dengan intensif
pembahasan berdasar pada Al-Quran.
II. Pengertian Menyusui
Menyusui adalah Pemberian air susu yang berasal dari buah dada
(atau tempat yang menghasilkan air susu. Pen) untuk diminumkan.[3]
Persusuan dalam pembahasan kami ini, terarah pada persusuan seorang manusia.
Jadi, menyusui dapat diartikan sebagai proses dimana seorang ibu memberikan ASI
kepada bayinya. ASI sendiri merupakan emulsi[4]
lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang sekresi[5]
oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna
sebagai makanan bagi bayinya. pemberian
ASI secara eksklusif adalah dengan memberikan ASI kepada bayi tanpa tambahan
cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa
tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi,
dan tim.[6]
Allah ṣubhānahu wa
ta’ālā berfirman :
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي
أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ[7]
“sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Salah satu bentuk kesempurnaan ciptaan Allah ṣubhānahu wa
ta’ālā adalah diciptakannya ASI bagi para ibu sebagai makanan bagi
anak-anak mereka. Maha suci Allah yang telah menciptakan manusia dengan
sebaik-baik penciptaan.
III. Menyusui dalam Perspektif
Al-Quran
A.
Menyusui, Hak atau
Kewajiban Seorang Ibu
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pendahuluan, bahwa sudah
kodratnya seorang wanita untuk menyusui bayinya, namun kita perlu mengkaji
lagi, apakah menyusuinya seorang ibu merupakan sebuah kewajiban ataukah hanya
hak semata? Jika hal tersebut adalah sebuah kewajiban, maka, dalam keadaan
mampu dan tidak darurat seorang ibu tidak boleh menolak untuk menyusui anaknya.
Berbeda dengan hak, yang mana seorang ibu berhak memilih untuk menyusuinya
ataupun tidak, karena hak berkaitan dengan kewenangan seseorang, untuk diambil
atau ditinggalkan. Allah ṣubhānahu wa ta’ālā berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا …….. [8]
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya”.
Kata “الْوَالِدَاتُ”[9] di sini
bermakna umum yakni seorang ibu yang sudah bercerai atau masih dalam status
istri. Hal ini lantaran tidak ada dalil yang mengkhususkan, Pendapat inilah
yang juga disampaikan oleh Abū Ya’lā, Abū Ḥayyān, dan juga yang dipilih oleh Aly al-Ṣabūny.[10]
Selanjutnya, dalam menentukan status persusuan ini, ada dua
pendapat sebagaimana yang disampaikan al-Rāzī.[11]
Sebagian mengatakan wajib dan sebagian lain mengatakan sunah, dalam arti lain persusuan
hanya sebuah hak bagi seorang ibu. Pendapat pertama mengatakan wajib karena
dalam kalimat “يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ” meskipun posisinya menjadi khabar,
tetapi kata ini menunjukkan perintah dengan cara menampilkan dalalah
yang memang sudah jelas tersirat dalam ayat, dan ketika ditampakkan akan
menjadi “والوالدات يرضعن أولادهن
في حكم الله الذي أوجبه”. Atau
bisa dengan menggunakan kata “ليرضعن”. Pendapat kedua yang mengatakan bahwa
menyusui bukanlah sebuah kewajiban, beralasan karena dalam ayat lain Allah
memerintahkan adanya upah kepada ibu yang menyusui, jika menyusui adalah sebuah
kewajiban lantas mengapa harus ada upah bagi seorang ibu?
Al-Rāzī sendiri lebih cenderung pada pendapat kedua. Baginya,
menyusui bukanlah kewajiban seorang ibu, hal ini dihukumi sunah kecuali saat
tidak ditemukan orang selain ibu, atau bayi tidak mau menyusu kecuali kepada
ibunya.[12]
Penulis sendiri lebih cenderung pada pendapat ini, hal ini berkaitan dengan
ayat lain yang menunjukkan adanya kewajiban bagi orang tua untuk memberikan
upah, rezeki, ataupun pakaian bagi ibu yang menyusui, jika menyusui adalah
sebuah kewajiban, lantas kenapa harus ada imbalan di atas. Dan ayat ini juga
sekaligus menjelaskan bahwa seorang ibu adalah orang yang paling berhak untuk
menyusui anaknya, bukan yang lain. Sehingga, ketika seorang ibu ingin mengambil
haknya untuk menyusui anak, maka tidak ada alasan bagi seorang suami atau yang
lain untuk menghalanginya.
B.
Lamanya Seorang Ibu
Menyusui
Allah ṣubhānahu wa ta’ālā berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ
وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ[13]
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Masih dalam ayat yang sama. Ayat yang
menunjukkan batas waktu seorang ibu untuk menyusui anaknya, dalam ayat ini
jelas disebutkan bahwa seorang ibu menyusuinya selama dua tahun. Terlebih,
dalam ayat ini ada penguat dengan penambahan kata “كَامِلَيْنِ”. Kata ini, menurut al-Rāzī, selain
sebagai penguat juga sebagai penghilang kesalah pemahaman karena orang arab
terkadang mengatakan “أقام
حولاً وبعض الآخر” atau “أقام حولين أو شهرين”.[14]
Dalam ayat lain pun Allah ṣubhānahu wa ta’ālā berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ[15]
“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu”.
Pembatasan waktu dalam ayat ini jelas bahwa jangka waktu bagi
seorang ibu adalah dua tahun, proses ini adalah sebagai nutrisi awal bagi bayi
dan berguna baik bagi badan maupun jiwanya, dan apabila bayi hendak disapih
sebelum masa dua tahun, maka hendaknya melalui persetujuan kedua orang tua dan
melalui musyawarah terlebih dahulu, hal ini sesuai dengan firman Allah ṣubhānahu
wa ta’ālā :
“Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya”.
C.
Seorang Ibu Berhak Mendapat
Upah Atas Persusuannya
Sebagai bentuk apresiasi dan susah payah dari seorang ibu,
agama ini memerintahkan kepada seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian
kepada para ibu yang menyusui, Allah ṣubhānahu wa ta’ālā berfirman :
…وَعَلَى الْمَوْلُودِ
لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ
نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ[17]…
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya”
al-Rāzī sendiri dalam memaknai ayat
ini, mengatakan bahwa pemberian nafkah ini adalah sebuah upah bagi seorang ibu.[18] dan selanjutnya, menurut Ibnu Kathīr
makna dari “بِالْمَعْرُوفِ”
adalah pemberian nafkah sesuai dengan kadar yang berlaku di daerah tersebut,
tanpa berlebihan ataupun terlalu pelit dan sesuai kadar kemampuan orang
tersebut tanpa menyulitkannya.[19]
Dalam ayat lain Allah juga memerintahkan adanya pemberian upah bagi seorang
ibu yang menyusui, namun ayat ini sebenarnya terkhusus pada wanita yang sudah
diceraikan sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Kathīr :
ۚ فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم
بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ[20]
“kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.”
D.
Dibolehkannya Mencari Ibu
Susuan
Ibu merupakan orang yang paling berhak untuk menyusui bayinya,
namun dalam beberapa hal terkadang kita menemukan seorang ibu yang tidak bisa
menyusui bayinya dikarenakan ibu masih dalam keadaan sakit dan tidak bisa
menyusui, ASI tidak keluar atau karena masalah perselisihan lain seperti kekerasan
yang sering terjadi dalam rumah tangga yang sehingga ditakutkan seorang ibu
menyakiti anaknya sendiri, maka dalam hal-hal seperti ini agama memberikan
solusi dengan mencarikan ibu persusuan. Allah ṣubhānahu wa ta’ālā berfirman
:
وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ….[21]
“Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut.”
Dalam ayat Allah ṣubhānahu wa ta’ālā juga berfirman :
“dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya”.
Selain itu, dalam solusi ini pula kita bisa melihat betapa
agama ini memposisikan ASI sebagai nutrisi yang penting bagi bayi. Ketika orang
tua kesulitan untuk menyusui bayinya maka solusi yang diberikan adalah
mencarikan ibu susuan, dalam arti lain agama ini tetap memerintahkan untuk
tetap memberikan ASI, bukan menggantinya dengan makanan lain. Apa lagi di zaman
sekarang ini yang banyak makanan alternatif lain bagi si bayi. Maka posisi ASI ini
tetap menjadi yang paling utama dan makanan terbaik bagi bayi.
E.
Persusuan Menjadikan Mahram
Berlanjut dari pembahasan sebelumnya, mengenai solusi agama
ketika orang tua kesulitan untuk menyusui anaknya, maka boleh bagi mereka untuk
mencarikan ibu susuan, dan ada konsekuensi yang harus mereka perhatikan, yakni
seorang anak yang disusui oleh wanita lain maka secara otomatis akan menjadikan
mahram diantara keduanya dan beberapa keluarganya. Allah ṣubhānahu wa ta’ālā
berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم
مِّنَ الرَّضَاعَةِ... [23]
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.”
Dalam ayat ini terdapat dua kategori yang menjadi mahram sebab
persusuan. Yang pertama adalah ibu dan yang kedua adalah saudara ibu. al-Rāzī
mencoba mengurai beberapa orang yang masuk dalam dua kategori diatas,
menurutnya sebab mahram itu ada dua, pertama karena jalur “persalinan”, maka
yang masuk dalam kategori ini, ibu yang menyusui dan anak dari ibu yang
menyusui. Dan selanjutnya, masih pendapat al-Rāzī, dengan penyebutan saudara
ibu, maka masuk dalam kategori ini, saudara sepersusuan, bibi (dari jalur ayah
persusuan), bibi (dari jalur ibu persusuan), anak (perempuan) dari saudara
laki-laki sepersusuan, anak (perempuan) dari saudara perempuan sepersusuan.[24]
Kita juga harus memperhatikan bahwa Al-Quran secara tegas
menjelaskan bahwa yang sempurna adalah
dua tahun. Selanjutnya lebih dari itu, sebagaimana keterangan Ibnu
Kathīr, tidak dianggap persusuan. Sehingga tidak bisa menjadi hukum mahram
sebab persusuan karena dilakukan setelah bayi berumur lebih dari dua tahun.[25]
F.
Peran Aktif Kedua Orang Tua
Dalam Proses Menyusui
Dalam fase menyusui, memang seorang ibu memilki peran dominan
daripada seorang ayah. Namun sejatinya, keduaya memiliki peran masing-masing
yang tidak bisa dikesampingkan. Seorang ibu memiliki peran sebagai orang yang
langsung menyusui bayi sebagaimana dalam ayat “وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ”dan
seorang ayah memilki peran untuk memberi nafkah atau mencukupi kebutuhan
seorang ibu untuk bisa memberikan asupan bagi si bayi sebagaimana dalam ayat “وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ”.[26]
Jadi, proses saling bekerja sama inilah yang menjadikan keduanya begitu
berjasa. Bukan hanya ibu, bukan pula hanya ayah, melainkan keduanya. dan oleh
karena inilah tuhan memerintahkan kita untuk bersyukur dan berterimakasih
kepada kedua orang tua atas jasa mereka. Allah ṣubhānahu wa ta’ālā berfirman
:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ[27]
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
IV. Penutup
Menyusui merupakan
fase terpenting bagi seorang bayi, dalam hal ini agama menganjurkan bagi para
ibu untuk menyusui anaknya karena banyak sekali manfaatnya, baik bagi bayi
maupun bagi ibu itu sendiri. Ibu yang berinteraksi langsung dengan proses ini
memang memiliki andil besar, akan tetapi peran seorang ayah juga tidak boleh
dikesampingkan dalam hal ini seorang ayah dituntut untuk memenuhi kebutuhan ibu
dan bayi. Sehingga, keduanya memilki peran yang sama pentingnya.
Menyusui sebaiknya
dilakukan dalam kurun waktu dua tahun, dan inilah batas waktu menyusui yang
sempurna, dan apabila bayi hendak disapih sebelum masa dua tahun, maka
hendaknya dimusyawarahkan dahulu sebaik-baiknya. Selain itu, agama juga
memberi solusi bagi orang tua yang kesulitan untuk menyusuinya. Yakni dengan
mencari ibu susuan. Namun hal ini juga mengandung konsekuensi dimana ibu yang
menyusui dan saudaranya akan menjadi mahram bagi bayi. Akan tetapi ketika ada
bayi di atas umur dua tahun yang menyusu pada orang lain, maka hal ini tidak
menjadikannya mahram. Karena batas persusuan adalah dua tahun. Wallahu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur`an.
Alūsī (al), Maḥmūd Afandī. Rūh al-Ma’ānī fī Tafsīr
al-Qur`an al-‘Āẓīm wa al-Sab’ al-Mathānī. Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmīah,
1415 H.
Baghawī (al), Abū Muhammad. Ma’ālim al-Tanzīl. ttp:
Dār Ṭaybah li
al-Nashr wa al-Tawzi`, 1997 M.
Ibnu Kathīr, Ismā’īl bin ‘Umar bin Ḍau’. Tafsīr
al-Qur`an al-‘Aẓīm. ttp.: Dār Ṫaybah li al-Nashr wa al-Tawzi`, 1999 M.
Muhammad Asif, “Karakteristik Tafsir Al-Ibrîz Karya KH.
Bisri Mustofa”. (Skripsi di
STAIN Surakarta, 2010), 23.
Mustofa, Ahmad. Pemberian Asi Eksklusif dan
Problematika Ibu Menyusui. Jurnal Studi Gender dan Anak Vol.5 No.2 Jul-Des
2010 pp.215-226. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto. 2010
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Rāzī (al), Fakhruddīn. Mafātih al-Ghayb. Beirut:
Dār al-Fikr, 1981 M
Riyadi, Slamet. Tinjauan Terhadap Peraturan
Pemerintah Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, Perspektif Regulasi.
Makalah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2012
Sābūnī (al), Alī. Tafsīr Ayāt al-Aḥkām. Beirut:
Dār al-Kutub al-Islamiyah, 1999 M.
[1]
Slamet Riyadi, “Tinjauan Terhadap Peraturan Pemerintah Tentang Pemberian Air
Susu Ibu Eksklusif, Perspektif Regulasi”. (Makalah Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2012), 2.
[2]
Al-Qur`an, 33 : 33.
[3]
Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1254.
[4]
cairan yang terbentuk dari campuran dua zat, zat yang satu terdapat dalam
keadaan terpisah secara halus atau merata di dalam zat yang lain (seperti
persenyawaan zat-zat bergetah atau berlemak dengan air), Lihat, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 408.
[5]
Sekresi adalah pengeluaran hasil kelenjar atau sel secara aktif.
[6]
Ahmad Mustofa, “Pemberian Asi Eksklusif dan Problematika Ibu Menyusui”, Jurnal
Studi Gender dan Anak Vol.5 No.2 Jul-Des 2010 pp.215-226. (Pusat Studi Gender
STAIN Purwokerto. 2010), 2.
[7]
Al-Qur`an, 95 : 4.
[8]
Al-Qur`an, 2 : 233.
[9]
Dalam memaknai kata “الْوَالِدَاتُ ”, ulama berbeda pendapat. Mujāhid, al-Ḍahak dan al-Sady cenderung
berpendapat bahwa maknanya adalah Ibu yang telah bercerai (ter-talāq). Hal ini dikarenakan ayat ini beriringan
dengan ayat talāq dan juga pemahaman dari ayat selanjutnya yang
mengungkapkan adanya kewajiban memberikan rezeki dan pakaian melalui ayat “وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ”. Jika seorang
ibu masih berstatus istri yang sah, maka apa gunanya penyandaran pemberian
tersebut yang mana memang sudah seharusnya kewajiban bagi seorang suami tanpa
harus menunggu seorang istri menyusui.[9]
Pssendapat ini berbeda dengan pendapat al-Waḥidy, yang menurutnya, justru arti
dari “الْوَالِدَاتُ” ibu yang masih berstatus istri, belum
bercerai, karena jika sudah diceraikan maka kata yang tepat bukanlah “كِسْوَةُ” melainkan “أجرة”. Lihat, Ayatahkam j1 h249
[10]
Ayat ahkam j1 h250
[11]
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātih al-Ghayb.
(Beirut: Dār al-Fikr, 1981 M), 6:126.
[12]
Ibid.
[13]
Al-Qur`an, 2 : 233.
[14]
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātih al-Ghayb,
6:127.
[15]
Al-Qur`an, 31 : 14
[16]
Al-Qur`an, 2 : 233.
[17]
Al-Qur`an, 2 : 233.
[18]
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātih al-Ghayb,
6:129.
[19]
Ismā’īl bin ‘Umar Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aẓīm. (ttp.: Dār Ṫaybah
li al-Nashr wa al-Tawzi`, 1999 M), 1:624.
[20]
Al-Qur`an, 65 : 6.
[21]
Al-Qur`an, 2 : 233.
[22]
Al-Qur`an, 65 : 6.
[23]
Al-Qur`an, 4: 23.
[24]
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātih al-Ghayb,
10:31.
[25]
Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aẓīm, 1:633.
[26]
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātih al-Ghayb,
6:129.
[27]
Al-Qur`an, 31:14.