URGENSI PENAFSIRAN AL-QUR’AN DILIHAT DARI SISI ILMU TAFSIR DAN ILMU TA’WIL
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/05/urgensi-penafsiran-al-quran-dilihat.html
URGENSI TAFSIR DILIHAT DARI SISI
ILMU TAFSIR DAN TA’WIL
Oleh: Khoiruddin Aziz dan Ahmad Murtadlo
I.
Pendahuluan
Al-Qur'an
adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alaihy wa Sallam dengan perantaraan Malaikat Jibril kemudian ditulis
pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir.
Al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Tuhan, bahasa yang sulit dan rumit, Sehingga
tidak semua orang bisa memahami al-Qur’an. karena itulah para ulama’
menciptakan ilmu-ilmu al-Qur’an untuk memudahkan mempelajari al-Qur’an,
diantaranya adalah ilmu Nasīkh Mansūkh, Asbābu al-Nuzūl, Muhkam Mutashabih,
Tafsir, Ta’wil.
Dalam
ilmu-ilmu al-Qur’an, ada satu ilmu yang menjadi pokok ilmu yang digunakan untuk
mempelajari al-Qur’an yaitu ilmu tafsir. Seseorang yang hendak mempelajari atau
hendak mengetahui makna al-Qur’an hendaklah ia mempelajari ilmu tafsir terlebih
dahulu, karena ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mempermudah
memahami keterangan dan penjelasan al-Qur’an.[1]
Ada sebuah
ilmu yang berkaitan erat dengan ilmu tafsir, ilmu itu adalah ilmu Ta’wil. Ilmu
ta’wil sebetulnya sama dengan tafsir, yaitu sama-sama digunakan untuk
mempermudah memahami al-Qur’an, tetapi masih banyak kontroversi yang terdapat
pada tafsir dan ta’wil.
II. Urgensi Tafsir Al-Qur’an
dilihat dari Tafsir dan Ta’wil
Dalam
mengetahui urgensi ilmu tafsir, dapat dilihat dari berbagai sisi, tapi dalam makalah ini
penulis hanya akan menguraikan urgensi tafsir dilihat dari ilmu tafsir dan
ta’wil. Kenapa penulis memilih ilmu tafsir dan ta’wil, karena tafsir maupun
ta’wil adalah inti dari ilmu yang digunakan untuk mempelajari dan memahami
al-Qur’an. Jadi menurut penulis disini cara untuk mengetahui urgensi dari
penafsiran al-Qur’an secara jelas yaitu dengan mengetahui ilmu tafsir dan ta’wil.
A.
Pengertian Tafsir dan Ta’wil
Tafsir
secara bahasa mengikuti wazan “Taf’īl”, berasal dari akar kata fasara
(فسر) atau al-fasr yang berarti
menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.
Dalam Kamus Lisānu al-‘Arab dinyatakan: kata al-fasr berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-tafsīr berarti
menyingkapkan maksud sesuatu lafaẓ yang mushkil atau pelik (KBBI: jarang ada,
aneh, tidak biasa).[2]
Dari segi terminologis (istilah)
ada beberapa definisi tentang
tafsir, diantaranya
adalah:
a. Abu Hayyan:
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaẓ-lafaẓ al-Qur’an
dan tentang arti dan makna dari lafaẓ-lafaẓ tersebut, baik kata perkataan
maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
b. Al-Zarkashi:
Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
c. Al-Zarqāni:
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi makna yang
terkandung didalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah sebatas
kemampuan manusia.[3]
Dari beberapa pengertian diatas penulis lebih
cenderung memilih pengertian yang dikemukakan oleh Al-Zarqāni, dikarenakan
pengertian itu menurut penulis lebih tepat.
Terlepas
dari perbedaan-perbedaan tentang makna tafsir merupakan sebuah istilah yang
dipakai dalam upaya memahami al-Qur’an. Dari definisi-definisi diatas tampak
bahwa tafsir merupakan suatu istilah yang tidak dapat lepas dari tiga konsep
yang terkandung didalamnya. Pertama, kegiatan ilmiah yang berfungsi
memahami dan menjelaskan kandungan al-Qur’an. Kedua, ilmu-ilmu yang
dipergunakan dalam kegiatan tersebut. Ketiga, ilmu yang merupakan hasil
kegiatan ilmiah tersebut.[4]
Ketiga konsep ini tidak dapat dipisahkan karena berperan sebagai proses, alat,
dan hasil yang dicapai dalam sebuah penafsiran.
Ta’wil
menurut bahasa berasal dari kata “Ail” yang berarti keasal, dan ada juga
yang mengatakan bahwa ta’wil berasal dari kata “Aul” yang artinya
memalingkan, memalingkan ayat dari makna ḍahir kepada sesuatu makna yang dapat
diterima.[5]
Pendapat lain mengatakan bahwa kata ta’wil berasal dari kata al-awla (الاول) yang mengikuti pola taf’il yang berarti
kembali kepada keadaan semula.[6]
Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menerangkan tentang ta’wil, salah
satunya ayat berikut ini :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ
مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ
فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu.
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
(QS. ‘Ali ‘Imran: 7).[7]
Dalam ayat
diatas ta’wil diartikan sebagai sebuah tafsiran, yang hanya Allah yang dapat
mengetahui ta’wil.[8] Sehingga
penulis dapat menyimpulkan bahwa makna ta’wil itu elastis, tergantung pada
tempatnya atau yang menjadi sasarannya.
Sedangkan
ta’wil menurut istilah yaitu mengalihkan lafal atau makna yang belum jelas pada
lafal atau makna yang lebih jelas yang masih bersangkutan dengan makna asalnya.[9]
Menurut
al-Jurjani yang penulis kutip dari tulisan Dedi Supriadi bahwa ta’wil yaitu
memalingkan suatu lafal dari makna lahiriah terhadap makna yang dikandungnya
apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan al-Kitab dan
Al-Sunnah. Dan menurut al-Shddiqi ta’wil yaitu mengembalikan sesuatu pada ghayahnya
(tujuannya).[10]
Sedangkan
Ulama’-ulama’ pada abad pertengahan yang terdiri dari ahli Fiqih, ahli Hadith,
para Teolog, dan kalangan sufi maengartikan ta’wil sebagai upaya pengarahan
lafal dari maknanya yang kuat ke makna lafal yang lemah berdasarkan dalil yang
ada.[11]
Dari definisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa ta’wil yaitu
mengganti suatu makna dari lafal yang sulit dipahami pada lafal yang mudah
dipahami dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadith.
B.
Pembagian Tafsir
Khālid ‘Abdu
al-Rahmān al-‘Ak membagi tafsir menjadi empat bagian, yaitu: Tafsir dapat
diketahui oleh orang arab dari perkataannya, tidak ada alasan bagi seseorang
untuk tidak megetahui tafsir, Tafsir diketahui oleh ulama’, Tafsir diketahui
hanya oleh Allah.[12]
Tetapi
kebanyakan Ulama’ membagi Tafsir
menjadi tiga kategori, yaitu dilihat dari sumbernya, metodenya, dan coraknya.
1.
Tafsir Dilihat Dari Sumbernya
Berdasarkan
sumber penafsirannya, Tafsir dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : Tafsīr Bi
al-Riwāyah, Tafsīr Bi al-Dirāyah, Tafsīr Bi al-Ishārah.[13]
a.
Tafsīr Bi
al-Riwāyah adalah Penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan pada
penjelasan al-Qur’an sendiri, penjelasan Nabi, Sahabat melalui ijtihad,
dan berdasarkan pendapat Tabi’in.[14]
Tafsir ini bisa juga di namakan Tafsīr Bi al-Naqli atau Tafsīr Bi
al-Ma’thur.
b. Tafsīr Bi al-Dirāyah menurut
al-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad
dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa arab dan metodenya,
dalil hukum yang ditunjukkan.[15] Tafsir ini bisa juga disebut
dengan Tafsīr Bi al-Naqli atau Tafsīr Bi al-Ra’yi.
c. Tafsīr Bi
al-Ishārah yaitu
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang tidak sesuai dengan makna yang tampak
secara lahir, dengan berdasarkan pada isyarat-isyarat tak terlihat oleh
orang-orang yang sedang menjalani suluk[16],
dan bisa dikompromikan dengan makna lahir.[17]
Biasanya tafsir ini dilakukan oleh orang-orang sufi.
2. Tafsir
Dilihat Dari Metodenya
Jika ditelusuri perkembangan tafsir al-Qur’an sejak
dulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa garis besar penafsiran al-Qur’an itu
dilakukan melalui empat cara (metode), yaitu:, tahlili, Ijmali, muqaran, mauḍu’i.[18]
a. Metode Tahlili
(Analisis)
Yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan
serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian
dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[19]
Menurut Baqīr al-Shadr yang kami kutip dari tulisan
Forum karya ilmiah
purna siswa 2011 bahwa metode ini dinamakan sebagai metode Tajzi’ī. Metode
ini terbilang sebagai metode yang paling tua dan yang paling sering
digunakan para Mufassir.
Metode tahlili menitik beratkan pada uraian penafsiran yang detail,
mendalam, dan komprehensif sehingga dapat memberikan berbagai informasi tentang
teks, sejarah, linguistik,
kondisi sosial dan hal-hal yang berkaitan dengan teks yang ditafsirkan.[20]
b. Metode Maudhu’i
(tematik)
Yaitu metode yang membahas
ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang ditetapkan.[21]
Menurut al-Farmāwī yang kami kutip dari tulisan Forum karya ilmiah purna siswa
2011 bahwa metode maudhu’i dibagi menjadi dua macam bentuk. Pertama, metode
maudhu’i plural yaitu metode yang membahas satu surat al-Qur’an secara
menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya
secara garis besar dengan cara menghubungkan ayat satu dengan ayat yang
lainnya.
c. Metode Ijmali
(Global)
Yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas
tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.[22]
Menurut Fahd ibn ‘Abdu al-Raḥman al-Rūmī yang penulis kutip dari tulisan Forum
karya ilmiah purna siswa 2011 bahwa penyajian tafsir yang menggunakan metode
ini tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pembaca dan
pendengar seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an.
d. Metode Muqaran
(Perbandingan)
Yaitu membandingkan teks (Nash) ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau
lebih, dan memiliki redaksi berbeda bagi satu kasus yang sama.[23]
3. Tafsir
Dilihat Dari Coraknya
Sejauh ini corak-corak tafsir yang dikenal oleh
para Ulama’ antara
lain sebagai berikut:
a. Tafsīr Ṣufī
(Tasawuf)
Corak tafsir
ini adalah penafsiran yang menggunakan teori analisis sufistik atau menta’wilkan
ayat al-Qur’an dari balik teks dan berdasarkan isyarat yang tampak oleh seorang
sufi dalam suluknya.[24]
Tafsir sufi juga dapat dikatakan Tafsīr
Bi al-Ishārah.
b. Tafsīr Ahkām (Fiqhi)
Tafsir ini
merupakan tafsir yang digagas oleh ahli hukum (fuqaha’) yang berorientasi pada
seputar persoalan-persoalan hukum islam (fiqh) dengan menggunakan kaidah-kaidah
ushul fiqh.[25]
c. Tafsīr ‘Ilmiy
(pengetahuan)
Tafsir yang
bercorak seperti ini berusaha menafsirkan ayat al-Qur’an untuk mengukuhkan
berbagai istilah ilmu pengetahuan dan berusaha melahirkan berbagai ilmu baru
dari al-Qur’an.[26]
d.
Tafsīr Falsafī (Filsafat)
Corak ini
adalah sebuah penafsiran ayat al-Qur’an dengan Frame filosofis, baik yang berusaha untuk
melakukan sistesis (perpaduan) dan sinkretiasi (penyesuaian)
antara teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan al-Qur’an.[27]
e.
Tafsīr al-‘Adab
al-Ijtimā’ī (sosial kemayarakatan)
Corak ini berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan keadaan sosial
masyarakat yang ada disekitar penafsir.
f.
Tafsīr al-Bayānī (Sastra)
Corak tafsir ini menitik beratkan pada pendekatan
retorika[28]
keindahan bahasa (sastra), sehingga sering dan bahkan melupakan sisi lain dari
al-Qur’an yang layak untuk ditampilkan seperti kemukjizatan yang terkandung
dalam makna-maknanya, ajaran syariatnya, hukum-hukumnya, dan berbagai pedoman
kehidupan umat manusia lainnya.[29]
C.
Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Perbedaan
tafsir dengan ta’wil sebetulnya sudah dapat diketahui ketika kita melihat
definisi-definisi diantara keduanya. Beberapa diantara pendapat ulama’ mengenai
perbedaan ulama’ yang mengetengahkan perbedaan tafsir dengan ta’wil adalah
sebagai berikut:[30]
1.
Tafsir
bersifat lebih umum dan lebih banyak penggunaanya dari pada ta’wil dalam lafaẓ
2.
Ta’wil lebih
luas penggunaannya dari pada tafsir, karena ta’wil bisa digunakan untuk sebuah
kalam atau kalimat dan yang lainnya. Sedangkan tafsir hanya digunakan pada
kalam atau kalimat saja.
3.
Tafsir
merupakan penjelasan lafaẓ yang hanya memiliki satu arah kemungkinan maknanya,
sedangkan ta’wil adalah penjelas terhadap lafaẓ ke satu arah makna dari
berbagai kemungkinan makna yang ada berdasarkan suatu dalil yang mendukung.
4.
Tafsir adalah
sesuatu yang berhubungan dengan riwayat, sedangkan ta’wil berhubungan dengan
penalaran (dirayah).
D.
Sikap Para
Ulama’ Tentang Ta’wil dan Tafsir
Para ulama dalam menyikapi ta’wil ini berbeda-beda
antara satu dengan lainnya. Penulis mengutip dari salah satu blog yang
ada di
internet bahwa Ulama salaf itu terbagi dalam dua kelompok dalam memahami
ta`wil. Pertama menurut mereka, bahwa ta`wil itu sinonim dengan tafsir dan
kedua ta`wil itu esensi kalam (ucapan). Ulama Mutaakhkhirin (yang tergabung di
dalamnya ahli fiqih, ahli kalam, ahli tasauf, dll) memaknai ta`wil
صرف اللفظ عن المعنى الراجح الى المعنى المرجوح لدليل يقترن
به
Memalingkan suatu lafad dari maknanya yang jelas pada
makna yang tidak jelas karena ada dalil yang membarenginya (Al-Dzahabi, 1976 :
17-18).
Dua
pengertian tentang ta`wil di atas memberikan dampak yang berbeda terhadap sikap
ulama. Ulama salaf merasa keberatan melakukan pena`wilan al-Qur'an dalam arti
mengungkap esensinya dan memalingkan dari makna yang jelas pada yang tidak
jelas. Imam Malik misalnya, beliau enggan membenarkan seseorang berkata,
"langit menurunkan hujan", karena menurutnya, bahwa sesungguhnya
Allahlah yang menurunkan hujan itu. (Quraish Shihab, 1992 : 97).
Quraish
Shihab, (1992 :109-110) mengistilahkan ta`wil dengan penjelasan metaforis.
Menurutnya, bahwa ulama salaf merasa
puas dengan mengungkapkan Allah a'lam bi muradih (Allah Maha mengetahui
maksud-Nya). Tetapi hal ini sebenarnnya tidak memuaskan banyak pihak apalagi
pada dewasa ini. Karena itu sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dari
penjelasan literal (tafsir) beralih pada penjelasan metaforis (ta'wil). Dan
pada kenyataannya tafsir seringkali mempersempit makna, berbeda dengan ta`wil
dapat memperluas makna dan tidak menyimpang.[31]
Imam
Al-Ghazali mengklasifikasikan ta’wil dalam 5 bagian, yaitu: Pertama, Menolak
ta’wil dan hanya membenarkan apa yang tertulis secara tekstual dalam nas itu
sendiri. Kedua, Berpedoman pada kekuatan akal dan kurang memperhatikan
teks itu, Inilah yang banyak memperluas wilayah ta’wil. Ketiga, Menjadikan
akal sebagai dasar pokok, Apa yang terdapat dalam suatu teks kelihatan bertentangan
dengan akal akan ditolak. Keempat, Menjadikan teks sebagai dasar pokok
dan tidak sampai mendalami akal pemikiran. Kelima, Moderat dengan
berusaha mengkompromikan antara akal dan nas yang masing-masing mempunyai dasar
dan saling melengkapi, Kelompok ini mengingkari adanya pertentangan antara akal
dan syara’.
Keanekaragaman
pendapat dan sikap tersebut, ada yang berlebih-lebihan, dan ada pula yang
sedang-sedang, baik dalam menerima ataupun dalam menolak. Namun, secara umum
sikap ulama’ terhadap ta’wil ini adalah terbagi atas dua, ada yang menerima dan
ada yang menolak. Perbedaan sikap tersebut terjadi karena perbedaan cara mereka
memahami ayat 7 surah Ali Imran.
وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ
فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
… padahal tidak ada yang
mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat semuanya itu dari sisi
Tuhan kami.
Bagi mereka
yang tidak membolehkan ta’wil beralasan, bahwa ayat tersebut dibaca dengan
tanda wakaf (berhenti) pada kata “Allah” (إِلاَّ اللهُ ) “… tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
kecuali Allah”. Jadi, hanya Allah saja yang mengetahui ta’wilnya, sedangkan
orang-orang yang berpengetahuan mendalam cukup mengimani keberadaannya dan
menyerahkan pengertiannya kepada Allah.
Adapun ulama’
yang membolehkan ta’wil itu beralasan bahwa ayat tersebut dibaca وما يعلم تأويله
الا الله والراسخون فى العلم (… tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan
orang-orang yang mendalam ilmunya”. Jadi, di samping Allah yang mengetahui ta’wil
itu juga orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam.[32]
E.
Tujuan dan
Faedah
Penafsiran Al-Qur’an
Sangat
banyak sekali tujuan dan faedah yang dimiliki oleh penafsiran al-qur’an,
diantaranya sebagai berikut:
1. Untuk mempermudah memahami kandungan isi al-Qur’an.
2. Mengetahui
maksud Allah yang terdapat di dalam syari’atnya yang berupa perintah dan
larangan, sehingga keadaan manusia menjadi lurus dan baik.
3. Untuk mengetahui
petunjuk Allah mengenai aqidah,
ibadah, dan akhlak agar masyarakat berhasil meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat.
4. Untuk
mengetahui aspek-aspek kemukjizatan yang terdapat di dalam al-Qur’an.
5. Untuk
menyampaikan seseorang kepada derajat ibadah yang paling baik.
6. Untuk
berpegang teguh kepada buhul tali (agama) yang kokoh taat, dan untuk mencapai
kebahagiaan yang sesungguhnya.
III. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis tuliskan diatas maka dapat
diambil kesimpulan bahwa Urgensi Penafsiran jika dilihat dari sisi ilmu tafsir
dan ilmu ta’wil maka sangatlah urgen sekali. Dikarenakan ilmu tafsir dan ta’wil
sangatlah penting sekali bagi seseorang guna untuk memahami makna dari
al-Qur’an. Janggal rasanya jika seseorang memahami al-Qur’an tapi tanpa
mempelajari atau mengetahui ilmu tafsir dan ilmu ta’wil. Bagaikan nelayan tanpa
ikan.
Jika kita melihat dari pembagian ilmu tafsir diatas maka
tidaklah mustahil bagi kita untuk bisa paham semua ilmu yang ada didunia ini,
mulai dari ilmu sains, filsafat, tasawuf, sosial, teknologi, dan masih banyak
lagi.
Daftar Pustaka
‘Ak
(Al). Khālid ‘Abdu al-Rahmān, Uṣulu
al-Tafsīr wa Qawa’iduhu, Beirut: Dar al-Nafais, 1994.
Anwar. Rosihon. Ilmu Tafsīr, Bandung:
Pustaka Setia, 2005.
Baidan. Nashruddin. Metodologi
Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Efendi, Nur. dan Muhammad Fathurrahman. Studi
al-Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2014.
Ilyas. Yuhanar. Kuliah Ulumul Qur’an,
Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013.
Kamilah. Faham, Tafsir, Ta'wil Dan
Tarjamah, http://hamid-kamilah.blogspot.com/2014/03/faham-tafsir-tawil-dan-tarjamah-oleh-drs.html,
(diakses pada 10 maret 2015, pukul 02:29 ).
Qaṭṭān (al), Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011.
Rūmī (al). Fadh bin ‘Abd al-Raḥmān. Buḥuth
fi Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, tnp, Maktabah al-Taubah, tth.
Ṣabūnī (Al). Muhammad ‘Ali. al-Tibyān
Fī ‘Ulūmi al-Qur’an, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islīmiyah, 2003.
Siswa. Karya Ilmiah Purna. al-Qur’an
Kita, kediri: Lirboyo Press, 2011.
Supriadi. Dedi. Ushul Fiqh Perbandingan,
Bandung: Pustaka Setia, 2013
Zanwar. Khalilullah. Tafsir, Ta’wil,
Dan Terjemah,
http://fathulilm.blogspot.com/2013/05/tafsir-ta’wil-dan-terjemah.html, (diakses
pada 10 maret 2015, pukul 01:11).
Zarqānī (al). Muhammad ‘Abdul ‘Aẓīm. Manāhil
al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’an, ttp, tnp, tth.
[1] KBBI, (Edisi ke-4), h. 1373
[2] Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 455-456
[3] Prof. Dr. H. Yuhanar Ilyas, Lc.,
MA., Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), h. 270
[5] Dr. Nur Efendi, M.Ag. dan
Muhammad Fathurrahman, M.Pd.I., Studi al-Qur’an, (Yogyakarta: Teras,
2014), h. 288
[7]
Muhammad ‘Abdul ‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’an, (ttp,
tnp, tth), h. 4, juz. 2
[8]
Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (kediri: Lirboyo Press,
2011), h. 191
[9]
Khālid ‘Abdu al-Rahmān al-‘Ak, Uṣulu al-Tafsīr wa Qawa’iduhu, (Beirut:
Dar al-Nafais, 186), h. 51
[12]
Khālid ‘Abdu al-Rahmān al-‘Ak, Uṣulu al-Tafsīr wa Qawa’iduhu, (Beirut:
Dar al-Nafais, 186), h. 339
[13]
Muhammad ‘Ali al-Ṣabūnī, al-Tibyān Fī ‘Ulūmi al-Qur’an, (Jakarta: Dâr
al-Kutub al-Islīmiyah, 2003), h. 67
[14] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsīr, (Bandung:
Pustaka Setia, 2005), h. 143
[15] Ibid, h. 151
[16] Suluk yaitu
1. Jalan ke arah kesempurnaan batin; tasawuf; tarekat; mistik: ilmu. 2.
Pengasingan diri; khalwat;
[18] Dr. Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 3
[19] Ibid, h. 31
[21] Dr. Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 151
[22] Ibid, h. 13
[23] Ibid, h. 65
[25] Ibid, h. 244.
[26] Ibid, h. 248.
[27] Ibid, h. 246.
[28] Retorika
yaitu 1. Keterampilan berbahasa secara efektif; 2. Studi
tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam
karang-mengarang; 3. Seni berpidato yg muluk-muluk dan bombastis.
[29] Ibid, h. 250.
[30]
Fadh bin ‘Abd al-Raḥmān al-Rūmī, Buḥuth fi Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu,
(tnp, Maktabah al-Taubah, tth), h. 9
[31] Kamilah, Faham,
Tafsir, Ta'wil Dan Tarjamah, http://hamid-kamilah.blogspot.com/2014/03/faham-tafsir-tawil-dan-tarjamah-oleh-drs.html,
(diakses pada 10 maret 2015, pukul 02:29 )
[32] Khalilullah
Zanwar, Tafsir, Ta’wil, Dan Terjemah, http://fathulilm.blogspot.com/2013/05/tafsir-ta’wil-dan-terjemah.html,
(diakses pada 10 maret 2015, pukul 01:11)
Tafsir
secara bahasa mengikuti wazan “Taf’īl”, berasal dari akar kata fasara
(فسر) atau al-fasr yang berarti
menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.
Dalam Kamus Lisānu al-‘Arab dinyatakan: kata al-fasr berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-tafsīr berarti
menyingkapkan maksud sesuatu lafaẓ yang mushkil atau pelik (KBBI: jarang ada,
aneh, tidak biasa).[2]
b. Al-Zarkashi:
Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Dari beberapa pengertian diatas penulis lebih
cenderung memilih pengertian yang dikemukakan oleh Al-Zarqāni, dikarenakan
pengertian itu menurut penulis lebih tepat.
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu.
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
(QS. ‘Ali ‘Imran: 7).[7]
Tetapi
kebanyakan Ulama’ membagi Tafsir
menjadi tiga kategori, yaitu dilihat dari sumbernya, metodenya, dan coraknya.
2. Tafsir
Dilihat Dari Metodenya
a. Metode Tahlili
(Analisis)
Menurut Baqīr al-Shadr yang kami kutip dari tulisan
Forum karya ilmiah
purna siswa 2011 bahwa metode ini dinamakan sebagai metode Tajzi’ī. Metode
ini terbilang sebagai metode yang paling tua dan yang paling sering
digunakan para Mufassir.
Metode tahlili menitik beratkan pada uraian penafsiran yang detail,
mendalam, dan komprehensif sehingga dapat memberikan berbagai informasi tentang
teks, sejarah, linguistik,
kondisi sosial dan hal-hal yang berkaitan dengan teks yang ditafsirkan.[20]
Yaitu metode yang membahas
ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang ditetapkan.[21]
Menurut al-Farmāwī yang kami kutip dari tulisan Forum karya ilmiah purna siswa
2011 bahwa metode maudhu’i dibagi menjadi dua macam bentuk. Pertama, metode
maudhu’i plural yaitu metode yang membahas satu surat al-Qur’an secara
menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya
secara garis besar dengan cara menghubungkan ayat satu dengan ayat yang
lainnya.
Yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas
tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.[22]
Menurut Fahd ibn ‘Abdu al-Raḥman al-Rūmī yang penulis kutip dari tulisan Forum
karya ilmiah purna siswa 2011 bahwa penyajian tafsir yang menggunakan metode
ini tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pembaca dan
pendengar seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an.
Yaitu membandingkan teks (Nash) ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau
lebih, dan memiliki redaksi berbeda bagi satu kasus yang sama.[23]
Corak ini berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan keadaan sosial
masyarakat yang ada disekitar penafsir.
Corak tafsir ini menitik beratkan pada pendekatan
retorika[28]
keindahan bahasa (sastra), sehingga sering dan bahkan melupakan sisi lain dari
al-Qur’an yang layak untuk ditampilkan seperti kemukjizatan yang terkandung
dalam makna-maknanya, ajaran syariatnya, hukum-hukumnya, dan berbagai pedoman
kehidupan umat manusia lainnya.[29]
1.
Tafsir
bersifat lebih umum dan lebih banyak penggunaanya dari pada ta’wil dalam lafaẓ
3.
Tafsir
merupakan penjelasan lafaẓ yang hanya memiliki satu arah kemungkinan maknanya,
sedangkan ta’wil adalah penjelas terhadap lafaẓ ke satu arah makna dari
berbagai kemungkinan makna yang ada berdasarkan suatu dalil yang mendukung.
D.
Sikap Para
Ulama’ Tentang Ta’wil dan Tafsir
Memalingkan suatu lafad dari maknanya yang jelas pada
makna yang tidak jelas karena ada dalil yang membarenginya (Al-Dzahabi, 1976 :
17-18).
Bagi mereka
yang tidak membolehkan ta’wil beralasan, bahwa ayat tersebut dibaca dengan
tanda wakaf (berhenti) pada kata “Allah” (إِلاَّ اللهُ ) “… tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
kecuali Allah”. Jadi, hanya Allah saja yang mengetahui ta’wilnya, sedangkan
orang-orang yang berpengetahuan mendalam cukup mengimani keberadaannya dan
menyerahkan pengertiannya kepada Allah.
E.
Tujuan dan
Faedah
Penafsiran Al-Qur’an
1. Untuk mempermudah memahami kandungan isi al-Qur’an.
4. Untuk
mengetahui aspek-aspek kemukjizatan yang terdapat di dalam al-Qur’an.
6. Untuk
berpegang teguh kepada buhul tali (agama) yang kokoh taat, dan untuk mencapai
kebahagiaan yang sesungguhnya.
Jika kita melihat dari pembagian ilmu tafsir diatas maka
tidaklah mustahil bagi kita untuk bisa paham semua ilmu yang ada didunia ini,
mulai dari ilmu sains, filsafat, tasawuf, sosial, teknologi, dan masih banyak
lagi.
Anwar. Rosihon. Ilmu Tafsīr, Bandung:
Pustaka Setia, 2005.
Ṣabūnī (Al). Muhammad ‘Ali. al-Tibyān
Fī ‘Ulūmi al-Qur’an, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islīmiyah, 2003.
[3] Prof. Dr. H. Yuhanar Ilyas, Lc.,
MA., Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), h. 270
[7]
Muhammad ‘Abdul ‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’an, (ttp,
tnp, tth), h. 4, juz. 2
[9]
Khālid ‘Abdu al-Rahmān al-‘Ak, Uṣulu al-Tafsīr wa Qawa’iduhu, (Beirut:
Dar al-Nafais, 186), h. 51
[13]
Muhammad ‘Ali al-Ṣabūnī, al-Tibyān Fī ‘Ulūmi al-Qur’an, (Jakarta: Dâr
al-Kutub al-Islīmiyah, 2003), h. 67
[15] Ibid, h. 151
[23] Ibid, h. 65
[25] Ibid, h. 244.
[30]
Fadh bin ‘Abd al-Raḥmān al-Rūmī, Buḥuth fi Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu,
(tnp, Maktabah al-Taubah, tth), h. 9
[32] Khalilullah
Zanwar, Tafsir, Ta’wil, Dan Terjemah, http://fathulilm.blogspot.com/2013/05/tafsir-ta’wil-dan-terjemah.html,
(diakses pada 10 maret 2015, pukul 01:11)