1735262163458753
Loading...

URGENSI PENAFSIRAN AL-QUR’AN DILIHAT DARI SISI ILMU TAFSIR DAN ILMU TA’WIL

URGENSI TAFSIR DILIHAT DARI SISI ILMU TAFSIR DAN TA’WIL

Oleh: Khoiruddin Aziz dan Ahmad Murtadlo

I.       Pendahuluan
Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam dengan perantaraan Malaikat Jibril kemudian ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir.
Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Tuhan, bahasa yang sulit dan rumit, Sehingga tidak semua orang bisa memahami al-Qur’an. karena itulah para ulama’ menciptakan ilmu-ilmu al-Qur’an untuk memudahkan mempelajari al-Qur’an, diantaranya adalah ilmu Nasīkh Mansūkh, Asbābu al-Nuzūl, Muhkam Mutashabih, Tafsir, Ta’wil.
Dalam ilmu-ilmu al-Qur’an, ada satu ilmu yang menjadi pokok ilmu yang digunakan untuk mempelajari al-Qur’an yaitu ilmu tafsir. Seseorang yang hendak mempelajari atau hendak mengetahui makna al-Qur’an hendaklah ia mempelajari ilmu tafsir terlebih dahulu, karena ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mempermudah memahami keterangan dan penjelasan al-Qur’an.[1]
Ada sebuah ilmu yang berkaitan erat dengan ilmu tafsir, ilmu itu adalah ilmu Ta’wil. Ilmu ta’wil sebetulnya sama dengan tafsir, yaitu sama-sama digunakan untuk mempermudah memahami al-Qur’an, tetapi masih banyak kontroversi yang terdapat pada tafsir dan ta’wil.
II.    Urgensi Tafsir Al-Qur’an dilihat dari Tafsir dan Ta’wil
Dalam mengetahui urgensi ilmu tafsir, dapat dilihat dari berbagai sisi, tapi dalam makalah ini penulis hanya akan menguraikan urgensi tafsir dilihat dari ilmu tafsir dan ta’wil. Kenapa penulis memilih ilmu tafsir dan ta’wil, karena tafsir maupun ta’wil adalah inti dari ilmu yang digunakan untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an. Jadi menurut penulis disini cara untuk mengetahui urgensi dari penafsiran al-Qur’an secara jelas yaitu dengan mengetahui ilmu tafsir dan ta’wil.
A.    Pengertian Tafsir dan Ta’wil
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “Taf’īl”, berasal dari akar kata fasara (فسر) atau al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Dalam Kamus Lisānu al-‘Arab dinyatakan: kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-tafsīr berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaẓ yang mushkil atau pelik (KBBI: jarang ada, aneh, tidak biasa).[2]
Dari segi terminologis (istilah) ada beberapa definisi tentang tafsir, diantaranya adalah:
a.       Abu Hayyan: Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaẓ-lafaẓ al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari lafaẓ-lafaẓ tersebut, baik kata perkataan maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
b.      Al-Zarkashi: Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
c.       Al-Zarqāni: Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi makna yang terkandung didalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah sebatas kemampuan manusia.[3]
Dari beberapa pengertian diatas penulis lebih cenderung memilih pengertian yang dikemukakan oleh Al-Zarqāni, dikarenakan pengertian itu menurut penulis lebih tepat.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tentang makna tafsir merupakan sebuah istilah yang dipakai dalam upaya memahami al-Qur’an. Dari definisi-definisi diatas tampak bahwa tafsir merupakan suatu istilah yang tidak dapat lepas dari tiga konsep yang terkandung didalamnya. Pertama, kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami dan menjelaskan kandungan al-Qur’an. Kedua, ilmu-ilmu yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut. Ketiga, ilmu yang merupakan hasil kegiatan ilmiah tersebut.[4] Ketiga konsep ini tidak dapat dipisahkan karena berperan sebagai proses, alat, dan hasil yang dicapai dalam sebuah penafsiran.
Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata “Ail” yang berarti keasal, dan ada juga yang mengatakan bahwa ta’wil berasal dari kata “Aul” yang artinya memalingkan, memalingkan ayat dari makna ḍahir kepada sesuatu makna yang dapat diterima.[5] Pendapat lain mengatakan bahwa kata ta’wil berasal dari kata al-awla (الاول)  yang mengikuti pola taf’il yang berarti kembali kepada keadaan semula.[6] Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menerangkan tentang ta’wil, salah satunya ayat berikut ini :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. ‘Ali ‘Imran: 7).[7]
Dalam ayat diatas ta’wil diartikan sebagai sebuah tafsiran, yang hanya Allah yang dapat mengetahui ta’wil.[8] Sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa makna ta’wil itu elastis, tergantung pada tempatnya atau yang menjadi sasarannya.
Sedangkan ta’wil menurut istilah yaitu mengalihkan lafal atau makna yang belum jelas pada lafal atau makna yang lebih jelas yang masih bersangkutan dengan makna asalnya.[9]
Menurut al-Jurjani yang penulis kutip dari tulisan Dedi Supriadi bahwa ta’wil yaitu memalingkan suatu lafal dari makna lahiriah terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan al-Kitab dan Al-Sunnah. Dan menurut al-Shddiqi ta’wil yaitu mengembalikan sesuatu pada ghayahnya (tujuannya).[10]
Sedangkan Ulama’-ulama’ pada abad pertengahan yang terdiri dari ahli Fiqih, ahli Hadith, para Teolog, dan kalangan sufi maengartikan ta’wil sebagai upaya pengarahan lafal dari maknanya yang kuat ke makna lafal yang lemah berdasarkan dalil yang ada.[11] Dari definisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa ta’wil yaitu mengganti suatu makna dari lafal yang sulit dipahami pada lafal yang mudah dipahami dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadith.
B.     Pembagian Tafsir
Khālid ‘Abdu al-Rahmān al-‘Ak membagi tafsir menjadi empat bagian, yaitu: Tafsir dapat diketahui oleh orang arab dari perkataannya, tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak megetahui tafsir, Tafsir diketahui oleh ulama’, Tafsir diketahui hanya oleh Allah.[12]
Tetapi kebanyakan Ulama’ membagi Tafsir menjadi tiga kategori, yaitu dilihat dari sumbernya, metodenya, dan coraknya.
1.      Tafsir Dilihat Dari Sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, Tafsir dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : Tafsīr Bi al-Riwāyah, Tafsīr Bi al-Dirāyah, Tafsīr Bi al-Ishārah.[13]
a.      Tafsīr Bi al-Riwāyah adalah Penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan al-Qur’an sendiri, penjelasan Nabi, Sahabat melalui ijtihad, dan berdasarkan pendapat Tabi’in.[14] Tafsir ini bisa juga di namakan Tafsīr Bi al-Naqli atau Tafsīr Bi al-Ma’thur.
b.      Tafsīr Bi al-Dirāyah menurut al-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan.[15] Tafsir ini bisa juga disebut dengan Tafsīr Bi al-Naqli atau Tafsīr Bi al-Ra’yi.
c.       Tafsīr Bi al-Ishārah yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang tidak sesuai dengan makna yang tampak secara lahir, dengan berdasarkan pada isyarat-isyarat tak terlihat oleh orang-orang yang sedang menjalani suluk[16], dan bisa dikompromikan dengan makna lahir.[17] Biasanya tafsir ini dilakukan oleh orang-orang sufi.
2.      Tafsir Dilihat Dari Metodenya
Jika ditelusuri perkembangan tafsir al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa garis besar penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat cara (metode), yaitu:, tahlili, Ijmali, muqaran, mauḍu’i.[18]
a.       Metode Tahlili (Analisis)
Yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[19]
Menurut Baqīr al-Shadr yang kami kutip dari tulisan Forum karya ilmiah purna siswa 2011 bahwa metode ini dinamakan sebagai metode Tajzi’ī. Metode ini terbilang sebagai metode yang paling tua dan yang paling sering digunakan para Mufassir. Metode tahlili menitik beratkan pada uraian penafsiran yang detail, mendalam, dan komprehensif sehingga dapat memberikan berbagai informasi tentang teks, sejarah, linguistik, kondisi sosial dan hal-hal yang berkaitan dengan teks yang ditafsirkan.[20]
b.      Metode Maudhu’i (tematik)
Yaitu metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang ditetapkan.[21] Menurut al-Farmāwī yang kami kutip dari tulisan Forum karya ilmiah purna siswa 2011 bahwa metode maudhu’i dibagi menjadi dua macam bentuk. Pertama, metode maudhu’i plural yaitu metode yang membahas satu surat al-Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan cara menghubungkan ayat satu dengan ayat yang lainnya.
c.       Metode Ijmali (Global)
Yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.[22] Menurut Fahd ibn ‘Abdu al-Raḥman al-Rūmī yang penulis kutip dari tulisan Forum karya ilmiah purna siswa 2011 bahwa penyajian tafsir yang menggunakan metode ini tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pembaca dan pendengar seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an.
d.      Metode Muqaran (Perbandingan)
Yaitu membandingkan teks (Nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan memiliki redaksi berbeda bagi satu kasus yang sama.[23]
3.      Tafsir Dilihat Dari Coraknya
Sejauh ini corak-corak tafsir yang dikenal oleh para Ulama’ antara lain sebagai berikut:
a.       Tafsīr Ṣufī (Tasawuf)
Corak tafsir ini adalah penafsiran yang menggunakan teori analisis sufistik atau menta’wilkan ayat al-Qur’an dari balik teks dan berdasarkan isyarat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya.[24] Tafsir sufi juga dapat dikatakan Tafsīr Bi al-Ishārah.
b.      Tafsīr Ahkām (Fiqhi)
Tafsir ini merupakan tafsir yang digagas oleh ahli hukum (fuqaha’) yang berorientasi pada seputar persoalan-persoalan hukum islam (fiqh) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh.[25]
c.       Tafsīr ‘Ilmiy (pengetahuan)
Tafsir yang bercorak seperti ini berusaha menafsirkan ayat al-Qur’an untuk mengukuhkan berbagai istilah ilmu pengetahuan dan berusaha melahirkan berbagai ilmu baru dari al-Qur’an.[26]
d.      Tafsīr Falsafī (Filsafat)
Corak ini adalah sebuah penafsiran ayat al-Qur’an dengan Frame filosofis, baik yang berusaha untuk melakukan sistesis (perpaduan) dan sinkretiasi (penyesuaian) antara teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan al-Qur’an.[27]
e.       Tafsīr al-‘Adab al-Ijtimā’ī (sosial kemayarakatan)
Corak ini berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan keadaan sosial masyarakat yang ada disekitar penafsir.
f.       Tafsīr al-Bayānī (Sastra)
Corak tafsir ini menitik beratkan pada pendekatan retorika[28] keindahan bahasa (sastra), sehingga sering dan bahkan melupakan sisi lain dari al-Qur’an yang layak untuk ditampilkan seperti kemukjizatan yang terkandung dalam makna-maknanya, ajaran syariatnya, hukum-hukumnya, dan berbagai pedoman kehidupan umat manusia lainnya.[29]
C.    Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Perbedaan tafsir dengan ta’wil sebetulnya sudah dapat diketahui ketika kita melihat definisi-definisi diantara keduanya. Beberapa diantara pendapat ulama’ mengenai perbedaan ulama’ yang mengetengahkan perbedaan tafsir dengan ta’wil adalah sebagai berikut:[30]
1.      Tafsir bersifat lebih umum dan lebih banyak penggunaanya dari pada ta’wil dalam lafaẓ
2.      Ta’wil lebih luas penggunaannya dari pada tafsir, karena ta’wil bisa digunakan untuk sebuah kalam atau kalimat dan yang lainnya. Sedangkan tafsir hanya digunakan pada kalam atau kalimat saja.
3.      Tafsir merupakan penjelasan lafaẓ yang hanya memiliki satu arah kemungkinan maknanya, sedangkan ta’wil adalah penjelas terhadap lafaẓ ke satu arah makna dari berbagai kemungkinan makna yang ada berdasarkan suatu dalil yang mendukung.
4.      Tafsir adalah sesuatu yang berhubungan dengan riwayat, sedangkan ta’wil berhubungan dengan penalaran (dirayah).
D.    Sikap Para Ulama’ Tentang Ta’wil dan Tafsir
Para ulama dalam menyikapi ta’wil ini berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Penulis mengutip dari salah satu blog yang ada di internet bahwa Ulama salaf itu terbagi dalam dua kelompok dalam memahami ta`wil. Pertama menurut mereka, bahwa ta`wil itu sinonim dengan tafsir dan kedua ta`wil itu esensi kalam (ucapan). Ulama Mutaakhkhirin (yang tergabung di dalamnya ahli fiqih, ahli kalam, ahli tasauf, dll) memaknai ta`wil
صرف اللفظ عن المعنى الراجح الى المعنى المرجوح لدليل يقترن به
Memalingkan suatu lafad dari maknanya yang jelas pada makna yang tidak jelas karena ada dalil yang membarenginya (Al-Dzahabi, 1976 : 17-18).
Dua pengertian tentang ta`wil di atas memberikan dampak yang berbeda terhadap sikap ulama. Ulama salaf merasa keberatan melakukan pena`wilan al-Qur'an dalam arti mengungkap esensinya dan memalingkan dari makna yang jelas pada yang tidak jelas. Imam Malik misalnya, beliau enggan membenarkan seseorang berkata, "langit menurunkan hujan", karena menurutnya, bahwa sesungguhnya Allahlah yang menurunkan hujan itu. (Quraish Shihab, 1992 : 97).
Quraish Shihab, (1992 :109-110) mengistilahkan ta`wil dengan penjelasan metaforis. Menurutnya, bahwa ulama salaf  merasa puas dengan mengungkapkan Allah a'lam bi muradih (Allah Maha mengetahui maksud-Nya). Tetapi hal ini sebenarnnya tidak memuaskan banyak pihak apalagi pada dewasa ini. Karena itu sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dari penjelasan literal (tafsir) beralih pada penjelasan metaforis (ta'wil). Dan pada kenyataannya tafsir seringkali mempersempit makna, berbeda dengan ta`wil dapat memperluas makna dan tidak menyimpang.[31]
Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan ta’wil dalam 5 bagian, yaitu: Pertama, Menolak ta’wil dan hanya membenarkan apa yang tertulis secara tekstual dalam nas itu sendiri. Kedua, Berpedoman pada kekuatan akal dan kurang memperhatikan teks itu, Inilah yang banyak memperluas wilayah ta’wil. Ketiga, Menjadikan akal sebagai dasar pokok, Apa yang terdapat dalam suatu teks kelihatan bertentangan dengan akal akan ditolak. Keempat, Menjadikan teks sebagai dasar pokok dan tidak sampai mendalami akal pemikiran. Kelima, Moderat dengan berusaha mengkompromikan antara akal dan nas yang masing-masing mempunyai dasar dan saling melengkapi, Kelompok ini mengingkari adanya pertentangan antara akal dan syara’.
Keanekaragaman pendapat dan sikap tersebut, ada yang berlebih-lebihan, dan ada pula yang sedang-sedang, baik dalam menerima ataupun dalam menolak. Namun, secara umum sikap ulama’ terhadap ta’wil ini adalah terbagi atas dua, ada yang menerima dan ada yang menolak. Perbedaan sikap tersebut terjadi karena perbedaan cara mereka memahami ayat 7 surah Ali Imran.
وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Bagi mereka yang tidak membolehkan ta’wil beralasan, bahwa ayat tersebut dibaca dengan tanda wakaf (berhenti) pada kata “Allah” (إِلاَّ اللهُ ) “… tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah”. Jadi, hanya Allah saja yang mengetahui ta’wilnya, sedangkan orang-orang yang berpengetahuan mendalam cukup mengimani keberadaannya dan menyerahkan pengertiannya kepada Allah.
Adapun ulama’ yang membolehkan ta’wil itu beralasan bahwa ayat tersebut dibaca  وما يعلم تأويله الا الله والراسخون فى العلم (… tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Jadi, di samping Allah yang mengetahui ta’wil itu juga orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam.[32]
E.     Tujuan dan Faedah Penafsiran Al-Qur’an
Sangat banyak sekali tujuan dan faedah yang dimiliki oleh penafsiran al-qur’an, diantaranya sebagai berikut:
1.      Untuk mempermudah memahami kandungan isi al-Qur’an.
2.      Mengetahui maksud Allah yang terdapat di dalam syari’atnya yang berupa perintah dan larangan, sehingga keadaan manusia menjadi lurus dan baik.
3.      Untuk mengetahui petunjuk Allah mengenai aqidah, ibadah, dan akhlak agar masyarakat berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
4.      Untuk mengetahui aspek-aspek kemukjizatan yang terdapat di dalam al-Qur’an.
5.      Untuk menyampaikan seseorang kepada derajat ibadah yang paling baik.
6.      Untuk berpegang teguh kepada buhul tali (agama) yang kokoh taat, dan untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya.
III. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis tuliskan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Urgensi Penafsiran jika dilihat dari sisi ilmu tafsir dan ilmu ta’wil maka sangatlah urgen sekali. Dikarenakan ilmu tafsir dan ta’wil sangatlah penting sekali bagi seseorang guna untuk memahami makna dari al-Qur’an. Janggal rasanya jika seseorang memahami al-Qur’an tapi tanpa mempelajari atau mengetahui ilmu tafsir dan ilmu ta’wil. Bagaikan nelayan tanpa ikan.
Jika kita melihat dari pembagian ilmu tafsir diatas maka tidaklah mustahil bagi kita untuk bisa paham semua ilmu yang ada didunia ini, mulai dari ilmu sains, filsafat, tasawuf, sosial, teknologi, dan masih banyak lagi. 

Daftar Pustaka
 ‘Ak (Al).  Khālid ‘Abdu al-Rahmān, Uṣulu al-Tafsīr wa Qawa’iduhu, Beirut: Dar al-Nafais, 1994.
Anwar. Rosihon. Ilmu Tafsīr, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Baidan. Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Efendi, Nur. dan Muhammad Fathurrahman. Studi al-Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2014.
Ilyas. Yuhanar. Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013.
Kamilah. Faham, Tafsir, Ta'wil Dan Tarjamah, http://hamid-kamilah.blogspot.com/2014/03/faham-tafsir-tawil-dan-tarjamah-oleh-drs.html, (diakses pada 10 maret 2015, pukul 02:29 ).
Qaṭṭān (al), Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011.
Rūmī (al). Fadh bin ‘Abd al-Raḥmān. Buḥuth fi Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, tnp, Maktabah al-Taubah, tth.
Ṣabūnī (Al). Muhammad ‘Ali. al-Tibyān Fī ‘Ulūmi al-Qur’an, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islīmiyah, 2003.
Siswa. Karya Ilmiah Purna. al-Qur’an Kita, kediri: Lirboyo Press, 2011.
Supriadi. Dedi. Ushul Fiqh Perbandingan, Bandung: Pustaka Setia, 2013
Zanwar. Khalilullah. Tafsir, Ta’wil, Dan Terjemah, http://fathulilm.blogspot.com/2013/05/tafsir-ta’wil-dan-terjemah.html, (diakses pada 10 maret 2015, pukul 01:11).
Zarqānī (al). Muhammad ‘Abdul ‘Aẓīm. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’an, ttp, tnp, tth.

[1] KBBI, (Edisi ke-4), h. 1373
[2] Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 455-456
[3] Prof. Dr. H. Yuhanar Ilyas, Lc., MA., Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), h. 270
[4] Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 190
[5] Dr. Nur Efendi, M.Ag. dan Muhammad Fathurrahman, M.Pd.I., Studi al-Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2014), h. 288
[6] Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 191
[7] Muhammad ‘Abdul ‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’an, (ttp, tnp, tth), h. 4, juz. 2
[8] Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 191
[9] Khālid ‘Abdu al-Rahmān al-‘Ak, Uṣulu al-Tafsīr wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dar al-Nafais, 186), h. 51
[10] Dedi Supriadi, Ushul Fiqh Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 339
[11] Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 192
[12] Khālid ‘Abdu al-Rahmān al-‘Ak, Uṣulu al-Tafsīr wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dar al-Nafais, 186), h. 339
[13] Muhammad ‘Ali al-Ṣabūnī, al-Tibyān Fī ‘Ulūmi al-Qur’an, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islīmiyah, 2003), h. 67
[14] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsīr, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 143
[15] Ibid, h. 151
[16] Suluk yaitu 1. Jalan ke arah kesempurnaan batin; tasawuf; tarekat; mistik: ilmu. 2. Pengasingan diri; khalwat;
[17] Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 241
[18] Dr. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 3
[19] Ibid, h. 31
[20] Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 227
[21] Dr. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 151
[22] Ibid, h. 13
[23] Ibid, h. 65
[24] Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 242.
[25] Ibid, h. 244.
[26] Ibid, h. 248.
[27] Ibid, h. 246.
[28] Retorika yaitu 1. Keterampilan berbahasa secara efektif; 2. Studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang-mengarang; 3. Seni berpidato yg muluk-muluk dan bombastis.
[29] Ibid, h. 250.
[30] Fadh bin ‘Abd al-Raḥmān al-Rūmī, Buḥuth fi Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, (tnp, Maktabah al-Taubah, tth), h. 9
[31] Kamilah, Faham, Tafsir, Ta'wil Dan Tarjamah, http://hamid-kamilah.blogspot.com/2014/03/faham-tafsir-tawil-dan-tarjamah-oleh-drs.html, (diakses pada 10 maret 2015, pukul 02:29 )
[32] Khalilullah Zanwar, Tafsir, Ta’wil, Dan Terjemah, http://fathulilm.blogspot.com/2013/05/tafsir-ta’wil-dan-terjemah.html, (diakses pada 10 maret 2015, pukul 01:11)

Kumpulan Makalah 8590299326920723195

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts

Twitter

Random Posts

Jasa Pembuatan Makalah

Flickr Photo

Recent Comments