Mengenal BID"AH
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/06/mengenal-bidah.html
Banyak orang yang berkerut keningnya ketika pertama kali mendengar
kata ini. Bermacam reaksi muncul dari seseorang ketika diingatkan
tentang masalah ini. Ada yang menerimanya dan memperbaiki amalan
ibadahnya dengan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Ada pula yang
terlalu cepat menutup diri untuk memahaminya sehingga lebih sering
berkata, “Ah… bisanya cuma membid’ah-bid’ahkan.”
Adapula yang memang sudah tidak asing
dengan kata ini, tapi ternyata memiliki pemahaman yang salah dalam
memaknainya. Ketahuilah saudariku! Pembahasan tentang bid’ah bukanlah
milik golongan tertentu. Bahkan setiap muslim harus mempelajarinya dan
mewaspadainya dan tidak menutup diri dari pembahasan ini.
Karena
Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة
“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no. 867)
Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة
“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
Sama seperti pembahasan tentang kata sunnah pada artikel yang lalu,
maka sungguh pembahasan ini sangat (sangat) penting, karena jika tidak
memahaminya atau bahkan salah memaknainya, maka dapat mengakibatkan
kesalahan dalam beramal dan beribadah. Semoga Allah memberikan
kelapangan dalam dada-dada kita, untuk menerima kebenaran yang
diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam.
Makna Bid’ah Secara Bahasa
Makna bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu tanpa ada
contoh sebelumnya. Penggunaan kata bi’dah secara bahasa ini di
antaranya ada dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (Al Ahqaf [46]: 9)
Dan juga firman-Nya,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Dialah Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqoroh [2]: 117)
Makna Bid’ah Secara Istilah
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Imam Syathibi, makna bid’ah
secara istilah adalah suatu cara baru dalam agama yang menandingi
syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam
beribadah kepada Allah.
Dari definisi ini, kita perlu memperjelasnya menjadi beberapa poin.
Pertama, ‘suatu cara baru dalam agama’. Hal ini
berarti cara atau jalan baru tersebut disandarkan kepada agama. Adapun
cara baru yang tidak dinisbatkan kepada agama maka itu bukan termasuk
bid’ah. (akan dibahas lebih rinci di bawah).
Kedua, ‘menandingi syari’at’. Maksudnya amalan
bid’ah mempersyaratkan amalan tertentu yang menyerupai syari’at,
sehingga ada beban yang harus dipenuhi. Seperti misalnya puasa mutih,
yasinan setiap hari kamis (malam jum’at), puasa nisyfu sya’ban dan
lain-lain, Perlu diperhatikan pula bahwa pada umumnya, setiap bid’ah
juga memiliki dalil. Namun, janganlah terjebak dengan dalil yang
diberikan, karena ada dua kemungkinan dari dalil yang diberikan.
Pertama, dalil tersebut bersifat umum namun digunakan dalam amalan
khusus. Kedua, bisa jadi dalil yang digunakan adalah palsu. Oleh karena
itu, wahai saudariku, menuntut ilmu agama sangat penting melebihi
kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Ilmu agama dibutuhkan di
setiap tarikan nafas kita karena dalil dibutuhkan untuk setiap ibadah
yang kita lakukan. Merupakan kesalahan ketika kita melakukan ibadah
terlebih dahulu baru mencari-cari dalil. Inilah yang membuat
pengambilan dalil tersebut menjadi tidak tepat karena sekedar mencari
pembenaran pada amalan yang sebenarnya bukan termasuk syari’at.
Ketiga, ‘tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah’.
Artinya, setiap bid’ah merupakan tindakan berlebih-lebihan dalam
agama, sehingga dengan adanya bid’ah tersebut maka beban seorang muslim
(mukallaf) akan bertambah. Salah satu contohnya mengkhususkan
puasa nisyfu sya’ban, padahal puasa ini tidak disyari’atkan dalam
Islam. Sungguh merugi bukan? Kita berlindung kepada Allah dari segala
perbuatan sia-sia.
Mewaspadai Bid’ah
Dari definisi yang telah disebutkan menunjukkan bid’ah tidak lain
merupakan perbuatan yang bertujuan menandingi syari’at. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu.” (Al Maaidah [5]: 3)
Maka tidak perlu lagi bagi seseorang untuk membuat cara baru dalam
agama atau mencari ibadah-ibadah lain yang itu adalah kesia-siaan.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
منْ عمِل عملا ليس عليه اَمرنا فهو ردّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس مِنه فهوردٌّ
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, ada tiga unsur yang membuat sesuatu dapat dikatakan sebagai bid’ah.
Pertama, mengada-adakan. Ini diambil dari lafadz man ahdatsa
(من أحدث). Akan tetapi membuat sesuatu yang baru bisa terjadi dalam
perkara dunia ataupun agama. Maka diperlukan unsur yang kedua.
Kedua, perkara baru tersebut disandarkan pada agama. Ini diambil dari lafadz fii amrina (في أمرنا). Unsur kedua ini perlu dilengkapi unsur ketiga. Karena jika tidak, akan timbul pertanyaan atau keraguan, “Apakah semua perkara baru dalam agama tercela?”
Ketiga, perkara tersebut bukan bagian dari agama. Ini diambil dari lafadz ma laisa minhu (ما ليس مِنه). Artinya, tidak ada dalil yang sah bahwa hal tersebut pernah ada.
Setiap Bid’ah Adalah Sesat
Ketahuilah saudariku. Setiap bid’ah adalah sesat. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة
“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no. 867)
Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة
“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
Adapun pembagian yang ada pada bid’ah, maka tetap menunjukkan
kesesatan bid’ah tersebut. Maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah
sayyi’ah dan bid’ah hasanah adalah sebuah kesalahan sebagaimana penulis
jelaskan sebab-sebabnya dalam artikel sebelumnya.
Imam Syathibi rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya
pembagian bid’ah (yang tetap menetapkan kesesatan seluruh bid’ah) yang
dapat memperjelas kerancuan yang ada di masyarakat. Yang pertama adalah
bid’ah hakiki yang perkaranya lebih jelas (kecuali bagi orang-orang
yang taklid dan tidak mau belajar) karena bid’ah hakiki tidak memiliki
sandaran dalil syar’i sama sekali. Semisal menentukan kecocokan
seeorang untuk menjadi suami atau istri dengan tanggal lahir atau
melakukan ritual-ritual khusus dalam acara pernikahan yang tidak ada
landasannya dalam syari’at sama sekali. Adapun jika berkaitan dengan
bid’ah idhofi maka sebagian orang mulai rancu dan bertanya-tanya.
Misalnya, bid’ah dzikir berjama’ah, atau tahlilan. Banyak orang
terburu-buru dengan mengatakan, “Masa dzikir dilarang sih?” atau “Kok membaca Al Qur’an dilarang?” Maka kita perlu (sekali lagi) memahami lebih dalam tentang bid’ah ini.
Bid’ah idhofi ini mempunyai dua sisi, sehingga apabila dilihat pada
salah satu sisi, maka seakan-akan itu sesuai dengan sunnah karena
berdasarkan dalil. Namun bila dilihat dari sisi lain, amalan tersebut
bid’ah karena hanya bersandar kepada syubhat, tidak kepada dalil atau
tidak disandarkan kepada sesuatu apapun. Adapun bila dilihat dari sisi
makna, maka bid’ah idhofi ini secara asal memiliki dalil. Akan tetapi
dilihat dari sisi cara, sifat atau perinciannya, maka dalil yang
digunakan tidak mendukungnya, padahal tata cara amalan tersebut
membutuhkan dalil. (Majalah Al-Furqon edisi 12 tahun V). Maka jelas
yang dilarang bukanlah dzikir atau membaca Al-Qur’an untuk contoh dalam
masalah ini. Akan tetapi, kebid’ahan tersebut terletak pada tata cara,
sifat atau perincian pada ibadah tersebut yang tidak ada contohnya dari
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan
melafadzkan dzikir bersama-sama dipimpin satu imam atau membaca
Al-Qur’an untuk orang mati. Semuanya ini adalah cara baru yang tidak
pernah dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Catatan penting dalam masalah ini adalah dalam perkara ibadah (yaitu
apa-apa yang kita niatkan untuk mendekatkan diri kita pada Allah
Subhanahu wa Ta’ala), kita harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas
hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan yang dicontohkan
dan diperintahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah saudariku, sedikit pengantar untuk memahami tentang kata
bid’ah dan bahayanya. Pembahasan tentang bid’ah memiliki lingkup yang
sangat luas – yang dengan keterbatasan penulis – tidak dapat dituangkan
seluruhnya dalam tulisan kali ini. Untuk memperdalam pembahasan,
silakan melihat kembali kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan.
Semoga Allah Ta’ala mempermudah kita dalam memahami pembahasan ini dan
menerimanya dengan lapang dada serta menjadikan kita orang-orang yang
berusaha kuat menjauhi perkara baru dalam agama. Aamiin ya mujibas saailin.
Maraji':
- Majalah Al Furqon edisi 12 tahun V/rajab 1427
- Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Ustadz Aris Munandar
- Ringkasan Al I’tisham – terj -, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf, Media Hidayah, Cet I, thn 2003