ASBABUL WURUD
http://kaweruh99.blogspot.com/2015/06/asbabul-wurud.html
ASBABUL WURUD HADIS
Oleh
: Achmad Jalaluddin, Ahmad Iwanuridlwan,
Joko
Supriyanto dan Muhammad Abdul Lathif
I. Pendahuluan
Hadis
adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur`an. Dengan berpedoman pada
hadis, seseorang akan dapat memahami
ajaran agama yang terdapat dalam al-Qur`an secara benar. Saat manusia
dihadapkan pada permasalahan hukum yang tidak ditemukan jawabannya secara rinci
dalam al-Qur`an, mereka diperintahkan untuk mencari jawabannya dalam hadis-hadis
nabi.
Berawal
dari sini, maka hadis nabi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai
penjelas isi al-Qur`an. Untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an terkadang
membutuhkan penjelasan-penjelasan lebih lanjut. Maka kehadiran hadis pada
kondisi seperti ini sangat dibutuhkan. Penjelasan al-Qur`an yang bersumber dari
hadis, merupakan satu-satunya referensi yang sah. Atau dengan kata lain, hanya
penjelasan dari nabi itulah yang semestinya harus dijadikan sebagai landasan
hukum untuk memahami al-Qur`an. Jika dalam kenyataannya ada beberapa penjelasan
selain dari hadis, maka penjelasan itu harus dinomor duakan. Penjelasan lain
selain hadis tidak boleh mengalahkan penjelasan yang berasal dari hadis nabi.
Permasalahan
selanjutnya adalah untuk memahami sebuah hadis itu sendiri juga membutuhkan
ilmu. Untuk memahami sebuah hadis, dibutuhkan ilmu khusus yang mengkaji tentang
seluk beluk yang berubungan dengan hadis itu sendiri. Dan salah satu ilmu yang
dibutuhkan dalam hal ini adalah ilmu asbabul wurud.
II. Ilmu
Asbabul Wurud
A. Pengertian
Ilmu Asbabul Wurud
Asbabul wurud dalam bahasa Arab (اسباب
الورود) terdiri dari dua kalimat, asbāb, dan al-wurūd. Asbab
(اسباب)
adalah bentuk jama’ dari kata dasar sabab (سبب),
yang memiliki persamaan kata dengan al-ḥablu (الحبل),[1]
yang artinya tali atau saluran. Maksudnya adalah sesuatu yang menghubungkan
antara satu benda ke benda yang lain.[2]
Sedangkan menurut istilah adalah segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada
tujuan.[3]
Atau dapat pula diartikan sebagai suatu jalan untuk menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa adanya suatu pengaruh apapun dalam hukum itu sendiri. Sedangkan
kata wurūd (ورود) berarti datang atau
sampai.
Secara ḥarfiyyah atau bahasa, asbabul wurud artinya adalah
sebab-sebab lahirnya sebuah hadis. Dengan demikian asbabul wurud berarti sebuah
hal atau peristiwa yang melatar belakangi mengapa hadis itu sampai disabdakan
oleh Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Dalam pengertian yang lebih luas, al-Suyuṭī
merumuskan pengertian asbabul wurud hadis dengan “Sesuatu yang membatasi
arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, muṭlaq
atau muqayyad, dinasakhkan dan seterusnya” atau, “suatu arti yang
dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya”.[4]
Sedangkan ilmu asbabul wurud adalah:
علم يعرف به
السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء فيه
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menurunkan sabdanya dan
masa-masanya Nabi menuturkan itu.”[5]
B. Cara
Mengetahui Asbabul Wurud Hadis
Mengetahui
asbabul wurud sebuah hadis berarti mengetahui isi kandungan hadis secara
kontekstual. Pemahaman hadis yang didasarkan pada asbabul wurud akan membantu
memahami makna yang terkandung pada hadis secara benar.
Di antara tema pokok yang dipelajari dalam ilmu asbabul wurud
adalah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya
sebuah hadis. Adapun cara untuk mengetahui asbabul wurud sebuah hadis hanya
dapat melalui jalur periwayatan.
Dalam
perkembangannya, asbabul wurud hadis ada yang sudah tercantum dalam hadis itu
sendiri dan ada pula yang tidak tercantum dalam hadis itu sendiri, melainkan
dalam hadis lain.
Sebagai contoh asbabul wurud hadis yang tercantum dalam hadis itu
sendiri adalah hadis sebagaimana telah diriwayatkan oleh Abu Dawud:
حدثنا
محمد بن العلاء والحسن بن على ومحمد بن سليمان الأنبارى قالوا حدثنا أبو أسامة عن
الوليد بن كثير عن محمد بن كعب عن عبيد الله بن عبد الله بن رافع بن خديج عن أبى
سعيد الخدرى أنه قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم
أنتوضأ من بئر بضاعة وهى بئر يطرح فيها الحيض ولحم الكلاب والنتن فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم الماء طهور لا ينجسه شىء[6]
Dari
Sa’id al-Khudri bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang
dilakukan Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam ‘Apakah tuan
mengambil air wudu dari sumur Buḍā’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing dan
barang-barang busuk?’ Jawab Rasulullah, ‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang
menjadikannya najis.
Sebab Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa
Sallam bersabda demikian, lantaran ada seorang sahabat yang bertanya
tentang air sumur yang dituangi darah, bangkai dan barang-barang busuk lainnya.
Adapun contoh asbabul wurud yang tidak
tercantum dalam rangkaian hadis itu sendiri, tetapi diketahui dari hadis yang
lain dengan sanad berbeda pula adalah seperti halnya hadis tentang niat hijrah:
حدثنا
الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال
أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن
الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إنما
الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى
امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه[7]
Dari 'Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi bahwa ia berkata, "Aku
mendengar Umar bin Khaththab RA berkata di atas mimbar, 'Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, 'Tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat,
balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa
yang berhijrah untuk mengharapkan dunia atau seorang perempuan untuk dinikahi,
maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan."
Dikatakan, asbabul wurud hadis
tersebut ditemukan pada hadis yang ditakhrijkan oleh at-Thabraniy dari
Ibnu Mas’ud.[8] Ibnu
Hajar menyebutkan bahwa sebab munculnya hadis
ini adalah cerita seorang muslim yang ikut berhijrah dengan maksud ingin mengawini
seorang perempuan sehingga ia disebut Muhajir Ummu Qais.[9]
C. Pentingnya
Mempelajari Ilmu Asbabul Wurud
Dari
kenyataan di atas, ilmu asbabul wurud merupakan suatu ilmu yang sangat dominan
dalam memberikan pemahaman kandungan sebuah hadis, sebagaimana dominasi ilmu
asbabun nuzul pada al-Qur`an. Dengan memahami asbabul wurud pada hadis dapat
dengan mudah dipahami apa-apa yang dikehendaki oleh kandungan hadis, seperti
mengetahui hakikat yang sebenarnya tentang masalah takhṣīṣ, adanya pengertian secara rinci pada
kata-kata yang bersifat mujmal dan sebagainya.
Pentingnya
mengetahui asbabul wurud dapat dilihat dari contoh sabda nabi tentang
diperbolehkannya tayamum untuk mengganti mandi bagi orang yang sedang junub.
Mengenai hal ini Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam bersabda:
عليك بالصعيد
فإنه يكفيك
Hendaknya
(kau bertayamum) dengan debu. Sesungguhnya hal itu cukup bagimu.
Dari contoh di atas, apabila yang disebutkan
hanya apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam,
tanpa mengetahui asbabul wurudnya, maka makna atau tujuan hadis yang
sesungguhnya tidak akan dapat diketahui. Dalam sabda nabi tersebut di atas,
tidak ada sama sekali kata-kata yang menyinggung diperbolehkannya tayamum
sebagai pengganti mandi jinabat, yang ada hanyalah bahwa Nabi hanya
memerintahkan sahabatnya untuk bertayamum.
Berbeda jika hadis tersebut diketahui asbabul
wurudnya, yaitu sebagaimana telah diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حدثنا مسدد قال حدثني يحيى بن سعيد قال حدثنا عوف قال
حدثنا أبو رجاء عن عمران قال كنا في سفر مع النبي صلى الله عليه و سلم وإنا أسرينا
حتى كنا في آخر الليل وقعنا وقعة ولا وقعة أحلى عند المسافر منها فما أيقظنا إلا
حر الشمس وكان أول من استيقظ فلان ثم فلان ثم فلان يسميهم أبو رجاء فنسي عرف ثم
عمر بن الخطاب الرابع وكان النبي صلى الله عليه و سلم إذا نام لم يوقظ حتى يكون هو
يستيقظ لأنا لا ندري ما يحدث له في نومه فلما استيقظ عمر ورأى ما أصاب الناس وكان
رجلا جليدا فكبر ورفع صوته بالتكبير فما زال يكبر ويرفع صوته بالتكبير حتى استيقظ
بصوته النبي صلى الله عليه و سلم فلما استيقظ شكوا إليه الذي أصابهم قال لا ضير أو
لا يضير ارتحلوا فارتحل فسار غير بعيد ثم نزل فدعا بالوضوء فتوضأ ونودي بالصلاة
فصلى بالناس فلما انفتل ممن صلاته إذا هو برجل معتزل لم يصل مع القوم قال ما معنك
يا فلان أن تصلي مع القوم قال أصابتني جنابة ولا ماء قال عليك بالصعيد فإنه يكفيك[10]
Dari Imran Raḍiya Allāhu ‘Anhu berkata:
“Kami dalam perjalanan bersama Nabi, dan aku duduk terpaku di atas untaku.
Hingga larut malam baru kami tertidur. Suasanan begitu sunyi hingga kami
kesiangan. Yang mula-mula bangun adalah si Fulan, kemudian si Fulan, kemudian
si Fulan yang nama-mereka disebutkan oleh Abu Raja` (Auf sendiri lupa),
kemudian Umar yang keempat. Sedangkan Nabi jika beliau tidur kami tidak berani
membangunkannya sehingga beliau bangun dengan sendirinya dan kami tidak tahu
apa yang terjadi dalam tidur beliau. Ketika Umar terbangun, dia melihat sesuatu
yang menimpa salah seorang sahabatnya. Seorang laki-laki tertimpa batu dan ia
pun bertakbir dengan suara keras sehingga Nabi terbangun. Kemudian mereka
mengadukan apa yang telah menimpa mereka. Rasululla berkata: ‘Jangan dicelakakan
dan jangan mencelakakan. Teruskan perjalanan’. Mereka berjalan tidak jauh
kemudian Nabi turun, mengaja berwudhu. Kami diajak salat, Nabi salat mengimami
orang-orang, Ketika selesaai salat, dilihatnya ada seorang laki-laki menendiri
(tidak salat). Rasulullah bertanya: ‘Apa yang mencegahmu tidak salat
bersaama-sama?’ Ia menjawab: ‘Aku terkena janabat (hadats besar) dan tidak ada
air’. Rasulullah pun bersabda: Hendaknya (kau bertayamum) dengan debu.
Sesungguhnya hal itu cukup bagimu.”[11]
Dalam
riwayat tersebut di atas dapat diketahui, Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa
Sallam memerintahkan sahabatnya yang sedang junub untuk bertayamum. Dan
juga menjadi dalil bagi fuqahā` tentang diperbolehkannya bertayamum sebagai pengganti mandi
jinabat.
D. Implikasi
Asbabul Wurud Dalam Penetapan Hukum
Dari penjelasan asbabul wurud di atas maka dapat
dilihat ada beberapa fungsi dari asbabul wurud, yaitu:
1.
Menentukan
adanya takhṣīṣ hadis yang bersifat umum.
Contoh dari
fungsi asbabul wurud sebagai takhṣīṣ terhadap sesuatu yang masih
bersifat umum dan juga menjelaskan sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum,
misalnya hadis:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم[12]
Salat
orang yang sambil duduk pahalanya setengah dari orang yang salat sambil berdiri
Asbabul wurud
dari hadis di atas adalah ketika penduduk Madinah sedang terjangkit suatu wabah
penyakit. Kebanyakan para sahabat melakukan salat sunnah sambil duduk. Ketika
itu Rasulullah datang menjenguk dan mengetahui bahwa para sahabat suka
melakukan salat sunnah sambil duduk walaupun dalam keadaan sehat. Kemudian
Rasulullah bersabda sebagaimana hadis di atas. Mendengarkan sabda Rasulullah
para sahabat yang tidak sakit kemudian salat sunnah dalam berdiri.
Dari asbabul wurud tersebut maka dapat dipahami bahwa
kata “salat” (yang masih bersifat umum pada hadis tersebut) adalah salat sunnah.
Dan dari penjelasan tersebut dapat dipahami pula bahwa boleh melakukan salat
sunnah dalam keadaan duduk namun hanya akan mendapatkan pahala setengah apabila
dalam keadaan sehat. Tetapi apabila dalam keadaan sakit dan melakukan salat
dalam keadaan duduk maka akan mendapatkan pahala penuh (sama seperti pahalanya
orang yang salat dengan berdiri). Hal ini merupakan penjelasan dari sebab-sebab
ditetapkannya suatu hukum salat sunnah sambil sambil duduk.[13]
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu
melakukan salat sambil berdiri, baik salat fardu atau salat sunnah, lalu ia
memilih salat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut
dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separuh, sebab ia
termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhṣah atau
keringanan syari’at.[14]
2.
Membatasi pengertian
hadis yang masih mutlaq.
Contoh dari asbabul wurud yang berfungsi sebagai
pembatasan terhadap pengertian mutlaq sebagaimana hadis berikut:
قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ[15]
Rasulullah bersabda: barang
siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau prilaku yang baik) dalam
Islam, maka baginya sebuah pahala dan pahala orang yang melakukan demikian
setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang
melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk), maka
baginya sebuah dosa dan dosa orang yang melakukan demikian setelahnya, tanpa
mengurangi dosa mereka sedikit pun.
Asbabul wurud hadis
tersebut adalah ketika Rasulullah bersama-sama sahabat, tiba-tiba datanglah
sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah
orang-orang miskin, melihat hal demikian Rasulullah merasa iba kepada mereka. Setelah
salat berjama’ah Rasulullah berpidato yang menganjurkan untuk berinfak. Mendengar
hal tersebut seorang sahabat keluar dan membawa sekantong makanan untuk
orang-orang miskin tersebut. Melihat hal tersebut maka Rasulullah bersabda
sebagaimana hadis di atas. Melihat asbabul wurud di atas, kata sunnah yang
masih bersifat mutlak (belum dijelaskan oleh pengertian tertentu) dapat
disimpulkan adalah sunnah yang baik, dalam hal ini adalah bersedekah.[16]
3.
Men-tafṣil
(merinci) hadis yang masih bersifat global (umum).
Contoh adalah Hadis
yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على
ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara
melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.[17]
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat
merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya Rasulullah !, Bagaimana hal itu
dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan
rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian
terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian
tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian
Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para
sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan
itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka). Ketika mendengar
komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah !,
mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah
kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut:
“wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada
Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di
bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan
keburukan seseorang.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat
Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah
para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenazah
itu jahat.[18]
4.
Menentukan ada
atau tidaknya nasikh-mansukh dalam suatu hadis.
Contoh asbabul wurud yang berfungsi untuk menentukan
adanya suatu nasikh – mansukh sebagaimana hadis berikut:
Hadis pertama :
افطر
الحاجم و المحجوم[19]
Batal puasa bagi orang yang membekam dan yang dibekam.
Hadis kedua:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم لا يفطر من قاء ولا من احتلم ولا من احتجم[20]
Rasulullah
bersabda: Tidak batal puasa orang yang muntah, orang yang bermimpi kemudian
keluar sperma dan orang yang berbekam.
Kedua hadis tersebut tampak saling bertentangan, yang
pertama menyatakan bahwa orang yang membekam dan dibekam sama-sama batal
puasanya.Sedangkan hadis kedua menyatakan sebaliknya.
Menurut Imam
Syafi’i dan Imam Ibn Hazm, hadis pertama sudah di-nasikh (dihapus) dengan hadis
kedua. Karena hadis pertama lebih awal datangnya dari hadis kedua.[21]
5.
Menjelaskan
maksud suatu hadist yang masih musykil (sulit dipahami atau janggal).
Contoh asbabul wurud yang menjelaskan maksud hadis
yang masih musykil (sulit dipahami atau janggal) adalah sebagaimana hadis
berikut:
من تشبه قوما
فهو منهم[22]
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka termasuk golongan mereka.”
Asbabul wurud dari hadis ini adalah ketika dalam
peperangan umat Islam dengan kaum kafir, Rasulullah kesulitan membedakan mereka
mana yang teman dan mana yang lawan. Kemudian Rasulullah menginstruksikan
kepada pasukan umat Islam agar memakai kode tertentu agar berbeda dengan musuh.
Dan yang masih menggunakan kode seperti musuh akan kena panah kaum pasukan
Islam.[23]
E. Kitab-kitab
Asbabul Wurud
Ilmu mengenai asbabul wurud hadis
ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat. Hanya saja ilmu ini belum
tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab. Demikian kesimpulan al-Suyuṭi dalam al-Luma’
fi Asbab Wurud al-Hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia
keilmuan waktu itu, ilmu asbabul wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli
hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri
mengenai asbabul wurud. Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul
wurud antara lain adalah:
1.
Asbabu Wurud al-Hadis
karya Abu Hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun sayang kitab tersebut tidak dapat
sampai ke tangan kita.
2.
Asbabu Wurud al-Hadis
karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jabari. Kitab tersebut juga tidak sempat sampai
ketangan kita.
3.
Asbabu Wurud
al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurud al-Hadis, karya
Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuṭi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh Yahya
Ismail Ahmad.
4.
al-Bayan wa al-Ta’rif
karya Ibnu Hamzah al-Husaini al-Damasyqi (w. 1110 H).
III.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah kami jelaskan
di depan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: ilmu asbabul wurud adalah
ilmu yang menjelaskan sebab-sebab keluarnya hadis, baik berupa peristiwa atau
keadaan yang terjadi, waktu maupun karena ada pertanyaan. Sehingga dapat
memahami kejelasan hadis baik dari segi umum dan khusus, mutlaq atau muqayyad,
atau untuk menentukan ada tidaknya naskh (penghapusan) dalam suatu hadis.
Sebagai salah satu disiplin ilmu
dalam studi hadis, asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam
rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang
mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti tekstual saja
dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.
Adapun fungsi asbabul wurudil hadis
yaitu: 1. Menentukan adanya takhṣiṣ hadis yang bersifat umum; 2.
Membatasi pengertian hadis yang masih mutlaq; 3. Men-tafṣil (merinci) hadis
yang masih bersifat global (umum); 4. Menentukan ada atau tidaknya nasikh-mansukh
dalam suatu hadi; 5. Menjelaskan maksud suatu hadist yang masih mushkil (sulit
dipahami atau janggal).
Sedangkan kitab-kitab yang banyak
berbicara mengenai asbabul wurud antara lain adalah: 1. Asbabu Wurud al-Hadis
karya Abu Hafs al-Ukbari (w. 339 H). 2. Asbabu Wurud al-Hadis karya Abu Hamid
Abdul Jalil al-Jabari. 3. Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’
fi Asbab Wurud al-Hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuṭi yang sudah
ditahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad. 4. al-Bayan wa al-Ta’rif karya Ibnu Hamzah
al-Husaini al-Damasyqi (w. 1110 H).
DAFTAR
PUSTAKA
-. al-Munjid fī al-Lughati
wa al-A’lām.
‘Asqalānī (al), Aḥmad bin
‘Alī ibnu Ḥajar, Fathul Baari, terj. Ghazirah Abdi Ummah, Jakarta Selatan:
Pustaka Azzam. 2002.
Hady. “asbab al wurud” dalam
http://hady412.wordpress.com, (diakses pada 9 Februari 2015).
Nakhrawie, Asrifin An. Asbabul
Wurud Hadis-Hadis Nabi Kajian Tentang Latar Belakang Lahirnya Sebuah Hadis. Surabaya:
Ikhtiar. tth.
Rahman, Farchur. Ikhtishar
Mushthalahul Hadis. Bandung: Alma’arif. tth.
Shiddieqy (al), Teungku
Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Imu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. 2012.
Sulaymān, Abī Dawūd. Sunan
Abī Dawūd. Beirut: Dar al-Fikr. 2011.
Suyuṭi (al) Lubab al-Nuqul fī Asbāb al-Nuzūl, dalam kitab
tafsir Abu Ṭāhir ibn Ya’qub al-Fairuz Abady. Tanwir al-Miqyas min Tafsir ibn
Abbas. Beirut: Dar Al-fiqr. tth.
Syathiry (al), Ahmad. “Asbabul Wurud
al-Hadits” dalam http://mutiarah9.blogspot.com/2014/01/asbabul-wurud-al-hadits,
(diakses pada 9 Februari 2015).
Zein, Muhammad Ma’shum. Ulumul
Hadis & Musthalah Hadis. Jombang: Darul Hikmah. 2008.
[1]
Kamus al-Munjid fī al-Lughati wa al-A’lām.
[2]
Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadis & Musthalah Hadis, (Jombang:
Darul Hikmah, 2008), 91.
[3]
Ibid..
[4]
al-Suyuṭi,
Lubab al-Nuqul fī Asbāb al-Nuzūl, dalam kitab tafsir Abu Ṭāhir ibn Ya’qub
al-Fairuz Abady, Tanwir al-Miqyas min Tafsir ibn Abbas, (Beirut: Dar
Al-fiqr, tth.), 5.
[5]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Imu Hadis, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2012), 121.
[6]
Abī Dawūd Sulaymān, Sunan Abī Dawūd, (Beirut: Dar al-Fikr, 2011), 1:29.
[7]
HR. Bukhari: 1
[8]
Farchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis, (Bandung: Alma’arif, tth.), 329.
[9]
Aḥmad bin ‘Alī ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, Fathul Baari, terj. Ghazirah
Abdi Ummah, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2002), 27.
[10]
HR. Bukhari, 341.
[11]
Asrifin An Nakhrawie, Asbabul Wurud Hadis-Hadis Nabi (Kajian Tentang Latar
Belakang Lahirnya Sebuah Hadis, (Surabaya: Ikhtiar, tth.), 26-27.
[12] HR. Ibnu Majah.
[14]
Ahmad As-Syathiry, “Asbabul Wurud al-Hadits” dalam
http://mutiarah9.blogspot.com/2014/01/asbabul-wurud-al-hadits, (diakses pada 9
Februari 2015).
[15] HR. Muslim.
[17] HR. al-Baihaqi
[19] HR. al-Baihaqi dan al-Nasa`i.
[20] HR. al-Baihaqi dan Abu Dawud.
[22] HR. Abu Dawud dan Ahmad.
[23]
Ibid..